Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Guillain Barre Syndrom (GBS)

Laporan Ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Haji Medan

Disusun Oleh :

Pembimbing :
dr. Luhu A. Tapiheru, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN NEUROLOGI RUMAH


SAKIT UMUM HAJI MEDAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI DAN UNIVERSITAS BATAM TAHUN
2021

i
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh


Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Laporan Kasus ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di
bagian Neurologi Rumah Sakit Haji Medan dengan judul “ Guillain Barre
Syndrom (GBS)”
Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang
penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri
tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen pembimbing KKS di bagian Neurologi. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan Laporan Kasus ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara
penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan
Laporan Kasus selanjutnya. Semoga Laporan Kasus ini bermanfaat bagi pembaca
dan terutama bagi penulis.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, November 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


1. Definisi...............................................................................................4
2. Etiologi...............................................................................................4
3. Patofisiologi........................................................................................5
4. Manifestasi Klinis ..............................................................................6
5. Klasifikasi...........................................................................................8
6. Diagnosis............................................................................................9
7. Diagnosis Banding..............................................................................12
8. Penatalaksanaan .................................................................................14
9. Prognosis............................................................................................16

BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................18

BAB IV KESIMPULAN.................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindroma Guillain Barre (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang


cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda, serangannya akut, monofasik,
menyerang sistem imun yang biasanya diawali oleh adanya infeksi. Guillain
Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan
dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer)
(Inawati, 2010).
Nama Guillain-Barré Syndrome (GBS) ini berasal dari nama neurologis
asal Perancis yaitu Goerges Guillain, Jean-Alexandre Barre, dan Andre Strohl
yang menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peningkatan jumlah
protein dalam cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peningkatan jumlah
sel pada tahun 1916. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik
(Israr, et al. 2009). Sebelum itu yakni pada tahun 1859, seorang neurologis
Perancis Jean Baptiste Landry telah menggambarkan tentang penyakit sejenis.
Landry menyatakan bahwa terdapat 10 pasien yang mengalami kelumpuhan /
ascending paralysis (Andary, et al. 2014).
Insiden GBS berkisar antara 1-3/100.000 populasi pada penelitian
epidemiologi yang dilakukan di Eropa, Amerika dan Australia. Menyerang
semua usia, paling banyak terdapat pada usia muda dan tua. Insidensi laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan dan sindrom ini dicirikan dengan
kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif. Penyebab pasti SGB
belum diketahui, sekitar 60% dari kasus SGB didahului oleh infeksi saluran
pernapasan maupun pencernaan. Berdasarkan penelitian, diketahui infeksi
bakteri Camphylobacter jejuni paling sering mendahului kejadian Guillain
Barre. Selain itu infeksi virus seperti Epstein Barr, Citomegalovirus, HIV juga
berhubungan dengan kejadian GBS.

1
2

Di Indonesia, insiden terbanyak adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35


tahun) dengan jumlah pasien laki – laki dan wanita hampir sama. Penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki – laki dan wanita 3 : 1
dengan usia rata – rata 23,5 tahun (Japardi, 2002). GBS lebih sering terjadi
pada pasien laki – laki daripada perempuan dengan perbandingan sekitar 1,5 :
1 (Andary, et al. 2014).
Ada dua manifestasi klinis dari Guillain-Barré Syndrome yang terpenting
yaitu adanya kelemahan motoris yang progresif yang mengenai lebih dari satu
anggota gerak dan adanya reflek yang menurun atau menghilang (Muid,
2005). Manifestasi klinis utama dari GBS adalah kelumpuhan yang simetris
tipe lower motor neuron dari otot – otot ekstremitas, badan dan kadang –
kadang juga muka. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian bagian distal
ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending paralysis)
dengan karakteristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan
perubahan sensasi sensorik. Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan
motorik (Israr, et al. 2009).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka


permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah “Apa saja
penjelasan literatur teori mengenai Guillain Barre Syndrom (GBS) dan
perbandingan dengan laporan kasus?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui teori dan hubungan dengan kasus pada penyakit Guillain


