Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH HUKUM DALAM KEPERAWATAN

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Etik dan Hukum Keperawatan
Dosen: Dr. Etty Rekawati, S.Kp., MKM

Oleh: Kelompok HG 4

Fransiska Kurniati Natul (1906458451)


Hesti Indriati (1906337873)
Komang Noviantari (1906458501)
Nanang Miftakhul Wahdi (1906458520)
Tressia Febrianti (1906458716)

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan
rahmat-Nya sehingga makalah hukum dalam keperawatan ini dapat kami selesaikan dengan
tepat waktu. Makalah tentang hukum dalam keperawatan ini bertujuan untuk memahami dan
mengidentifikasi standar keperawatan di Indonesia dan di Negara lain serta memahami
peraturan perundang-undangan terkait profesi sehingga diharapkan dengan adanya makalah
ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan ilmu etik dan hukum dalam
keperawatan. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Etik dan
Hukum pada Program Magister Keperawatan Universitas Indonesia. Penyusunan ini dapat
terlaksana dengan baik berkat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu pada kesempatan ini
tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Etty Rekawati, S.Kp., MKM selaku pengampu mata kuliah Etik dan Hukum
Keperawatan dan fasilitator dalam penyusunan makalah ini.
2. Seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan karunia yang setimpal dengan amal baik
mereka. Tidak lupa pula tim penyusun menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat
kekurangan dalam makalah, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Depok, April 2020

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................2
1.3 Metode Penulisan.................................................................................................2
1.4 Sistematika Penulisan...........................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Aspek Hukum dalam Keperawatan.....................................................................3
2.2. Undang-Undang Keperawatan............................................................................6
2.3. Peraturan Perundang-Undangan dalam Keperawatan.........................................11
2.4. Kelalaian dan Malpraktik....................................................................................19

BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Hukum dan Keberadaannya dalam Keperawatan................................................29
3.2 Standar Keperawatan, Pelanggaran dan Sanksi Hukum......................................33

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................40
4.2 Saran.....................................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dalam pelayanan kesehatan
yang bersifat komprehensif meliputi biopsikososiokultural dan spiritual yang ditujukan
kepada setiap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, baik dalam keadaan sehat
maupun sakit dengan pendekatan proses keperawatan. Caring adalah salah satu inti dari
keperawatan tersebut. Hal itu merupakan bagian dari kontak social antara profesi
keperawatan dan masyarakat bahwa keperawatan berfungsi sebagai tolok ukur dalam
mengembangakan sebuah profesi. Karena perawat merupakan sebuah profesi maka
tentunya punya dmini hukum terkait hal tersebut agar bisa dilindungi dan bertanggung
jawab atas suatu tindakan dan keputusan yang dibuat dalam hal ini berkaitan dengan
pasien (Husted et al., 2014).
Keperawatan dan hukum saling berinteraksi. Masing-masing mempengaruhi satu
dengan yang lain. Perawat memiliki tugas untuk mengetahui dan mematuhi hukum
yang berlaku dan dibentuk dalam konteks hukum keperawatan. Perawat juga memiliki
tanggung jawab untuk mempengaruhi parameter dan kontak hukum sebagai pendukung
untuk pasien mereka dan untuk kualitas praktik keperawatan. Sangat jelas bahwa,
praktik keperawatan sangat dipengaruhi oleh konteks hukumnya. Salah satunya adalah
status dan hukum administrasi yang mengatur tentang keperawatan, dalam hal ini
tentang apa yang perawat lakukan, dan bagaiamana perawat dapat disiplin dengan
profesinya. Perawat merupakan sebuah profesi maka perlu adanya Undang-Undang
yang mengatur tentang hal tersebut selain untuk melindungi perawat melainkan juga
melindungi pasien akibat dari kelalaian atau malpraktik yang dilakukan oleh perawat
tersebut (Daly, 2005).
Praktik keperawatan adalah perangkat yang diperlukan setiap tenaga professional,
dimana dengan adanya standar praktik keperawatan ini, profesi perawat dapat
mewujudkan sebuah tanggung jawab atau suatu komitmen untuk melindungi
masyarakat. Tujuan lain dari standar praktik keperawatan tersebut adalah untuk
membantu dan menuntun perawat dalam menjalankan tugasnya dalam memeberi
asuhan kepererawatan. Persatuan perawat nasional Indonesia (PPNI) pada kongres

1
Nasional keduanya di Surabaya pada tahun 1980 merekomendasikan bahwa perlu
adanya materi perundang-undangan hukum bagi tenaga keperawatan. Apabila tidak
adanya undang-undang perlindungan bagi perawat akan menyebabkan perawat secara
penuh belum bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Maka
dikeluarkan Undang-undang yang mengatur tentang praktiknya dalam menjalankan
tugas. Lalu, kemudian pada prinsipnya semua tenaga professional yang mempunyai
kewenangan/tanggung jawab tertentu dalam kehidupan professional sehari-hari tidak
dapat terlepas dari resiko untuk berbuat kesalahan yang bisa berakhir dengan diajukan
tuntutan kepadanya. Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan
terkait sebuah profesi guna mengatur atau melindungi profesi tersebut (Prihardjo,
2005).
1.2. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu memahami peraturan perundang-undagan terkait profesi.
2. Tujuan Khsusus
a. Mampu menjelaskan keberadaan hukum pada filsafat ilmu.
b. Membandingkan antara pemahaman etik dengan hukum.
c. Memerinci legalitas/kesahan suatu standar sebagai bagian dari hukum.
d. Mampu Menguraikan pelanggaran terhadap standar.
e. Mampu menjabarkan standar keperawatan di Indonesia dan Negara lain.
1.3. Metode Penulisan
Metode dalam penulisan ini diperoleh dengan metode kepustakaan. Dalam metode
kepustakaan yaitu mencari data dan materi yang ada di buku, jurnal dan sumber lainnya
yang berhubungan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan terkait profesi
keperawatan.
1.4. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu, Bab I
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Teori yang terdiri dari Aspek hukum dalam
keperawatan, Undang-undang Keperawatan, Peraturan perundang-undangan terkait

2
keperawatan, Kelalaian dan Malpraktik. Bab III Pembahasan dan Bab IV Penutup yang
terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aspek Hukum dalam Keperawatan


A. Latar belakang munculnya aspek hukum dalam keperawatan
Pemberi layanan kesehatan semakin meningkat dan kompleks serta membutuhkan
perawat yang memiliki pengetahuan tentang hukum yang berkaitan dengan praktik
keperawatan dan perawatan bagi pasien yang mereka rawat. Dalam Undang-undang
dasar tahun 1945 beberapa pasalnya menyebutkan pernyataan yang berkaitan dengan
dasar praktik hukum di Indonesia. Contohnya, pada pasal 24 menyebutkan bahwa
sebuah kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
Kehakiman lain menurut undang-undang. Lalu pada pasal 27 mengatakan bahwa semua
warga Negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Dari beberapa pasal tersebut dan dari berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan
dengan hukum yang dikeluarkan oleh Sekertariat Kabinet Republik Indonesia penting
untuk dirujuk dalam membantu kita memahami fungsi hukum bagi kehidupan manusia
secara umum dan bagi praktik keperawatan professional. Disisi lain, mengapa perlunya
profesi perawat mengerti atau tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya, agar
dapat memberikan kepastian bahwa keputusan ataupun tindakan yang dlakukan oleh
perawat tersebut konsisten atau sesuai dengan prinsip hukum sehingga melindungi
perawat dari pertanggungjawaban/gugatan/tututan hukum (Prihardjo, 2005).
Keperawatan merupakan sebagai suatu profesi yang tentunya harus memilliki
landasan dan perlindungan hukum yang jelas. Perawat harus mengetahui berbagai
konsep hukum terkait dengan praktik keperawatan karena perawat mempunyai
tanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan professional yang mereka lakukan.
Selanjutnya, dengan disahkan undang-undang tentang registrasi bagi perawat, telah
membuka pandangan kita tentang kewenangan perawat yang juga meliputi hak dan
tanggung jawab perawat dalam praktik. Perlu dicatat bahwa perlindungan hukum bagi
perawat hanya diberikan bila perawat tersebut sudah benar terbukti telah melakukan
tugas sesuai dengan kewenangan dan standar profesi. Pernyataan seperti ini juga

3
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga
kesehatan (Prihardjo, 2005).

B. Pengertian
1. Hukum
Hukum merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam bermasyarakat (Notoadmojo,
2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah sebuah peraturan
atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa,
pemerintah atau otoritas. Hukum merupakan sebuah undang-undang, peraturan dan
sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat. Seanjutnya, hukum diartikan
sebagai sebuah keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam
pengadilan, vonis. Hukum adalah suatu himpunan atau kaidah atau norma yang
bersifat memaksa atau dengan kata lain suatu rupunan peraturan hidup yang bersifat
memaksa (Tingle, 2013).
2. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan merupakan semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini dmini
bahwa hukum kesehatan merupakan sebuah aturan tertulis tentang hubungan antara
pihk pemberi pelayanan kesehatan dan penerapannya (Notoadmojo, 2010). Hukum
kesehatan adalah suatu cakupan dari aspek-aspek hukum perdata, hukum
administrative, hukum pidana, dan hukum disiplin, dimana hal ini tertuju pada sutau
subsistem kesehatan, dalam masyarakat. Hukum kesehatan mencakup segala
peraturan dan aturan secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan
kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak (Is, 2017). Hukum kesehatan
adalah peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pelayanan kesehatan dan
penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana (UU
Kesehatan No. 23 tahun 1992).
3. Hukum Keperawatan

4
Hukum keperawatan merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang proses asuhan keperawatan terhadap klien dalam aspek hukum perdata,
hukum pidana dan hukum administarasi sebagai bagian dari hukum kesehatan.

C. Fungsi dan Tujuan Hukum Keperawatan


Ferrel (2015) mengatakan fungsi hukum, aturan, dan peraturan keperawatan adalah
untuk mengecualikan orang yang tidak terlatih atau tidak berlisensi dari praktik
keperawatan. Hukum keperawatan hanya dapat berfungsi dengan baik jika perawat
mengetahui praktik hukum yang berlaku di negaranya saat ini. Ketidaktahuan akan
hukum bukan menjadi suatu dminis. Setiap Negara mempunyai peraturan hukum
keperawatan yang bervariasi. Tindakan praktik perawat di setiap Negara diatur oleh
undang-undang yang menetapkan tanggung jawab perawat dan ruang lingkup dari
praktik”-jangkauan kegiatan dan layanan serta kualifikasi untuk praktik. Tujuan dari
tindakan tersebut adalah untuk melindungi pasien dari bahaya akibat ketidaknyamanan
atau perawat yang tidak kompeten dalam melakukan praktek keperawatan, atau perawat
yang tidak berkulitas. Fungsi hukum dalam keperawatan (Astuti, 1998 dalam Parellangi
2018) adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan frame work yang menetapkan apakah suatu tindakan tersebut dalam
hal ini asuhan keperawatan yang dilakukan oleh seorang perawat dapat diterima
oleh hukum
b. Memberi suatu kejelasan mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat yang
berbeda dari tanggung jawab dan tanggung gugat profesi yang lainnya.
c. Membantu keperawatan dalam menetapkan batas-batas otonominya
d. Membantu menjaga standar praktik keperawatan yang dibuat oleh kalangan
keperawatan sendiri.
D. Manfaat dan Pentingnya Hukum dalam Keperawatan
Tingle (2013) mengatakan bahwa konteks hukum dalam keperawatan diatur oleh tiga
set aturan hukum yang terpisah yakni hukum yang menetapkan kerangka kerja, hukum
terpisah dan hukum untuk negara. Ada kewajiban hukum untuk perawat apabila
melakukan pelanggaran terhadap hukum biasanya timbul dalam konteks kelalaian.

