Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN EPILEPSI

I. KONSEP DASAR TEORI EPILEPSI


A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan
bersifat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Mansjoer Arief, 2000)
Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
resersibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang
timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. (Kapita Selekta
Kedokteran, 2002).
Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan
fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan
ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan
atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam
perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu
gejala. (Brunner dan Suddarth`s, 2001).
Epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan
gangguan otak sementara yang bersifat paroksimal yang dimanifestasikan
berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang episodic, fenomena
motorik yang abnormal, gangguan psikis, sensorik, dan sistem otonom;
gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak (Batticaca, F. B.,
2008).

B. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui,
sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
(Tarwoto, 2007)
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis.
Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy
(RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang
didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam
klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan
sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan
yang buruk.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak
yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh
masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas.
Sementara itu, dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang
pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat
awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi
pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40%
dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan
ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu
6 bulan pertama.
Tabel penyebab-penyebab kejang pada epilepsi
Umur Penyebab
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya
listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di
sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer
otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran
sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau
selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi.
Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus
tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan
kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus
epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang
epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar,
bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan
normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik,
dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang
air kecil

F. KLASIFIKASI KEJANG
1. Berdasarkan penyebabnya
a. Epilepsi idiopatik (epilepsi primer): bila tidak di ketahui
penyebabnya
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya,
tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi
dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
b. Epilepsi simtomatik (epilepsy sekunder): bila ada penyebabnya
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya
kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai
akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama
atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi
(misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi
vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia),
ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
2. Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan
a. Epilepsi parsial (lokal, fokal)
Disebabkan oleh cetusan muatan listrik yang abnormal dari
fokus epileptogenik yang terbatas pada satu atau lebih daerah
korteks serebri. Kejang fokal dapat timbul dari setiap area
korteks serebri, tetapi lobus frontalis, temporalis, dan parietalis
merupakan daerah-daerah yang paling sering terkena. Kejang
parsial dibagi lagi menjadi 3 subtipe:
1) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal. Gejala dasar, umumnya tanpa
gangguan kesadaran. Misal: hanya satu jari atau tangan
yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar,
bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tidak nyaman.
Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada
satu bagian tubuh saja
b) Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain.
Disebut juga epilepsi Jackson.
c) Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala,
mata, tuibuh.
d) Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau
tungkai kaku dalam sikap tertentu.
e) Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus
bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan
bunyi-bunyi tertentu.
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial
(epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai
kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
a) Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum.
b) Visual : terlihat cahaya
c) Auditoris : terdengar sesuatu
d) Olfaktoris : terhidu sesuatu
e) Gustatoris : terkecap sesuatu
f) Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom
a) Sensasi epigastrium
b) Pucat
c) Berkeringat
d) Membera
e) Piloereksi
f) Dilatasi pupil
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang
suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
b) Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya
lagi.
c) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
d) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar.
f) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada
yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu,
dan lain-lain.
2) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori,
psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak
atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat
kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut
lewat.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-
gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan
menurunnya kesadaran.
b) Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya
gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu,
memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak
menentu, dan lain-lain.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan
umum (tonik-klonik, tonik, klonik).
a) Epilepsi parsial sederhana yang berkembang
menjadi bangkitan umum.
b) Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
c) Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan
parsial kompleks lalu berkembang menjadi
bangkitan umum.

b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan
tidak sadar atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30
detik, di mana selama waktu serangan ini penderita
merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan
(twitch- like), biasanya di daerah kepala, terutama
pengedipan mata.
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan
terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis
ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas,
sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai
otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak
melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai
otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak
mendadak.
2) Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas
muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh area
otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di
batang otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung
selama 3 atau 4 menit.
a) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau
semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan
ini dapat dijumpai pada semua umur.
b) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak,
repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di
lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali
pada anak.
c) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot
hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh
bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai.
Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
d) Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita
yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan
dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah
ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang
berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula
bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.
e) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat
tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini
terutama sekali dijumpai pada anak.

c. Epilepsi tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal
(cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti
kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang
demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit
dalam 48 jam sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan.
Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam
adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan
jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang
menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak
dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik
sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada
kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa
adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan
timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal
setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif
terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan labolatorium meliputi pemeriksaan darah tepi
rutin, kadar gula darah dan elektrolit sesuai indikasi, pemeriksaan
cairan serebrospinal. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada anak
dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi yang merupakan salah
satu penyebab dari epilepsi. Hitung darah lengkap dilakukan pada
klien dengan trauma kepala karena dapat terjadi peningkatan atau
penurunan yang mencolok pada jumlah hematokrit dan trombosit.
Elektrolit seperti Ca total, dan magnesium serum sering kali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi serangan kejang karena
akan terdapat perubahan pada jumlah elektrolit tersebut., uji
glukosa biasa dilakukan pada bayi dan anak kecil yang mengalami
epilepsi untuk mendeteksi adanya hipoglikemia yang biasanya
terjadi.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain
adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan
pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
5. Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan jasmani meliputi pemeriksaan pediatric dan
neurologis dan bisa dikonsulkan kebagian mata, THT, hematologi,
endokrinologi, dan pemeriksaan jasmani lain seperti : pemeriksaan
tanda-tanda vital, jantung, paru, perut, hati, limpa, anggota gerak
lainnya.

H. PENCEGAHAN
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada
bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan
sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan
yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat
hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja,
wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama
hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang
yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang
pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi
gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

I. PENGOBATAN
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita
akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan
jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan
menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta
beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi.
Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada
serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus
dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada
kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan
ini bisa berlangsung seumur hidupnya.

J. KOMPLIKASI
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas (Elizabeth, 2001 : 174)
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Biodata: nama, umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, dan penanggungjawabnya.
- Usia: penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
- Pekerjaan: seseorang dengan pekerjaan yang sering kali
menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
- Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
2. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami
penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih.
Kadang-kadang klien atau keluarga mengeluh anaknya prestasinya
tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh
anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila
diajak bicara.
3. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
4. Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- Demam
- Stroke
- Gangguan tidur
- Penggunaan obat
- Hiperventilasi
- Stress emosional
5. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit
epilepsi merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya
keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang epilepsi
diakibatkan oleh faktor keturunan.
6. Riwayat psikososial
a) Intrapersonal: klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang
diderita.
b) Interpersonal: gangguan konsep diri dan hambatan interaksi
sosial yang berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan”
yang lebih umum di masyarakat).
7. Pemeriksaan fisik (ROS)
a) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat
terjadi apnea, aspirasi
b) B2 (blood): terjadi takikardia, cianosis
c) B3 (brain): penurunan kesadaran
d) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
e) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun,
inkontinensia alfi
f) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat
menggerakkan anggota tubuh, mengeluh meriang
8. Analisis Data
Data Etiologi Masalah
Keperawatan
DS : - Perubahan aktivitas Risiko cedera
listrik di otak
DO:
pasien kejang (kaki Keseimbangan
menendang-nendang, terganggu
ekstrimitas atas fleksi),
gigi geligi terkunci, Gerakan tidak terkontrol
lidah menjulur
DS : Gangguan nervus V, IX, Bersihan jalan napas
Sesak X tidak efektif

DO: Lidah melemah


Apnea, cianosis
Menutup saluran trakea

Adanya obstruksi
DS : Terjadi depolarisasi Gangguan persepsi
Terjadi aura (mendengar berlebih sensori
bunyi yang melengking
di telinga, bau-bauan, Bangkitan listrik di
melihat sesuatu), bagian otak serebrum
halusinasi, perasaan
bingung, melayang- Menyebar ke nervus-
layang. nervus

DO: Mempengaruhi aktivitas


Penurunan respon organ sensori persepsi
terhadap stimulus,
terjadi salah persepsi
DS : Stigma masyarakat yang Isolasi sosial
Klien terlihat rendah diri buruk tentang penyakit
saat berinteraksi dengan epilepsi atau ”ayan”
orang lain
Klien merasa rendah diri
DO:
Menarik diri Menarik diri
DS : Terjadi kejang epilepsi Ansietas
Klien terlihat cemas,
gelisah. Kurang pengetahuan
tentang kondisi penyakit
DO:
Takikardi, frekuensi Bingung
napas cepat atau tidak
teratur
DS : Terjadi bangkitan listrik Ketidakefektifan pola
Pasien mengeluh sesak di otak napas

DO: Menyebar ke daerah


RR meningkat dan tidak medula oblongata
teratur,
Mengganggu pusat
respiratori

Mempengaruhi pola
napas
DS : Terjadi bangkitan listrik Intoleransi aktivitas
Klien merasa lemas, di otak
klien mengeluh cepat
lelah saat melakukan Menyebar ke medula
aktivitas oblongata

DO: Mengganggu pusat


Takikardi, takipnea kardiovaskular

Takikardia

CO menurun

Suplai darah (O2) ke


jaringan menurun
Metabolisme aerob
menjadi anaerob

Atp dari 38 menjadi 2

Kelelahan

Intoleransi aktifitas
DS : CO menurun Resiko penurunan perfusi
Pasien menunjukkan serebral
kelelahan, diam, tidak Suplai darah ke otak
banyak bergerak berkurang

DO: Iskemia jaringan serebral


Penurunan kesadaran, (O2 tidak adekuat)
penurunan kemampuan
persepsi sensori, tidak
ada reflek

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak
terkontrol (gangguan keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan
penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kardiac output,
takikardia
6) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan pada
nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai
penyakit
8) Resiko penurunan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan
suplai oksigen ke otak

C. INTERVENSI
1) Risiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak
terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan: Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan
dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan
keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera
fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil: tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi faktor lingkungan yang Barang-barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya cedera membahayakan saat terjadi kejang
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri:
Jauhkan benda- benda yang dapat Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi
kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk Lidah berpotensi tergigit saat kejang
mencegah terjadinya tergigitnya lidah karena menjulur keluar
saat terjadi kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi
tidak biasa yang dialami beberapa saat awal sebelum terjadinya kejang pada
sebelum kejang pasien
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai Mengurangi aktivitas kejang yang
advice dokter berkepanjangan, yang dapat
mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tentang tindakan yang harus dilakukan resiko cedera
selama pasien kejang
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan: Jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil: nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi,
tidak ada dispnea
Intervensi Rasional
Mandiri:
Anjurkan klien untuk mengosongkan Menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.

Letakkan pasien dalam posisi miring, Meningkatkan aliran (drainase) sekret,


permukaan datar mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas

Tanggalkan pakaian pada daerah leher / Untuk memfasilitasi usaha bernafas /


dada dan abdomen ekspansi dada

Melakukan suction sesuai indikasi Mengeluarkan mukus yang berlebih,


menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia.

Kolaborasi:
Berikan oksigen sesuai program terapi Membantu memenuhi kebutuhan
oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral sebagai
akibat dari sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.

3) Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan


penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: Mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- Adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- Menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan
masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- Memberi informasi pada perawat
factor yang berpengaruh pada tentang factor yang menyebabkan
perasaan isolasi sosial pasien isolasi sosial pasien
Mandiri
Memberikan dukungan psikologis dan Dukungan psikologis dan motivasi
motivasi pada pasien dapat membuat pasien lebih percaya
diri
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi
perasaan terhadap kesadaran diri
sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat pada Memberikan kesempatan untuk
kelompok penyokong, seperti yayasan mendapatkan informasi, dukungan ide-
epilepsi dan sebagainya. ide untuk mengatasi masalah dari
orang lain yang telah mempunyai
pengalaman yang sama.
Edukasi:

Anjurkan keluarga untuk memberi Keluarga sebagai orang terdekat


motivasi kepada pasien pasien, sangat mempunyai pengaruh
besar dalam keadaan psikologis pasien

Memberi informasi pada keluarga dan Menghilangkan stigma buruk terhadap


teman dekat pasien bahwa penyakit penderita epilepsi (bahwa penyakit
epilepsi tidak menular epilepsi dapat menular).

DAFTAR PUSTAKA

L. Wong. Dona. 2003. Pedoman Medis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC


Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol.
3. Jakarta: EGC
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto, Wartonah, Eros. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: CV Sagung Seto
Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Cetakan 1. Jakarta: Media
Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai