Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi merupakan suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya
bangkitan epilepsi. Bangkitan epilepsi sendiri merupakan manifestasi klinis lepasnya muatan
listrik yang berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak.5
Insidens epilepsi pada populasi umum diperkirakan 20-70 per 100.000 orang per tahun,
dengan prevalensi 4-10 per 1000 orang. Insidens lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa,
dan tertinggi pada neonatus. Namun demikian, kurang dari sepertiga kasus kejang pada anak
disebabkan oleh epilepsi.5
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru yang
terdiagnosis per 100.000 pertahunnya. Perkiraan angka kematian akibat epilepsi adalah 2 per
100.000. kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi kejang
yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar (status epileptikus), atau jika
terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada
penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.11
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi epilepsi ialah radang, trauma, anoksia,
gangguan metabolisme, gangguan endokrin, tumor, dan pada sebagian pasien karena keturunan.
Karena adanya faktor hereditas ini, sebaiknya penderita epilepsi tidak kawin dengan penderita
epilepsi lain, atau dengan orang yang dalam keluarganya terdapat penderita kejang. Karena itu,
pemeriksaan elektroensefalografi dapat dianjurkan kepada calon suami istri bila salah
seorangnya menderita epilepsi.5
Pemilihan obat anti epilepsy (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan
sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikiran kemudahan pemakaiannya. Pemakaian terapi
tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga
dan efek samping OEA yang ditimbulkan.5
Salah satu efek yang dapat ditimbulkan oleh epilepsi adalah keterlambatan berbicara
(delay speech). Keterlambatan bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan paling sering ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin hari semakin
meningkat pesat. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko mengalami

1
kesulitan belajar, membaca dan menulis, dan akan menyebabkan pencapaian akademik yang
kurang secara menyeluruh. Sehingga diperlukan terapi yang tepat seperti terapi wicara. Suatu
usahan dan tindakan pada anak yang mengalami gangguan atau kesulitan dalam berkomunikasi.
Tujuannya adalah memperbaiki, memulihkan kembali, serta meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan bahasa dan bicara, agar mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya.

1.2 Tujuan Penulisan


Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan kasus epilepsi disertai dengan
delay speech yang terjadi pada anak dan memenuhi sebagian syarat Program Pendidikan Profesi
Kepanitraan Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Arjawinangun.

2
BAB II
PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : AF Nama Ayah : SD


Umur : 3 tahun Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA
Alamat : Jati Para Pekerjaan : Wiraswasta

Nama Ibu : AT
Masuk RS : 02 Juni 2015 Umur : 33 Tahun
Tgl. Diperiksa : 03 Juni 2015 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis ibu pasien)

1. Keluhan Utama : Kejang

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD Arjawinangun diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang
selama 30 menit sebelum masuk rumah sakit, saat diperiksa suhu tubuh pasien adalah
39,1C. Sebelum kejang pasien tidak merasa pusing, tidak ada kelemahan otot, tidak terdapat
sesak nafas dan riwayat trauma disangkal.
Pasien mengalami kejang yang pertama pada usia 2 tahun, dengan suhu 41 dan
selama 20 menit. Sampai usia saat ini yaitu 3 tahun pasien telah mengalami kejang sebanyak
4 kali, dan ditemukan adanya riwayat kejang pada keluarga.
Pasien mengalami keterlambatan bicara, sampai usia saat ini pasien hanya dapat
mengucapkan 2 suku kata seperti ma-ma atau su-su.

3
Kejang yang dialami pasien belum berhenti dengan pemberian diazepam melalui anus
yang dilakukan di rumah, pasien sadar setelah serangan kejang. Keluhan disertai dengan
demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk, pilek, mual dan muntah disangkal
oleh ibu pasien. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal, serta nafsu makan
dan minum masih dalam keadaan baik. Pasien lahir ditolong bidan dengan persalinan normal
dengan kehamilan cukup bulan dan menjalani imunisasi secara lengkap.
Saat datang ke RSUD Arjawinangun, orang tua pasien membawa hasil EEG
(elektrokardiogram) yang dilakukan bulan Maret 2015 dengan hasil ditemukannya fokus
epileptogenik di regio bifrontal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami kejang saat usia 2 tahun dengan panas badan 41C selama 20
menit dengan frekuensi satu kali dalam sehari. Kejang kedua kalinya dialami saat usia 2
tahun 6 bulan dengan suhu badan 37,1C selama 15 menit dengan frekuensi sekali dalam
sehari. Kejang ketiga dialami saat usia 2 tahun 9 bulan dengan suhu badan 37,4C selama 30
menit dengan frekuensi sekali dalam sehari.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Ayah pasien memiliki riwayat kejang saat usia kurang dari 5 tahun. Keponakan dari ayah
pasien juga memiliki riwayat kejang.

5. Riwayat makanan :
Menurut keterangan ibu pasien, pasien diberikan ASI hingga usia satu tahun. Kemudian
diberikan makanan pendamping ASI sejak usia 5 bulan.

6. Riwayat imunisasi :
Menurut keterangan ibu pasien, pasien sudah di imunisasi sesuai jadwal di puskesmas,
tetapi ibu pasien tidak ingat apa saja jenis imunisasi yang sudah diberikan.

