Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

MYASTHENIA GRAVIS

Pendamping:
dr. Rara Purbasari

Disusun oleh:
dr. Nabilla Sophianingtyas

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KECAMATAN CILINCING
PERIODE MEI– NOVEMBER 2023
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny SJ
Usia : 68 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Gg Lumbung , RW 008, Cilincing
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Pembiayaan : JKN
Tanggal Pemeriksaan : 18 Agustus 2023

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kedua kelopak mata turun sejak 1 minggu
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Posyandu Lansia RW 008 dengan keluhan kedua kelopak mata turun
sejak 1 minggu yang lalu. Pasien merasa bila pagi hari sehabis bangun tidur gejala berkurang
namun memburuk jika malam hari. Keluhan disertai dengan suara serak dan terkadang
kesulitan menelan. Pasien merasa lelah jika mengunyah makanan dan terkadang tersedak.
Keluhan berkurang jika pagi hari dan jika beristirahat.
Dalam 1 bulan terakhir pasien sering mengalami keluhan tersebut terutama jika kelelahan
bekerja. 2 minggu terakhir pasien merasakan terkadang kedua lengan lemas dan terkadang
nyeri dan lemas jika berjalan. Keluhan pandangan ganda, kelemahan pada ekstremitas
bawah, sesak, bicara pelo, penurunan berat badan disangkal. Pasien masih dapat melihat jika
kedua kelopak mata disangga oleh tangan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering mengalami keluhan serupa hilang timbul sejak tahun 2018. Awalnya,
pasien merasakan kedua mata sering berkedut dan terasa berat tahun 2015 dan keluhan
dirasakan semakin memberat. Tahun 2018 pasien pernah dirawat dengan gejala serupa
disertai sesak nafas di RSCM. Pasien pernah mendapatkan pemeriksaan EMG dan
didiagnosis Myasthenia Gravis,lalu pasien menjalani pengobatan rutin di RSCM namun
sempat terputus tahun 2020-2022.
 Riwayat Hipertensi : Sejak tahun 2017, rutin pengobatan
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat Jantung : disangkal

1
 Riwayat Trauma : disangkal
 Riwayat Epilepsi : disangkal
 Riwayat Kejang : disangkal
 Riwayat Stroke : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan serupa. Suami pasien memiliki riwayat
Stroke dan hipertensi. Saat ini suami berobat rutin ke RSUD Cilincing.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami, 1 anak , 1 menantu dan 2 orang cucu. Pasien memiliki 5
orang anak, 5 orang menantu dan 7 cucu. Pasien tinggal serumah dengan anak ke-3 dan
menantunya. Kelima anak pasien sudah menikah dan sudah tidak satu rumah dengan pasien.
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Pasien merupakan ibu rumah tangga. Suami
pasien bekerja sebagai pedagang. Untuk kebutuhan sehari-hari pasien mendapatkan uang
bulanan dari anak-anaknya.
Pasien mengatakan bahwa sebenarnya pasien merasa terganggu karena sakitnya. Pasien
merasa dirinya membebani suami dan anak-anaknya. Pasien juga kesulitan untuk beraktivitas
terutama jika sore hari. Pasien sempat putus asa saat Pandemi dan memutuskan untuk
menghentikan pengobatan namun keluhan berulang semakin parah. Saat ini pasien rutin
menjalani pengobatan di RSCM sebulan sekali.
Riwayat Kebiasaan
 Alkohol : disangkal
 Narkoba : disangkal
 Merokok : disangkal
 Promiskuitas : disangkal
 Olahraga : pasien jarang berolahraga
Anamnesis HEEADSSS

Home Tinggal di rumah pribadi di daerah Cilincing dengan suami, anak ke 3, 1


orang menantu dan 2 orang cucunya. Pasien memiliki kamar pribadi
dengan suaminya. Pasien memiliki MCK yang layak dan ventilasi yang
cukup

Education Pasien bersekolah sampai kelas 6 SD. Pasien tidak meneruskan


pendidikan karena keterbatasan biaya. Pasien rutin mengikuti pengajian
yang diadakan 1 minggu sekali di lingkungan rumahnya.

Eating Pasien makan 2x sehari semenjak sakit dengan nasi, lauk tempe, tahu,
ikan, telur dan sayuran. Pasien suka mengonsumsi makanan gurih dan

2
asin.

Activities Pasien sehari-hari mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti


menyapu, memasak dan mencuci. Di sela waktu pasien juga mengurus
cucu yang berusia 5 dan 3 tahun. Pasien selalu menyempatkan tidur siang
untuk beristirahat.

Drugs Tidak ada penggunaan NAPZA, rokok, alkohol.

Sexuality Pasien menikah satu kali dan berhubungan seksual dengan suaminya saat
ini.

Safety Pasien tidak bisa mengendarai kendaraan motor karena keterbatasan


pengelihatan. Terkadang pasien juga membutuhkan tongkat untuk
berjalan jika keluhan kambuh. Pasien berpergian dengan transportasi
umum.

Suicide Pasien kadang mengalami rasa sedih dan lelah dengan penyakitnya.
Pasien terkadang merasa tidak ada solusi untuk penyakitnya. Pasien juga
merasa lelah jika berobat karena jarak rumah sakit yang jauh dari
rumahnya. Pasien merasa putus asa saat pandemi karena kesulitan untuk
berobat.

1.3 Pemeriksaan Fisis


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5
Tanda-Tanda Vital
 Tekanan Darah : 140/70 mmHg

 Nadi : 90x/menit, Kuat, Reguler

 Suhu : 36,9ºC

 Pernapasan : 20x/menit, Torakoabdominal, Reguler, Dalam

Status Gizi
 Berat Badan : 98 kg

 Tinggi Badan : 167 cm

 Indeks Massa Tubuh : 35,1 kg/m2 (Obesitas I)

Status Generalis

3
Kepala : Normocephal, Tidak ada deformitas atau massa

Mata : Pupil isokor, Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya
langsung (+/+) dan tidak langsung (+/+), Sekret (-/-) Ptosis +/+

Hidung : Tidak ada deformitas atau sekret

Telinga : Normotia, Tidak ada deformitas atau tanda inflamasi pada telinga luar,
Sekret (-/-)

Leher : Pembesaran KGB (-), letak trakhea ditengah, tidak terdapat massa.

Thoraks (Cor)
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Thoraks (Pulmo)
 Inspeksi : Simetris pada keadaan statis dan dinamis
 Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus vokal dan fremitus taktil simetris
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : vesikular +/+, rhonki -/-

Abdomen
 Inspeksi : bentuk datar
 Auskultasi : bising usus (+)
 Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hepatomegali (-), splenomegali (-)
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen

Ekstremitas
 Akral hangat, sianosis (-), edema (-) pada kedua tungkai, CRT < 2 detik.

4
Status Neurologis
GCS :
E = 3, M = 6, V = 5 (Saat Pemeriksaan)

Tanda Rangsang Meningal :

Kanan Kiri

Kaku kuduk -

Kernig sign - -

Laseque sign - -

Brudzinski I -

Brudzinski II - -

Saraf Kranial

Kanan Kiri

N I (OLFAKTORIUS) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N II (OPTICUS)

Visus Normal Normal

Lapang Pandang Normal Normal

Warna Normal Normal

Refleks cahaya langsung (+) (+)

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III, IV, VI (OCULOMOTORIUS, TROCHLEARIS, ABDUCENS)

M. Obliqus inferior Normal Normal

M. Obliqus superior Normal Normal

5
M. Rectus inferior Normal Normal

M. Rectus superior Normal Normal

M. Rectus medial Normal Normal

M. Rectus lateralis Normal Normal

Refleks cahaya tidak


(+) (+)
langsung

N. V (TRIGEMINUS)

Sensorik

V1 Normal Normal

V2 Normal Normal

V3 Normal Normal

Motorik Normal Normal

Menggigit Normal Normal

Membuka rahang Normal Normal

N. VII (FACIALIS)

Sensorik (pengecapan 2/3


Tidak dilakukan
anterior lidah)

Motorik

Mengerutkan dahi Simetris

Mengangkat alis Simetris

Menggembungkan pipi Simetris

Mencucu Simetris

Meringis Simetris

N. VIII (VESTIBULOCOCHLEAR)

6
Gesekan jari Normal Normal

Detik jam Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Garpu Tala

Rinne Tidak dilakukan

Weber Tidak dilakukan

Schwabach Tidak dilakukan

Dix-Hallpike Tidak dilakukan

Romberg Tidak dilakukan

Post-pointing Tidak dilakukan

N. IX (GLOSSOPHARYNGEAL)

Refleks Menelan Normal Normal

Pengecapan 1/3 posterior


Tidak dilakukan
lidah

N.X (VAGUS)

Refleks Muntah Tidak dilakukan

Letak Uvula Tidak deviasi

N. XI (ACCESSORY)

Mengangkat bahu Baik Baik

Memalingkan kepala Baik Baik

N. XII (HYPOGLOSSUS)

Deviasi lidah Tidak ada deviasi

Atrofi lidah Tidak ada atrofi lidah

7
Pemeriksaan Motorik

Kanan Kiri
Kekuatan
Ekstremitas atas 4444 4444
Ekstremitas bawah 5555 5555
Klonus
Patella - -
Kaki - -
Refleks Fisiologis

Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Patella ++ ++
Achilles ++ ++

Refleks Patologis

Hoffmann - -
Tromner - -
Babinski + +
Chaddock - -
Schaefer - -
Gordon - -
Oppenheim - -

Pemeriksaan Sensorik

Kanan Kiri

Raba Halus

Ekstremitas atas Normal Normal

8
Ekstremitas bawah Normal Normal

Nyeri

Ekstremitas atas Normal Normal

Ekstremitas bawah Normal Normal

Suhu

Ekstremitas atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Getar

Ekstremitas atas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Otonom

BAB Normal

BAK Normal

Hidrosis (berkeringat) Normal

Koordinasi

Disdiadokokinesis Normal

Tes jari-hidung Normal

Tes Waternberg : Ptosis +/+


1.4 Pemerisaan Penunjang
Tanggal 16/08/2023

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Hemoglobin 12,6 12.0-15.0 g/dL
Hematokrit 38,9 36.0-46.0 %

9
Eritrosit 4.20 3.80-4.80 10.6 /mL
MCV 92.6 fL
MCH 30.0 Pg
Leukosit 32.4 g/dL
Trombosit 342 10.3/ml
Kreatinin darah 0.80 mg/dL
eGFR 78.7 mL/min/1.73 m2
Glukosa puasa 98 mg/dL
HbA1c 5.5 <5.7

10
Pemeriksaan EMG
Tanggal 01/03/ 2020

11
RNS Finding :
M. orbicularis oculi : tidak tampak decreament >10% pada stimulasi 3,5,7, 10 Hz pre dan
post exercise.

12
M digiti minini : tidak tampak decreament >10% pada stimulasi 3,5,7, 10 Hz pre dan post
exercise.
M. trapezius : tampak decreament >10% pada stimulasi 3,5,7, 10 Hz pre dan post exercise.

Kesan : Pemeriksaan RNS tampak sesuai dengan lesi neuromuscular junction pre dan post
sinaps.

1.4 Resume
Ny SJ 68 datang dengan keluhan kedua kelopak mata turun sejak 1 minggu yang lalu.
Keluhan disertai dengan suara serak, kesulitan menelan dan terkadang tersedak Keluhan
berkurang jika pagi hari dan jika beristirahat. Dalam 1 bulan terakhir pasien sering
mengalami keluhan tersebut . pasien merasakan terkadang kedua lengan lemas dan terkadang
nyeri dan lemas jika berjalan. Pasien sering mengalami keluhan serupa hilang timbul sejak
tahun 2018. Pasien didiagnosis Myasthenia Gravis dan menjalani pengobatan rutin di RSCM
namun sempat terputus tahun 2020-2022. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi.
Pasien tinggal bersama suami, 1 anak , 1 menantu dan 2 orang cucu. Pasien tinggal di
lingkungan padat penduduk. Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien pasien merasa
terganggu dan putus asa karena sakitnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 90x/mnt, Suhu 36,9 C,
pernafasan 20x/menit. Berat badan 98 kg dengan IMT 35,1 kg/m2 (0besitas). Pada status
neurologis didapatkan refleks fisiologis dan saraf cranialis dalam batas normal dan tidak ada
refleks patologis. Pada tes Watenrberg didapatkan kedua mata Ptosis +. Dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil pemeriksaan RNS tampak sesuai dengan lesi neuromuscular junction
pre dan post sinaps.

1.5 Diagnosis
Diagnosis klinik : Disfagia, Ptosis dextra dan sinista, Hipertensi

Diagnosis topis : Neuromuskular Junction

Diagnosis etiologis : Myasthenia Gravis

1.6 Tatalaksana
Farmakologis
 Pyridostigmine bromide 60 mg 2x1
 Nifedipine 30 mg 1x1
 Candesartan 1x1

13
Non-Farmakologis

 Istirahat cukup
 kurangi aktivitas berlebihan
 menjaga pola makan
 Konsumsi makanan rendah garam
 Rutin minum obat
 Olahraga ringan minimal 2x seminggu

1.7 Prognosis
● Ad Vitam : Dubia ad Bonam
● Ad Functionam : Dubia ad Bonam
● Ad Sanationam : Dubia

1.8 Follow-Up
Tanggal Tempat Hasil Follow-Up

31/08/2023 Kunjungan Rumah S: Kedua mata menutup dan terasa berat untuk
membuka mata. Nyeri pada pinggang menjalar hingga
kaki kanan. Suara serak disangkal

O: CM, 150/80 mmHg, HR 89 x/menit, RR


20x/menit, suhu 36.6ºC.
Status generalis ptosis +/+. ROM bebas.
A: Myasthenia gravis, Hipertensi, low back pain

14
P: Rujuk ke Dokter spesialis saraf RSCM

05/09/2023 via Telepon S: Kedua mata terasa berat dan tertutup, keluhan
kelemahan anggota gerak dan suara serak disangkal.
Pasien post kontrol di RSCM. Diberikan terapi
sertraline 1x 50 mg untuk mengurangi nyeri pinggang

O: Tidak dilakukan PF

06/09/2023 Kunjungan rumah S: Kedua mata terasa berat namun sudah dapat
membuka kedua kelopak mata sesekali. Nyeri
pinggang sudah membaik.