5
Untuk itu, diperlukan adanya standar praktik professional yang mengatur tentang
praktik keperawatan. Inti dari standar professional dalam praktik keperawatan yang
ditetapkan itu adalah adalah setiap perawat harus:
a. Memperhatikan kebutuhan klien sebagai hal yang paling utama, memperlakukan
klien sebagai individu dan menghormati martabat klien
b. Bekerja untuk klien dan melindungi serta meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan klien dalam perawatan, keluarga dan pengasuh klien serta komunitas
yang lebih luas.
c. Memberikan latihan dan perawatan secara maksimal setiap saat.
d. Bersikap terbuka dan jujur bertindak dengan integritas serta menjunjung tinggi
reputasi profesi perawat.

2.2. Undang-Undang Keperawatan


A. Pengertian Undang-Undang Keperawatan
Undang-undang dalam keperawatan merupakan landasan hukum untuk mengatur
profesi keperawatan yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan keperawatan,
penelitian, dan lainnya yg berhubungan dgn profesi keperawatan. Undang-Undang No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan, memberikan kesempatan bagi perkembangan profesi
keperawatan, yang dinyatakan dengan standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan
maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
Dengan demikian undang undang keperawatan adalah peraturan perundang-
undangan yang mengatur proses praktik keperawatan mandiri yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa
pelayanan keperawatan (Priharjo, 2008).
B. Sejarah dan Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang Keperawatan
Pada tahun 1989 inilah sebenarnya embrio RUU keperawatan berawal.Beranjak
dari pemikiran tentang pentingnya landasan hukum untuk mengatur profesi
keperawatan secara utuh yang mencakup pendidikan, praktik/pelayanan dan penelitian
keperawatan serta kehidupan keprofesian, PSIK didukung oleh CHS, Depkes dan WHO
menugaskan kepada Prof. A.A. Loedin dan Prof. Herkutanto sebagai konsultan untuk
melakukan kajian tentang landasan hukum untuk keperawatan.Ternyata dari hasil
temuan tersebut, tidak ada regulasi yang cukup kuat untuk mengatur keperawatan

6
secara utuh sebagai suatu profesi.Oleh karena itu, salah satu rekomendasinya adalah
penting adanya Undang Undang Keperawatan yang mengatur sistem keperawatan
sebagai profesi dan perlindungan kepada masyarakat secara komprehensif dan
mendasar.Pada tahun 1992 Undang Undang No. 23 tentang Kesehatan disahkan dan di
dalam UU tersebut dituliskan tentang pengakuan bahwa keperawatan adalah profesi
dengan keahlian yang dipersyaratkan untuk memperoleh kewenangan praktik sesuai
dengan ilmu keperawatan.Selanjutnya pada tahun 1998, Dr. Farinaz Parsay sebagai
konsultan WHO didampingi oleh Konsultan Nasional yaitu Achir Yani mewakili
profesi keperawatan dan seorang wakil Ikatan Bidan mewakili kebidanan. Sepuluh key
result areas (bidang hasil pokok) atau biasa disebut sasaran, dihasilkan.Salah satu
sasaran tersebut adalah “Adanya sistem regulasi untuk pendidikan dan praktik
keperawatan dan kebidanan untuk melindungi masyarakat” (WHO, 1998). Pada tahun
2000, dengan berbagai upaya meyakinkan berbagai pihak dan dukungan dari dalam
Departemen Kesehatan yaitu Prof. Azrul Azwar, Direktorat Bina Pelayanan
Keperawatan dan Keteknisian Medis dibentuk dan masuk dalam struktur organisasi
Departemen Kesehatan.Walaupun baru pada tahun 2003 Direktorat baru dipimpin oleh
Perawat, yaitu Ibu Dra. Herawani Azis, M.Kes, M.Kep.Sejak tahun 2000, bersama Biro
Hukum dan Organisasi dan Unit Depkes terkait, Direktorat Keperawatan didukung oleh
WHO menyusun Rancangan awal UU Keperawatan dengan konsultan WHO, Dr.
Tassana Bontoong, yang saat itu sebagai President of Thailand Nursing Council.Ketika
itu, Departemen Kesehatan memfasilitasi kelanjutan penyusunan RUU untuk
kedokteran, keperawatan, dan kebidanan.Bapak Faiq Bahfein sebagai fasilitator utama
dan tentunya beberapa pejabat Depkes dan perwakilan organisasi profesi dan nara
sumber ikut terlibat dalam penyusunan RUU bagi beberapa profesi kesehatan
tersebut.Pada tahun 2004, RUU Praktik Keperawatan dan RUU Praktik Kebidanan
dengan inisiatif Pemerintah masuk dalam Program Legislasi Nasional dengan urutan
160 dan 161 untuk diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-2009.
Hingga tahun 2008, di saat sudah akan dilakukan pemilihan dministrat dan
presiden, RUU Keperawatan tetap saja tidak disentuh apalagi dibahas.Dorongan dari
Pemerintah juga tidak tampak nyata.RUU Praktik Keperawatan yang kemudian diganti
menjadi RUU Keperawatan, yang tidak saja diharapkan untuk mengatur praktik, namun

7
juga mengatur pendidikan dan pelatihan bagi perawat, dan hubungan antara Konsil
Keperawatan dengan berbagai focal points keperawatan, sebagaimana hasil kajian
terhadap sejumlah Nursing Act dari berbagai negara. Oleh karena itu, pada Rapat
Pimpinan Nasional PPNI di Semarang 2008, disepakati untuk melakukan aksi nasional
untuk mendesak agar RUU Praktik Keperawatan segera dibahas melalui inisiatif DPR
RI, bukan Pemerintah.Pro dan kontra di antara kalangan komunitas keperawatan dan
pemerhati keperawatan terjadi.Ada yang mendukung gerakan aksi simpatik, namun ada
yang menolak dengan berbagai dminis. Serangkaian lobby dan aksi simpatik baik di
DPR RI maupun di Kementrian Kesehatan dilakukan dengan satu tekat bahwa RUU
Keperawatan harus disahkan.RUU Keperawatan masuk dalam agenda DPR RI untuk
diproses oleh DPR RI Periode 2009-2014.Rasa kesatuan dan persatuan dmini perawat
dan antara perawat dengan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan perlindungan
dan akses terhadap pelayanan keperawatan dan kesehatan, akhirnya mengantarkan
RUU Keperawatan disahkan pada tanggal 25 September 2014. (Hamid, 2015)
Sementara itu, tatar belakang disahkannya UU Nomor 38 tahun 2014 tentang
Keperawatan sebagaimana tertuang dalam naskah Undang-Undang adalah :
a.bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan nasional
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan;
b. bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui
penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan keperawatan;
c.bahwa penyelenggaraan pelayanan keperawatan harus dilakukan secara bertanggung
jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau oleh perawat yang memiliki
kompetensi, kewenangan, etik, dan moral tinggi;
d. bahwa mengenai keperawatan perlu diatur secara komprehensif dalam Peraturan
Perundang-undangan guna memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada
perawat dan masyarakat;
e.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keperawatan.

C. TUJUAN DAN MANFAAT UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN

8
Tujuan undang-undang keperawatan dibentuk dan dibuat adalah untuk melindungi
secara maksimal tenaga keperawatan sebagai salah satu komponen utama pemberian
pelayanan kesehatan. Ada beberapa hal yang diatur dalam UU keperawatan yang
membahas segala yang berkaitan dengan dunia keperawatan. Dan ini adalah bagian dari
manfaat undang-undang keperawatan.
Substansi yang diatur dalam UU Keperawatan ini antara lain adalah mengenai
pendidikan keperawatan, kompetensi, registrasi dan juga lisensi. Selain itu, juga akan
dibahas mengenai praktik keperawatan, hak dan kewajiban, organisasi profesi perawat,
kolegium, konsil keperawatan Indonesia serta pembinaan dan pengembangan tenaga
keperawatan. Karena Undang-Undang Keperawatan adalah hukum untuk melindungi
tenaga perawat itu sendiri yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan (Nursalam,
2007).
D. Aspek yang Diatur dalam Undang-Undang Keperawatan
1. Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam
UUD 1945
2. Perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Independen, Dependen,dan
Kolaborasi)
3. Sebagai suatu perjanjian, harus memenuhi syarat untuk terjadinya perjanjian yaitu
adanya kesepakatan diantara kedua para pihak, yang tunduk ke dalam Pasal 13200
KUH Perdata. Sehingga perikatan yang menjadi jenis perikatan antara perawat dan
pasien adalah perjanjian inspaning verbintenis yaitu perjanjian yang berdasarkan
proses atau daya/upaya bukan hasil akhir (resultaat verbintenis).
4. Agar mampu memahami tentang konsep hukum dalam aspek Hukum Perdata,
Pidana dan Administrasi; dalam UU Keperawatan Indonesia.
5. Konsep mengenai hukum, hukum perdata, hukum pidana dan hokum administrasi
secara umum konsep sangsi dalam aspek hukum perdata, pidana, dan administrasi,
aspek hukum UU keperawatan Indonesia.
6. Subyek Hukum Kesehatan yaitu orang (profesi, pasien dan individu lainnya),
badan hukum (institusi pelayanan kesehatan, BPJS/perusahaan asuransi, institusi
lainnya), hak dan kewajiban.
7. Hukum Perdata Hukum Hukum Pidana Hukum Administrasi

9
8. “Black’s Law Dictionary Seventh Edition”,
9. Sanksi Administrasi diantaranya sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran
administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administrative; Sanksi
Pidana disebut hukuman diatur dalam Pasal 10 KUHP Sanksi Perdata .
10. Perijinan (STR, SIP dan SIPP)
11. UU Keperawatan disusun dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagai
salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
UU Keperawatan mengandung muatan aspek hukum baik hukum administrasi,
perdata dan pidana (Rimawati, 2014).
E. Perbandingan Undang-Undang Keperawaatan di Indonesia dan Negara
Lain/Tetangga
Negara-negara dengan lulusan perawat professional di dunia seperti India dan
Philipina sudah lebih dahulu melaksanakan uji kompetensi bagi perawat, bahkan kedua
Negara tersebut telah menerapkan ujian berbasis Internasional (baca: Prometric dan
NCLEX). Konsil keperawatan mereka dirikan untuk mengatur registrasi dan evaluasi
perawat. Keuntungan yang didapatkan adalah kemudahan bekerja. Perawat-perawat
Philipina dan India sangat mudah sekali mengambil licence internasional di negaranya
melalui tes Prometric dan NCLEX, sehingga untuk bekerja kredibilitas mereka
dipercaya tidak hanya di dalam negeri melainkan juga di luar negeri. Di Timur Tengah
misalnya, uji kompetensi dilakukan oleh satu komisi yang membidangi kesehatan
dengan sistem internasional. Semua dilaksanakan melalui administrasi, proses
mendapatkan lisensi juga sangat mudah, tidak butuh berbulan-bulan seperti di
Indonesia. Sebagai Negara besar di kawasan ASEAN, kita kalah jauh dengan Philipina
dan Malaysia yang sudah memiliki konsil keperawatan. Amanant UU Keperawatan
sangat jelas disebutkan tentang pendirian itu. Namun kenyataannya kita masih
dipayungi oleh Majelis Tinggi Kesehatan Indonesia (MTKI) yang menyelenggarakan
registrasi dan evaluasi bagi semua tenaga kesehatan (Perawat, Bidan, Apoteker dan
Tenaga Kesehatan Masyarakat) (Akhir, 2019).
Sistem pendidikan di negara maju pada umumnya telah didasarkan pada
pemenuhan segala tuntutan masyarakat dan kesetaraan profesi perawat dengan tenaga
medis lain, misalnya dengan dokter. Hal tersebut tercermin dalam isi kurikulum yang

10
dikaitkan dengan tingkat pendidikan/jenis pendidikan yang ditempuh oleh calon
perawat administrasi. ANA (Americon Nurse Assosiotionl telah menetapkan bahwa
persyaratan perawat administrasi minimal Bachelor in Nursing atau Sarjana
Keperawatan, sedangkan Diploma (lll/lv) adalah staf vokasional yang bertugas secara
teknis, serta di bawah administrasi dari registered nurse/ perawat administrasi dan
dafam posisi mereka adalah LPN/Licence Proticol Nurse atau di Australia dan Inggris
disebut Enroll Nurse. Oleh karena itu, seluruh organisasi keperawatan di dunia
mengacu kepada pernyataan ANA tersebut. Dari penjelasan di atas sangat berbeda di
Indonesia,Sistem pendidikan tinggi keperawatan di lndonesia seharusnya melakukan
berbagai persiapan dalam penerapan kurikulum pada proses belajar mengajar, dengan
cara melakukan kolorasi dengan organisasi profesi keperawatan di Indonesia untuk
menetapkan standar kompetensi pendidikan, melakukan perbaikan dalam sistem
pembelajaran yang berfokus pada pelajar (student learning centered) sehingga
mahasiswa keperawatan dilatih untuk belajar mengambil keputusan dan berpikir kritis,
menggunakan kurikulum yang berdasarkan kompetensi, berorientasi pada
perkembangan kebutuhan pelayanan keperawatan secara global, mengikuti
perkembangan dan pelayanan keperawatan dunia, serta mempersiapkan lulusan untuk
bisa bekerja secara nasional dan global, misalnya dengan peningkatan kemampuan
berbahasa Inggris. Perubahan yang diharapkan terjadi pada diri perawat di masa depan
adalah sebagai sosok perawat administrasi, yang dapat dilihat dari perannya. Peran
perawat yang utama di masa depan adalah mempertahankan perawat sebagai profesi
dengan menjaga citra perawat di hati masyarakat dan berpartisipasi aktif dalam
pembangunan kesehatan baik tingkat kabupaten, provinsi dan nasional dalam
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada umumnya (Lestari, 2014).

2.3. Peraturan Perundang-undangan dalam Keperawatan


A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan merupakan ketentuan berisi norma yang bersifat
dan berlaku mengikat mengenai perintah, kebolehan, dan larangan. Menurut Priyatno &
Aridhayandi (2018), peraturan perundang-undangan menghasilkan peraturan yang
memiliki ciri-ciri bersifat umum dan komprehensif serta bersifat universal, yang

11
mengandung pengertian bahwa peraturan perundang-undangan bukan bersifat khusus
dan terbatas melainkan secara umum, menyeluruh, mempunyai ruang lingkup yang luas
dan lengkap, serta diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang belum jelas
bentuk konkritnya. Berdasarkan sifat berlakunya tersebut, peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan landasan-landasan bagi keberadaan dan kekuatannya
yaitu sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan berupa landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Fungsi dari suatu peraturan perundang-undangan adalah agar
dapat mendapatkan kekuatan hokum mengikat serta diketahui oleh masyarakat luas
sehingga setiap orang dapat mengetahui dan menerapkannya.
B. Tujuan Perundang-undangan Dalam Keperawatan
Menurut Kartika (2012) Peraturan perundang-undangan dalam keperawatan bertujuan :
a. Agar kedudukan perawat sebagai profesi menjadi lebih kuat, diakui, dan diterima
keberadaan dan keilmuannya.
b. Perawat terlindungi dari kondisi dan masalah etik apapun terkait dengan praktik
asuhan keperawatan yang dilakukannya.
c. Perawat Indonesia diakui di negara lain.
d. Tidak terjadi multitafsir dari pemerintah daerah akibat keberagaman standar asuhan
keperawatan sesuai persepsi masing-masing apabila dikaitkan dengan kebijakan
otonomi daerah.
e. Mengatur mekanisme fungsi, tanggung jawab, dan praktik keperawatan secara utuh
dan sistematis.
f. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia melalui asuhan keperawatan
g. Menjamin perlindungan terhadap masyarakat penerima pelayanan dan asuhan
keperawatan serta perawat sebagai pemberi pelayanan dan asuhan keperawatan.
h. Serta mengatur keberfungsian dari kelembagaan keperawatan untuk melindungi
masyarakat dan perawat.
C. Dasar Hukum Peraturan Perundang-undangan Terkait Keperawatan
a. UU RI No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
1. Pasal 2 ; (3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
2. Pasal 21 ;

12
1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya ber-kewajiban untuk
mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
3. Pasal 22 ;
1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk :
a) menghormati hak pasien;
b) menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
c) memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan;
d) meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e) membuat dan memelihara rekam medis.
4. Pasal 23 ;
1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi
karena kesalahan atau kelalaian.
2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pasal 30 ;
1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara
dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
6. Pasal 35 ;
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja :
a) melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1);

13
b) melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1);
c) melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga
kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
b. UU RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
1. Pasal 23 ;
1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki.
3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
2. Pasal 24 ;
1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
3. Pasal 29; Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan melalui mediasi.
4. Pasal 58 ;
a) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

14
c. UU RI No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
1. Pasal 11 ;
1) Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a) tenaga medis;
b) tenaga psikologi klinis;
c) tenaga keperawatan;
d) tenaga kebidanan;
e) tenaga kefarmasian;
f) tenaga kesehatan masyarakat;
g) tenaga kesehatan lingkungan;
h) tenaga gizi;
i) tenaga keterapian fisik;
j) tenaga keteknisian medis;
k) tenaga teknik biomedika;
l) tenaga kesehatan tradisional; dan
m) tenaga kesehatan lain.
2) Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis
perawat.
2. Pasal 49 ;
1) Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan
praktik, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan,
memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan.
2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
a) pemberian peringatan tertulis;
b) rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c) kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kesehatan.
d) Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi
disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.

15
3. Pasal 57 ;
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a) memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional;
b) memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya;
c) menerima imbalan jasa;
d) memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
e) mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f) menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar
Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
4. Pasal 58 ;
1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a) memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b) memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c) menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d) membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e) merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya
berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan
perseorangan.

16
5. Pasal 66 ;
1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk
mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
2) Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 untuk masingmasing jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh organisasi
profesi bidang kesehatan dan disahkan oleh Menteri.
6. Pasal 75; Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan
pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
7. Pasal 82 ;
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal
52 ayat (1), Pasal 54 ayat(1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat
(1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2),
Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal
26 ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi
hukum.
3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi
administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4) Sanksi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a) teguran lisan;
b) peringatan tertulis;
c) denda/penjara; dan/atau
d) pencabutan izin.
8. Pasal 84 ;
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.

17
2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.
3) Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/148/2010 tentang izin
dan penyelenggaraan praktik perawat
4) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1796/MENKES/PER/VIII/ tahun 2011
tentang registrasi tenaga kesehatan
5) Peraturan Menteri Kesehatan No. 26 tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU 38 tahun 2018 tentang Keperawatan

D. Kebijakan Pemerintah Tentang Peraturan Perundang-undangan Terkait


Keperawatan
Kebijakan Kementerian Kesehatan Indonesia terkait UU Keperawatan tentang peran dan
wewenang perawat dalam praktik keperawatan melalui kebijakan kesehatan Nasional dan
global adalah :
a. Peran
1) Utama (Otonom)
a) Pemberi asuhan keperawatan
b) Pendidik dan konselor
c) Pengelola keperawatan
d) Peneliti
2) Tambahan
a) Pelayanan dmin tertentu berdasarkan pelimpahan wewenang
 Delegatif
 Mandat
b) Pelayanan dmin dalam keterbatasan tertentu (tidak ada dokter/ farmasi)
 Sesuai kompetensi
 Pengobatan penyakit umum
 Pelayanan farmasi terbatas

18
b. Kewenangan

UTAMA VOKASI NERS SPESIALIS


Pemberi Melakukan  Memberikan asuhan  Memberikan asuhan
Asuhan tindakan keperawatan pada keperawatan sesuai
Kepetawatan keperawatan area generalis dengan area
berdasarkan  Melakukan spesialisasinya
dengan advokasi dalam  Melakukan advikasi
perencanaan yang pemenuhan dalam menetapkan
tersedia dan SPO kebutuhan/ hak kebijakan yang
Melibatkan pasien terkait mendukung
individu dan pelayanan pelayanan
keluarga dalam kesehatan keperawatan
penanganan  Melibatkan  Melibatkan
masalah kesehatan keluarga dan kelompok dan
kelompok dalam masyarakat dalam
penanganan penanganan masalah
masalah kesehatan kesehatan
Pendidik dan Memberikan Merancang serta Merancang serta
Konselor Pendidikan memberikan memberikan
kesehatan terkait Pendidikan kesehatan Pendidikan kesehatan
dengan tindakan pada area sesuai area spesialisasi
yang akan dilakukan keperawatan kepada individu,
generalis kepada keluarga, dan
individu, kelompok masyarakat
dan keluarga
Pengelola Mengelola tindakan Mengelola asuhan Mengelola pelayanan
Keperawatan keperawatan sesuai dan pelayanan keperawatan pada
dengan penugasan keperawatan dalam tingkat fasyankes atau
yang diterima suatu unit ruang/ wilayah kerja
kerja fasyankes kabupaten/ kota/
primer dalam lingkup provinsi sesuai dengan
tanggung jawabnya area spesialisasi yang
dimiliki
Peneliti Memanfaatkan hasil Melakukan penelitian Melakukan penelitian
penelitian dalam asuhan keperawatan asuhan keperawatan
melakukan tindakan pada are generalis pada area spesialis dan
keperawatan pelayanan keperawatan
ditingkat organisasi
TAMBAHAN
Delegasi Menerima delegasi dari tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kompetensinya
Mandat Menerima mandate dari program pemerintah sesuai dengan
kompetensinya

19
2.4. Kelalaian dan Malpraktik
A. Definisi Kelalaian dan Malpraktik
Kelalaian
Dalam praktiknya terkadang terjadi kesalahan/kelalaian tindakan medis yang
dilakukan oleh perawat terhadap pasiennya. Kelalaian adalah perilaku yang tidak sesuai
dengan standar keperawatan. Kelalaian terjadi ketika tindakan medis yang dilakukan
perawat tidak sesuai dengan praktik pengobatan yang aman. Hal ini dijelaskan oleh
Persatuan Perawat Nasional Indonesia yang menyatakan bahwa: “Jika perawat
memberikan perawatan yang tidak memenuhi standar maka mereka dapat dianggap
lalai. Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar
sehingga mengakibatkan cidera dan kerugian orang lain. Kelalaian praktik keperawatan
adalah ketika seorang perawat yang tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan
ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.”
Dewi (2014) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan memberikan perawatan
yang adekuat. Derajat tindakan kelalaian yang dilakukan didasarkan pada tingkat
kompetensi yang diharapkan berdasarkan undang-undang praktik keperawatan.
Ausmed, (2016) menyatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk memberikan
perawatan yang masuk akal untuk mencegah kehilangan atau injuri kepada orang lain.
Berikutnya dijelaskan bahwa ini terjadi ketika seorang perawat yang sangat mampu
menunjukan perilaku caring tetapi tidak menunjukan perilaku caring sebagaimana
mestinya sesuai tanggungjawabnya sehingga pasien menderita kerugian. Sedangkan
Sohn (2013) menyatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk menyediakan
standard caring, atau dalam kata lain, memberikan pelayanan dibawah standar
keperawatan. Disini artinya gagal memberikan standar keperawatan atau memberikan
keputusan yang salah. Sementara Jacobi (2017) menyatakan kelalaian adalah kegagalan
melakukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh perawat semestinya secara bijaksana,
berhati-hati, dan masuk akal dalam situasi yang sama. Dinyatakan selanjutnya kalau
kelalaian merujuk kepada ketidaksengajaan. Sedangkan malpraktik merupakan bentuk
dari kelalaian dalam melakukan tugas professional.
Malpraktik

20
Malpraktik didefinisikan oleh oleh Collin English Dictionary (2000) sebagai
"perilaku profesional yang tidak bermoral, ilegal atau tidak etis atau mengabaikan tugas
professional”. Marquis & Huston (2013) dan Yoder-Wise (2014) mendefinisikan
malpraktik sebagai kesalahan profesional, kelalaian profesional yang tidak memenuhi
standar perawatan yang diketahui dan ditetapkan yang mengakibatkan bahaya atau
cedera pada klien. Berdasarkan definisi tersebut, empat elemen malpraktik adalah
profesi, pelanggaran standar perawatan profesional, tindakan yang tidak disengaja oleh
profesional, cedera pada klien yang terbukti disebabkan oleh pelanggaran standar
perawatan (Al-Haijaa, Ayaad, Al-Refaay, & Al-Refaay, 2018).
Konsep malpraktik digunakan untuk menggambarkan semua tanggung jawab yang
menghasilkan perilaku yang timbul dari pemberian layanan professional, termasuk,
tetapi tidak terbatas pada kelalaian, kesalahan yang disengaja, pelanggaran kontrak
yang menjamin hasil terapeutik tertentu, pengungkapan informasi rahasia, prosedur
postmortem yang tidak sah, kegagalan untuk mencegah terjadinya cedera pada non-
klien tertentu, dan pencemaran nama baik (King, 1986). Black’s Law Dictionary
(1979), mendefinisikan malpraktik sebagai pelanggaran professional atau kurangnya
keterampilan yang tidak masuk akal. Barron’s law Dictionary (1991), mendefinisikan
malpraktik sebagai perilaku professional yang tidak pantas atau tidak bermoral dalam
melaksanakan tugas baik secara sengaja , karena kecerobohan, atau melalui
ketidaktahuan (Weld & Bibb, 2009). The Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organizations (JCAHO), mendefinisikan malpraktik sebagai perilaku yang
tidak pantas atau tidak etis atau kurangnya keterampilan yang tidak rasional oleh
pemegang jabatan profesinal atau pejabat resmi, seringkali diterapkan pada tenaga
kesehatan, pengacara dan pejabat public untuk menunjukan kinerja tidak terampil
dalam melaksanakan tanggung jawab ketika keterampilan professional wajib.
Malpraktik adalah penyebab tindakan yang memungkinkan terjadinya kerusakan
(Croke, 2003).
Perbedaan Kelalaian dan Malpraktik
Konsep kelalaian dan malpraktik sering digunakan secara bergantian dalam
pelayanan kesehatan (keperawatan), kadang juga dalam dministra. Kedua konsep ini
adalah konsep yang berbeda dan memiliki kebenaran masing-masing. Kelalaian

21
diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam menggunakan perawatan yang secara
rasional bijaksana dimana seseorang yang dengan kehati-hatian tidak akan
melakukannya pada kondisi yang sama (Black’s Law Dictionary, 1979; JCAHO, 2002
dalam Weld & Bibb, 2009). Berbeda dengan hal tersebut, konsep malpraktik sering
digunakan unttuk merangkul semua tanggung jawab yang menghasilkan perilaku yang
timbul dari pemberian layanan professional, termasuk, tetapi tidak terbatas pada
kelalaian, kesalahan yang disengaja, pelanggaran kontrak yang menjamin hasil
terapeutik tertentu, pengungkapan informasi rahasia, prosedur postmortem yang tidak
sah, kegagalan untuk mencegah terjadinya cedera pada non-klien tertentu, dan
pencemaran nama baik (King, 1986 dalam Weld & Bibb, 2009). Oleh karenanya,
sebagai aturan dasar dalam kebiasaan penggunaannya, konsep malpraktik jelas lebih
ekspansif dibandingkan dengan konsep kelalaian (Weld & Bibb, 2009).
Perbedaan antara kelalaian dan malpraktik digambarkan oleh Stubenrauch (2007)
bahwa kelalaian yang dilakukan oleh professional merupakan malpraktik. Selanjutnya
Stubenrauch (2007) juga menjelaskan bahwa kelalaian disebabkan oleh
ketidaksengajaan, sedangkan malpraktik disebutkan merupakan kesengajaan artinya
professional tersebut tahu bahwa dengan tindakannya yang diluar standar bisa
menyebabkan terjadinya kerusakan atau kerugian. Suatu kelalaian dapat menjadi
malpraktik terdapat enam komponen penting yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Adanya tugas perawat.
b. Terjadi pelanggaran terhadap tugas perawat.
c. Dapat diprediksikan bahwa tindakan perawat tersebut pasti mempunyai hubungan
dengan cedera pasien.
d. Pasien menderita cedera.
e. Ada hubungan yang dapat menunjuk langsung kepada cedera.
f. Pasien mempunyai hak kompensasi atas cedera yang diderita.

B. Faktor-Faktor Penyebab Kelalaian dan Malpraktik


Seegerweiz (2020) mengatakan factor yang berkontribusi terhadap terjadinya kelalaian
diantaranya bertambahnya beban kerja perawat, meluasnya peran perawat, dan
meningkatnya kemudahan menjangkau akses terhadap kesehatan. Weld & Bibb (2009)

22
telah mengidentifikasi dua dmini penyebab malpraktik yaitu kurangnya pendidikan dan
pelatihan yang memadai, kurangnya ketelitian dan perhatian terhadap detail, serta Ellis
& Hartley (2004) yang menyatakan sistem yang salah. Al-Haijaa, Ayaad, Al-Refaay, &
Al-Refaay (2018), meyakini bahwa kegagalan sistem untuk mencegah dan
meminimalkan risiko malpraktik dan kesalahan medis adalah faktor penyebab yang
umum terjadinya malpraktik. Faktor-faktor penyebab terjadinya malpraktik antara lain:
kegagalan untuk mengikuti standar perawatan, kegagalan untuk menggunakan
peralatan secara wajar, kegagalan untuk berkomunikasi, kegagalan untuk
mendokumentasikan, kegagalan untuk menilai dan memantau, dan kegagalan untuk
bertindak sebagai advokat klien (Croke, 2003; Murphy, 2004).
Croke (2003) juga memaparkan beberapa faktor yang telah berkontribusi pada
peningkatan jumlah kasus malpraktik terhadap perawat, antara lain sebagai berikut:
a. Delegasi. Delegasi dari beberapa tugas pada personel asisten yang tidak memiliki
lisensi dapat dianggap kelalaian seseuai dengan standar perawatan fasilitas yang
diberikan atau tindakan praktik perawat.
b. Kepulangan klien lebih awal. Klien dipulangkan dari rumah sakit pada tahap awal
pemulihan. Perawat mungkin dituntut karena tidak memberikan perawatan atau
tidak membuat rujukan yang sesuai dengan kondisi klien.
c. Pengurangan perawat dan perampingan rumah sakit berkontribusi pada beban kerja
yang lebih besar bagi perawat, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadi
kesalahan.
d. Kemajuan teknologi mengharuskan perawat untuk memiliki pengetahuan tentang
berbagai kemampuan, keterbatasan, dan fitur keselamatan teknologi.
e. Meningkatnya otonomi dan tanggung jawab perawat rumah sakit dalam
menjalankan keterampilan keperawatan tingkat lanjut juga membawa risiko
kesalahan dan tanggung jawab yang lebih besar.
f. Klien yang mendapat informasi lebih baik, lebih cenderung menyadari masalah
malpraktik dan mengetahui perawatan yang tidak memadai atau tidak sesuai.
g. Definisi hukum yang diperluas mengenai liabilitas telah menyebabkan semua
professional memiliki standar akuntabilitas yang lebih tinggi. Sebagai contoh,

23
karena ruang lingkup praktik perawat lanjutan yang diperluas, pengadilan telah
menetapkannya sebagai standar perawatan medis.
C. Jenis-jenis Kelalaian
Jenis-jenis kelalaian menurut Sampurno (2005) :
a. Malfeasance : Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak,
misalnya melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat,
misalnya melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai
b. Misfeasance : Melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat, misalnya melakukan tindakan keperawatan
menyalahi prosedur
c. Nonfeasance : Tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan
kewajibannya, misalnya pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi
tidak dilakukan
Eileen, 2003 membagi bentu-bentuk kelalaian menjadi enam, yaitu
a. Kelalaian dalam memenuhi standard keperawatan
Untuk mendefinisikan pelayanan keperawatan yang bisa diterima, dan meyakinkan
bahwa tidak akan terjadi hal yang membahayakan terhadap pasien maka dibutuhkan
penetapan terhadap standard keperawatan. Standard keperawatan ditetapkan oleh
berbagai sumber seperti bidang keperawatan, komite etik keperawatan,
perhimpunan perawat (PPNI), prosedur dan kebijakan Rumah Sakit, pedoman
organisasi hukum. Salah satu contoh kelalaian adalah salah pemberian obat.
Kelalain ini bisa membahayakan hidup ataupun menyebabkan pasien meninggal.
Bila terjadi maka perawat akan dinilai bertanggungjawab dan diberi sangsi secara
hukum di pengadilan. Contoh lainnya adalah kelalaian dalam melakukan prosedur
seperti memasang akses intra vena, pengambilan darah, mengobservasi tanda vital
pasien, dan memasang kateter. Hope, 2018 juga memberikan contoh kelalaian
terhadap standard keperawatan seperti kelalaian dalam membantu pasien ambulasi
serta kelalaian membantu aktivitas harian pasien, kelalaian dalam menerapkan
tehnik steril, kelalaian dalam identifikasi pasien.
b. Kelalaian menggunakan alat atau fasilitas kesehatan sesuai dengan aturan yang ada

24
Salah satu contohnya menurut Hope, 2018 kesalahan perawat dalam menghitung
jumlah kasa dan instrument operasi yang digunakan sehingga bisa menyebabkan
tertinggal di dalam tubuh pasien.
c. Kelalaian dalam komunikasi
Salah satu contohnya perawat lalai mengerti keluhan pasien karena tidak mampu
menganalisa keluhan tersebut. Misalnya pada pasien hamil mengatakan perutnya
sakit, perawat langsung berasumsi pasien terjadi kontraksi dan melaporkan kepada
dokter. Padahal saat itu sakit yang dirasakan pada bagian ulu hati karena menderita
hyperemesis dan dmini tidak ada makanan yang masuk. Contoh lainnya menurut
Hope, 2018 adalah kelalaian dalam melakukan analisa dan mengevaluasi instruksi
medis, kelalaian dalam mengevaluasi keluhan dan kebutuhan pasien.

d. Kelalaian dalam dokumentasi


Tindakan kelalaian dalam dokumentasi dikemukakan Oshmanlaw, 2020 misalnya
salah mencatat kondisi pasien, menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam
pencatatan, tidak mencatat kondisi terbaru pasien, salah mencatat dosis obat.
e. Kelalaian dalam mengkaji dan memonitor kondisi pasien dengan baik
Salah satu contohnya adalah hand rail yang tidak terpasang lalu mengakibatkan
pasien jatuh dari tempat tidur dan terjadi injuri. Ini bisa terjadi biasanya pada pasien
yang dibawah sedasi, tidak sadar, buta, pusing atau geriatric. Merupakan tugas
perawat untuk memastikan pasien tidak jatuh dan terjadi injuri. Ausme (2016)
menyatakan kelalaian dalam mengkaji yaitu salah dalam pengkajian terhadap
riwayat pasien dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien. Contoh lainnya
yang dikemukakan oleh Oshmanlaw (2020) adalah perawat tidak melaporkan
kepada dokter kondisi kritis pasien yang hasil observasinya buruk, sehingga pasien
tidak mendapatkan penganan yang tepat. Apabila pasien sampai meninggal maka
ini akan dianggap sebagai kelalaian.
f. Kelalaian menjalankan fungsi sebagai advokat pasien.

25
Sebagai contoh perawat harus mengerti dan mengetahui dasar dminis bagi
pemberian medikasi terhadap pasien. Perawat yang lalai menghentikan obat, Ketika
tahu bahwa obat tersebut memberikan efek samping yang tidak baik terhadap
pasien maka ini akan dianggap sebagai kelalaian perawat.

D. Solusi untuk Menghindari Kelalaian dan Malpraktik


Solusi adalah tindakan yang diprakarsai dan diterapkan oleh individu sebagai respon
terhadap penyebab masalah yang mengganggu kepentingan mereka. Tindakan yang
diambil didasari pada factor-faktor yang diidentifikasi menyebabkan
kelalaian/malpraktik (Croke, 2003; Murphy, 2004). Investigasi yang komprehensip dan
terperinci diperlukan untuk lebih memahami keadaan di sekitar kegagalan yang terjadi,
dan ini tidak boleh mengabaikan keunikan setiap kasus malpraktik. Setiap kasus harus
diselidiki secara menyeluruh untuk mengidentifikasi area untuk perbaikan sistem.
Austin (2008), Croke (2003), Yoder-Wise (2014), dan Marquis & Huston (2013)
mengidentifikasi tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari
kelalaian/malpraktik adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan komunikasi. Komunikasi terapeutik adalah hubungan terkuat yang
harus membentuk hibungan perawat-klien.
b. Mengikuti peraturan dan SOP institusi pelayanan kesehatan. Peratutan institusi
adalah dokumen formal yang harus diikuti staf. Peraturan tersebut memandu
pekerjaan staf dan mengatur hubungan antara perawat, klien, dan profesional
kesehatan lainnya.
c. Membiasakan diri dengan standar praktik yang telah ditetapkan. Ruang lingkup dan
standar praktik adalah batasan hukum yang memandu dan melindungi praktik
professional kesehatan.
d. Kesadaran situasional saat pemberuan obat. Penting untuk mengikuti SOP
kelembagaan tentang pengadministrasian obat.
e. Mempertahankan dan memperbarui kompetensi dan keterampilan.
f. Mengetahui dan memahami sistem hukum dan hukum yang terkait dengan profesi
dan bidang praktik.

26
g. Mendelegasikan secara bertanggung jawab. Perawat dan manajer klinis harus
mendelegasikan tugas dan tanggung jawab dengan hati-hati. Dianjurkan untuk
mengikuti lima hak pendelegasian tugas yang bertanggung jawab yaitu orang yang
tepat, tugas, keadaan, arahan, dan pengawasan.
h. Melakukan dokumentasi dengan benar. Dokumentasi adalah indicator penting dan
sensitive dari profesionalisme staf. Dokumentasi merupakan cerminan dari
semangat kepedulian, dan itu adalah cara umum penyampaian informasi. Penting
untuk mengikuti persyaratan dokumentasi kelembagaan.
i. Mengikuti proses keperawatan. Proses keperawatan akan memandu perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan yang tepat. Langkah-langkah proses keperawatan
adalah langkah komprehensif yang terus berputar dengan tujuan besar untuk
kesehatan yang lebih baik.

E. Dampak Kelalaian dan Malpraktik


Bila terjadi kelalaian yang menyebabkan injuri maka perawat bisa saja kehilangan
pekerjaan, kehilangan ijin untuk melakukan praktek, atau bahkan dipenjarakan
(Fuscberg, 2020). Konsekuensi atau dampak yang mengikuti terjadinya kelalaian dan
malpraktik dapat digolongkan menurut tiga tingkatan yaitu klien yang
terluka/dirugikan, perawat yang bertanggung jawab, dan organisasi atau lembaga
kesehatan (Al-Haijaa, Ayaad, Al-Refaay, & Al-Refaay, 2018).
a. Dampak pada klien/klien
1) Kematian/kecacatan permanen atau cedera adalah peristiwa paling buruk atau hasil
buruk yang mungkin terjadi.
2) Kecacatan/kesakitan sementara pasa klien.
3) Biaya langsung/tidak langsung. Biaya lansgung seperti uang yang dibayarkan untuk
dapat pulih dari cedera. Biaya tidak langsung, seperti ketidakmampuan melakukan
pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, gejala sisa berulang atau keterlambatan
dalam memproses tugas pekerjaan sebagai akibat dari cedera atau bahaya.
b. Dampak pada professional/perawat

27
1) Biaya malpraktik. Hampir sama dengan biaya langsung yang dapat dibayarkan
kepada klien sebagai kompensasi. Biaya tidak langsung seperti berulang pergi ke
pengadilan untuk menghadiri tuntutan hukum, penangguhan pekerjaan, biaya
kompensasi untuk pengacara dan peningkatan biaya asuransi.
2) Gugatan malpraktik mungkin dapat berubah menjadi gugatan pidana.
3) Tekanan emosional atau bahaya psikologis yang dapat mempengaruhi kinerja
perawat yang melakukan malpraktik.
c. Dampak pada institusi/ organisasi pelayanan kesehatan
1) Biaya uang yang dibayarkan kepada klien atau keluarga penuntut sebagai akibat
dari tindakan melpraktik yang dilakukan tenaga professional.
2) Dampak negative seperti pengurangan jumlah kunjungan klien atau pegawai untuk
bergabung dengan institusi, sebagai akibat dari pandangan atau citra negative yang
dirasakan oleh masyarakat dan staf professional.

F. Sanksi dan Tuntutan Hukum Kelalaian dan Malpraktik


Pada tahun 1990, NPDB mulai mengumpulkan informasi tentang praktisi
perawatan kesehatan yang sebagai hasil dari penilaian dalam gugatan malpraktik, telah
memasuki penyelesaian, melakukan tindakan disipliner terhadap mereka yang
mengakibatkan dicabutnya izin praktik dan pembatasan hak praktik istimewa atau
harus membayar ganti rugi (Croke, 2003). Dalam rangka memberikan perlindungan
hukum dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan, baik yang melakukan pelayanan
langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung, dan kepada masyarakat
penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan hukum yang kuat (UU No
36 tahun 2014).
Landasan hukum yang mendasari praktik pelayanan kesehatan di Indonesia yaitu
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan. Dalam UU No 36 Tahun 2009, pasal 58 ayat 1 “Setiap orang
berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. UU No 36 Tahun 2014 pasal 77

28
menyebutkan bahwa “Setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Selain itu, terkait hukuman/pidana yang
mengatur kelalaian berat yang menimbulkan luka berat dan kematian diatur dalam
pasal 84 ayai 1 dan 2. Praktik keperawatan juga telah diatur dalam UU RI Nomor 38
Tahun 2014 tentang Keperawatan. Selain itu, terdapat pula UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pasal 19 Ayat 1 yang menyatakan “Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Hukum dan Keberadaannya dalam Keperawatan


Hukum merupakan sebuah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam bermasyarakat, yang secara resmi
dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. Hukum
dihasilkan berdasarkan sebuah keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam
pengadilan, vonis. Hukum mencakup himpunan, kaidah atau norma yang bersifat memaksa
(Notoadmojo, 2010; Tingle, 2013).
Hukum dibentuk untuk mengatur segala aspek bergaulan di masyarakat untuk
menciptakan ketertiban, keselarasan dan keharmonisan. Salah satu aspek yang diatur dalam
hukum adalah kesehatan. dminist kesehatan adalah hak asasi manusia yang fundamental dan
tidak dapat diabaikan serta berfungsi untuk kesejahteraan manusia, sosial dan ekonomi
berfungsi dengan baik, serta untuk kemampuan menggunakan semua hak asasi manusia

29
lainnya (Magnuson, 2017). Hukum kesehatan merupakan semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya.
Hal ini dmini bahwa hukum kesehatan merupakan sebuah aturan tertulis tentang hubungan
antara pihak pemberi pelayanan kesehatan dan penerapannya (Notoadmojo, 2010).
Hukum semakin diakui dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat di tingkat global, nasional dan sub-nasional. Di tingkat nasional, pemerintah
memerlukan sistem kesehatan yang dapat berfungsi dengan baik yang didukung oleh
kerangka hukum yang kuat. Undang-undang kesehatan menetapkan tanggung jawab dan
fungsi pemerintah untuk mengoordinasikan tanggapan terhadap risiko kesehatan masyarakat,
untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat, untuk mempromosikan perilaku yang lebih
sehat, untuk menghasilkan dasar informasi yang diperlukan untuk tindakan dan kebijakan
yang efektif, untuk mengelola tenaga kerja kesehatan yang kompeten, dan banyak fungsi
lainnya (Magnusson, 2017).
Hukum kesehatan memiliki fungsi dalam mengatur segala aspek yang berhubungan
dengan kesehatan masyarakat tidak terkecuali untuk mengelola tenaga kesehatan yang
kompeten. Salah satu tenaga kesehatan yang harus memiliki kompetensi guna meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat adalah perawat. Keperawatan sebagai suatu profesi
kesehatan tentunya harus memilliki landasan dan perlindungan hukum yang jelas. Perawat
harus mengetahui berbagai konsep hukum terkait dengan praktik keperawatan karena
perawat mempunyai tanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan professional yang
mereka lakukan. Hukum keperawatan merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang proses asuhan keperawatan terhadap klien dalam aspek hukum perdata,
hukum pidana dan hukum administarasi sebagai bagian dari hukum kesehatan. Fungsi
hukum, aturan, dan peraturan keperawatan adalah untuk mengecualikan orang yang tidak
terlatih atau tidak berlisensi dari praktik keperawatan (Ferrel, 2015).
Konteks hukum dalam keperawatan diatur oleh tiga set aturan hukum yang terpisah
yakni hukum yang menetapkan kerangka kerja, hukum terpisah dan hukum untuk negara.
Ada kewajiban hukum untuk perawat apabila melakukan pelanggaran terhadap hukum
biasanya timbul dalam konteks kelalaian. Untuk itu, diperlukan adanya standar praktik
professional yang mengatur tentang praktik keperawatan (Tingle, 2013). Standar
keperawatan sangat penting untuk keberhasilan organisasi penyedia perawatan, karena

30
menetapkan harapan dministrati untuk perawat. Kebijakan dan prosedur organisasi memandu
perawat dalam dminist yang tepat dan memberi perawat acuan untuk menilai diri mereka
sendiri dan rekan-rekan mereka. Standar keperawatan juga menciptakan konsistensi layanan
di seluruh organisasi penyedia perawatan yang diberikan. Yang paling penting, standar
keperawatan memberi perawat informasi yang memungkinkan mereka memberikan layanan
dengan kualitas terbaik dan pada saat yang sama tetap mematuhi hukum perawatan kesehatan
(Davis, 2014).
Setiap negara memiliki peraturan hukum keperawatan yang bervariasi. Tindakan
praktik perawat di setiap negara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang menetapkan
tanggung jawab perawat dan ruang lingkup dari praktik keperawatan, termasuk jangkauan
kegiatan dan layanan serta kualifikasi untuk praktik. Tujuan dari tindakan tersebut adalah
untuk melindungi pasien dari bahaya akibat ketidaknyamanan atau perawat yang tidak
kompeten dalam melakukan praktek keperawatan, atau perawat yang tidak berkulitas (Ferrel,
2015).
Peraturan perundang-undangan merupakan ketentuan berisi norma yang bersifat dan
berlaku mengikat mengenai perintah, kebolehan, dan larangan. Peraturan perundang-
undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri bersifat umum dan komprehensif
serta bersifat universal, yang mengandung pengertian bahwa peraturan perundang-undangan
bukan bersifat khusus dan terbatas melainkan secara umum, menyeluruh, mempunyai ruang
lingkup yang luas dan lengkap, serta diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang
akan dmini yang belum jelas bentuk konkritnya (Priyatno & Aridhayandi, 2018).
Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala aspek diatur oleh hukum yang berlaku
tidak terkecuali keperawatan. Peraturan perundangan-undangan dalam keperawatan
khususnya di Indonesia memiliki tujuan antara lain: agar kedudukan perawat sebagai profesi
menjadi lebih kuat, diakui, dan diterima keberadaan dan keilmuannya; perawat terlindungi
dari kondisi dan masalah etik apapun terkait dengan praktik asuhan keperawatan yang
dilakukannya; perawat Indonesia diakui di negara lain; tidak terjadi multitafsir dari
pemerintah daerah akibat keberagaman standar asuhan keperawatan sesuai persepsi masing-
masing apabila dikaitkan dengan kebijakan otonomi daerah; mengatur mekanisme fungsi,
tanggung jawab, dan praktik keperawatan secara utuh dan sistematis; meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia melalui asuhan keperawatan; menjamin perlindungan

31
terhadap masyarakat penerima pelayanan dan asuhan keperawatan serta perawat sebagai
pemberi pelayanan dan asuhan keperawatan (Kartika, 2014).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perawat sebagai
bagian dari sistem kesehatan di Indonesia antara lain: UU RI No.32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan; UU RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Peraturan Menteri
Kesehatan No.148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat; Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1796/Menkes/PER/VIII 2001 tentang Regitrasi Tenaga Kesehatan;
UU RI No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan No. 26
tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 38 tahun 2018 tentang Keperawatan; serta
Undang-Undang RI No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Undang-Undang didefinisikan sebagai “Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden” (Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan). Undang-undang keperawatan di Indonesia terbentuk atas latar belakang masalah
kesejahteraan dan banyaknya tuntutan hukum kepada perawat. Pekerjaan perawat dalam grey
area disebabkan karena belum jelasnya kewenangan dan tugas perawat. Perawat tidak
bekerja sesuai dengan kompetensi dan keilmuannya pada pekerjaan yang tidak menjadi
wewenangnya. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian pada pasien dan profesi
perawat itu sendiri. Selain itu, masalah pendidikan keperawatan juga merupakan hal yang
harus dibenahi, khususnya mengenai jenjang pendidikan yang masih beragam dan belum
adanya standardisasi pendidikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perawat Indonesia
memerlukan undang-undang khusus yang mengatur tentang keperawatan. Selanjutnya pada
tahun 2012 DPR telah memasukan Rancangan Undang-Undang Keperawatan sebagai salah
satu program legislasi nasional (Kartika, 2016). Dengan proses yang cukup panjang akhirnya
Undang-Undang tentang Keperawatan disahkan pada tahun 2014.
Undang-Undang tentang Keperawatan dibentuk untuk memberikan kepastian hukum
dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai
perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan keperawatan dan praktik keperawatan
yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat,
pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik

32
keperwatan, hak dan kewajiban bagi perawat dministr, kelembagaan yang terkait dengan
perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan
pengawasan bagi perawat, serta sanksi dministrative (UU RI No 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan).
Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda dengan negara lain, termasuk undang-
undang tentang keperawatan. Konstitusi (undang-undang) di Amerika Serikat tidak termasuk
ketentuan untuk mengatur praktik keperawatan. Tanggung jawab peraturan tentang praktik
keperawatan dilimpahkan pada negara bagian. Di bawah kekuasaan negara bagian, memiliki
wewenang untuk membuat undang-undang untuk menjaga ketertiban umum, kesehatan,
keselamatan, dan kesejahteraan (Guido, 2010). Selain untuk kebutuhan negara bagian untuk
melindungi masyarakat, para pemimpin keperawatan menginginkan adanya legitimasi profesi
keperawatan di mata masyarakat, membatasi jumlah orang yang direkrut sebagai perawat,
meningkatkan kualitas perawat professional, dan meningkatkan standar pendidikan di
institusi pendidikan keperawatan (Penn Nursing Science, 2012). Undang-undang
keperawatan pertama diberlakukan pada tahun 1903 di Carolina Utara. Undang-undang ini
dibentuk untuk melindungi jabatan perawat dan meningkatkan praktik keperawatan.
Pengembangan ujian keperawatan dan mengeluarkan lisensi dipercayakan kepada North
Carorina Board of Nursing (Russel, 2012). New Jersey, New York, dan Virginia
mengesahkan undang-undang registrasi di tahun yang sama. Tindakan awal ini tidak
mendefinisikan praktik keperawatan, tetapi pada tahun 1938, negara bagian New York
mendefinisikan ruang praktik untuk keperawatan (NCSBN, 2010). Pada tahun 1970-semua
negara bagian mewajibkan lisensi untuk perawat terdaftar dan praktis (Russel, 2012).
Hukum profesi keperawatan hanya dapat berfungsi dengan baik jika perawat
mengetahui hukum yang mengatur praktik di negara bagian mereka saat ini. Semua negara
bagian di Amerika telah memberlakukan tindakan praktik perawat/ nurse practice act (NPA).
NPA masing-masing negara disahkan oleh dministrat negara bagian. Tetapi NPA itu sendiri
tidak cukup untuk memberikan panduan yang diperlukan oleh profesi keperawatan. Oleh
karena itu, setiap NPA membentuk dewan keperawatan/ board of nursing (BON) yang
memiliki wewenang untuk mengembangkan aturan atau peraturan dministrative untuk
memperjelas atau membuat undang-undang lebih spesifik. Aturan dan regulasi harus
konsisten dengan NPA dan tidak bisa melampaui itu. Peraturan dan regulasi ini menjalani

33
proses tinjauan dmini sebelum diberlakukannya (NCSBN, 2011; Ridenour & Santa-Anna,
2012). Setelah diberlakukan, aturan dan peraturan memiliki kekuatan dan efek penuh dari
hukum (Russel, 2012).
Sementara itu, di Inggris Raya, peraturan yang berlaku untuk seluruh sistem pelayanan
kesehatan adalah NHS Constitution (Undang-Undang National Health Service). Konstitusi
ini diperbarui setiap 10 tahun dengan melibatkan pasyarakat, pasien, dan staff. Konstitusi ini
disertai buku pegangan yang akan diperbarui setidaknya setiap tiga tahun, menetapkan
pedoman terbaru saat ini pada hak, janji, tugas, dan tanggung jawab yang ditetapkan oleh
konstitusi. Persyaratan untuk pembaruan konstitusi NHS dan buku pedomannya mengikat
secara hukum (DHSC, 2017). Konstitusi NHS dapat berubah menjadi salah satu alat terbaik
saat ini dan di masa depan untuk praktik keperawatan karena memiliki kekuatan hukum dan
dapat menjadi pedoman dan perlindungan bagi perawat yang memungkinkan mereka dapat
mengadvokasi peningkatan perawatan untuk pasien dan memastikan rasa hormat masyarakat
yang ditujukan kepada perawat (Caulfield, 2010).
3.2. Standar Keperawatan dan Pelanggarannya serta Sanksi Hukum
Standar keperawatan adalah persyaratan hu4kum untuk praktik keperawatan yang
menggambarkan asuhan keperawatan minimum yang dapat diterima. Standar mencerminkan
pengetahuan dan keterampil yang dimiliki oleh seorang perawat aktif dan terlatih (Guido,
2014).
Standar keperawatan menggambarkan level kompetensi perawat. Level keperawatan
tersebut dibuktikan dengan berpikir kritis dalam proses asuhan keperawatan yang meliputi
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi (ANA, 2010). Standar menjadi
pedoman untuk memastikan pasien menerima pelayanan yang berkualitas tinggi, sehingga
seorang perawat harus mampu memberikan asuhan keperawatan yang memenuhi standar.
Standar praktik keperawatan adalah ekpektasi/harapan-harapan minimal dalam
memberikan asuhan keperawatan yang aman, efektif dan etis. Standar praktik keperawatan
merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap praktik
yang dilakukan oleh anggota profesi (PPNI, 2005).
Tujuan dan manfaat standar asuhan keperawatan pada dasarnya mengukur kualitas
asuhan kinerja perawat dan efektifitas manajemen organisasi. Dalam pengembangan standar
menggunakan pendekatan dan kerangka kerja yang lazim sehingga dapat ditata siapa yang

34
bertanggung jawab mengembangkan standar bagaimana proses pengembangan tersebut.
Standar asuhan berfokus pada hasil pasien, standar praktik berorientasi pada kinerja perawat
professional untuk memberdayakan proses keperawatan. Standar finansial juga harus
dikembangkan dalam pengelolaan keperawatan sehingga dapat bermanfaat bagi pasien,
profesi perawat dan organisasi pelayanan (Kawonal, 2000).
Standar keperawatan ditetapkan sebagai dasar yang dapat memberikan batasan yang
spesifik supaya proses dapat berjalan dengan optimal dan dapat dipertanggung jawabkan.
Standar keperawatan menjadi dasar dalam praktek keperawatan, yang meliputi standar
pelayanan, standar profesi dan standar SOP dengan tetap mempertimbangkan kode etik
profesi keperawatan (UU Keperawatan No.38 tahun 2014). Standar praktik keperawatan
merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap
praktik yang dilakukan oleh anggota profesi. Lingkup standar praktik keperawatan Indonesia
dirangkum oleh PPNI, meliputi :
a. Standar praktik Profesional, yang terdiri dari :
1) Standar I : Pengkajian  mengumpulkan data tentang status kesehatan klien
secara sistematis, menyeluruh, akurat , singkat dan berkesinambungan yang
bertujuan menetapkan data dasar tentang tingkat kesehatan klien yang
digunakan untuk merumuskan masalah klien dan rencana tindakan.
2) Standar II : Diagnosa keperawatan  menganalisis data pengkajian untuk
merumuskan diagnosis keperawatan sebagai dasar pengembangan rencana intervensi
keperawatan dalam rangka mencapai peningkatan, pencegahan dan penyembuhan
penyakit serta pemulihan kesehatan klien.
3) Standar III : Perencanaan  membuat rencana tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan klien yang
dikembangkan berdasarkan diagnosis keperawatan.
4) Standar IV : Pelaksanaan Tindakan / implementasi  melaksanakan tindakan
yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dan partisipasi klien dalam tindakan keperawatan
berpengaruh pada hasil yang diharapkan

35
5) Standar V : Evaluasi  mengevaluasi perkembangan kesehatan klien terhadap
tindakan dalam pencapaian tujuan, sesuai rencana yang telah ditetapkan dan merevisi
data dasar dan perencanaan.
b. Standar kinerja Profesional
1) Standar I : Jaminan mutu  melakukan evaluasi mutu dan efektifitas
praktek keperawatan melalui penilaian praktek keperawatan merupakan suatu cara
untuk memenuhi kewajiban profesi yaitu menjamin klien mendapat asuhan yang
bermutu
2) Standar II : Pendidikan  bertanggung jawab untuk memperoleh ilmu
pengetahuan mutakhir dalam praktek keperawatan. Perkembangan ilmu dan
teknologi, sosial, ekonomi, politik dan pendidikan masyarakat menuntut komitmen
perawat untuk terus menerus meningkatkan pengetahuan sehingga memacu
pertumbuhan profesi.
3) Standar III : Penilaian kinerja  merupakan suatu cara untuk menjamin
tercapainya standar praktek keperawatan dan ketentuan lain dengan mengevaluasi
prakteknya berdasarkan standar praktek profesi dan ketentuan lain yang terkait
4) Standar IV : Kesejawatan ( collegial )  berkontribusi dalam mengembangkan
keprofesian dari sejawat kolega dengan kolaborasi antara sejawat melalui
komunikasi efektif meningkatkan kualitas pemberian pelayanan asuhan pelayanan
kesehatan pada klien
5) Standar V : Etik  kode etik perawat merupakan parameter bagi perawat dalam
membuat penilaian etis. Berbagai isu spesifik tentang etik yang menjadi kepedulian
perawat meliputi: penolakan pasien terhadap pengobatan, “informed-consent”,
pemberhentian bantuan hidup, kerahasiaan klien. Keputusan dan tindakan perawat
atas nama klien ditentukan dengan cara yang etis (sesuai dengan norma, nilai
budaya, modul dan standar profesi).
6) Tandar VI : Kolaborasi  Perawat berkolaborasi dengan klien, keluarga dan
semua pihak terkait serta tim multi disiplin kesehatan dalam memberikan
keperawatan klien. Kolaborasi multi disiplin mutlak diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas asuhan dan untuk membantu klien
mencapai kesehatan optimal. Melalui proses kolaboratif kemampuan yang khusus

36
dari pemberi asuhan kesehatan digunakan untuk mengkomunikasikan,
merencanakan, menyelesaikan masalah dan mengevaluasi pelayanan
7) Standar VII : Riset  sebagai pemberi asuhan professional, perawat mempunyai
tanggung jawab untuk mengembangkan pendekatan baru dalam praktek
keperawatan melalui riset dan melakukan praktik keperawatan berdasarkan hasil
riset.
8) Standar VIII: Pemanfaatan sumber – sumber  mempertimbangakan dmini-faktor
yang terkait dengan keamanan, efektifitas dan biaya dalam perencanaan dan
pemberian asuhan klien.

Dalam melaksanakan standar keperawatan, seorang perawat dilindungi oleh Undang-


undang. Undang – Undang keperawatan No. 38 Tahun 2014 untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata
berbagai perangkat hukum yang yang mengatur penyelenggaraan keperawatan dan praktik
keperawatan yang bertanggungjawab, akuntabel, bermutu dan aman sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-undang ini memuat pengaturan
mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, registrasi
ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dministr, kelembagaan yang
terkait dengan perawat ( seperti organisasi profesi, kolegium dan konsil), pengembangan,
pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi hukum.
Pedoman tindakan yang juga harus dipatuhi perawat dalam menjalankan asuhan
keperawatan adalah kode etik keperawatan. Kode etik adalah suatu pedoman kegiatan yang
harus dilakukan seorang perawat berdasarkan tata-nilai dan kebutuhan masyarakat. Karena
berdasarkan tata-nilai dan kebutuhan masyarakat setempat, maka kode etik ini menjadi tolok
ukur baik buruknya seorang perawat dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat.
Oleh karena itu, kode etik ini harus dipatuhi dan kembangkan menjadi kebiasaan dalam
berperilaku sehari-hari, sehingga terbentuklah perilaku, karakter atau watak perawat dalam
menjalankan perkerjaan profesinya. Kode etik adalah sebuah tata-nilai, baru dapat bermakna
apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik perawat Indonesia terdiri dari 5
(lima) prinsip tanggung jawab perawat dalam menjalankan pekerjaan profesinya, yaitu

37
tanggung jawab terhadap klien, tugas, teman sejawat, profesi dan tanggung jawab terhadap
masyarakat atau negara.
Kewenangan Perawat dalam menjalankan tugas dan profesi secara prinsip diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1293/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan
Praktik Perawat. Keputusan Menteri ini sebagai peraturan tekhnis yang diamanatkan UU
Kesehatan Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tersebut
dijabarkan bahwa perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan dan fungsi khusus yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain. Dengan
demikian sebagai peraturan pelaksana, Keputusan ini merupakan norma yuridis yang
mengikat perawat dalam menjalankan profesinya, terutama yang dilakukan di rumah sakit.
Dalam melaksanakan standar keperawatan yang berpedoman pada kode etik
keperawatan, seorang perawat dapat melakukan pelanggaran terhadap dministrat kode etik
keperawatan. Pelanggaran tersebut dapat berupa kelalaian maupun malpraktik. Seegerweiz
(2020) mengatakan factor yang berkontribusi terhadap terjadinya kelalaian diantaranya
bertambahnya beban kerja perawat, meluasnya peran perawat, dan meningkatnya kemudahan
menjangkau akses terhadap kesehatan. Weld & Bibb (2009) telah mengidentifikasi dua dmini
penyebab malpraktik yaitu kurangnya pendidikan dan pelatihan yang memadai, kurangnya
ketelitian dan perhatian terhadap detail, serta Ellis & Hartley (2004) yang menyatakan sistem
yang salah. Al-Haijaa, Ayaad, Al-Refaay, & Al-Refaay (2018), meyakini bahwa kegagalan
sistem untuk mencegah dan meminimalkan risiko malpraktik dan kesalahan medis adalah
faktor penyebab yang umum terjadinya malpraktik. Faktor-faktor penyebab terjadinya
malpraktik antara lain: kegagalan untuk mengikuti standar perawatan, kegagalan untuk
menggunakan peralatan secara wajar, kegagalan untuk berkomunikasi, kegagalan untuk
mendokumentasikan, kegagalan untuk menilai dan memantau, dan kegagalan untuk
bertindak sebagai advokat klien (Croke, 2003; Murphy, 2004). Sehingga bila terjadi suatu
kelalaian atau malpraktik, maka perawat dapat bertanggung jawab. Oleh karena itu, ada hak
dan kewajiban perawat, sehingga hubungan perawat dan pasien dilindungi oleh hukum, maka
keduanya harus mentaati hubungan hukum ini. Kehendak untuk mentaati hubungan hukum
ini disebut tanggung jawab hukum (legal liability). Tanggung jawab hukum dimaksudkan
sebagai terhadap ketetntuan-ketentuan hukum.

38
Seorang perawat dalam memberikan jasa pelayanan kemungkinan melakukan
kesalahan/kelalaian. Hal ini akan menimbulkan tuntutan terhadap perawat oleh pasien
maupun keluarganya agar perawat dapat bertanggung jawab. Apabila perawat melaksanakan
kewajibannya dengan baik, maka perawat berhak memperoleh haknya sebagaimana dalam
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang menyatakan
bahwa “Perawat berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan standar pelayanan keperawatan, mendapatkan informasi yang
benar, lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya mengenai kondisi atau penyakit pasien,
agar perawat tidak melakukan kesalahan/kelalaian dalam menentukan diagnosa penyakit
pasien dan tidak salah menentukan obat yang akan diberikan padanaya, menolak keinginan
pasien yang tidak sesuai dengan standar pelayanan keperawatan serta perawat berhak
mendapatkan imbalan jasa dari pelayanan yang diberikan oleh pasien dan memperoleh
fasilitas kerja sesuai dengan standar”. Jika perawat melakukan suatu kesalahan atau kelalaian
yang menyebabkan pasien mengalami kerugian dalam menjalankan praktik mandiri perawat,
maka perawat harus bertanggung jawab untuk menerima sanksi administrasi sebagaimana
dalam Pasal 58 Ayat. (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 21,
Pasal 24 Ayat (1), dan Pasal 27 Ayat (1) dikenai sanksi administrasi; Ayat (2) Sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa : a) teguran lisan; b)
peringatan tertulis; c) denda dministrative dan; d) pencabutan izin praktik; Ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi hukum sebagaimana dimaksud
pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu, terkait hukuman/pidana yang
mengatur kelalaian berat yang menimbulkan luka berat dan kematian diatur dalam pasal 84
ayat 1 Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan ayat 2 Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.

39
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kemajuan ilmu pengetahuan menuntut perawat untuk memiliki wawasan tentang
hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan, hal ini dimaksudkan agar perawat
mempunyai konsistensi dalam setiap tidakan sehingga dapat melindungi perawat terhadap
tuntutan hukum. Hukum dalam keperawatan berfungsi untuk menetapkan batasan tanggung
jawab dan tanggung gugat serta batas otonomi perawat sesuai dengan standar asuhan
keperawatan. Hukum keperawatan juga mengatur mengenai hukuman pelanggaran atas
kelalaian yang dilakukan oleh perawat.

40
Pemikiran bahwa perawat perlu mempunyai landasan hukum untuk mengatur profesi
secara utuh mencakup pendidikan, pelayanan dan penelitian serta kehidupan keprofesian
mendorong perawat yang Bersatu dalam PPNI untuk memiliki UU Keperawatan. UU
Keperawatan merupakan payung hukum yang mengatur masalah Pendidikan keperawatan,
kompetensi, registrasi dan lisensi, praktik keperawatan, hak dan kewajiban, oraganisasi
profesi perawat, kolegium, konsil keperawatan serta pembinaan dan pengembangan tenaga
keperawatan. Dibandingkan dengan UU Keperawatan di negara lain, UU Keperawatan di
Indonesia masih belum dipraktikan secara maksimal ditandai dengan pembuatan registrasi
yang di negara lain ditangani oleh konsil keperawatan, di Indonesia registrasi masih
dipayungi oleh MTKI. Dibidang Pendidikan di negara lain sudah diterapkan ketentuan
minimal menjadi perawat professional adalah bergelar sarjana keperawatan, sedangkan yang
bergelar vocasional bertugas secara teknis dibawah pengawasan perawat professional.
Perundang-undangan merupakan aturan berisi norma dan bersifat mengikat, universal,
dan komprehesif. Tujuan dari undang-undang terkait keperawatan yaitu agar profesi perawat
dan lembaganya lebih kuat, perawat dan pasien terlindungi, tugas dan tanggungjawab
perawat jelas dan tidak terjadi multitafsir, serta perawat diakui di negara lain. Dasar hukum
perundangan keperawatan yaitu adanya UU No. 32 1996 tentang tenaga Kesehatan, UU No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan.
Di dalam Peraturan Perundang-Undangan terkait Keperawatan mengatur fungsi dan
tugas utama dan tambahan perawat, serta kelalian dan malpraktik yang diakibatkan.
Kelalaian diartikan sebagai sebuah kegagalan dalam menggunakan perawatan yang secara
rasional bijaksana dimana seseorang yang dengan kehati-hatian tidak akan melakukannya
pada kondisi yang sama (Black’s Law Dictionary, 1979; JCAHO, 2002 dalam Weld & Bibb,
2009). Berbeda dengan hal tersebut, konsep malpraktik sering digunakan unttuk merangkul
semua tanggung jawab yang menghasilkan perilaku yang timbul dari pemberian layanan
professional, termasuk, tetapi tidak terbatas pada kelalaian, kesalahan yang disengaja,
pelanggaran kontrak yang menjamin hasil terapeutik tertentu, pengungkapan informasi
rahasia, prosedur postmortem yang tidak sah, kegagalan untuk mencegah terjadinya cedera
pada non-klien tertentu, dan pencemaran nama baik (King, 1986 dalam Weld & Bibb, 2009).
Hukum dalam keperawatan mengarahkan perawat agar tetap dalam koridor yang benar
menurut standard keperawatan dalam rangka melindungi perawat itu sendiri serta pasien

41
sebagai klien. Standar keperawatan menjadi dasar dalam praktek keperawatan, yang meliputi
standar pelayanan, standar profesi dan standar SOP dengan tetap mempertimbangkan kode
etik profesi keperawatan (UU Keperawatan No.38 tahun 2014). Bila terjadi pelanggaran
terhadap standar keperawatan, dapat dikenai sanksi sesuai dengan UU Keperawatan No. 38
tahun 2014 seperti yang tersebut dalam pasal 58 dan 84, yaitu sanksi administrasi sampai
dengan penjara paling lama 5 tahun.
4.2. Saran
Pengetahuan mengenai aspek hukum dalam keperawatan sangatlah penting terutama
bagi perawat. Perawat harus bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan
standard keperawatan dan kode etik seperti yang dituangkan dalam UU RI No. 38 tahun 2014
tentang Keperawatan. Setiap kelalaian perawat bisa berakibat fatal baik bagi perawat yang
nantinya akan menerima hukuman dan pasien yang akan menderita kerugian. Oleh karena
itu, perawat hendaknya dibekali oleh pengetahuan dan wawasan mengenai aspek hukum ini
sejak dalam Pendidikannya sehingga perawat paham betul mengenai aspek hukum.
Sosialisasi mengenai perubahan atau perkembangan hukum yagn berlaku juga sangat perlu
dilakukan oleh organisasi profesi sera institusi dalam rangka melindungi anggotanya dari
terjadinya hukuman atas kelalaian.

42
DAFTAR PUSTAKA

Akhir, F. (2019). Uji kompetensi perawat, mengapa tidak mengadopsi sistem luar negeri?
https://www.kompasiana.com/www.achirsamawa.com/5d4c42660d823035991da4e3/
uji-kompetensi-perawat-mengapa-tidak-mengadopsi-sistem-luar-negeri?page=1,
diakses pada 08 April 2020 pukul 20.01
Al-Haijaa, E. A., Ayaad, O., Al-Refaay, M., & Al-Refaay, T. (2018). Malpractice an updated
concept analysis and nursing implication in developing countries. IOSR Journal of
Nursing and Health Science, 7(1), 81-85. doi:10.9790/1959-0701078185
Ausmed. (October 17, 2016). What is negligence. Diambil April 7, 2020 dari
https://www.ausmed.com/cpd/articles/what-is-negligence
Austin, S. (2008). Seven legal tips for safe nursing practice. Nursing, 38(3), 34-39; quiz 39-
40
Canadian Nurses Protective society. (2004). Info law negligence. Diambil April 7, 2020 dari
https://www.cnps.ca/upload-files/pdf_english/negligence.pdf
Caulfield, A. (2010). The NHS Constitution may become a nurse’s best friend. Nursing
Standard, 24(21):14. doi: 10.7748/ns.24.21.14.s23
Croke, E. M. (2003). Nurses, negligence, and malpractice. Am J Nurs, 103(9), 54-63
Daly, J., Speedy, S., & Jackson, D. (2005). Professional nursing : Concepts, issues, and
challenges. Retrieved from https://ebookcentral.proquest.com
Davis, C. (2014). The importance of professional standards. Nursing Made Incredibly Easy!,
12(5): 4. doi: 10.1097/01.NME.0000452691.04516.96
Department of Health & Social Care. (2017). The NHS Constitution: the NHS belongs to us
all.https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/
attachment_data/file/480482/NHS_Constitution_WEB.pdf (diakses 17 April 2020)
Dewi, S. R. (2014). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta : Deepublish
Eileen, C. (2003). Nurses, Negligence, and Malpractice. American Journal of Nursing, 103,
54
Ellis J.R & Hartley, C.L. (2004). Managing and coordinating nursing care. Lippincott:
Williams & Wilkins
Ferrel, K., Wolters, K. (2015). Nurse’s legal handbook. ProQuest Ebook Central.
https://ebookcentral.proquest.com/lib/indonesiau-ebooks/detail.action?docID=4786277
Fuchsberg, J. (2020). Negligence in nursing. Diambil April 7, 2020 dari
https://www.fuchsberg.com/pa/medical-malpractice/nursing-malpractice/
Guido, G. W. (2010). Legal & ethical issues in nursing (5th edition). Boston, MA: Pearson.
Hamid, A.Y.S. (2015). Perjuangan panjang untuk Undang-Undang Keperawatan.
Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/ayanihamid/54f958f8a33311fc078b4c94/perjuangan-
panjang-untuk-undang-undang-keperawatan diakses pada 17 April 2020 pukul 15.09
WIB
Hope, I. (2018). Nursing Negligence and its impact in the nursing profession. Diambil April
7, 2020 dari https://www.rnspeak.com/nursing-negligence-and-its-impact-in-
thenursing-profession/
http://www.pdpersi.co.id/kegiatan/materi_uu382014/kebijakan_menkes diunggah pada
tanggal 08 April 2020
Husted, J. H., Husted, G., Scotto, C., & Wolf, K. (2014). Bioethical decision making in
nursing, fifth edition. Retrieved from https://ebookcentral.proquest.com
Is, S. M. (2017). Etika hukum kesehatan teori dan aplikasinya di Indonesia. Jakarta:
Pernadamedia Group
Jacoby, S. R., & Scruth, E. A. (2017). Negligence and the nurse :the value of the code of
ethics for nurses. Clinical Nurse Specialist Journal, 31, 4, 183-185
Jhon, Tingle., Alan, C., Jhon, W., Sons, I. (2013). Nursing law and ethics. ProQuest Ebook
Central. https://ebookcentral.proquest.com/lib/indonesiau-ebooks/detail.action?
docID=1407862
Kartika, S. D. (2012). Urgensi undang-undang tentang keperawatan. Negara Hukum.
Kartika, S. D. (2016). Urgensi undang-undang tentang keperawatan (urgency the law on
nursing). Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan,
3(1), 133-152
Lestari, T.R.P. (2014). Harapan atas profesi keperawatan di Indonesia. Jurnal DPR Kajian,
79(7): Moret 2074. http://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/548. Diakses
pada 17 April 2020 pukul 23.35 wib
Magnusson, R. (2017). Advancing the right to health: The vital role of law. WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data. Available at http://apps.who.int/iris (diakses 16 April
2020)
Marquis B.L. & Huston, C.J. (2013). Leadership roles and management functions in
nursing: theory and application: 7th Edition.
https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
84971372934&partnerID=40&md5=3ebbb82f4d44d89ed9d1ad09bf33fc5c
Murphy, R. (2004). Nurses negligence and malpractice calims. ASBN Update
National Council of State Boards of Nursing. (2010). Nurse practice act. Diakses dari http://
learningext.com/hives/c3ce5f555a/summary
National Council of State Boards of Nursing. (2011). What you need to know about nursing
licensure and boards of nursing. Chicago, IL: Author
Notoatmodjo, S. (2010). Etika dan hukum kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. (2007). Manajemen keperawatan : Penerapan dalam praktik keperawatan
profesioanal (Edisi 2). Jakarta : Salemba Medika
Parellangi, A. (2018). Home care nursing, aplikasi praktik berbasis bvidence – Based.
Jakarta: Andipublisher
Penn Nursing Science. (2012). History of nursing timeline. Diakses dari
www.nursing.upenn.edu/nhhc/Pages/timeline_1900-1929. aspx?slider1=1#chrome
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2016). Malpraktik Perawat. Diambil April 7,
2020 dari www. ppni. go. Id
Prihardjo, R. (2005). Konsep dan perspektif praktik keperawatan profesional. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Prihardjo, R. (2005). Konsep dan perspektif praktik keperawatan profesional. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Priyatno, D., & Aridhayandi, M. R. (2018). Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo,
Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014. Jurnal Hukum Mimbar Justitia.
https://doi.org/10.35194/jhmj.v2i2.36
Ridenour, N., & Santa-Anna, Y. (2012). An overview of legislation and regulation. In D. J.
Mason, J. K. Leavitt, & M. W. Chaffee (Eds.). Policy & politics in nursing and health
care (6th ed.). St. Louis, MO: Saunders
Rimawati. (2014). Aspek- aspek Hukum UU Keperawatan Indonesia.
https://www.slideshare.net/rimawatimhugm/aspek-aspek-hukum-uu-keperawatan-
indonesia-rimawati. Diakses pada 17 April 2020 pukul 22.05 wib
Russell, K. (2012). Nurse Practice Acts Guide and Govern Nursing Practice. Journal of
Nursing Regulation, 3(3): 36-42. doi:10.1016/S2155-8256(15)30197-6
Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi seminar tidak
diterbitkan
Seegerweiss. (2020). Nursing negligence. Diambil April 7, 2020 dari
https://www.seegerweiss.com/medical-malpractice/nurse-negligence-lawsuit/
Sohn, D. H. (2013). Negligence, genuine eror and litigation. International Journal of
Medicine, 6, 49-56
The Oshman Firm. (2020). Nursing negligence : Patient safety and care in the hand of
nurses. Diambil April 7, 2020 dari
https://www.oshmanlaw.com/medicalmalpractice/nursing-negligence/
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/1/1791.bpk (diakses
17 April 2020)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
https://kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor
%2038%20Tahun%202014.pdf (diakses 16 April 2020)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2009/36TAHUN2009UU.htm
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
https://ipkindonesia.or.id/media/2017/12/UU-No.-36-Th-2014-ttg-Tenaga-
Kesehatan.pdf
Weld K.K. & Bibb, S.C.B. (2009). Concept analysis: malpractice and modern-day nursing
practice. Nurs Forum, 44(1):2-10. doi:10.1111/j.1744-6198.2009.00121
Yoder-Wise P. (2014). Leading and managing in nursing. https://books.google.com/books?
hl=en&lr=&id=Dm_XBQAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=Leading+and+Managing+i
n+NursingE-Book&ots=Fj2x3oBOEJ&sig=eU-RSTdseO1e3gq4TPqk_sHIrRw

Anda mungkin juga menyukai