4
7. Riwayat tumbuh kembang :
Menurut keterangan ibu pasien, pasien bisa berjalan saat usia 1,5 tahun. Pasien
mengalami keterlambatan dalam hal berbicara, sampai usia saat ini pasien hanya bisa
mengucapkan 2 suku kata, seperti ma-ma atau su-su.

III. PEMERIKSAAN FISIK:


03 Juni 2015

A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 68 x/menit
Frekuensi napas : 24 x/menit
Suhu : 36,4 C
Tekanan darah : 90/60 mmHg

4. Status Gizi:

Klinis : tampak gemuk, tidak ada edema


Antropometri :
Berat Badan (BB) : 18 kg
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 86 cm
Lingkar kepala : 46 cm
Lingkar lengan atas : -
BB/U : 120% (overweight)
TB/U : 90% (mild stunting)
BB/TB : 147% (obesitas)
BMI : 24,3% (overweight)
Lingkar kepala : Normocephal

5
(Gunakan kurva CDC/NCHS dan standard WHO-NCHS)

B. Pemeriksaan Khusus

1. Kulit : tidak ada hematom dan tidak ikterik.


2. Kepala : Tidak ada deformitas, rambut hitam, tidak mudah dicabut.
3. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, reflek cahaya
langsung dan tidak langsung positif.
4. Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, trakea berada ditengah, tiroid
tidak membesar.
5. Telinga : Normal, tidak terdapat serumen yang keluar.
6. Hidung : Simetris, tidak ada sekret, tidak ada penapasan cuping hidung.
7. Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil t1- t1.
8. Mulut : Tidak terdapat karies dentis, gusi tidak hipertrofi, tidak ada perdarahan, lidah
tidak makroglosia.
9. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : iktus kordis di sela iga ke 5 medial linea midclavicularis sinistra
Palpasi : tidak teraba thrill
Perkusi : (Tidak dilakukan)
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak terdengar murmur dan gallop.
b. Paru

Kanan Kiri
Depan:
Inspeksi Gerakan simetris Gerakan simetris

Palpasi fremitus normal fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

6
Auskultasi Tidak terdengar Tidak terdengar ronki dan
ronki dan wheezing wheezing

Kanan Kiri
Belakang:
Inspeksi Pergerakan simetris Pergerakan simetris

Palpasi Fremitus normal Fremitus normal

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Tidak terdengar ronki Tidak terdengar ronki dan


dan wheezing wheezing

10. Abdomen : Lemas, turgor kulit kembali cepat, bising usus terdengar.
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
11. Akral teraba hangat, Capilary Refill Time kurang dari 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Lengkap (02 Juni 2015)
WBC : 43,4 RBC : 4,47 PLT : 461 MPV : 6,7
LYM : 4,5 HGB : 10,7 PCT : 0,309 PDW : 14,0
MON : 4,1 HCT : 33,8
GRA : 34,8 MCV : 75,6
LYM% : 10,3 MCH : 23,9
MON% : 9,5 MCHC : 31,7
GRA% : 80,2 RDW : 13,8

7
Darah lengkap (04 Juni 2015)
WBC : 20,88 RBC : 4,51
LUC% : 3,3 HGB : 11,6
BASO% : 0,6 HCT : 32,9
EOS% : 2,6 MCV : 73,0
LYM% : 26,8 MCH : 25,7
MON% : 5,0 MCHC : 35,2
PLT : 375 RDW : 14,1

Darah lengkap (05 Juni 2015)


WBC : 11,75 RBC : 4,51 MON% : 4,9 MCHC : 35,0
LUC% : 4,O HGB : 11,4 PLT : 397 RDW : 14,2
BASO% : 0,9 HCT : 32,7
EOS% : 5,0 MCV : 72,4
LYM% : 44,0 MCH : 25,3

V. RESUME
Pasien berumur 3 tahun dengan keluhan kejang selama 30 menit sebelum masuk rumah
sakit. Sampai usia saat ini yaitu 3 tahun pasien telah mengalami kejang sebanyak 4 kali, dan
ditemukan adanya riwayat kejang pada keluarga. Selain itu pasien juga mengalami keterlambatan
dalam berbicara.
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit sedang dengan kesadaran delirium,
dengan tanda vital pasien seperti nadi, yaitu 121 kali per menit, suhu 39,1C, dan frekuensi
pernafasan 28 kali per menit. Berat badan 18 kg dan tinggi badan 86 cm.
Saat datang ke RSUD Arjawinangun, orang tua pasien membawa hasil EEG
(elektrokardiogram) yang dilakukan bulan Maret 2015 dengan hasil ditemukannya fokus
epileptogenik di regio bifrontal.

8
VI. DIAGNOSIS KERJA
Epilepsi

VII. DIAGNOSIS BANDING


Sinkop, drop attack, narcolepsy, kelainan psikiatrik, breath holding spells.

VIII. Rencana pengelolaan


1. Rencana pemeriksaan :
Pada kasus ini rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah
rutin dan kadar gula darah sewaktu.