O: CM, 130/65 mmHg, HR 92x/menit, RR 20x/menit,


suhu 36.6ºC.
Status generalis dalam batas normal. ptosis +/+. ROM
bebas.

 P: Pyridostigmine bromide 60 mg 2x1


 Nifedipine 30 mg 1x1
 Candesartan 1x1
 Sertraline 1x 50 mg

15
16
BAB 1I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar, dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot
yng terjadi akan memburuk saat beraktivitas dan membaik setelah beristirahat. MG
disebabkan oleh adanya autoantibodi pada membran pascasinaps pada taut saraf otot
(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang banyak ditemukan pada serum pasien MG
adalah antibodi terhadap reseptor asetilkolin. Saat ini diketahui antibodi lain yang terdapat
pada pasien MG, yakni muscle-spesific kinase (MuSK) dan low-density lipoprotein
receptor-related protein (LRP4). Walaupun mekanisme timbulnya autoimun pada MG
masih belum diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor berperan dalam terjadinya
reaksi autoimun tersebut, yaitu jenis kelamin, hormon, dan kelenjar timus yang abnormal
pada hampir 80% penderita MG1,2,.
1.2 Etiologi
Kebanyakan pasien dengan MG menunjukkan sampel darah termasuk antibodi
terhadap reseptor asetilkolin. Dengan demikian, diperkirakan bahwa MG disebabkan oleh
reaksi autoimun. Dipercayai bahwa kelenjar timus menyebabkan atau mempertahankan
produksi antibodi ini karena biasanya pada orang dewasa yang sehat, ukuran kelenjar
timus kecil, namun pada beberapa pasien MG, ukurannya tidak normal atau bahkan
memiliki tumor kelenjar timus (timoma) (10-15%)3
1.3 Epidemiologi
Miastenia Gravis adalah penyakit neurologis yang langka dan memiliki kejadian dan
prevalensi yang bervariasi secara geografis. Insiden Miastenia Gravis telah meningkat di
seluruh dunia selama tujuh dekade terakhir. Prevalensi Miastenia Gravis diperkirakan 1
dalam 200.000 dari tahun 1915 hingga 1934, dan meningkat menjadi 1 per 20.000
setelahnya. MG termasuk penyakit yang jarang. Insidensnya hanya sekitar 1,7-21,3 per
100.000.000, dapat terjadi di semua usia dan jenis kelamin. Dari beberapa penelitian
diketahui gambaran bimodal berdasarkan jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah atau
sampai usia 50 tahun, lebih banyak perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan pada usia
diatas 50 tahun ditemukan laki-laki dengan rasio 3:2. Prevalensi paling tinggi pada
perempuan usia 20-23 tahun, sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun3
Dengan semakin meningkatnya kemampuan diagnosis, terapi, dan umur harapan
hidup, prevalensi MG semakin meningkat, yaitu 15-179:1.000.000 dengan sekitar 4,5%

17
bila dalam keluarga, saudara kandung atau orang tua, memiliki riwayat menderita MG atau
penyakit autoimun lainny4
1.4 Anatomi
Pada kondisi normal, tiap serat saraf memiliki beberapa cabang yang memberikan
rangsangan pada 3 hingga beberapa ratus serat otot rangka. Saraf pada ujung-ujungnya
membuat suatu sambungan dengan otot yang disebut neuromuscular junction atau
sambungan neuromuscular5
Bagian terminal saraf motoric melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal
bulb yang terbentang di antara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction (NMJ)6

Gambar 1.1 Neuromuscular Junction

A. Pre-Sinaps
NMJ merupakan suatu celah sinaptik yang berperan dalam transmisi saraf dari serabut
saraf ke permukaan sel otot melalui suatu neurotransmitter yaitu Asetilkolin (Ach).
ACh disimpan dalam vesikel-vesikel yang terdapat pada permukaan pre-sinaps.
Vesikelvesikel ACh tersusun dalam suatu tempat yang disebut “zona aktif” Ketika
18
potensial aksi mencapai ujung saraf terminal, kanal kalsium tipe P/Q akan aktif, Ca2+
akan menuju ke tepi celah presinaps, dan konsentrasi Ca2+ akan meningkat dengan
cepat sehingga akan memacu pelepasan isi vesikel ACh. Membran vesikel akan segera
di-reuptake setelah melepaskan ACh. Membran vesikel ini akan menyatu dengan
endosome pada ujung sel saraf dan vesikel baru yang berisi ACh akan muncul dari
Endosome7
B. Celah Sinaps
Celah antara ujung sel saraf dengan membran plasma sel otot disebut dengan celah
sinaps. Celah sinaps lebih kurang berjarak 50 nm. Matriks ekstraseluler dari celah
sinaps merupakan suatu kompleks protein yang mengatur sintesis dari protein post
sinaps dan mengatur konsentrasi dari asetilkolinestrase (AChE). Membran basalis dari
celah sinaps terdiri kolagen terdiri dari kolagen dan laminin. Laminin akan
membentuk ikatan dengan matriks ekstraseluler lainnya. Setelah dilepaskan dari
vesikel, ACh akan berdifusi dengan cepat melalui celah sinaps. AChE yang terletak
pada permukaan postsinaps akan menghidrolisis ACh sehingga konsentrasi ACh di
celah sinaps akan menurun dengan cepat. Proses ini bertujuan menjaga agar AChR
tidak teraktivasi lebih dari satu kali oleh Ach. AChE inhibitor antara lain piridostigmin
dan enrophonium. Obat-obatan ini akan memperpanjang durasi kerja ACh pada
membran post-sinaps. Sel Schwann pada ujung sel saraf diketahui mensekresi ACh
binding protein yang dapat menurunkan efektivitas ACh pada celah sinaps. Proses ini
juga bertujuan untung memodulasi transmisi pada celah sinap. Celah sinaps merupakan
jarak antara membran pre-sinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar
antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan
tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular
secara difusi7
C. Post Sinaps
ACh pada celah sinaps akan berikatan dengan AChR pada permukaan membran post-
sinaps. Ikatan ini akan membuka kanal ion AChR dan menyebabkan masuknya kation
terutama Na ke sel otot yang akan memicu terjadinya depolarisasi. Kontraksi otot akan
terjadi apabila depolarisasi sudah mencapai batas maksima7
D. Reseptor Asetilkolin
AChR otot manusia memiliki dua subtipe, yaitu AChR yang terdapat pada janin dan
manusia dewasa; dengan begitu antibodi antiAChR bersifat heterogen. AChR janin
terdiri dari empat subunit alam struktur pentameric dengan 2a: : :  stoikiometri,

