Disusun Oleh:
Neli Safitri
NIM: 1114190640
LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI DI IGD (INSTALASI GAWAT DARURAT)
RSUD dr. H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR
Oleh:
Neli Safitri
NIM: 1114190640
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI
A. Definisi Penyakit
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak
sehat atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai
akibat oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena
motorik, sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsi
merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang
spontan yang berulang (Juni,2021).
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-
serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan
kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik
pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul
tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
(Husni,2020).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Riswan,2020).
B. Etiologi
Menurut (Juni,2020). Penyebab pada kejang epilepsi sebagian
besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah.
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis.
Penyebab utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi
(RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari
oleh kerusakan otak pada saat peri-atau antenatal. Dalam klasifikasi
tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE
dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat
terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan
pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai
berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula
diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam
tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit,
persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau
adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak,
cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Infeksi akut
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Trauma
Malformasi anteriovena
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Alkoholisme
C. Manifestasi Klinis
Menurut Husni,2020. Manifestasi klinis adalah sebagai berikut:
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2) Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3) Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya
keadaan epilepsi yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-
turut meliputi di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara
secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi
terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan
tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing.
Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya
sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil.
Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel
otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan
listrik.
D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya
listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di
sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer
otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx Na +¿¿ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang (Juni,2021).
F. Klasifikasi
Menurut Husni,2020. Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua
pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan sindrom epilepsi dan
klasifikasi berdasarkan tipe kejang.
a) Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada
anak dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua
lobus otak
b) Klasifikasi tipe kejang epilepsi
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja
Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu.
Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
Visual: terlihat cahaya
Auditoris: terdengar sesuatu
Olfaktoris: terhidu sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
Dapat disertai:
Kejang klonik
Kejang tonik
Kejang atonik
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien.
Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat
menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya
hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh
gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi?
Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa
yang digunakan?
a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register,
tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk
masuk RS. Pasien sering mangalami kejang.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran pasien
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada
gusi
e. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
f. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
g. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang
konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
i. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi
cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
K. Diagnosa keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
4. Kurang pengetahuan b.d Kurang terpapar informasi
L. Analisa Data
DO:
Keseimbangan terganggu
pasien kejang (kaki
menendang- nendang,
ekstrimitas atas fleksi), gigi
geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol
lidah melemah
DO:
apnea, cianosis
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
Mengganggu pusat
respiratori
Mempengaruhi pola
napas
M. Intervensi \
Dx 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol
(gangguan keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi:
- Identivikasi factor lingkungan - Barang- barang di sekitar pasien
yang memungkinkan resiko dapat membahayakan saat terjadi
terjadinya cedera kejang
- Pantau status neurologis setiap - Mengidentifikasi perkembangan
8 jam atau penyimpangan hasil yang
diharapkan
Kolaborasi:
- Berikan obat anti konvulsan - Mengurangi aktivitas kejang
sesuai advice dokter yang berkepanjangan, yang dapat
mengurangi suplai oksigen ke
otak
Edukasi:
- Anjurkan pasien untuk - Sebagai informasi pada perawat
memberi tahu jika merasa ada untuk segera melakukan tindakan
sesuatu yang tidak nyaman, sebelum terjadinya kejang
atau mengalami sesuatu yang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan - Melibatkan keluarga untuk
terjadinya kejang. mengurangi resiko cedera
- Berikan informasi pada
keluarga tentang tindakan yang
harus dilakukan selama pasien
kejang
Intervensi Rasional
Mandiri
- Anjurkan klien untuk mengosongkan - Menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang - Meningkatkan aliran (drainase)
mengatup jika kejang terjadi tanpa sekret, mencegah lidah jatuh dan
ditandai gejala awal. menyumbat jalan nafas untuk
- Letakkan pasien dalam posisi miring, memfasilitasi usaha bernafas /
permukaan datar ekspansi dada
- Tanggalkan pakaian pada daerah leher - Mengeluarkan mukus yang
/ dada dan abdomen berlebih, menurunkan resiko aspirasi
- Melakukan suction sesuai indikasi atau asfiksia.
- Membantu memenuhi kebutuhan
Kolaborasi oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral
- Berikan oksigen sesuai program terapi
sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.
Kolaborasi
N. Evaluasi
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien
tidak menarik diri (minder)
4. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas
sehari- hari secara normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan
dengan normal
7. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8. Status kesadaran pasien membaik
DAFTAR PUSTAKA