2. Rencana pengobatan :
KAEN 1B 17 tetes per menit,
Antrain 3 x 170 mg
Diazepam IV 3 x 2,5 mg (prn)
Oksigen 2 liter.

3. Rencana Pemantauan :
Pantau tanda vital pasien
Pantau gejala penyakit penyerta

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

9
FOLLOW UP
Tanggal 03 Juni 2014

S/ Pasien sudah tidak kejang, namun mengalami batuk berdahak berlangsung baru 1 hari. Nafsu
makan dan minum dalam batas normal. Tidak ada keluhan buang air besar maupun buang air
kecil.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 68 x/menit
Frekuensi napas : 24 x/menit
Suhu : 36,8o C
Tekanan darah : 100/70 mmHg
A/ Epilepsi
P/ KAEN 1B 15 tpm
Diazepam IV 3 x 2,5 mg (prn)
Antrain 4 x 200 mg (prn)
Ceftriaxon 2 x 1 gram
Serial 24 jam

Tanggal 04 Juni 2014


S/ Pasien sudah tidak kejang, namun mengalami batuk berdahak berlangsung baru 1 hari. Nafsu
makan dan minum dalam batas normal. Tidak ada keluhan buang air besar maupun buang air
kecil.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 90 x/menit
Frekuensi napas : 32 x/menit
Suhu : 37,1o C

10
Tekanan darah : 90/60 mmHg
A/ Epilepsi
P/ Terapi dilanjutkan

Tanggal 05 juni 2014


S/ Pasien sudah tidak kejang, namun mengalami batuk berdahak berlangsung baru 1 hari. Nafsu
makan dan minum dalam batas normal. Tidak ada keluhan buang air besar maupun buang air
kecil.

O / 1. Kesan Umum : tampak sakit sedang


2. Kesadaran : composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi : 110 x/menit
Frekuensi napas : 32 x/menit
Suhu : 36,4o C
Tekanan darah : 100/60 mmHg
A/ Epilepsi
P/ Terapi dilanjutkan

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epilepsi
3.1.1 Definisi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya (bk kuning)
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.5

3.1.2 Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
i. Epilepsi idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, 50% dari penderita epilepsi adalah anak dan umumnya
mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun.
ii. Epilepsi simptomatik
Disebabkan oleh kelainan atau lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya post trauma
kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak
kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alcohol atau obat) dan kelainan neurodegeneratif.
iii. Epilepsi kriptogenik
Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah
sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.3

Faktor resiko terjadinya epilepsi adalah kelainan perkembangan saraf dan kejang
demam kompleks, 2% sampai 10% anak-anak yang memiliki kejang demam selanjutnya
akan berkekmbang menjadi epilepsi. Riwayat keluarga epilepsi dan terjadinya kejang
demam kompleks terait dengan meningkatan resiko terjadinya epilepsi. 2

12
Gambar 1. Faktor resiko epilepsi

3.1.3 Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah adanya gangguan fungsi neuron - neuron di otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi
sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara
neurotransmitter - neurotransmitter eksitasi ada yang disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang paling dikenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial
akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik.6
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti

13
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.6

3.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinisnya dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi
mototrik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi sendiri ataupun dalam kombinasi.5
i. Kejang Umum (Generalisata)
- Kejang umum adalah kejang yang melibatkan kedua belah hemisfer dan
menyebabkan hilangnya kesadaran. Kejang umum tidak harus selalu tampak
simetris.
- Kejang tonik adalah terjadinya peningkatan kontraksi otot yang menetap
beberapa detik hingga menit, biasanya melibatkan otot kepala, batang tubuh dan
ekstremitas.
- Mioklonik adalah kontraksi tiba-tiba, aritmik, dan singkat, (<1 detik) dari otot
atau kelompok otot di berbagai bagian tubuh (ekstremitas distal, proksimal,
maupun aksial). Mioklonik yang berulang secara regular mengakibatkan
kelompok otot yang sama, pada frekuensi 2-3x/detik disebut kejang klonik.
- Kejang umum tonik-klonik (disebut pula grandmal) adalah jenis kejang yang
paling sering ditemui, terjadi sebagai kombinasi dari kejang tonik diikuti oleh
fase klonik, atau dapat juga berupa klonik-tonik-klonik. Anak akan kehilangan
kesadaran secara tiba-tiba, mata berputar ke belakang, seluruh tubuh menjadi
tonik (kaku) bahkan dapat tampak sianotik karena apneu, kemudian dilanjutkan
fase kejang klonik yang ritmik dan makin lama makin lambat hingga berhenti
secara tiba-tiba. Selama kejang pasien sering kehilangan control sfingter vesika
urinaria sehingga mengompol dan dapat menggigit lidahnya sendiri.

14
Gambar 2. Kejang tonik-klonik

- Atonik adalah hilang atau melemahnya tonus otot tanpa mioklonik maupuk tonik
1 detik sebelumnya, melibatkan kepala, batang tubuh, rahang dan ekstremitas.
- Absanse (petit mal) adalah kejang non-konvulsif ketika tiba-tiba semua aktivitas
motorik terhenti, pasien tampak kosong, dapat disertai sedikit automatisme
terutama di daerah wajah seperti mata mengedip-ngedip, dan tidak disertai aura.
Absence umumnya berlangsung 30 detik, tidak ada periode kebingungan atau
mengantuk post-iktal sehingga pasien akan langsung melanjutkan aktivitas
sebelumnya. Absance lebih banyak terjadi pada anak perempuan dan paling
sering dicetuskan oleh periode hiperventilasi pada anak. Absence atipikal adalah
absence yang disertai oleh gerakan motorik seperti mioklonik pada wajah atau
ekstremitas. Kejang fokal dengan penurunan kesadaran dapat serupa dengan
absence, namun dapat dibedakan karena kejang fokal didahului aura sedangkan
absence tidak.
ii. Kejang fokal
Pada kejang fokal hanya salah satu hemisfer yang terlibat dan anak dapat mengalami
penurunan kesadaran atau tidak. Aura merupakan tanda khas kejang fokal.
- Kejang fokal tanpa penurunan kesadaran (kejang fokal simpleks) paling
sering disertai gejala motorik berupa gerakan tonik atau klonik yang tidak
sinkron, meliputi daerah wajah, leher, dan ekstremitas. Dapat disertai aura atau