19
sedangkan AChR dewasa terdiri dari 2a: : : , subunit  pada janin digantikan oleh
subunit 7

1.5 Fisiologi
Pada orang normal, pada saat impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membrane postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir/end plate potential
(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot
yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesteras. Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-
kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium
ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post
sinaptik. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein sub unit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing 1 protein beta, delta, dan gamma.
Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati
saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik
Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot
yang disebut excitatory postsynaptic potential. Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya
menyebabkan kontraksi otot7
1.6 Klasifikasi
Klasifikasi MG tergantung pada jenis gambaran klinis dan jenis antibodi yang terlibat,
MG dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai subkelompok. Setiap kelompok merespon

20
secara berbeda terhadap pengobatan dan karenanya membawa nilai prognostik, adapun
klasifikasi MG antara lain8:
A. MG onset dini, usia saat onset kurang dari 50 tahun dengan hiperplasia timus,
B. MG onset lambat, usia saat onset lebih dari 50 tahun dengan atrofi timus,
C. MG terkait timoma,
D. MG dengan antibodi anti-MuSK,
E. MG Okular, gejala hanya dari otot periocular,
F. MG tanpa antibodi AChR dan MuSK yang terdeteks
1.7 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi pada MG tergantung pada jenis antibodi yang ada. Pada n-
AChR MG, antibodi adalah subtipe IgG1 dan IgG3. Antibodi ini mengikat reseptor n-ACh
yang ada di membran postsinaptik otot rangka dan mengaktifkan sistem komplemen yang
mengarah pada pembentukan membrane attack complex (MAC). MAC menyebabkan
degradasi pada reseptor, dan dapat memblokir pengikatan ACh ke reseptornya atau dengan
meningkatkan endositosis reseptor n-ACh yang terikat antibodi8.

Gambar 1.2 Patofiosologi Antibodi Anti Asetikolin pada Miastenia Gravis

21
Pada Gambar. diatas dapat dilihat bahwa antibodi mengikat AChR dan mengaktifkan
kaskade komplemen, menghasilkan pembentukan MAC dan penghancuran lokal dari
membran NMJ postsinaptik (A). Hal tersebut mengubah morfologi membran postsinaptik
NMJ sehingga menghasilkan permukaan yang relatif datar (B). Antibodi kemudian
mengikat molekul AChR pada membran pascasinaps NMJ. Molekul AChR cross-linked
ini diinternalisasi dan didegradasi, sebuah proses yang dikenal sebagai modulasi antigenik,
sehingga mengurangi jumlah molekul AChR pada membran postsinaptik (C). Akhirnya,
antibodi mengikat situs pengikatan ACh dari AChR, menyebabkan blok fungsional AChR
dengan mengganggu pengikatan ACh yang dilepaskan di NMJ, (D). Hal ini menyebabkan
kegagalan transmisi neuromuskular dan oleh karena itu mengurangi kontraksi otot9

Gambar 1.3 Pathway Miastenia Gravis


1.8 Gambaran Klinis
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Keluhan
kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas dan mengalami
perbaikan dengan istirahat. Ciri-cirinya meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta
kelemahan otot pernapasan dan anggota gerak. Sekitar setengah pasien memiliki keluhan
okular. Yang lain dapat mengeluhkan gejala pernapasan, disarthria, disfagia, atau
kelelahan dan kelemahan otot anggota gerak. Kelemahan otot okular biasanya bilateral dan
asimetris serta menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya. Kelemahan alat anggota gerak
dan batang tubuh biasanya distribusinya lebih banyak di proksimal dibandingkan di distal.
22
Otot quadriseps, triseps, dan ekstensor leher tampak lebih dulu terkena. Gejala yang paling
serius adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan interkostal.
Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala bulbar berat, dapat memuncak dan disebut
krisis miastenik dan membutuhkan ventilasi mekanik10,11

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat


diklasifikasikan sebagai berikut12
Class Description
I Ada kelemahan otot-otot okular, kelemahan
mungkin timbul saat menutup mata.
Kekuatan otot-otot lain normal
II Kelemahan otot ringan pada otot selain otot
okular. Mungkin juga mengalami kelemahan
otot okular dengan berbagai tingkat
keparahan.
IIa Terutama menyebabkan kelemahan ringan
pada otot pada tungkai bawah, otot aksial,
ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal
IIb Terutama menyebabkan kelemahan ringan
pada otot orofaringeal, otot pernapasan, atau
keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot tungkai, otot aksial,
atau keduanya
III Kelemahan sedang pada otot selain otot
okular, mungkin juga menyebabkan
kelemahan otot okular dengan berbagai
tingkat keparahan.
IIIa Terutama menyebabkan kelemahan sedang
pada otot pada tungkai bawah, otot aksial,
ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal.
IIIb Terutama menyebabkan kelemahan sedang
pada otot orofaringeal, otot pernapasan, atau
keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot tungkai, otot aksial,
atau keduanya.
IV Kelemahan otot berat pada semua otot selain
otot okular. Mungkin juga mengalami
kelemahan otot okular dengan berbagai
tingkat keparahan.
IVa Terutama menyebabkan kelemahan berat
pada otot pada tungkai bawah, otot aksial,
ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal.
IVb Terutama menyebabkan kelemahan berat
pada otot orofaringeal, otot pernapasan, atau
keduanya. Mungkin juga mengalami
23
kelemahan pada otot tungkai, otot aksial,
atau keduanya.
V Memerlukan intubasi, dengan atau tanpa
ventilasi mekanis.

1.9 Diagnosis
A. Anamnesis
Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan pada mata yaitu melihat
double atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan
mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium selanjutnya
muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk bicara
Kelemahan otot di bagian kepala juga dapat terjadi, disertai dengan kelemahan
fleksi dan ekstensi kepala. Kelemahan anggota gerak biasanya lebih berat pada segmen
proksimal dibandingkan dengan segmen distal dengan gejala khas kelemahan biasanya
lebih baik pada pagi hari dan memburuk seiring berjalannya hari (sore atau malam
hari) dan diperberat dengan aktivitas dan diperingan dengan istirahat13
B. Pemeriksaan Fisik 14
1. Wertenberg Test
Kelemahan otot levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk melihat
ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk
menutup mata secara maksimal
2. Edrophonium test
Pemeriksaan edrophonium atau tensilon menggunakan inhibitor
asethylkolinersterase short-acting. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan
reversibilitas dari kelemahan otot. Sensitivitas dari pemeriksaan ini mencapai 88%
pada MG seluruh tubuh dan 92% pada MG okular, dengan spesifitas sebesar 97%
baik MG seluruh tubuh maupun MG ocular. Efek samping dari edrophonium
adalah salivasi, berkeringat, mual, nyeri perut, dan fasikulasi otot. Hipotensi dan
bradikardia juga dapat terjadi, namun jarang terjadi. Diperlukan untuk memberikan
atropine sebagai profilaksis dikarenakan risiko dari kejadian bradykinesia dan
cardiac arrest

