Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN EPILEPSI

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

RS. JIWA PROF. HB. SAANIN PADANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada
dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang
timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan
konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya.
Epilepsi jugadihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka
kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan,
gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Gangguan ini tentu bisa merusak
aspek psikologi dan psikososial penderita. Maka diperlukan asuhan
keperawatan yang holistik sebagai sarana promotif, prevetif dan kuratif yang
efektif sehingga dapat menurunkan risiko gangguan sistem saraf.

B. TUJUAN
1. Untuk mendapatkan pemahaman tentang pelaksanaan Asuhan
Keperawatan Epilepsi dengan benar
2. Dapat melaksanakan pengkajian pada klien Epilepsi
3. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien
Epilepsi
4. Dapat menyusun perencanaan keperawatan yang tepat pada klien
Epilepsi
5. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan pada klien Epilepsi
6. Dapat melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan pada klien Epilepsi
7. Dapat mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada klien
Epilepsi dengan benar
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak
berat yang dikarakteristikan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat
dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya
tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi dan
persepsi.

B. KLASIFIKASI
a. Epilepsi serangan parsial atau fokal
1) Epilepsi parsial sederhana
Pada epilepsi ini hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau mulut
dapat tersentak tak terkontrol. Individu akan berbicara yang tidak dapat
dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, atau rasa yang tidak
umum atau tidak nyaman.
2) Epilepsi parsial kompleks
Pada epilepsi jenis ini melibatkan gangguan fungsional serebral pada
tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses berfikir,
individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak
tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan
yaitu takut, marah, kegirangan, atau peka rangsang.
b. Epilepsi umum
Kejang umum atau sawan tonik-klonik primer yang dulu dikenal
sebagai epilepsi grand-mall, awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran
dan disusul dengan gejala motorik secara bilateral, ini dapat berupa
ekstensi tonik dari semua ekstremitas selama beberapa menit, disusul oleh
gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot tersebut. Beberapa penderita
dapat menunjukkan komponen tonik saja atau klonik saja atau klonik-
tonik-klonik. Segera sesudah sawan berhenti kesadaran belum pulih dan
penderita tertidur. Kadang-kadang sebelum sawan ada gejala prodromal
berupa kecemasan yang tidak menentu atau rasa tidak nyaman.
Serangan tonik-klonik umum dapat terjadi pada segala usia, namun
paling sering terjadi pada umur 0-20 tahun. Serangan berlangsung selama
2-5 menit. Pascaserangan, penderita tampak mengantuk sekali selama
beberapa menit sampai beberapa jam. Setelah sadar pernapasan kembali
normal secara berangsur-angsur, penderita mengalami amnesia parsial dan
kadang-kadang ada keluhan nyeri kepala. Penderita serangan tonik-klonik
umum primer maka serangan epilepsi biasanya muncul pada saat tidak
tidur.

C. ETIOLOGI
Terdapat beberapa factor yang dapat menyebabkan epilepsi, yaitu :
1. Factor fisiologis
2. Factor biokimiawi
3. Factor anatomis
4. Gabungan factor-faktor diatas
5. Penyakit yang pernah diterima (trauma lahir, trauma kapitis, radang otak,
tumor otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomaly kongenital
otak, degenerasi susunan saraf pusat, gangguan metabolism, gangguan
elektrolit, keracunan obat atau zat kimia, jaringan parut factor herediter).

Tabel Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) 1. Hipoksia dan iskemia
paranatal
2. Cedera lahir intrakranial
3. Infeksi akut
4. Gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
5. Malformasi kongenital
6. Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) 1. Idiopatik


2. Infeksi akut
3. Trauma
4. Kejang demam
Remaja (12- 18 th) 1. Idiopatik
2. Trauma
3. Gejala putus obat dan alcohol
4. Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) 1. Trauma
2. Alkoholisme
3. Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) 1. Tumor otak
2. Penyakit serebrovaskular
3. Gangguan metabolik (uremia,
gagal hepatik, dll )
4. Alkoholisme