15
hanya aura saja yang muncul tanpa aktivitas motorik. Contoh aura yang sering
muncul adalah sakit kepala, sakit dada, lemas, perasaan tidak enak, nyeri ulu
hati, atau ketakutan. Kejang berlangsung selama 10-2- detik. Versive seizures
merupakan tanda kejang fokal, yaitu kepala menoleh disertai gerakan mata
konjugat.
- Kejang fokal disertai penurunan kesadaran (kejang fokal kompleks)
seringkali disertai aura. Terdapat otomatisme pada sebagian besar kejadian, pada
bayi dominan di daerah oral seperti mengecap-ngecap, mengunyah atau
hipersalivasi, sementara pada anak lebih dewasa berupa gerakan tidak bertujuan
dan tidak terkoordinasi seperti menggaruk benda, berjalan atau berlari kea rah
sembarang atau tampak ketakutan. Total berlangsung selama 1-2 menit. Kejang
fokal dapat berlanjut menjadi kejang umum tonik-klonik. Kejang fokal kompleks
sering disebabkan karena lesi struktural.8

3.1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis harus
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, dan penggunaan obat-obatan tertentu.11

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :


Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
Frekueensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan pertama terjadi
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

16
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak harus diperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral.9

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal, jika :
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misalnya gelombang delta
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.9
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.
Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya

17
belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan
pada persiapan operasi.9
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging ini bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipocampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.11
Diagnosis Banding :
Beberapa diagnosis banding epilepsi diantaranya adalah :
1. Sinkop, yaitu kehilangan kesadaran mendadak akibat kurangnya aliran darah ke otak.
Serangan sinkop terkadang berlangsung cepat dan pasien segera sadar kembali. Sinkop
dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada anak remaja dan wanita.
2. Drop attack
Penderita tiba-tiba jatuh karena ekstremitas inferior lemah akibat insufisiensi a.basilaris.
sering disertai dengan vertigo dan sulit bicara. Biasanya berlangsung sementara dan dapat
sembuh sendiri.
3. Narcolepsi, yaitu keinginan tidur yang tidak terkendali dan berulang disertai kehilangan
tonus otot ekstremitas.
4. Kelainan psikiatrik
5. Breath Holding Spells (Serangan Nafas Terhenti Sejenak)
Serangan nafas terhenti sejenak terjadi karena adanya faktor pencetus berupa marah,
takut ataupun sakit. Biasanya anak menangis kuat sebentar kemudian menahan nafas
panjang, menjadi sianosis, lemas dan tidak sadar. Pada saat sianosis kadang diikuti
dengan kekakuan seluruh tubuh sebentar, kadang diikuti oleh 2-3 sentakan, kemudian
anak bernafas kembali dan menjadi sadar. 11

3.1.6 Tatalaksana
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip
terapi farmakologi epilepsi yakni:

18
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua
kali bangkitan dalam setahun
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :


Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl-
atau aktivitas neurotransmitter

Penghentian pemberian obat anti epilepsi pada anak dilakukan secara bertahap, dan dapat
dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan.
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut :
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama

Pilihan obat ditentukan oleh tipe sindrom epilepsi. Secara umum diperlukan kontrol
teratur untuk menetapkan dosis minimum efektif dan memantau efek samping obat.
Pemantauan kadar antikolvusan dalam darah data membantu pemantauan. Mayoritas
pasien epilepsi (70%) akan terkontrol dengan baik dengan satu obat (monoterapi).9

19
Tipe kejang Obat pilihan
Parsial Karbamazepin
Natrium valproat
Fenitoin
Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium valproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium valproat
Klonazepam
Lamotrigin
Tonik-klonik generalisata Natrium valproat
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin

Tabel 1. Obat Anti Epilepsi

Catatan : Antikonvulsan baru selain lamotrigin tidak diizinkan digunakan sebagai


monoterapi, tetapi berperan penting sebagia terapi tambahan, terutama untuk kejang
parsial yang resisten terhadap terapi tunggal obat lini pertama.

20
Saat kejang :
Tabel 2. Pilihan Antikonvulsan Berdasarkan Jenis Bangkitan Kejang

Kejang fokal Kejang umum Absance BECTS JME


tonik-klonik epilesy

Pilihan Oxcarbamazepine Carbamazepine Ethosuximide Carbamazepine Clonazepam


pertama Fenoibarbital Asam Asam valproat Lamotrigin
Fenitoin valproat Topiramate
Topiromate Lamotrigin Asam
Asam valproat valproat
Zonisamide
Alternatif Carbamazepine Oxcarbamazepine Tidak ada. Gabapentine -
Fenobarbital Gabapentine Sulthiame
Fenitoin harus
Topiramat dihindari
Asam valproat

Pertama, pastikan jalan napas bebas, ventilasi dan sirkulasi dalam keadaan baik.

Longgarkan pakaian yang ketat, baringkan anak dalam posisi miring agar lender
atau cairan dapat mengalir keluar. Leher dan rahang hiperkstensi agar jalan napas bebas.
Boleh masukkan handuk kecil ke dalam mulut untuk mencegah lidah tergigit, namun
jangan dipaksa baik menggunakan benda keras maupun jari agar tidak ada gigi yang
tanggal dan tertelan atau teraspirasi. Lakukan pemeriksaan tekanan darah, suhu, dan
glukosa darah. Singkirkan setiap penyebab berbahaya yang dapat menyebabkan kejang,
seperti trauma, infeksi, atau keracunan. Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa
kejang disebabkan karena epilepsi, bukan karena epilepsi, bukan karena etiologi lain.8

21
Memilih antikonvulsan :
Intenational League Against Epilepsy pada tahun 2006 mengeluarkan pedoman
pemilihan antikonvulsan monoterapi pada anak berdasarkan jenis bangkitan kejang,
sebagai berikut : 8

Pemilihan obat harus berdasarkan efektivitas mengontrol kejang dan efek samping
paling sedikit. Berikan dosis awal seminimal mungkin yang dapat mengontrol kejang,
dosis dinaikan secara bertahap sampai kejang terkontrol atau efek samping yang tidak
diinginkan muncul. Jika dengan obat lini pertama dosis maksimal kejang belum
terkontrol, evaluasi ulang : 3
1. Keteraturan minum obat
2. Apakah diagnosis epilepsi sudah benar
3. Apakah serangan yang masih timbul memang manifestasi kejang
4. Adakah faktor pencetus seperti kurang tidur, kelelahan
Obat lini kedua dapat ditambahkan bila faktor pencetus dapat disingkirkan. Pasien
dirujuk apabila membutuhkan 2 macam anti epilepsi.
Bila tanpa melihat jenis bangkitan kejang, dapat diberikan terapi berikut :
Obat lini pertama
- Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hr, dalam 2-3 dosis
- Fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hr, dalam 2 dosis
- Karbamazepin 10-30 mg/kgBB/hr, dalam 2-3 dosis
- Fenitoin 5-7 mg/kgBB/hr, dalam 2 dosis
Obat lini kedua
- Topiramate (topamax). Dosis inisial 1-3 mg/kgBB/hari, naikkan
perlahan dengan interval 1-2 minggu
- Lamotrigine (Lamictal). Dosis inisial 0,15 mg/kgBB/hari dalam 2
minggu, lalu naikkan menjadi 0,3 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
- Levetirasetam (Keppra). Dosis inisial 10 mg/kgBB/hari dalam 2
dosis.

22
- ACTH atau steroid dapat digunakan untuk infantile spasm atau
epilepsy berat yang tidak terkontrol dengan medikasi lain.

Kadar antikonvulsan pada serum harus diukur pada saat mulai terapi, namun
tidak seterusnya. Follow up rutin dilakukan untuk mengontrol kepatuhan
minum obat, kejang terkontrol atau tidak, dan efek samping dari obat.8

Lamanya terapi antikonvulsan diberikan tergantung pada jenis bangkitan


kejang dan gambaran klinis serta EEG, yaitu :

Pada kejang neonatus, antikonvulsan dapat diberikan hingga satu tahun


hingga terjadi perbaikan klinis dan EEG.
Pada anak dengan kejang umum tonik klonik, antikonvulsan diberikan
hingga 2 tahun bebas kejang, namun bila pada pemeriksaan EEG masih
ditemukan kelainan terapi dilanjutkan hingga 3 tahun bebas kejang.
Pada anak dengan kejang fokal, antikonvulsan dilanjutkan hingga 3 tahun
bebas kejang.
Pada anak dengan kejang absence, antikonvulsan dapat diberikan hingga 2
tahun bebas kejang.
Pada anak dengan Juvenile myoclonic, antikonvulsan dapat diberikan
seumur hidup.

Pemberhentian terapi antikonvulsan harus dilakukan secara bertahap dalam 3-4


bulan, karena bila dilakukan secara tiba-tiba dapat memicu episode kejang
lainnya.8

3.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat epilepsi diantaranya adalah sebagai berikut : 4
1. Gangguan kognitif, terdapat bukti jelas bahwa kejang dapat menyebabkan defisit
fungsi kognitif, seperti gangguan bicara.
2. Penurunan daya ingat
3. Pemusatan perhatian

23
3.1.8 Prognosis
Pada umunya prognosis epilepsi baik, kurang lebih 70% penderita epilepsi
mengalami remisi (bebas bangkitan selama 5 tahun atau lebih setelah penghentian obat).4
Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kepatuhan minum obat, respons terhadap
obat, dan timbulnya efek samping obat (bila perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi dan
fungsi hati). Juga perlu dilakukan evaluasi neurologik ulang secara berkala.11

3.2 Delay speech


3.2.1 Definisi
Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak. Perkembangan
bahasa terjadi paling cepat antara usia 2 dan 5 tahun. Kemampuan bicara dan bahasa
melibatkan perkembangan kognitif, sensorimotor, psikologis, emosi dan lingkungan sekitar
anak. Kemampuan bahasa pada umumnya dibedakan menjadi kemampuan reseptif
(mendengar dan memahami) dan kemampuan ekspresif (berbicara). Kemampuan bicara lebih
dapat dinilai dari kemampuan lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa
lebih sering dikaitkan dengan kemampuan bicara.15
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya,
sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi dan lingkungan
disekitar anak. Gangguan bicara dan bahasa terdiri dari masalah artikulasi, suara, kelancaran
bicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, akibat cedera otak), serta
keterlambatan dalam bicara atau bahasa.15
Keterlambatan bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan paling sering ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin hari semakin
meningkat pesat. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko
mengalami kesulitan belajar, membaca dan menulis, dan akan menyebabkan pencapaian
akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa muda.
Deteksi dini masalah perkembangan anak sangat menentukan keberhasilan dalam
memaksimalkan plastisitas otak pada kompensasi penyimpangan perkembangan. 7

24
3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti
secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria keterlambatan perkembangan berbahasa.
Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan
pasien anak terdapat 10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Penelitian
Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi
keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah tiga tahun.15

3.2.3 Etiologi
Penyebab kelainan berbahasa bermacam - macam yang melibatkan berbagai faktor
yang dapat saling mempengaruhi, antara lain :
Gangguan pendengaran : adanya gangguan pendengaran pada awal perkembangan
dapat menyebabkan keterlambatan bicara yang berat. Penyebabnya karena
kongenital, otitis media dengan efusi, dan hipoksia.
Bilingual : penggunaan dua bahasa atau lebih dirumah kadang dapat memperlambat
kemampuan anak menguasai kedua bahasa tersebut, namun biasanya bersifat
sementara.
Lingkungan: bicara adalah bagian tingkah laku, jadi keterampilannya melalui meniru.
Bila stimulasi bicara sejak awal kurang atau lingkungan yang sepi maka akan
menghambat kemampuan bicara dan bahasa pada anak.
Hipoksia : saat kejang yang berlangsung lama (>15 menit) sangat berbahaya dan
dapat menimbulkan kerusakan permanen pada otak, sehingga plastisitas otak
menurun dan terjadi gangguan tumbuh kembang.15

3.2.4 Patofisiologi
Hemisfer kanan merupakan pusat visual sedangkan kiri pusat kemampuan berbahasa.
Pengkhususan hemisfer untuk fungsi bahasa sudah dimulai sejak dalam kandungan, tetapi
berfungsi secara sempurna setelah beberapa tahun kemudian. Terdapat 3 area utama pada
hemisfer kiri anak khusus untuk berbahasa, yaitu di lobus frontal (area Broca dan korteks
motorik), di lobus parietal (area Wernicke). Informasi yang berasal dari korteks pendengaran
primer dan sekunder, diteruskan ke bagian korteks temporoparietal posterior (area

25
Wernicke). Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan oleh fasciculus arcuata ke
bagian anterior otak dimana jawaban motorik dikoordinasi. Apabila terjadi kelainan pada
salah satu dari jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan bicara. Kerusakan pada bagian
posterior (lobus parietal) akan mengakibatkan kelainan bahasa reseptif (bahasa pasif),
sedangkan kerusakan dibagian anterior (lobus frontal) akan menyebabkan kelainan bahasa
ekspresif (bahasa aktif).

Gambar 3. Anatomi otak

Periode 2-4 tahun pertama menunjukkan peningkatan yang cepat dalam jumlah dan
kompleksitas perkembangan berbicara, kekayaan perbendaharaan kata dan kontrol
neuromotorik. Selama periode inilah gangguan dalam kelancaran berbicara dapat lebih
kelihatan.15
Perkembangan bicara anak :
Lahir - 3 bulan : Mengoceh spontan / bereaksi dengan mengoceh.
3 6 bulan : Tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain.
6 9 bulan : Mengeluarkan kata-kata tanpa arti.
9 12 bulan :Menirukan suara, mengulang bunyi yang didengar,
belajar menyatakan satu/ dua kata.
12 18 bulan : Mengatakan 5 10 kata.
18 24 bulan : menyusun atau merangkai 2 kata.
2 3 tahun : Menyusun kalimat.
3 4 tahun : Bicara dengan baik, banyak bertanya.
4 5 tahun : Dapat menyebut hari-hari dalam seminggu,

26
mengulang hal-hal yang penting dan bercerita. 15

3.2.5 Manifestasi Klinis


Aram DM dan Towne, mengatakan bahwa dicurigai adanya gangguan perkembangan
kemampuan bahasa pada anak, kalau ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
Usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap suara yang
datang dari belakang atau samping.
Usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya sendiri.
Usia 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan, da-da dan
sebagainya.
Usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal.
Usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah.
Usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh, perbendaharaan kata yang
sangat sedikit.
Usia 30 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh anggota keluarga.
Usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat sederhana, tidak bisa bertanya
dengan kalimat tanya, dan belum bisa dimengerti kalimatnya oleh orang di luar keluarga.
Usia 4 tahun tidak lancer berbicara / gagap.

Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.15

3.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat perkembangan dengan perhatian khusus pada perkembangan bicara,
sangatlah penting dalam membuat diagnosis. Riwayat medis meliputi penyakit ibu saat
hamil, trauma perinatal, infeksi atau asfiksia, psikososial dll.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum meliputi berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala
atau lingkar lengan. Perlu dilakukan pemeriksaan neurologis termasuk penilaian terhadap
penglihatan dan pendengaran.

27
3. Tes skrining
The Early Languange Milestone Scale adalah alat sederhana yang dilakukan
untuk menilai perkembangan bicara anak di bawah usia 3 tahun. Tes ini difokuskan untuk
menilai kemampuan bahasa ekspresif, reseptif, dan visual. Pemeriksaan secara
komprehensif adalah penting, oleh karena keterlambatan bicara dapat merupakan gejala
awal dari gangguan intelektual umum. The Denver Developmental Screening Test adalah
tes yang digunakan secara klinis untuk menilai kemampuan perkembangan bayi dan
anak. Kedua tes ini cukup spesifik dan sensitif untuk mengidentifikasikan gangguan
bicara pada anak kurang dari 3 tahun.
4. Pemeriksaan penunjang
Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes pendengaran. CT- scan
dan MRI diperlukan untuk mengetahui adanya malformasi.15

3.2.7 Tatalaksana
1. Terapi perilaku
Terapi perilaku (behavior therapy) adalah terapi yang bertujuan untuk merubah
atau menghilangkan tingkah laku anak yang dianggap tidak layak. Terapi ini lebih
dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) yang dalam prakteknya
menggunakan prinsip stimulus respons. ABA dangat efektif digunakan oleh para terapis
dan profesional dalam menangani berbagai gangguan tingkah laku yang dialami oleh
anak dalam perkembangannya. Tujuan terapi ini untuk peningkatan pemahaman dan
kepatuhan akan aturan. Terapi ini diberikan pada anak autisme, gangguan emosional,
ADD dan sebagainya.
2. Terapi sensori integrasi
Suatu pendekatan untuk menilai dan melakukan terapi pada anak-anak yang
menunjukkan masalah perilaku atau kesulitan belajar. Terapi ini sering dilakukan untuk
anak dengan autisme dan gangguan bicara reseptif-ekspresif. Bagian yang penting dalam
terapi SI adalah partisipasi aktif dari anak agar timbul perubahan positif yang dapat
memperbaiki struktur halus pada otak anak, yang masih mempunyai daya plastisitas yang
baik. Dalam memberikan terapi, anak didukung untuk memilih kegiatan yang disukainya
dan terapi akan mengarahkan agar kegiatan yang dilakukan dapat memberikan tantangan

28
yang tepat. Dengan memberikan tantangan yang tepat, yang sedikit lebih sulit daripada
yang telah dikerjakan oleh si anak, maka perlahan-lahan kemampuan anak akan
bertambah.
3. Terapi okupasi
Terapi okupasi bertujuan membuat individu mandiri dalam aktifitasnya sehari-
hari, memiliki produktifitas, dan pengisian waktu luang yang sesuai dengan usia individu
tersebut. Terapi ini meliputi pengajaran keterampilan dalam aktivitas sehari-hari,
pengembangan keterampilan motorik, keterampilan SI, keterampilan bermain, dan
kapasitas kerja, maupun memanfaatkan waktu luang.10
4. Terapi wicara
Suatu usahan dan tindakan pada anak yang mengalami gangguan atau kesulitan
dalam berkomunikasi. Tujuannya adalah memperbaiki, memulihkan kembali, serta
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara, agar mampu
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Terapi berlangsung lebih dari
delapan minggu lebih efektif daripada yang berlangsung kurang dari delapan minggu.12
5. Stimulus floor time
Cara berinteraksi antara orang dewasa dengan anak dalam suasana yang dapat
membentuk emosi yang sehat, sosial dan intelektual. Prinsip utamanya adalah
memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang
disesuaikan dengan tahap perkembangan emosi anak.

Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua di rumah :


Selalu berbicara dengan anak.
Berikan dorongan pada anak untuk bernanya, memilih dan menjawab pertanyaan
dengan kemampuan bahasanya.
Dengarkan anak.
Berikan dorongan untuk bermain.
Ajarkan anak lagu baru yang dia sukai.
Bacakan cerita pada anak, ajarkan mengucapkan kata atau ide.
Setiap mengajarkan kata, tunjukkan benda / objeknya.10

29
3.2.8 Pencegahan
Pemakaian bahasa di dalam rumah sebaiknya diseragamkan, diharapkan dapat
membantu anak untuk menguasai satu bahasa dahulu dengan baik. Hasil terapi biasanya
baru terlihat setelah anak menjalani beberapa waktu. Perlu dilakukan evaluasi setiap 3-6
bulan untuk melihat hasil terapi yang telah diberikan.15