24
Gambar 1.4 (Kiri) ptosis pada pasien MG sebelum tensilon test, (Kanan)
perbaikan ptosis setelah tensilon test

C. Pemeriksaan Penunjang15
1. Pemeriksaan Neurofisiologi
Pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) dan Single-fiber electromyography
(SFEMG) merupakan pemeriksaan yang paling umum dilakukan pada pemeriksaan
neurofisiologi. Namun hasil pemeriksaan dapat dikaburkan pada pasien dengan
pengobatan dosis tinggi inhibitor acethylcholinesterase. RNS dilakukan dengan
stimulasi sebesar 3-10 Hz yang dapat menghasilkan decrement yang progresif pada
amplitudonya. Pemeriksaan ini positif pada kurang lebih 80% kasus MG dengan
gejala seluruh tubuh, namun dapat negatif pada 50% kasus MG okular. Sensitifitas
pemeriksaan ini sekitar 75% (Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo, 2021).
Spesifitas dari RNS bervariasi dan tergantung dari saraf mana yang diperiksa.
SFEMG merupakan pemeriksaan diagnostik yang paling sensitif dan sebaiknya
dilakukan pada RNS normal dan kelainan neuromuscular junction
Sensitivitas dari SFEMG yaitu sebesar 99% pada MG yang mengenai seluruh
tubuh dan sekitar 30% pada MG okular (Sathasivam, 2014; Gilhus, et al, 2015
dalam Tugasworo, 2021). Pada pemeriksaan SFEMG ini dapat merekam potensial
aksi dari 2 serabut otot yang diinervasi oleh axon yang sama (Gilhus, et al, 2015
dalam Tugasworo, 2021). Spesifitas dari SFEMG bervariasi dan pemeriksaan yang
abnormal dapat terlihat pada kondisi lain misalnya mitochondrial cytopathy, motor
neurone disease atau radikulopati
2. Imaging
Semua pasien MG sebaiknya dilakukan pemeriksaan computed tomography
(CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari thorax untuk mencari adanya
thymoma maupun hyperplasia thymus. Imaging mediastinum sebaiknya diulang
apabila MG relaps setelah periode yang stabil untuk mengeksklusi perkembangan
dari thymoma, di mana dapat terjadi belakangan

1.10 Tatalaksana17
Pyridostigmine (golongan asetilkolinesterase inhibitor) bekerja menghambat
hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik. Obat ini akan meningkatkan interaksi antara
asetilkolin dan reseptornya di NMJ.

25
Dosis awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam di siang hari (while awake).
Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg setiap 3 jam. Efek klinis akan muncul
sekitar 15-30 menit sejak dikonsumsi dan bertahan hingga 3-4 jam. Efek samping yang
paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan seperti kram perut, BAB
cair, dan kembung. Obat ini merupakan kontraindikasi relatif pada krisis miastenia
karena dapat meningkatkan sekresi cairan di saluran pernapasan.
A. Imunosupresan
1. Kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap MG belum diketahui, namun
kortikosteroid dianggap imunosupresan paling efektif untuk MG. Ada 2 cara
pemberian kortikosteroid pada MG yaitu regimen induksi cepat dengan dosis
tinggi dan regimen titrasi lambat dengan dosis rendah. Regimen titrasi lambat
dengan dosis rendah digunakan pada pasien MG ringan hingga sedang. Dosis
Prednison yang diberikan adalah 10 mg/hari dan ditingkatkan 10 mg setiap 5-7
hari hingga dicapai dosis maksimal 1,0-1,5 mg/kg BB/hari. Regimen induksi
cepat diberikan Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg BB/hari selama 2-4
minggu. Setelahnya dilakukan penggantian cara pemberian menjadi selang
sehari atau tetap meneruskan dosis tinggi setiap hari.
2. Azathioprine
Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang menghambat sintesis
purin sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA, replikasi sel, dan fungsi
limfosit. Respons MG terhadap terapi Azathioprine berkisar antara 70-91%.
Obat ini diberikan pada pasien MG yang masih menunjukkan gejala meskipun
telah diterapi dengan kortikosteroid, pasien dengan kontraindikasi relatif
terhadap kortikosteroid, serta pasien yang mengalami efek samping berat
dengan terapi kortikosteroid. Dosis awal adalah 50 mg/hari. Dosis dapat
dinaikkan dengan penambahan 50 mg setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis
2-3 mg/kg BB/hari
3. Cyclosphorine
Mekanisme kerja cyclosporine adalah mempengaruhi penghantaran
sinyal calcineurin, menekan sekresi sitokin dan mempengaruhi aktivasi sel T
helper. Dosis awal sebesar 3 mg/kg BB/hari
B. Imunoterapi Kerja Cepat
1. Plasma Exchange

26
Indikasi PLEX adalah krisis miastenia, ancaman krisis pada pasien
dengan MG berat, serta pasien MG ringan-sedang dengan perburukan gejala
klinis atau tidak berespon terhadapobat imunosupresan. Mekanisme kerja
PLEX pada MG adalah dengan menghilangkan autoantibodi patogenik dan
sitokin yang bersifat larut dalam plasma. Regimen standar adalah 5 kali
prosedur PLEX dimana 1 volume plasma diganti setiapkali prosedur dilakukan.
PLEX dilakukan selang sehari. Cairan pengganti plasma yang digunakan
adalah albumin 5% yang ditambah dengan kalsium glukonat untuk mencegak
hipokalsemia akibat efek sitrat.
2. Immunoglobulin Intravena
Indikasi IVIG sama dengan indikasi PLEX untuk pasien MG. Dosis induksi
sebesar 2 g/kg BB dibagi menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit
kepala, anafilaksis, stroke, infark miokard, deep venous thrombosis, dan emboli
pulmo
C. Timektomi
Pada MG dengan timoma, harus dilakukan pembuangan tumor dan seluruh
jaringan timus. Timektomi pada MG tanpa timoma telah menjadi standar terapi,
meskipun belum ada bukti ilmiah mengenai efektivitasnya

Strategi Pemilihan Terapi kombinasi Obat Anti Hipertensi

Obat anti hipertensi terdiri dari beberapa jenis, sehingga memerlukan strategi terapi untuk
memilih obat sebagai terapi awal, termasuk mengkombinasikan beberapa obat anti hipertensi. Penilaian
awal meliputi identifikasi faktor risiko, komorbid, dan adanya kerusakan organ target memegang peranan
yang sangat penting dalam menentukan pemilihan obat anti hipertensi. Dalam tatalaksana hipertensi peran
modifikasi gaya hidup tetap memegang peranan penting. Modifikasi gaya hidup harus tetap dilanjutkan
meskipun pasien sudah diberikan obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup dapat mempotensiasi kerja
obat anti hipertensi khususnya penurunan berat badan dan asupan garam. Perubahan gaya hidup juga
penting untuk memperbaiki profil risiko kardiovaskuler disamping penurunan TD. 6

