Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
5. Tumor Otak
C. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium
ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk
ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Pathway Epilepsi
D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan
penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba.
Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun
rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola
mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa
dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan
biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya
perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada
otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah
atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi
diakibatkan oleh berbagai faktor.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas
pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak
yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan
defisit neurologik yang jelas
2. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
3. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
- mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- menilai fungsi hati dan ginjal
- menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
- Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
F. Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
1. Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsi
2. Melakukan terapi simtomatik
3. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang
dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
- Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika penyebabnya
adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia), perbaikan
gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan.
Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin),
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol
dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau
panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya,
karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah,
dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi
jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa
disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan
bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi
yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung
beristirahat atau tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat,
bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa
jalan napas paten.
c. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan
biarkan penderita beristirahat.
g. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut
h. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
G. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat
memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya
prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh
anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d. Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- demam,
- stroke
- gangguan tidur
- penggunaan obat
- hiperventilasi
- stress emosional
e. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan merupakan
penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat
4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
f. Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
g. Pemeriksaan fisik (ROS)
1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
h. Analisis Data
H. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
4) Ketidakefektifan pola napas b.d dispnea dan apnea
5) Intoleransi aktivitas b.d penurunan kardiac output, takikardia
6) Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7) Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
8) Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan suplai oksigen ke otak
I. Intervensi dan rasional
1) Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice Mengurangi aktivitas kejang yang
dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang
3) Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk
penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
- adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
- menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
Observasi:
Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang Memberi informasi pada perawat tentang
berpengaruh pada perasaan isolasi sosial factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
pasien
Mandiri
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat
kepada pasien mempunyai pengaruh besar dalam keadaan
psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman Menghilangkan stigma buruk terhadap
dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi
menular dapat menular).
DAFTAR PUSTAKA
Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care,
Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.
Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach, Fourt Ed,
Philadelpia London.