Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang
lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan
ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang
merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk
pengobatan dalam obat batuk dan obat diare.
Heroin sedikitnya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun lalu, dan
dikenal berasal dari pohon kebahagiaan. Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga
pedagang Arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan.
Setelah itu, orang-orang Inggris dan Portugis memasok Cina dengan opium dan
menempatkan Inggris sebagai heroin terbesar di dunia. Baru pada tahun 1874
orang membuat heroin dan pohon opium.
Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak
menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga
menyebabkan ketergantungan yang tinggi, kemudian di Inggris dilarang pada
tahun 1920 dengan undang-undang, Dangerous Drug Act.
Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami
booming sejak 1996. Menurut National Household Survey on drug abuse di USA
tahun 1996 sebanyak 2,4 juta orang pernah menggunakan heroin. Di Indonesia
jumlah penderita narkotika tahun 1995 adalah 130.000 orang (0,065%). Para
pemakai narkoti ini kebanyakan anak-anak muda berusia < 26 tahun. Angka
kematian akibat penggunaan heroin di Indonesia mencapai 17,6%.
Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan
derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus
hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HEROIN
2.1.1 Definisi
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik
opioid yang di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada
kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang
efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu
disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.

Gambar 2.1 Bunga Opium

2.1.2 Karakteristik
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek
ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit.
Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya
dengan injeksi atau dihirup atau per oral. Heroin mempunyai kekuatan yang dua
kali lebih kuat dari morfin.
Jenis heroin yang sering diperdagangkan :
1. Bubuk putih
• Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah
dikemas secara khusus dengan ukuran 3x1,5 cm, berisi 100 mg
bubuk dengan kadar heroin berkisar antara 1-10%.

2
• Pada saat ini kadar heroin dalam bubuk cenderung
meningkat, rata-rata berkisar 35%.
• Biasanya bubuk tersebut dicampur dengan gula,
susu bubuk atau kanji. Banyak diperjualbelikan di daerah Asia.
2. Bubuk coklat
• Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan
bubuk putih, hanya warnanya yang coklat.
• Banyak didapatkan di daerah Mexico.
3. Black Tar
• Banyak diperjualbelikan di USA.
• Warna hitam disebabkan oleh metode prosesing.
• Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket.
• Kadar heroin didalamnya berkisar 20-80%.
• Pemakaian biasanya dilarutkan dengan sedikit air kemudian
dihangatkan diatas api. Setelah dilarutkan dapat dimasukkan ke
dalam alat suntik.

Gambar 2.2 Jenis Heroin

2.1.3 Penggolongan
Menurut UU RI No 35 / 2009 Tentang Narkotika pasal 1 ayat
(1), Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

3
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam
golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
Berdasarkan UU RI No 35 / 2009 Tentang Narkotika pasal 6 ayat
(1), penggolongan narkotika terdiri dari 3 golongan, yaitu:
1. Narkotika Golongan I
2. Narkotika Golongan II
3. Narkotika Golongan III
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I yaitu Opiat :
morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau kanabis,
marihuana, hashis - Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
Opioid dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
• Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein
• Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin
• Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon

2.1.3 Cara Pemakaian


a. Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular. Injeksi lebih praktis
dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat
menimbulkan efek eforia dalam 7-8 detik. Injeksi intra muskuler efeknya lebih
lambat yaitu 5-8 menit. Ketika akan menyuntikkan heroin ke dalam tubuh,
pertama-tama heroin di larutkan ke dalam air lalu dipanaskan, cara ini dilakukan
untuk menghasilkan larutan liquid. Lalu pengguna bisa menginjeksikan larutan
tadi ke dalam tubuhnya.
Kerugian injeksi:
 Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain.
 Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV.
 Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan trombosis dan abses.

4
Gambar 2.3 Pemakaian secara Injeksi
b. Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api,
kemudian asapnya dihirup melalui hidung. Heroin terabsorbsi melalui membrane
mucus hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara dihirup/dihisap biasanya
dirasakan dalam 10-15 menit.