Target Terapi Hipertensi


Target dari terapi hipertensi tergantung dari populasi pasien, tetapi guideline merekomendasikan
terhadap populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan darah adalah < 140/90 mmHg untuk
hipertensi uncomplicated dan target yang lebih rendah <130/80 mmHg untuk mereka yang berisiko tinggi
yaitu pasien dengan diabetes, penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler dan penyakit ginjal kronik.
Khusus untuk JNC VIII, pasien yang berusia <60 tahun target kendali TD adalah sama yaitu <140/90
mmHg dan yang berusia 60 tahun adalah <150/90 mmHg.7

27
Pilihan Terapi Inisial
Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer. Sebelumnya JNC
VII merekomendasikan thiazide dosis rendah. JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB,
diuretic thiazide dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras kulit hitam. Terapi awal untuk ras
kulit hitam yang direkomendasikan adalah diuretic thiazide dosis rendah atau CCB. Di lain pihak
guideline Eropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACEI, ARB,
diuretic thiazide dosis rendah, CCB atau -blocker berdasarkan indikasi khusus.
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan etnik dan ras merupakan faktor
determinan penting dalam menentukan pilihan obat awal pada hipertensi. Hal ini selanjutnya diadaptasi
oleh guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah RAAS bersifat lebih aktif pada usia muda
jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam. Jadi guideline UK NICE merekomendasikan ACE-
inhibitor atau ARB pada usia <55 tahun, bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk untuk usia >55
tahun (bukan ras kulit hitam) dan ras kulit hitam dengan semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi
ini adalah:
(1) Diuretics thiazide lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien dengan
risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung;
(2) ACE inhibitor atau ARB tidak digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini -blocker lebih
dipilih.
Pengobatan antihipertensi dengan terapi farmakologis dimulai saat seseorang dengan hipertensi
tingkat 1 tanpa faktor risiko, belum mencapai target TD yang diinginkan dengan pendekatan
nonfarmakologi.

28
Rekomendasi Untuk Kombinasi Obat Anti hipertensi
Tingginya tekanan darah merupakan salah satu faktor yang menentukan dimulainya terapi
kombinasi. Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan target TD.
Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, maka dapat dilakukan peningkatan
dosis obat awal atau dengan menambahkan obat kedua dari salah satu kelas (diuretik thiazide, CCB ,
ACEI , atau ARB ).4
Kombinasi dua obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD >20/10 mmHg di atas
target dan tidak terkontrol dengan monoterapi. Secara fisiologis konsep kombinasi 2 obat (dual therapy)
cukup logis, karena respon terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi.
Sebagai contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi oleh RAAS sehingga akan
membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi 2 golongan obat dosis rendah yang
direkomendasikan adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat RAAS+CCB. Penting harus
diingat jangan menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1 pasien yang sama.4
Keberhasilan monoterapi pada hipertensi stadium 1 dan 2 dibuktikan pada penelitian ALHAAT.
Sebaliknya pada penelitian Hypertension Optimal Treatment membuktikan bahwa keberhasilan
monoterapi hanya mencapai 25-40% pada hipertensi stadium 2 dan 3. Pada hipertensi stadium 2
umumnya membutuhkan terapi kombinasi dengan dua atau lebih obat antihipertensi. Terapi kombinasi
yang dianjurkan adalah diuretik dengan ACE-I, atau ARB atau Beta Blockers (BB), atau antagonis
kalsium. JNC 7 menyatakan bahwa walaupun target tekanan darah tercapai pada sebagaian besar pasien,
umumnya memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi. Menurut ESH 2007, untuk mencapai target
tekanan darah, monoterapi hanya efektif pada sebagian kecil pasien. Mayoritas pasien memerlukan lebih
dari satu macam obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Guideline terbaru
memperlihatkan bahwa kombinasi terapi diperlukan pada sebagian besar pasien untuk pencapaian target
tekanan darah. Guideline ESH-ESC 2013 merekomendasikan pemakaian 2 macam obat antihipertensi
pada pasien dengan TD yang signifikan tinggi dan mempunyai risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat
tinggi.5 Pada kondisi ini, kombinasi obat antihipertensi lebih dini dapat mempercepat pencapaian target
tekanan darah dan menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler.

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi (ESH-ESC 2013)5

29
Ada beberapa guideline yang dapat dipakai sebagai rujukan kapan kita memulai terapi
kombinasi dalam menangani pasien hipertensi. Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa rekomendasi
penggunaan terapi kombinasi pada hipertensi.
Alasan utama penggunaan anti hipertensi kombinasi dengan mekanisme obat yang berbeda
adalah untuk meningkatkan efikasi. Penggunaan dua atau lebih obat dengan mekanisme yang saling
melengkapi menghasilkan penurunan tekanan darah signifikan lebih besar daripada menggunaan
kombinasi obat dengan satu mekanisme. Pada sebagian besar pasien, penurunan tekanan darah dengan
satu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme counter-regulatory yang akan mengakibatkan
meningkatnya kembali tekanan darah. Dengan menargetkan dua sistem yang secara fisiologis saling
melengkapi, mekanisme counter-regulatory ini bisa dinetralisir sehingga menghasilkan penurunan
tekanan darah yang lebih besar.8
Tekanan darah bisa dikontrol dengan memilih secara selektif obat antihipertensi berdasarkan
mekanisme kerjanya. Sebagai contoh, penggunaan anti diuretik yang lama cenderung akan mengaktifkan
sistem RAA dan atau sistem saraf simpatis, yang akan meningkatkan tekanan darah. Pengontrolan
tekanan darah dapat dicapai lagi dengan menambahkan suatu agen yang melengkapi mekanisme kerja
obat sebelumnya seperti ARB atau ACEI.8
Seperti yang telah direkomendasikan oleh guideline ESHESC, antihipertensi yang berbeda
dapat dikombinasikan untuk meningkatkan penurunan tekanan darah. Gambar di bawah ini menunjukkan
kombinasi obat antihipertensi yang rasional. Garis tebal menyatakan kombinasi obat yang disarankan.

Gambar 2. Rekomendasi ESH-ESC untuk kombinasi obat anti hipertensi. 3


.

30
Guideline JNC VIII merekomendasikan strategi penentuan titrasi dosis atau kombinasi obat anti
hipertensi pada pasien yang tidak bisa mencapai target TD (tabel 4). Untuk pemilihan obat yang bias
dikombinasikan JNC VIII merekomendasikan kombinasi antara ACEI atau ARB dengan CCB dan atau
thiazid.4

Tabel 4. Strategi penentuan dosis obat antihipertensi4

Konsep ini sama dengan guideline UK.NICE yang pertama merekomendasikan kombinasi ACE-
inhibitor atau ARB dengan CCB (A+C), seperti yang terlihat pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi Esensial, Terapi Awal dan Kombinasi (Guideline
UK. NICE)9