D. PATOFISIOLOGI
Adanya predisposisi yang memungkinkan gangguan pada sistem listrik
dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel tersebut
memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara berulang, dan
tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah
gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi.
Lesi pada mesenfalon, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar
bersifat epiloptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak
biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel
saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan
ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara
berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan
abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakan menuju ke arah
epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tidak teratur disebut kejang. Akibat
adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini mmemberikan
manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai gerakan konvulsif
memanjang dengan penurunan kesadaran.
Status epilepsi menimbulkan kebutuhan metabolik besar dan dapat
mempengaruhi pernapasan. Terdapat beberapa kejadian henti napas pada
puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak.
Episode berulang anoksia dan pembengkakan serebral dapat menimbulkan
kerusakan otak janin yang tak reversibel dan fatal. Faktor-faktor pencetus
epilepsi meliputi gejala putus obat antikonvulsan, demam, dan infeksi
penyerta.

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari
otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan
cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik
dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama
fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi
pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi
otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah
kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang
umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama
untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5
mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10
kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu
5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan
untuk dibawa ke rumah sakitb.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin
meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi
penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus
dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi
dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu
:
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi
(OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan
fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, topiramate (topamax),
gabapentin (Neurontonin) dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping
yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah
yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong
bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi
sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi
yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah
epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi

G. KOMPLIKASI EPILEPSI
Komplikasi epilepsi adalah :
1) Gangguan Psikiatrik
Seperti gangguan mood, gangguan kecemasan, atau attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD)
2) Gangguan Kognitif
Pasien epilepsi mengalami abnormalitas kognitif dibanding orang
normal pada umur yang sama.
3) Gangguan perilaku dan adaptasi sosial
Pasien epilepsi dapat mengalami gangguan dalam bersosialisasi dan
membina hubungan antar individu.
H. WOC (Web of Cause)
(terlampir)
BAB II

LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Biodata Pasien
1) Identitas Pasien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien, yang meliputi : nama, jenis
kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian, tanggal dan jam MRS, nomor MR, diagnosa medis
2) Identitas Penanggungjawab
Lakukan pengkajian pada identitas penanggungjawab, yang meliputi
nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, alamat, hubungan dengan
pasien.
2. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Biasanya klien datang ke rumah sakit dengan keluhan: penurunan
kesadaran tiba-tiba disertai mulut berbuih.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengalami kejang, kelemahan fisik dan tidak sadarkan
diri.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pada klien ini mempunyai riwayat trauma lahir, asfiksia
neonatorum, cedera kepala, infeksi sistem saraf, gangguan metabolik,
tumor otak dll.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji riwayat penyakit keturunan dalam keluarga. Kaji adanya riwayat
epilepsi, tumor otak.
3. Pola Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Menggambarkan pola pemahaman klien tentang kesehatan,
kesejahteraan, dan bagaimana kesehatan mereka diatur.
2) Pola Nutrisi-Metabolik
Menggambarkan intake makanan, nafsu makan, pola makan selama
ini, kondisi (kulit, rambut, kuku, gigi), fluktuasi BB dalam 6 bulan
terakhir, BB sebelum sakit dan saat sakit, kaji adanya kesulitan dalam
menelan, pemberian suplemen.
3) Pola Eliminasi
Pola ini menggambarkan karakteristik dan masalah saat BAK/
BAB sebelum dan saat dirawat di RS serta penggunaan alat bantu
eliminasi saat pasien di rawat di RS.
4) Pola Aktivitas-Latihan
Menggambarkan pola aktivitas dan latihan, fungsi pernafasan dan
sirkulasi.
5) Pola Tidur-Istirahat
Menggambarkan pola tidur-istirahat dan persepsi pada level energi
meliputi lama tidur di malam hari, waktu mulai tidur dan bangun,
ada/tidak gangguan dalam tidur sebelum dan saat sakit.
6) Pola Kognitif-Persepsi
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap,
penciuman, persepsi nyeri, bahasa, memori, dan pengambilan
keputusan.
7) Pola Persepsi Diri-Konsep Diri
Menggambarkan sikap terhadap diri dan persepsi terhadap
kemampuan, harga diri, gambaran diri, dan perasaan terhadap diri
sendiri tentang penyakitnya.
8) Pola Peran-Hubungan
Menggambarkan keefektifan hubungan dan peran dengan keluarga
dan yang lainnya.
9) Pola Seksualitas-Reproduksi
Kemampuan pasien untuk melaksanakan peran seksual sesuai
dengan jenis kelamin. Kaji juga status perkawinan termasuk jumlah
anak dan lama perkawinan.
10) Pola Koping-Toleransi Stres
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan
menggunakan sistem pendukung.
11) Pola Nilai-Kepercayaan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan
dalam hidup. Agama yang dianut oleh pasien dan ketaatan pasien
dalam melaksanakan ajaran agama.
4. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Mengkaji tingkat kesadaran klien (menilai GCS), kesakitan dan
keadaan penyakit (akut, kronik, ringan, sedang, atau berat) tanda-tanda
vital klien. Sering didapatkan pada awal pascakejang klien mengalami
konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat sering
dijumpai adanya penurunan dari kesadaran klien.
b) Pemeriksaan Head to Toe
1. Kepala
Inspeksi: kesimetrisan kepala, kebersihan rambut dan kulit
kepala,kekuatan rambut, lesi, hematoma, nyeri tekan; Palpasi: ada
edema atau tidak, adanya nyeri tekan atau tidak.
2. Mata
Inspeksi: kesimetrisan mata, pemeriksaan konjungtiva, sklera,
ada/tidaknya sekret, refleks cahaya, ukuran pupil; Palpasi:
pemeriksaan edema/hematoma di palpebral.
3. Hidung
Inspeksi: simetris/tidak, adanya sekret/tidak, terpasang NGT/ tidak;
Palpasi: pemeriksaan adanya benjolan/massa di dalam hidung.
4. Telinga
Inspeksi: simetris/ tidak, adanya sekret/tidak, ada atau tidaknya
pengeluaran darah atau cairan dari telinga; Palpasi: Pemeriksaan
adanya edema dibagian telinga; Perkusi: pemeriksaan fungsi
pendengaran telinga.
5. Mulut
Inspeksi: simetris/ tidak, pemeriksaan mukosa bibir, lidah, adanya
gigi berlubang/ tidak, caries/ tidak, pemeriksaan tonsil, kesulitan
menelan atau tidak.
6. Leher
Pemeriksaan adanya pembengkakan kelenjar getah bening atau
pembesaran kelenjar thyroid.
7. Paru-paru
Inspeksi: Kaji adanya penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
otot-otot interkostalis, sifat dan irama pernapasan, dan frekuensi
pernapasan.
Palpasi: menilai getaran paru saat mengucapkan “tujuh”. Pada
palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal
jika tidak ada permasalahan pada paru-paru klien.
Perkusi: menilai paru-paru dengan cara mengetuk. Apakah suara
paru normal atau tidak. Ada atau tidak suara tambahan lainnya.
Auskultasi: Suara nafasa normal/tidak, ada wheezing atau tidak,
ada/tidak suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
8. Jantung
Inspeksi: melihat denyut ictus kordis terlihat atau tidak; Palpasi:
meraba denyut ictus kordis terlihat atau tidak, nadi meningkat atau
tidak; Perkusi: menentukan batas jantung; Auskultasi:
mendengarkan suara jantung, apakah ada bunyi tambahan.
9. Abdomen
Inspeksi: melihat keadaan perut, distensi/tidak, simetris/tidak;
Palpasi: meraba hepar dan linfe apakah mengalami pembesaran atau
tidak; Perkusi: mengetuk di seluruh kuadran permukaan abdomen;
Auskultasi: mendengarkan bising usus pasien.
10. Ekstremitas
Mengobservasi keadaan kedua ekstremitas atas dan bawah. Pada
fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum
11. Kulit
Mengobservasi keadaan kulit seperti turgor, penilaian pengisian
kapila refil kelembapan kulit.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita epilepsi :
a. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,
bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti hiponatremia,
hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang.
b. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan
pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik.
c. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN SDKI, SLKI, SIKI
Diagnosa yang ada biasanya berdasarkan data dan pengkajian yang
didapatkan sehingga ada kemungkinan diagnosa keperawatan yang dapat
diangkat pada pasien dengan Epilepsi adalah nyeri akut, resiko perfusi serebral
tidak efektif, resiko penurunan curah jantung, gangguan pola tidur, intoleransi
aktivitas, risiko intoleransi aktivitas

