Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI DI IGD (INSTALASI GAWAT DARURAT)


RSUD dr. H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR

Disusun Oleh:
Neli Safitri
NIM: 1114190640

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI DI IGD (INSTALASI GAWAT DARURAT)
RSUD dr. H. ANDI ABDURRAHMAN NOOR

Oleh:
Neli Safitri
NIM: 1114190640

Tanah Bumbu, Januari 2023


Mengetahui,

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
EPILEPSI

A. Definisi Penyakit
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak
sehat atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai
akibat oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena
motorik, sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsi
merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang
spontan yang berulang (Juni,2021).
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan
gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-
serangan yang berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan
kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik
pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat
menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul
tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel
(Husni,2020).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Riswan,2020).
B. Etiologi
Menurut (Juni,2020). Penyebab pada kejang epilepsi sebagian
besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah.
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis.
Penyebab utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi
(RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari
oleh kerusakan otak pada saat peri-atau antenatal. Dalam klasifikasi
tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE
dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat
terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan
pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai
berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula
diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam
tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit,
persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau
adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak,
cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi

Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal

Cedera lahir intrakranial

Infeksi akut

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,


hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)

Malformasi kongenital

Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) Idiopatik

Infeksi akut

Trauma

Kejang demam

Remaja (12- 18 th) Idiopatik

Trauma

Gejala putus obat dan alcohol

Malformasi anteriovena

Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma

Alkoholisme

Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak

Penyakit serebrovaskular

Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )

Alkoholisme
C. Manifestasi Klinis
Menurut Husni,2020. Manifestasi klinis adalah sebagai berikut:
a.  Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2)  Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3)  Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat
Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya
keadaan epilepsi yang dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-
turut meliputi di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara
secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi
terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan
tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing.
Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya
sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil.
Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel
otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan
listrik.
D. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya
listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di
sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer
otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang
mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia
retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx Na +¿¿ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang (Juni,2021).
F. Klasifikasi
Menurut Husni,2020. Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua
pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan sindrom epilepsi dan
klasifikasi berdasarkan tipe kejang.
a) Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada
anak dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua
lobus otak
b) Klasifikasi tipe kejang epilepsi
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal
Dengan gejala motorik:
 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja
 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
 Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tuibuh.
 Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu.
 Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
 Visual: terlihat cahaya
 Auditoris: terdengar sesuatu
 Olfaktoris: terhidu sesuatu
 Gustatoris: terkecap sesuatu
 Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
 Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar.
 Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran:
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti


pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.

 Hanya dengan penurunan kesadaran


 Dengan automatisme
c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
(tonik-klonik, tonik, klonik).
 Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
 Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
 Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Epilepsi kejang umum
a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)

Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,


muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

 Hanya penurunan kesadaran


 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang,
kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

 Gangguan tonus yang lebih jelas.


 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Grand Mal
Kejang mioklonik

Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,


sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot,
seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai
pada semua umur.

Kejang klonik

Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak,


repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai
atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

Kejang tonik

Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot


hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas,
flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada
anak.
Kejang tonik- klonik

Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita


yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali
dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku.
Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya.
Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien
kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Kejang atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak


melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik
atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai
pada anak.

3. Epilepsi kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa
gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada Na +¿¿ dan K +¿¿
dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang
berhubungan dengan pengobatan
4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy
obat
5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi
yang teurapetik
6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi,
perdarahan
7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan
perubahan metabolik (Rani,2021).
H. Penatalaksanaan
Menurut :
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang
didalam seseorang
 Anti konvulson
  Sedatif
 Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
 fenitoin (difenilhidantoin)
 karbamazepin
 fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf
pusat yang normal.
 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar
keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju.
Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung.
Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat
mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah,
dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai
menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura".
Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan
bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun
pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter (Rani,2020).
I. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus
ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma autau
kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu banyak disebabkan oleh proses
pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian
tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat
dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena
lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang
pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi
gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Riswan,2020).

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien.
Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat
menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya
hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh
gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi?
Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa
yang digunakan?
a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register,
tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk
masuk RS. Pasien sering mangalami kejang.

c. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat
dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan
anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi
pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan.
nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan 
dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.

e. Riwayat kehamilan dan kelahiran.


Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal
dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa
saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui
apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak.
Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal
diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah kelahariran dan
pertumbuhan dan perkembanagannya.

f. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada
kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini
status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang
menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya
kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu
dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a. Selama serangan :
 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik,
kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang
atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya
berubah pada satu sisi atau keduanya.
b. Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi
sebelum, selama dan sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau
frekuensi denyut jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c. Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,
auditorik, olfaktorik maupun visual.
d. Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti
demam, kurang tidur, keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya
yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran pasien
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada
gusi
e. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
f. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
g. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang
konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
i. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi
cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
K. Diagnosa keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan
lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
4. Kurang pengetahuan b.d Kurang terpapar informasi
L. Analisa Data

Data Etiologi Masalah


Keperawatan

DS: -- perubahan aktivitas Resiko cedera


listrik di otak

DO:
Keseimbangan terganggu
pasien kejang (kaki
menendang- nendang,
ekstrimitas atas fleksi), gigi
geligi terkunci, lidah menjulur gerakan tidak terkontrol

DS: gangguan nervus V, IX, Bersihan jalan napas


X tidak efektif
sesak,

lidah melemah
DO:
apnea, cianosis
menutup saluran trakea

Adanya obstruksi

DS: pasien mengeluh sesak Terjadi bangkitan listrik Ketidakefektifan pola


di otak napas
DO: RR meningkat dan tidak
teratur,
Menyebar ke daerah
medula oblongata

Mengganggu pusat
respiratori

Mempengaruhi pola
napas

M. Intervensi \
Dx 1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol
(gangguan keseimbangan).
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi Rasional

Observasi:
- Identivikasi factor lingkungan - Barang- barang di sekitar pasien
yang memungkinkan resiko dapat membahayakan saat terjadi
terjadinya cedera kejang
- Pantau status neurologis setiap - Mengidentifikasi perkembangan
8 jam atau penyimpangan hasil yang
diharapkan

Mandiri - Mengurangi terjadinya cedera


seperti akibat aktivitas kejang
- Jauhkan benda- benda yang yang tidak terkontrol
dapat mengakibatkan terjadinya - Penjagaan untuk keamanan,
cedera pada pasien saat terjadi untuk mencegah cidera atau jatuh
kejang - Area yang rendah dan datar dapat
- Pasang penghalang tempat tidur mencegah terjadinya cedera pada
pasien pasien
- Letakkan pasien di tempat yang - Memberi penjagaan untuk
rendah dan datar keamanan pasien untuk
- Tinggal bersama pasien dalam kemungkinan terjadi kejang
waktu beberapa lama setelah kembali
kejang - Lidah berpotensi tergigit saat
- Menyiapkan kain lunak untuk kejang karena menjulur keluar
mencegah terjadinya - Untuk mengidentifikasi
tergigitnya lidah saat terjadi manifestasi awal sebelum
kejang terjadinya kejang pada pasien
- Tanyakan pasien bila ada
perasaan yang tidak biasa yang
dialami beberapa saat sebelum
kejang

Kolaborasi:
- Berikan obat anti konvulsan - Mengurangi aktivitas kejang
sesuai advice dokter yang berkepanjangan, yang dapat
mengurangi suplai oksigen ke
otak

Edukasi:
- Anjurkan pasien untuk - Sebagai informasi pada perawat
memberi tahu jika merasa ada untuk segera melakukan tindakan
sesuatu yang tidak nyaman, sebelum terjadinya kejang
atau mengalami sesuatu yang berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan - Melibatkan keluarga untuk
terjadinya kejang. mengurangi resiko cedera
- Berikan informasi pada
keluarga tentang tindakan yang
harus dilakukan selama pasien
kejang

Dx 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan


sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi,
tidak ada dispnea

Intervensi Rasional

Mandiri
- Anjurkan klien untuk mengosongkan - Menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang - Meningkatkan aliran (drainase)
mengatup jika kejang terjadi tanpa sekret, mencegah lidah jatuh dan
ditandai gejala awal. menyumbat jalan nafas untuk
- Letakkan pasien dalam posisi miring, memfasilitasi usaha bernafas /
permukaan datar ekspansi dada
- Tanggalkan pakaian pada daerah leher - Mengeluarkan mukus yang
/ dada dan abdomen berlebih, menurunkan resiko aspirasi
- Melakukan suction sesuai indikasi atau asfiksia.
- Membantu memenuhi kebutuhan
Kolaborasi oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral
- Berikan oksigen sesuai program terapi
sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama
serangan kejang.

Dx 3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan saraf


pernafasan
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien tidak
mengalami gangguan pola napas kriteria hasil :
 RR dalam batas normal sesuai umur
 Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional

- Tanggalkan pakaian pada daerah - Memfasilitasi usaha


leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada
- Masukkan spatel lidah/jalan napas - Dapat mencegah tergigitnya lidah,
buatan dan memfasilitasi saat melakukan
- Lakukan penghisapan sesuai sesuai penghisapan lendir, atau memberi
indikasi sokongan pernapasan jika
diperlukan
Kolaborasi - Menurunkan risiko aspirasi atau
- Berikan tambahan O2 asfiksia

Kolaborasi

- Dapat menurunkan hipoksia serebral

N. Evaluasi
1. Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2. Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3. Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien
tidak menarik diri (minder)
4. Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5. Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas
sehari- hari secara normal
6. Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan
dengan normal
7. Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8. Status kesadaran pasien membaik
DAFTAR PUSTAKA

Juni, 2021. Manajemen Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada An


“F” Dengan Diagnosa Medis Penyakit Epilepsi Diruangan Instalasi
Unit Gawat Darurat (Ugd) Anak Rsup Dr.Wahidin Sudirohusodo.
Makassar.http://eprints.ums.ac.id/25873/11/NASKAH_PUBLIKASI.
pdf. di akses pada tanggal 06 februari 2023.

Husni Muhammad,2020. Asuhan Keperawatan Epilepsi. Diakses dari


http://rumahterapialfina.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-
askep-epilepsi.html. diakses tanggal 06 februari 2023

Riswan,E., 2020. Strategi Pencegahan Epilepsi. Jurnal ilmiah widya, 3; 3-7.

Rani, 2021. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Epilepsi.


https://akper-pasarrebo.e-journal.id/nurs/article/download/43/19/ .
di akses pada tanggal 06 februari 2023.

Anda mungkin juga menyukai