31
Kombinasi CCB dan ACEI
Kombinasi CCB dan ACEI menghasilkan pengontrolan tekanan darah yang efektif karena
memakai dua mekanisme kerja yang berbeda yang saling melengkapi. CCB menurunkan tekanan darah
melalui vasodelatasi perifer. CCB juga secara simultan mengaktifkan Sympathetic Nervous System (SNS)
melalui peningkatan aktivitas renin dan produksi angiotensin-II. Hal ini akan mempengaruhi efektifitas
dari penurunan tekanan darah oleh CCB.10
Penambahan ACEI pada CCB menetralkan efek stimulasi RAS oleh CCB (Mistry, 2006). Lebih
jauh lagi, aktivitas ACEI sebagai anti hipertensi diperkuat oleh negative sodium balance yang diinduksi
oleh CCB . Pada berbagai penelitian klinik didapatkan baik CCB maupun ACEI memiliki efek positif
pada kardiovaskuler outcome, sehingga kombinasi ACEI dan CCB adalah rasional dan memeliki
efektiftas yang tinggi.
Efek samping CCB yang paling sering dijumpai adalah edema perifer. Efek ini terjadi karena
dilatasi arteriolar lebih besar daripada sirkulasi vena sehingga meningkatkan transkapiler gradient dan
kebocoran kapiler. Penambahan ACEI dapat mengurangi efek ini karena ACEI menyebabkan delatasi
baik arteri maupun vena sehingga tekanan transkapiler kembali normal. Hal ini menyebabkan penurunan
edema perifer yang di induce oleh CCB.11
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa kombinasi ACEI dan CCB memiliki beberapa
keuntungan, antara lain : effektif dalam menurunkan tekanan darah, meningkatkan pencapaian tekanan
darah yang terkontrol dan mempunyai efek proteksi terhadap kerusakan organ target (ESH, 2007). Tetapi
kombinasi obat antihipertensi ini ini tetap memerlukan penelitian yang lebih luas untuk melihat
outcomenya.

Beberapa penelitian kombinasi terapi CCB dan ACEI


Dari Network meta-analysis didapatkan bahwa kombinasi ACEI/CCB menempati ranking
pertama karena berbagai keuntungannya. Meta analisis dari 63 penelitian yang melibatkan 36.917 sampel
yang menunjukkan kombinasi ACEI/CCB urutan obat antihipertensi dalam hal menurunkan mortalitas. 12
Penelitian ASCOT (A randomised controlled trial of the prevention of CHD and other vascular
events by BP and cholesterol lowering in a factorial study design) melaporkan bahwa kombinasi
ACEI/CCB dapat menurunkan mortalitas kardiovaskuler maupun total mortalitas lebih kuat daripada
kombinasi atenolol/thiazide (gambar 4). Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kombinasi ACEI/CCB
dapat secara cepat dan kuat menurunkan TD pada pasien dengan tekanan darah diatas 160 mmHg.13

32
Gambar 4. Mortality Reduction with Amlodipine Perindopril stronger than classical regimen.13

Karpov dkk pada tahun 2015 melaporkan bahwa kombinasi CCB/ACEI dapat mempertahankan TD
selama 24 jam (gambar 5), dan ACEI/CCB juga menurunkan TD dalm waktu 3 bulan dan bertahan dalam
jangka waktu yang lama.14

Gambar 5. Perindopril/Amlodipine provides full 24-hour blood pressure control14

33
BAB III

ANALISA KASUS

Pasien seorang wanita usia 68 tahun keluhan kedua kelopak mata turun sejak 1 minggu
yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan terkadang
disertai dengan suara serak dan kesulitan menelan, kedua lengan lemas dan kaki terasa lemas
dan nyeri Ketika berjalan. Keluhan membaik jika pagi hari dan setelah beristirahat . Pasien
terdiagnosis myasthenia gravis sejak tahun 2018 dan pernah mengalami krisis myasthenia
gravis 1 kali. Pasien menjalani pengobatan rutin namun sempat tertunda selama 2 tahun.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak tahun 2015. Saat ini, pasien rutin berobat
sebulan sekali. Pasien tinggal Bersama suami dan dua orang anaknya di lingkungan padat
penduduk. Pasien merasa sedih dan putus asa dengan penyakit yang dideritanya.

Pemeriksaan fisis pada pasien menunjukkan status generalis didapatkan hipertensi yaitu
tekanan darah 140/70 , sementara pada pemeriksaan fisik dan status neurologis didapatkan hasil
positif pada tes waternberg. Dari hasil pemeriksaan darah dalam batas normal dan hasil
pemeriksaan EMG menunjukan Pemeriksaan RNS tampak sesuai dengan lesi neuromuscular
junction pre dan post sinaps. Tidak dilakukan pemeriksaan radiologi dan CT Scan untuk
mengkonfirmasi adanya kelainan organ.

Berdasarkan data-data yang telah disampaikan diatas,berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik didapatkan pasien terdiagnosis Myasthenia Gravis dan memenuhi kriteria
klasifikasi myasthenia gravis derajat II b atas dasar adanya kelemahan pada otot penglihatan
dan kelemahan pada kedua tungkai yang hilang timbul sejak 1 bulan terakhir. Hal ini telah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan EMG yang meunjukan adanya lesi pada neuromuscular
junction di pre dan post sinaps.
Tatalaksana non farmakologi yang diberikan yaitu anjuran untuk beristirahat yang cukup, aktivitas

ringan dan olahraga ringan minimal 2 minggu sekali, menjaga pola makan dan diet rendah
garam. Hal ini sesuai dengan anjuran untuk pencegahan perburukan penyakit pada lansia
dengan hipertensi. Istirahat yang cukup dianjurkan untuk menghindari perburukan dari

34
penyakit myasthenia gravis. Tatalaksana farmakologis oleh dr. spesialis saraf diberikan
pyridostigmine bromide 2x60 mg sebagai maintenance penyakit pasien. Obat ini diyakini
efektif bekerja meningkatkan interaksi antara asetilkolin dan neuromuscular junction di
sinaps saraf. Selain itu pasien diberikan terapi kombinasi hipertensi golongan CCB dan
ARB yaitu nifedipine dan candesartan. Hal ini sesuai dengan Guideline ESH-ESC 2013
merekomendasikan pemakaian 2 macam obat antihipertensi pada pasien dengan TD yang
signifikan tinggi dan mempunyai risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat tinggi. Pada
kondisi ini, kombinasi obat antihipertensi lebih dini dapat mempercepat pencapaian target
tekanan darah dan menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler.

Pada follow up selanjutnya, didapatkan keluhan kelemahan pada otot mata masih belum
membaik dan didapatkan nyeri pinggang menjalar hingga kaki. Pemeriksaan fisik didapatkan
TD 150/80 mmHg setelah minum obat hipertensi rutin, hal ini menunjukan tekanan darah
yang cenderung stabil dengan pengobatan. Setelah kontrol bulanan pasien mendapatkan
tambahan obat sertraline 1x 50 mg untuk meredakan nyeri pinggang. Menurut literatur,
golongan SSRI dapat digunakan sebagai tatalaksana pada nyeri yang kronik. Serotonin
adalah neurotransmitter monoamine yang memainkan peran utama dalam nosisepsi dan
pengaturan mood. Perubahan di Sistem 5-hydroxytryptophan (5HT) telah dilaporkan pada
pasien nyeri kronis. Dalam beberapa tahun terakhir, Reuptake Serotonin Selektif Inhibitor
(SSRI) telah disarankan sebagai pengobatan alternatif untuk nyeri kronis karena fakta bahwa
obat ini dapat ditoleransi dengan lebih baik. Pemililah SSRI diyakini memiliki efek sekunder
yang lebih sedikit dibandingkan antidepresan lain seperti antidepresan trisiklik. Meskipun
beberapa uji klinis telah dilakukantelah dipublikasikan, efektivitas SSRI sebagai pengobatan
untuk kondisi nyeri masih belum dapat disimpulkan.

35
BAB IV
KESIMPULAN

Kasus ini adalah seorang Wanita lansia usia 68 tahun yang memiliki penyakit hipertensi dan
myasthenia gravis. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang EMG. Pasien mendapatkan terapi rumatan dengan pyridostigmine bromide 2x60 mg
untuk mencegah keparahan Myasthenia gravis, terapi kombinasi Nifedipine 30 mg dan
Candesartan 8 mg untuk mengurangi risiko kardiovaskuler dan terapi sertraline 1x50 mg sebagai
alternatif penghilang rasa nyeri. Pasien telah diedukasi untuk beristirahat, aktivitas ringan dan
menjaga pola makan untuk mencegah kekambuhan penyakit dan menjaga kualitas hidup di masa
lansia .

36
DAFTAR PUSTAKA
1. McGrogan, A.; Sneddon, S.; de Vries, C.S. The Incidence of Myasthenia Gravis: A
Systematic Literature Review. Neuroepidemiology 2010
2. Patrick, J.; Lindstrom, J. Autoimmune Response to Acetylcholine Receptor. Science
1973
3. Okada, K.; Inoue, A.; Okada, M.; Murata, Y.; Kakuta, S.; Jigami, T.; Kubo, S.;
Shiraishi, H.; Eguchi, K.; Motomura, M.; et al. The Muscle Protein Dok-7 Is Essential
for Neuromuscular Synaptogenesis. Science 2006, 312, 1802–1805.
4. Zhang, B.; Tzartos, J.S.; Belimezi, M.; Ragheb, S.; Bealmear, B.; Lewis, R.A.; Xiong,
W.-C.; Lisak, R.P.; Tzartos, S.J.; Mei, L. Autoantibodies to Lipoprotein-Related
Protein 4 in Patients with Double-Seronegative Myasthenia Gravis. Arch. Neurol.
2012, 69, 445–451
5. MacDonald, B.K.; Cockerell, O.C.; Sander, J.W.; Shorvon, S.D. The Incidence and
Lifetime Prevalence of Neurological Disorders in a Prospective Community-Based
Study in the UK. Brain 2000, 123 (Pt 4), 665–676.
6. Somnier, F.E.; Engel, P.J.H. The Occurrence of Anti-Titin Antibodies and Thymomas:
A Population Survey of MG 1970–1999. Neurology 2002, 59, 92–98.
7. Tugasworo, D. Myastenia Gravis; Diagnosis dan Tatalaksana. Undip Press Semarang,
2018
8. Suresh AB, Asuncion RM. Myasthenia gravis [internet]. Philadelphia: StatPearls.
2022. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK 559331/
9. Jacob S. Myasthenia gravis—A review of current therapeutic options. Eur. Neurol.
Rev. 2018;1:86-92.
10. Drachman DB dan Amato AA. 2006. Myastenia Gravis and other Disease of the
Neuromuscular Junction. In : Hauser SL.ed. Harrison’s Neurology in Clinical
Medicine. San Fransisco: McGrawHill. Hal. 527-535.
11. Nicolle MW. 2002. Myasthenia Gravis. The neurologist. 8(1): 2-21.
12. Wang S, Breskovska I, Gandhy S, Punga AR, Guptill JT, Kaminski HJ. 2018.
Advances in autoimmune myasthenia gravis management. Expert Review of
Neurotherapeutics. 18(7): 573-588.
13. Pinzon R. 2009. Myasthenia Gravis. Cermin Dunia Kedokteran.172(36): 413-416
14. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, McConville. 2010. BMC Neurology. 10: 46.
15. Kesner VG, Oh SJ, DimachkieMM, Barohn RJ. 2018. Lambert-Eaton Myasthenic
Syndrome. Neurologic Clinics. 36(2): 379-394.
16. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimachkie MM, Barohn RJ. 2018. Treatment of
Myasthenia Gravis. Neurologic Clinics. 36(2):311-337
17. Chow CK, Teo KK, Rangarajan S, Islam S, Gupta R, Avezum A, et al. Prevalence,
Awareness, Treatment, and Control of Hypertension in Rural and Urban
Communities in High-, Middle-, and Low-Income Countries. JAMA.
2013;310(9):959-968

18. Elliot WJ. The economic impact of hypertension. J Clin Hypertens, 2003;5(3 Suppl
2):3-13

19. Mancia G, De Backer G, Dominiczak A; Management of Arterial Hypertension of


the European Society of Hypertension; European Society of Cardiology. 2007
Guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for the
Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension
37
(ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). J Hypertens
2007;25:1105e87.

20. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. 2015. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th
edition. Elseiver Saunders; Philadelpia

21. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Böhm M. 2013


ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension: the Task Force
for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of
Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Eur
Heart J 2013;34(28):2159-219

22. JAMA. Special Communication 2014 Evidence – Based Guideline For the
Management of High Blood Pressure in Adults Report from the Panel Members
Appointed to the Eight Joint National Committee (JNC 8). JAMA, 2014,
311(5).507-520.

23. Kaplan NM and Victor RG. 2015. Kaplan’s Clinical Hypertension. 11 th Edition.
Wolters Kluwer; Philadelphia:179-193.

24. Sica DA. Rationale for fixed-dose combinations in the treatment of hypertension.
The cycle repeats. Drugs 2002;62:44362.

25. Guideline UK, NICE. Hypertension in adults: diagnosis and management. 2011

38
a. Quan A, et al. A review of the efficacy of fixed-dose combinations of olmesartan
medoxomil/hydrochlorothiazide and amlodipine besylate/benazepril in factorial design
studies. Am J Cardiovasc Drugs 2006;6:103–113.

b. Messerli FH. Vasodilatory edema: a common side effect of antihypertensive therapy. Am J


Hypertens 2001;14:978–9.

c. Wu HY, Huang JW, Lin HJ, Liao WC, Peng YS, Hung KY. Comparative effectiveness of
renin- angiotensin system blockers and other antihypertensive drugs in patients with diabetes:
systematic review and bayesian network meta-analysis. BMJ;2013:347

d. Dahlöf B, Sever PS, Poulter NR, Wedel H, Beevers DG, Caulfield M, et al. Prevention of
cardiovascular events with an antihypertensive regimen of amlodipine adding perindopril as
required versus atenolol adding bendroflumethiazide as required, in the Anglo-Scandinavian
Cardiac Outcomes Trial-Blood Pressure Lowering Arm (ASCOT-BPLA): a multicentre
randomised controlled trial. Lancet. 2005 Sep 10-16;366(9489):895-906.
26.

39

Anda mungkin juga menyukai