Barre Syndrom (GBS)

D. Manfaat Penelitian
3

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Instansi Kesehatan


Penelitian ini dapat digunakan untuk penyebaran informasi
terkait faktor risiko terjadinya stroke pada usia muda dan sebagai
dasar untuk melakukan promosi kesehatan dalam rangka
menanggulangi penyakit tidak menular khususnya Guillain Barre
Syndrom (GBS)

b. Bagi Peneliti
Sebagai aplikasi teori yang diperoleh selama pembelajaran
serta menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang
berharga yang dapat menjadi bekal untuk memasuki dunia kerja.

2. Manfaat Teoritis
Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai referensi dan data dasar dalam penelitian selanjutnya terkait
dengan kejadian penyakit Guillain Barre Syndrom (GBS) pada usia
muda.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Guillain Barre Syndrom (GBS)

1. Definisi
Guillain Barre Syndrom adalah penyakit dimana system kekebalan
seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kelemahan
otot bahkan bisa terajadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan
saraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang
dengan seluruh bagian tubuh kita yang rusak. Kerusakan sistem saraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsangan sehingga
ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem saraf.
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun
neurologis yang timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh
menghasilkan antibody terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada
saraf itu sendiri. Kasus GBS dapat berkembang setelah infeksi, hal ini
terjadi ketika tubuh membuat antibodi untuk melindungi diri melawan
invasi bakteri atau virus. Namun, bakteri dan virus tertentu memiliki
penutup protein yang menyerupai beberapa protein yang normal pada
selubung yang membungkus saraf (selubung myelin) sehingga
mengakibatkan sistem kekebalan tubuh menyerang saraf itu sendiri.

2. Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin
ini disebut demyelinasi. Demielinisasi menyebabkan penghantaran
impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.
GBS mengacu pada Insufisiensi karena proses demielinasi yang
melibatkan akar saraf dan perifer (polyradiculoneuropathy). GBS
menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang
beberapa saraf. Penyakit GBS dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme

4
5

Compylobacter jejuni, Haemophilus influenza, dan Cytomegalovirus.

3. Patofisiologi
Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan terjadinya GBS, dimana
sistem imun tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering
adalah adanya organisme (misalnya virus atau bakteri) mengubah
keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk antibodi atau
immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau
partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan merusaknya,
dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak
penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel
imun seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin. Limfosit T akan
tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi
antibodi melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu yang bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh
antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut jaringan saraf
perifer akan hancur secara bertahap. Malfungsi sistem imunitas yang
terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan sementara pada saraf perifer
dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresisf
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati
perifer (Shahar E, 2006).
Mekanisme lain yang sering disebut pada GBS adalah mimikri
molekuler. Mimikri molekuler ini berhubungan dengan situasi dimana
patogen dan tuan rumah memiliki antigen yang hampir sama, atau
reseptor sel B dan sel T tuan rumah dapat dikenali oleh peptida yang
tidak sesuai, yang mempengaruhi antibodi dan respon sistem imun sel T.
Atau dengan kata lain terjadi kesalahan sistem imun sehingga
6

menyerang myelin atau akson. Kesalahan ini terjadi karena permukaan


mikroba (terutama C.jejuni) mengandung polisakarida yang
glikokonjugasinya mirip dengan sistem saraf manusia, kemiripan ini
disebut molekuler mimikri, yang dikenali oleh reseptor sel T dan sel B
dari struktur mikroba serta dikenali juga oleh antigen tuan rumah, yang
disebut juga infeksi memicu antibodi silang reaktif yang menyebabkan
penyakit autoimun (Pithadia, 2010 dan Yu RK, 2006).