3.2.9 Prognosis
Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya.10

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Pada pasien ini terlihat adanya gejala kejang yang disertai demam selama 30 menit dan
sudah dialami pasien sejak umur 2 tahun. Pasien sebelumnya pernah 3 kali mengalami kejang
dan terdapat riwayat keluarga yang pernah mengalami hal seperti ini juga. Dalam keadaan
patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak
terkendali. Lepasnya muatan listrik oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar
suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan
akan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-
neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan paska sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya
zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Pada pasien ini sudah 4 kali terjadi kejang dengan durasi yang lama, sehingga otak
mengalami kekurangan oksigen dan terjadi penurunan plastisitas otak sehingga mengenai
beberapa lobus yang mengakibatkan gangguan perkembangan khususnya keterlambatan bicara.
Pasien sudah melakukan pemeriksaan EEG 3 bulan yang lalu dengan hasil ditemukannya fokus
epileptogenik di regio bifrontal.
Pengkhususan hemisfer untuk fungsi bahasa sudah dimulai sejak dalam kandungan, tetapi
berfungsi secara sempurna setelah beberapa tahun kemudian. Terdapat 3 area utama pada
hemisfer kiri anak khusus untuk berbahasa, yaitu di lobus frontal (area Broca dan korteks
motorik), di lobus parietal (area Wernicke). Informasi yang berasal dari korteks pendengaran
primer dan sekunder, diteruskan ke bagian korteks temporoparietal posterior (area Wernicke).
Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan oleh fasciculus arcuata ke bagian anterior otak

31
dimana jawaban motorik dikoordinasi. Apabila terjadi kelainan pada salah satu dari jalannya
impuls ini, maka akan terjadi kelainan bicara. Kerusakan pada bagian posterior (lobus parietal)
akan mengakibatkan kelainan bahasa reseptif (bahasa pasif), sedangkan kerusakan dibagian
anterior (lobus frontal) akan menyebabkan kelainan bahasa ekspresif (bahasa aktif).
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti.
Pada pasien ini diberikan terapi KAEN 1B 15 tpm, diazepam IV 3 x 2,5 mg (kalau perlu),
antrain 4 x 200 mg (kalau perlu), ceftriaxon 2 x 1 gram, dan serial 24 jam.

32
BAB V
KESIMPULAN

1. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Ditinjau dari
penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : epilepsi idiopatik, epilepsi
simptomatik, dan epilepsi kriptogenik. Manifestasi klinisnya dapat berupa gangguan
kesadaran, perilaku, emosi, fungsi mototrik, persepsi, dan sensasi, yang dapat terjadi sendiri
ataupun dalam kombinasi.
2. Dasar serangan epilepsi ialah adanya gangguan fungsi neuron - neuron di otak dan transmisi
pada sinaps. Karena keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran
neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra
seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar
neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-
sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.
3. Diagnosis epilepsi dilakukan dengan pemeriksaan EEG dan tatalaksananya dengan
pemberian obat anti epilepsi.
4. Serangan kejang yang lama menyebabkan hipoksia di otak sehingga menyebabkan gangguan
keterlambatan bicara (delay speech) terdapat di area broca dan wernicke. Keterlambatan
bicara (speech delay) adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan paling sering

33
ditemukan pada anak. Gangguan ini semakin hari semakin meningkat pesat. Anak yang
mengalami keterlambatan bicara dan bahasa berisiko mengalami kesulitan belajar, membaca
dan menulis, dan akan menyebabkan pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh.
5. Diagnosis delay speech dapat dilakukan dengan The Early Languange Milestone Scale, yaitu
alat sederhana yang dilakukan untuk menilai perkembangan bicara anak di bawah usia 3
tahun. CT scan dan MRI untuk mengetahui adanya malformasi. Terapi dengan menggunakan
terapi wicara.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Carter R. 2014. The Human Brain Book. second edition. DK


2. Chung S. 2014. Febrile seizures. Review article. Korean J Pediatr.
3. Davey P. 2006. At a Glance Medicine. Penerbit Erlangga Medical Series. Jakarta
4. Garna, Melinda & Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak.Edisi Ketiga. 2005. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran
5. George, Wita, Budi, dkk, 2008. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta
6. Ginsberg L. 2008. Lecture Notes: Neurologi Edisi Kedepan. Penerbit Erlangga
Medical Series. Jakarta
7. Hartanto F, Selina H, H Zuhriah, dkk. 2011. Pengaruh Perkembangan Bahasa
Terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia 1-3 Tahun. Vol 12. No 6.
8. Lilihata & Handryastuti. 2014. Kapita Selekta. Edisi Keempat. Penerbit Media
Aesculapius. Jakarta
9. Lumantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. 2014. Buku
penerbit FKUI. Jakarta
10. Mangunatmadja I. 2010. Buku Ajar Neurologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter
Anak Indonesia
11. Markam S. Neurologi Praktis. 2008. Penerbit Widya Medika. Jakarta
12. McLaughlin,MR. 2011. Speech and Language Delay in Children. Am Fam
Physician. Virginia
13. Nelson W. 2014. Ilmu kesehatan anak. Edisi 5, EGC. Jakarta
14. Rubenstein, Wayne, dan Bradley. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis Edisi
Kapita Selekta Kedokteran Keenam. Penerbit Erlangga Medical Series. Jakarta
15. Soetjiningsih. 2012. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta

35
Gambar :
1. Chung S. 2014. Febrile seizures. Review article. Korean J Pediatr.
2. Sumber : www.adameducation.com
3. Carter R. 2014. The Human Brain Book second edition. DK

Tabel :
1. Ginsberg L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga
Medical Series. Jakarta
Lilihata & Handryastuti. 2014.. Edisi Keempat. Penerbit Media Aesculapius.
Jakarta

36

Anda mungkin juga menyukai