Tabel Rencana Asuhan Keperawatan SDKI, SLKI dan SIKI

No SDKI SLKI SIKI


1 Resiko Penurunan Curah Luaran Utama Intervensi Utama
Jantung  Curah Jantung  Perawatan Jantung
 Perawatan Jantung Akut
Definisi : Luaran Tambahan
Berisiko mengalami  Perfusi miokard Intervensi Pendukung
pemompaan jantung yang tidak  Status cairan  Pemberian Obat
adekuat untuk memenuhi  Status sirkulasi  Terapi Intravena
kebutuhan metabolisme tubuh  Status Neurologia  Terapi Oksigen
 Keletihan  Pemantauan Tanda
Faktor Risiko Vital
 Perubahan afterload  Manajemen Cairan
 Perubahan frekuensi  Manajemen Elektrolit
jantung  Pemantauan Cairan
 Perubahan irama jantung  Pemantauan Elektrolit
 Perubahan kontraktilitas
 Perubahan preload

2 Nyeri Akut Luaran Utama Intervensi Utama


 Tingkat Nyeri  Manajemen Nyeri
Definisi : Pengalaman sensori  Pemberian Analgesik
atau emosional yang berkaitan Luaran Tambahan
dengan kerusakan jaringan  Kontrol Nyeri Intervensi Pendukung
aktual atau fungsional, dengan  Perfusi miokard  Pemberian Obat
onset mendadak atau lambat  Pola Tidur  Pemantauan Nyeri
dan benintensitas ringan hingga  Pemberian Obat Oral
berat yang berlangsung kurang  Pemeberian Obat
dari 3 bulan. Intravena
 Latihan Pernapasan
 Terapi Distraksi
Penyebab  Terapi Relaksasi
 Agen cedera fisiologis
(mis. Inflamasi, iskemia,
neoplasma)
 Agen cedera kimiawi (mis.
Luka bakar, bahan kimia
iritan)
 Agen cedera fisik (mis.
abses, amputasi, terbakar,
terpotong, prosedur
operasi, trauma, latihan
fisik berlebihan)

Gejala dan Tanda Mayor


 Mengeluh nyeri
 Tampak meringis
 Bersikap Protektif (misal.
waspada, posisi
menghindari nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor


 Tekanan darah meningkat
 Pola napas berubah
 Nafsu makan berubah
 Proses berpikir terganggu
 Berfokus pada diri sendiri
 Diaforesis

Kondisi Klinis Terkait


 Kondisi pembedahan
 Cedera traumatis
 Infeksi
 Sindrom koroner akut
 Glaukoma

3 Risiko Perfusi Serebral Tidak Luaran Utama Intervensi Utama


Efektif  Perfusi Serebral  Manajemen
Peningkatan Tekanan
Definisi : Luaran Tambahan Intrakarnial
Berisiko mengalami penurunan  Kontrol Resiko  Pemantauan Tekanan
sirkulasi darah ke otak.  Status Neurologis Intrakarnial

Faktor Risiko
 Keabnormalan masa Intervensi Pendukung
protrombin dan/atau masa  Edukasi Diet
tromboplastin parsial  Edukasi Program
 Penurunan kinerja ventrikel Pengobatam
kiri  Pemantauan Tanda
 Aterosklerosis aorta Vital
 Fibrilasi Atrium  Pemantauan Neurologis
 Hipertensi
 Embolisme
 Hiperkolesteronemia
 Stenosis Mitral
 Infark Miokard akut

Kondisi Klinis Terkait


 Stroke
 Cidera kepala
 Aterosklerotik aortik
 Infark miokard akut
 Diseksi arteri
 Embolisme
 Endokarditis infektif
 Fibrilasi Atrium
 Hiperkolestronemia
 Hipertensi

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T.A. (2012). Sistem Neurobehaviour. Jakarta : Salemba Medika

Batticaca, F.B. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Junaidi, I. (2011). Stroke : Waspadai Amcamannya. Yogyakarta : ANDI

Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai