DISUSUN OLEH :
NPM : 2111515112
FAKULTAS KESEHATAN
TAHUN 2021
BAB I
2. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu
12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila
defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya
bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan
pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan
otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan
pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk
terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan
bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya
gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi
(malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya
kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam
dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera
menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang
otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor
otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi
terjadinya epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Infeksi akut
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Alkoholisme
3. MANIFESTASI KLINIK
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3) Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat (Tucker, 1998 : 432 )
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya
keadaan epilepsi yang dialami pada penderitagejala yang timbul
berturut-turut meliputi di saat serangan, penyandang epilepsi tidak
dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu
bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan
baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri.
Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing.
Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa.
Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan
badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air
kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok
sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba
melepaskan muatan listrik.
4. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx Na+¿¿ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
5. KOMPLIKASI
Menurut Elizabeth (2010) dan Pinzon (2007) komplikasi epilepsi dapat
terjadi:
1. Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang yang berulang
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas
3. Cedera kepala
4. Cedera mulut
5. Fraktur
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
7. TERAPI
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang
didalam seseorang
Anti konvulson
Sedatif
Barbirorat
( Elizabeth, 2001 : 174 )
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
fenitoin (difenilhidantoin)
karbamazepin
fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Trauma lahir, cedera kepala,
demam, gangguan metabolik,
Faktor idiopatik tumor otak
Kerusakan neuron
Gangguan
Ketidak sambungan lektrolit presesi
Isolasi sensori
G3b depolarisasi (ke listrikan saraf) sosial
KEJANG
Parsial Umum
sederhana komplex
absen mioklonik Tonik klonik atonik
BAB II
A. PENGKAJIAN
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien.
Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan
kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah
ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien
mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja?
Mekanisme koping apa yang digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
Pasien sering mangalami kejang.
Pemeriksaan fisik
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
B. ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
Keperawatan
DS: -- perubahan aktivitas listrik Resiko cedera
di otak
DO:
Keseimbangan terganggu
pasien kejang (kaki menendang-
nendang, ekstrimitas atas fleksi), gerakan tidak terkontrol
gigi geligi terkunci, lidah
menjulur
DS: sesak gangguan nervus V, IX, X Bersihan jalan napas
tidak efektif
DO:apnea, cianosis lidah melemah
Adanya obstruksi
DS: Terjadi depolarisasi Gangguan persepsi
berlebih sensori
terjadi aura (mendengar bunyi
yang melengking di telinga, bau- Bangkitan listrik di bagian
bauan, melihat sesuatu), otak serebrum
halusinasi, perasaan bingung,
Menyebar ke nervus-
melayang2.
nervus
DO:
Mempengaruhi aktivitas
penurunan respon terhadap organ sensori persepsi
stimulus, terjadi salah persepsi
DS: Stigma masyarakat yang Isolasi sosial
buruk tentang penyakit
klien terlihat rendah diri saat
epilepsi atau ”ayan”
berinteraksi dengan orang lain
Klien merasa rendah diri
DO:menarik diri
Menarik diri
DS: klien terlihat cemas, gelisah. Terjadi kejang epilepsi Ansietas
Mengganggu pusat
respiratori
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak
terkontrol (gangguan keseimbangan).
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
c. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan
penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan terganggunya saraf
pusat pernafasan
e. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit
D. INTERVENSI
Dx 1. Resiko cedera berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak
terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil :
tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada
memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Kaji :
Observasi:
Anjurkan pasien untuk memberi tahu Sebagai informasi pada perawat untuk
jika merasa ada sesuatu yang tidak segera melakukan tindakan sebelum
nyaman, atau mengalami sesuatu yang terjadinya kejang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tentang tindakan yang harus dilakukan resiko cedera
selama pasien kejang
Intervensi Rasional
Kaji :
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi Keluarga sebagai orang terdekat pasien,
kepada pasien sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien
Dx 3. Isolasi sosial berhubungan dengan rendah diri terhadap keadaan penyakit
dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan:
Kriteria hasil:
Intervensi Rasional
Kaji :
Observasi:
Tujuan :
Observasi :
Mandiri :
Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan
memfasilitasi saat melakukan penghisapan
lendir, atau memberi sokongan pernapasan
jika diperlukan
Kolaborasi:
Tujuan :
kriteria hasil :
INTERVENSI RASIONAL
Kaji :
Kaji pengetahuan orang tua pasien. Untuk mengetahui pengetahuan
keluarga tentang penyakit yg diderita
pasien
Observasi :
Identifikasi dengan orng tua pasien, Memberi informasi kepada perawat
factor-factor tentang pengetahuan tentang factor pengetahuan orng tua
orang tua pasien terhadap penyakit. pasien
Mandiri :
Jelaskan mengenai prognosis Memberikan kesempatan untuk
penyakit dan perlunya pengobatan mengklarifikasi kesalahan persepsi &
keadaan penyakit yang ada
Kolaborasi :
Diskusikan manfaat kesalahan umum Aktivitas yang sedang & teratur dapat
yang baik, seperti diet yang adekuat, membantu
& istirahat yang cukup menurunkan/mengendalikan faktor
presdiposisi
Edukasi :
Berikan informasi yang adekuat Pengetahuan yang diberikan mampu
tentang prognosis penyakit dan menurunkan resiko dari efek bahay
tentang interaksi obat yang potensial satu penyakit & cara menanganinya
d. Evaluasi