Gambar 2.4 Pemakaian secara Inhalan

c. Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok


Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau
dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon) saat
ini meningkat untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan.
Penggunaan secara dihisap lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk
ke dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.

5
Gambar 2.5 Pemakaian secara Dihisap

1.1.5 Farmakokinetik
Absorpsi
Heroin diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan
permukaan mukosa hidung atau mulut.
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam
jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa,
sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak
relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin
menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin
atau golongan opioid lainnya.
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin
dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam
glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Heroin/morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90%
diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam
urine 48 jam.

6
Gambar 2.6 Farmakokinetik Heroin

2.1.6 Farmakodinamik
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor
spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi
transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu
reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis
endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin yang
berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan reseptor μ dandynorpin dengan
resptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis
reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase
menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan
neurotransmitter terhambat.

2.1.7 Efek
A. Sistem saraf pusat
1. Analgesia
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:
a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.
b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah
reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita
merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap

7
merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut
tidaklagi timbul. Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi
komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik.
c. Memudahkan timbulnya tidur.
2. Eforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan
menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan mengalami perasaan
nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar
bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati,
aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat.
2. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi.
Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti
hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.
3. Pernafasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan
oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi
pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30
menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke
normal dalam 2-3 jam.
4. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis
terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III.
5. Mual dan muntah
Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger
zone di batang otak.

B. Sistem Syaraf Perifer


a) Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas
lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus beasr

8
akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan
konstipasi.
b) Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi
maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder
terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi
disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi
sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.
c) Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak
merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat,
kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit
akibat efek sentral dan pelepasan histamin.
d) Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter
meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek


segera (shortterm) dan efek jangka panjang (long term).
Tabel 2.2 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin
Short term Long term
Gelisah Addiksi
Depresi pernafasan HIV, hepatitis
Fungsi mental berkabut Kolaps vena
Mual dan muntah Infeksi bakteri
Menekan nyeri Penyakit paru (pneumonia, TBC)
Abortus spontan Infeksi jantung dan katupnya

Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:


• Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
• Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi
untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)

9
• Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala
with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah,
agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan
pada beberapa kasus terjadi kejang umum.

2.1.8 Gejala dan Tanda pada Pemakaian Heroin


Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang
selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara
tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi
apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu
bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw
tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu
mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh
badan, sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang
ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar,
gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu
makan, kekurangan cairan tubuh.
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
• Kesadaran menurun, sopor - koma
• Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan
pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes
• Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif
• Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
• Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernafasan memburuk danterjadi syok
• Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
• Bradikardi
• Edema paru
• Kejang

10
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian
meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang
menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.

Intoksikasi Kronis
Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita
ketagihan akan obat tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh
karena faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk
mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama
penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid
dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis
tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan
karakteristik opioid yang penting, dimana bila penderita telah toleran dengan
morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti
metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat


Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi
seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin
tertentu atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung
jawab dalam menimbulkan gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat
reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor
opioid danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler.
Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas
adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus,
akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari
adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan
dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka

11
akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan
berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila
pecandu obat tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala
biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan
puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat
penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian
antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi
antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20
menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.

Gejala Putus Obat


Gejala putus obat :
• 6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
• 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi),
anoreksia
• 24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya
kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot
dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan
tungkai dehidrasi dan gangguan elektrolit
• Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara
berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat
pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.
Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam
perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1
tahun.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu
diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan

12
pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan
gejala yang ada.
a. Fisik
• Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada
tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.
• Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala
intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,
Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.
• Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan,
sklera ikterik, conjunctiva anemis, dll.
b. Psikiatrik
• Derajat kesadaran
• Daya nilai realitas
• Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi
labil, sedih, depresi, euforia)
• Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid,
halusinasi)
• Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif
gangguan pola tidur, sikap manipulatif dan lain-lain).
c. Penunjang
 Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya heroin dalam tubuh. Pengambilan
urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan
pastikan urine tersebut urine pasien.
Urin merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksian narkoba
dan metabolitnya, cara ini tidak menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan
metabolitnya tinggi sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin
harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan,
tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-80C stabil 48 jam, -20˚C
stabil >48 jam.

13
Cara Kerja & Interpretasi Hasil
1. Deteksi Tunggal Narkoba dan Metabolitnya
Biarkan sampel dan reagennya mencapai temperatur ruang. Jangan
membuka kemasan reagen dan sampel sebelum siap dikerjakan, tidak
menggunakan reagen yang telah melebihi tanggal kadaluwarsa.
Teteskan 5 tetes (200ul) urin pada zone sampel (sample well). Pada cara
stick, celupkan stick kedalam urin sampel dan tidak melebihi tanda batas bantalan
(pad) spreading layer.
Biarkan dalam temperatur kamar, hasil dibaca pada 3-5 menit pertama,
kemudian 3-5 menit kedua:
• Hasil dikatakan positif, jika muncul hanya 1 garis pink di zone C.
• Hasil dikatakan negatif, jika muncul 2 garis pink, satu di zone C dan
lainnya di zoneT.
• Hasil dikatakan invalid (rusak), jika tidak muncul garis pink di "C" dengan
atau tanpa di "T".
• Untuk ini test diulang dengan card yang baru, dengan card pabrik lain
atau konsul ke dokter spesialis patologi klinik.
• Hasil ragu-ragu (warna lamat-lamat atau tidak cocok dengan klinis),
dikonfirmasi dengan test konfirmasi.

Tabel 2.3 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat
Jenis obat Lamanya waktu dapat dideteksi
Amfetamine 2 hari
Barbiturat 1 hari (kerja pendek)
3 minggu (kerja panjang)
Benzodiazepin 3 hari
Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Methadone 3 hari
Morfin 2-5 hari

14
• Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan
pemeriksaan:
• Laboratorium rutin darah,urin
• EKG
• EEG: pada pemeriksaan EEG, tidak ada pola yang khas.
• Foto toraks
• Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi
Psikologik, Evaluasi Sosial)

2.1.10 Penatalaksanaan
a. Intoksikasi akut (over dosis)
• Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
• Oksigenasi yang adekuat
• Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10
menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi
pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone
dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah
rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala
minimal (menghilang).

b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1. Terapi kondisi withdrawl
2. Terapi detoksifikasi
3. Terapi rumatan (maintenance)
4. Terapi komplikasi
5. Terapi aftercare

15
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu
mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui
apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan
laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, danjantung), juga dilakukan
foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan
zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain
yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan
hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi
konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan memahami
resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu
mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling
karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak kekerasan.
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang
memang harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan
jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk
kondisi adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka
panjang.

c. Terapi Withdrawl Opioid


• Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan
gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.
• Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya
membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan
obat
• Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan
menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.
Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan
bila diperlukan hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off
setelah 10-14 hari.
• Terapi non spesifik (simptomatik)
1. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
2. Nyeri dapat diberikan analgetik

16
3. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
4. Kolik dapat diberikan antispasmolitika
5. Gelisah dapat diberikan antiansietas
6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin
Terapi detoksifikasi adiksi opioid
• Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi
opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering
terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi
detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus
menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang
dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg
perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-
3 minggu.
• Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)
dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan
metadone.
• Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk
segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi
antara lain klinidin naltrexon.

Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid


• Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar
etrapi rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan
LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada
terapi rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi
maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100
mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan
secara perlahan-lahan.
• Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis
antara 2 mg-20 mg/hari.

17
• Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi
tinggi untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral
untuk 2 – 3 kali seminggu.
Terapi after care
Meliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan,
komunikasi-interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi
prilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan
penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan.

2.2 KEMATIAN KARENA HEROIN


2.2.1 Penyebab Kematian dan Makanisme Kematian
Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan penyelidikan
ke tempat kejadian. Kecelakaan adalah adalah cara terbanyak dan biasanya akibat
ketidaktahuan besarnya takaran, baik yang seharusnya dipakai maupun kadar obat
yang dipakai saat itu, atau kehilangan toleransi. Cara kematian yang lain adalah
pembunuhan.
Pembunuhan dengan suntikan (hot-shot) biasanya menggunakan
morfin/heroin takar lajak atau dicampur racun lain, seperti sianida atau strichin.
Cara kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang biasanya akibat sindrom
abstinensi. Kematian biasanya terjadi pada mereka yang menggunakan
morfin/heroin secara intravena.

A. Mekanisme Kematian Melalui :


1. Depresi pusat pernafasan : dalam hal ini pusat pernafasan menjadi
kurang sensitive terhadap stimulus CO2 atau H+.
2. Edema Paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan
tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intracranial serta berkurangnya
sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2. Kedua keadaan ini
menyebabkan menurunnya ventilasi paru dan gangguan permeabilitas.
3. Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh
berbagai hal lain seperti : pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak
steril sehingga menimbulkan infeksi, misalnya : pneumonia, endokarditis,

18
hepatitis, tetanus, AIDS, Malaria, sepsis dan sebagainya. Bila cara
penyuntikan tidak benar, atau jarum lepas dari semprit saat yang
bersangkutan telah dalam keadaan fly, dapat terjadi masuknya udara
sehingga menimbulkan emboli udara.

2.2.2 Pemeriksaan Forensik


Pemeriksaan Jenazah :
Bekas – bekas suntikan. Kelainan ini, menurut frekuensi yang tersering
terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat –
tempat yang jarang digunakan tetapi tetap harus kita teliti adalah pada leher
dibawah lidah atau pada daerah perineum. Bekas suntikan tersebut terdapat pada
kira – kira 52,9 % kasus. Bekas suntikan tersebut yang masih baru biasanya
disertai perdarahan subkutan atau perdarahan perivena; selain itu untuk
menentukan baru lamanya suatu bekas suntikan tersebut, jika masih baru dari
lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada keadaan – keadaan yang
meragukan, kita dapat melakukan incise kulit sepanjang vena tersebut dan
membebaskannya secara tumpul untuk untuk memeriksa keadaan dinding vena
dan jaringan disekitarnya apakah ditemukan perdarahan atau jaringan parut. Pada
addiksi kronik akan ditemukan bekas – bekas suntikan yang lama, berupa jaringan
parut berbentuk titik – titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai
intravenous (mainline)tracks.
Selain bekas – bekas suntikan tersebut di atas, pada pemeriksaan luar
sering dijumpai adanya rajah yang bertujuan menutupi bekas – bekas suntikan,
atau mungkin ditemukan adanya abces, granuloma atau ulkus. Ketiga hal terakhir
ini banyak dijumpai pada penyuntikan narkotik secara subkutan, dan pada mereka
ini sering pula dijumpai jaringan – jaringan parut.
Penyuntikan secara subcutan (skin-popper) tidak menghasilkan
kenikmatan yang tinggi tetapi berlangsung dalam waktu yang lebih lama, dan
pada cara inilah tetanus lebih sering terjadi.
Bila bekas suntikan tidak ditemukan, maka mungkin korban menggunakan
cara lain misalnya cara sniffing (menghirup), ack-ack (mengisap rook yang di
campur heroin) atau dengan cara chasing the dragon (mengisap uap yang

19
dihasilkan dari pernapasan heroin). Pada kasus seperti ini perlu diambil hapus
selaput lender hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan toksikologik.
Pembesaran kelenjar getah bening setempat terutama di daerah ketiak
disertai dengan adanya bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut
seorang pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan fenomena drainase,
sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena tau jaringan sekitarnya,
dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada pemeriksaan
mikroskopik kelainan menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.
Lepuh kulit (skin-blister): kelainan ini biasanya terdapat pada kulit di
daerah telapak tangan dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian karena
penyuntikan morfin/heroin dalam jumlah besar. Perlu diingat bahwa lepuh kulit
ini mungkin didapatkan pada beberapa keadaan misalnya pada keracunan CO atau
barbiturat.
Kelainan-kelainan Lain: biasanya merupakan tanda-tanda asfiksia
seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut, yang mula-mula
berwarna putih, dan lama kelamaan karena adanya autolysis, akan berwarna
kemerahan. Kelainan ini terdapat pada lebih dari sepertiga kasus, dan kelainan
tersebut dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan
bibir, perdarahan petekial pada kinjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan
cara sniffing kadang-kadang dijumpai perforasi septum nasi.
Kelainan paru akut. Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu
antara suntikan terakhir dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam)
didapatkan edema dan kongesti saja, atau hanya terdapat sel mononuklear serta
makrofag di dalam atau pada dinding alveoli. Maksroskopik terlihat paru
membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi,
bagian anterior sering memperlihatkan emfisema akut. Kadang-kadang hanya
berupa emfisema akut yagng difus dengan aspirasi beda asing dalam bronki.
Mikiroskopik terlihat kongesti dan edema disertai serbukan sel
mononuklear di dalam dan pada dinding alveoli. Kadang-kadang didapatkan
pusat-pusat atelektasis, emfisema dan benda-bendayang teraspirasi pada bronki.
Edema paru didapatkan pada lebih dari 80% kasus.

20
Pada jangka waktu 3 sampai 12 jam: akan dijumpai narcotic lungs.
Menurut Siegel, kelainan ini khas, bermakna dan dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, serta terdapat pada kira-kira 25% kasus.
Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa
halus sampai ke cabang-cabangnya, penampang dan permukaan paru
memperlihatkan berbagai gambaran dengan gambaran lobuler yang paling
menonjol. Gambaran lobuler ini disebabkan oleh adanya berbagai tingkat aerasi
(atelektasis, aerasi normal, sangat mengembang sampai emfisema), kongesti,
edema dan perdarahan di berbagai tempat, yang mempunyai kecenderungan
terbatas pada bagian inferior dan posterior paru. Mikroskopik terlihat edema,
kongesti dan serbukan makrofag yang tetap menonjol, perdarahan alveolar,
intrabronkial dan subpleural serta serbukan sel Poli Morfo Nuklear. Dalam
bronkiolus tampak benda-benda asing, deskuamasi sel-sel epithel serta mikus.
Selain narcotic lungs, pada saat ini mungkin juga ditemukan benda-benda
teraspirasi dalam saluran pernapasan misalnya susu yang oleh para pecandu
dipercaya dapat berfungsi sebagai antidotum. Pada 12 sampai 24 jam: akan
terlihat proses pneumonia luas dengan gambaran serbukan sel-sel Poli Mono
Nuklear yang lebih menonjol.
Perubahan lanjut: terjadi bila jangka waktu lebih dari 24 jam. Paru telah
menunjukkan gambaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak
berwarna coklat-kemerahan, padat seperti daging dan menunjukkan gambaran
granuler.
Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskuler paru sebagai
menifestasi reaksi jaringan terhadap talk (magnesium-silikat) yang digunakan
sebagai bahan pencampur. Mungkin pula perubahan tersebut terjadi sebagai akibat
bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral, sama seperti mekanisme
terjadinya granuloma subkutan. Letak granuloma tersebut dapat intra-vaskular,
perivaskular atau pada dinding alveoli, tetapi biasanya pada arteriol. Untuk
melihat kristal magnesium-silikat tersebut sebaiknya digunakan mikroskop-
polarisasi sehingga Kristal tampak berwarna putih. Sedangkan dengan mikroskop
cahaya, kristal tampak berbentuk batang tidak berwarna atau kekuning-kuningan

21
dan berrefraksi ganda, dikelilingi sel-sel datia benda asing, sedikit limfosit,
makrofag, sel mononuclear dan jaringan kolagen.
Selain terdapat pada paru, granuloma, Kristal dan benda asing lain juga
ditemukan pada organ lain, seperti hati, ginjal, limpa dan otak. Kadang-kadang
ditemukan abses paru.
Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang terutama limfosit,
sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells. Kelainan hati ini menurut Siegel
terdapat pada 80% kasus, dan derajat kelainannya terganting dari lamanya
penggunaan narkotika (derajat adiksi) seseorang. Makin berat adiksinya makin
jelas kelainannya, sebaliknya pada korban mati yang baru menyuntik beberapa
kali tidak ditemukan. Selain sel limfosit, PMN dan narcotic cells, mikroskopik
juga ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel-sel duktus biliaris.
Kelainan pada hati tersebut dibagi menjadi : a. Hepatitis kronik agresif
dengan cirri khas berupa pembentukan septa; b. Hepatitis kronik persisten
(Triaditis) dengan infiltrasi sel radang terutama di daerah portal (lebih dari 40%
kasus); c. Hepatitis kronik reaktif; d. Perlemakan hati dan e. Hepatitis virus akut
5,9%.
Kelainan kelenjar getah bening terutama terdapat pada kelenjar getah
bening di daerah porta hepatis, sekitar duktus koledukus dan di sekitar kaput
pankreas. Kelainan ini juga berbanding lurus dengan derajat adiksi seseorang.
Makroskopik tampak kelenjar membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi dan
hipertrofi limfosit.
Kelainan lain: limpa membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi
nodule dan sentrum germinativum yang menonjol. Jantung meungkin
menunjukkan peradangan (endokarditis atau miokarditis). Pada otak mungkin
ditemukan perubahan kistik pada basal ganglia. Dapat juga ditemukan kelainan
yang biasa merupakan akibat pemakaian alat yang tidak steril.

2.3 UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA

22
UU No. 35 tahun 2009
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Butir 1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran,hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongang-
golongan sebagaimna terlampir dalam undang-undang ini.
Butir 2
Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam table sebagaimana
terlampir dalam undang-undang ini.
Butir 13
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan dan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
Butir 14
Ketergantunagn narkotik adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meninggakt
gar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
Butir 15
Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.

Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 6

23
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama
kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB III

24
KESIMPULAN

Heroin adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari morphin yang
merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan
sebutan putauw. Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang
kecanduan karna efeknya sangat kuat.
Heroin merupakan golongan narkotik yang sangat kuat dalam
menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik dan fsikis.. Dalam pasaran banyak
beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Obat ini bisa di temukan dalam bentuk
pil, bubuk, dan juga dalam cairan.
Seseorang yang sudah ketergantungan heroin bisa di sebut juga "chasing
the dragon." Heroin memberikan efek yang sangat cepat terhadap si pengguna,
dan itu bisa secara fisik maupun mental. Dan jika orang itu berhenti
mengkonsumsi obat bius itu, dia akan mengalami rasa sakit yang
berkesinambungan.
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan
merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada
akhir - akhir ini . Efek pemakaian heroin: kejang-kejang, mual, hidung dan mata
yang selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel,
bicara tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasiSakaw atau sakit karena putaw terjadi
apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu
bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw
tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakau: mata
dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan,
sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang
ketagihan adalah : kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar,
gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu
makan, kekurangan cairan tubuh. Penghentian obat yang tiba-tiba dapat
menimbulkan gejala abstinesia (putus obat). Penggunaan heroin dapat pula
menyebabkan gejala intoksikasi akut (overdosis), komplikasi jangka pendek dan
jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

25
Andre,dkk.2006.Kematian karena Narkotik dan obat Halusin. Online
(http://www.freewebs.com/halusinogen/, diakses tanggal 12 Maret 2011)
Budiyanto, A, dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, FKUI, Jakarta, hal 129-137.
Japardi, S, 2002, Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw), USU,
Online (www.google.com diakses tanggal 12 Maret 2011).
NN, 2004, NAPZA, Online (www.google.com, diakses tanggal 12 Maret 2011).
NN.2002. Heroin.online (http://en.wikipedia.org/wiki/Heroin, diakses tanggal 12
maret 2011)
Suwarso, 2002, Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan
Komplikasinya, Cermin Dunia Kedokteran No. 135, hal 5-15.
Undang-undang RI tentang Narkotika. Online (www.google.com, diakses tanggal
15 Maret 2011).
Darmono, 2008, Farmasi Forensik dan Toksikologi, Universitas Indonesia,
Jakarta, hal 63-66.
Way WL. Opioid analgosics and antagonists in Basic and clinical pharmacology.
Katzung BG (ed). 7th ed. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514.

26

Anda mungkin juga menyukai