4. Manifestasi Klinis
Tanda klinis utama dari GBS adalah sifatnya yang progresif cepat,
kelemahan bilateral dan relative simetris, gangguan diekstremitas bawah
pada baik proksimal dan distal yang terlibat hamper secara bersamaan.
Hal ini juga dapat disertai keterlibatan gangguan otot pernapasan
dan/atau keterlibatan saraf kranial.
a) Kelemahan : gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan
yang ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh
bagian bawah biasanya terkena duluan sebekum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal
daripada yang distal. Otot pernapasan dapat terpengaruh
juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas
mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu.
Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai
tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

b) Keterlibatan Saraf Kranialis : keterlibatan saraf kranial


tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf wajah
adalah saraf kranial yang paling umum terpengaruh.
Neuropati wajah terjadi pada 50% kasus dan sering
bilateral. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai
berikut; wajah droop (bisa menampakkan bell’s palsy),
7

displopsia, disatria, disfagia, opthalmoplegia, serta


gangguan pada pupil.

c) Perubahan Sensoris : dalam kebanyakan kasus, kehilangan


sensori cenderung minimal dan variable. Kebanyak pasien
mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik
serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan.
Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari,
berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar
keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.

d) Nyeri : dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien


dengan GBS, 89% pasien melaporkan nyeri yang
disebabkan GBS pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada
daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi
bahkan dengan sedikit Gerakan. Rasa sakit ini sering
digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala
dysesthetic diamati sebanyak 50%. Dysesthetic sering
digambarkan sebagai lebih umum diekstremitas bawah
daripada diekstremitas atas. Sindrom nyeri lainnya yang
biasa dialami oleh Sebagian pasien dengan GBS adalah
sebagai berikut : myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit
yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya tekanan
palsi saraf, ulkus decubitus).

e) Perubahan Otonom : Dysautonomia (aritmia jantung,


hipertensi atau hipotensi, ileus, retensi urin) terjadi pada
sampai 15% dari pasien. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; takikardia, bradikardia, facial
flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik,
anhidrosis dan/ diaphpresis, retensi urin karena gangguan
8

sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus


dapat ditemukan.

f) Pernafasan : kurang lebih 40% pasien GBS cenderung


memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Dispnea
saat aktivitas, sesak nafas, kesulitan menelan, kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa
terjadi pada hingga sepertiga dari pasien dibeberapa waktu
selama perjalanan penyakit mereka. Sekitar 25% pasien
mengalami pernafasan parah dan memerlukan bantuan
ventilasi mekanis.

5. Klasifikasi
a) Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok
dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling
sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal disbanding distal.
Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa AIDP terdapat infiltrasi
limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.

b) Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim


panas GBS epidemic pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan
55% hingga 65% dari pasien GBS merupakan jenis ini. Jenis ini
lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas
degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang
berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan
pernapasan, meskipun pasien biasnya memiliki prognosis yang baik.
Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi
mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambat melalui
interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik.
9

c) Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit


akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf
sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan
karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.
Dalam AMAN, makrofag diyakini menyerang ruang antara sel
Schwan dan akson, meninggalkan selubung myelin.

d) Miller Fisher Syndrome (MFS) adalah karakteristik dari triad ataxia,


arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis,
facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien.
Hampir semua menunjukkan IgG auto antibody terhadap ganglioside
GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi didaerah paranodal pada
saraf kranialis III,IV,VI dan dorsal root ganglia.

e) Acute Neuropatic panautonomic adalah varian paling langka pada


GBS. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait
dengan tingkat kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular,
dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya
pembentukan air mata, mual, disfagia, sembelit dengan obat
pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok
pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit
kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom
termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset
berhubungan dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi
pencernaan.

6. Diagnosis
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni:
a) Fase Progresif
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai
10

tiga minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap


yang dikenal sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri,
kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat
keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat
serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen.
b) Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala.
Serangan telah berhenti namun derajat kelemahan tetap ada
sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada
pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf
serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat
lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan,
nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu
dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c) Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibodi yang menghancurkan mielin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
11

pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih


didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai
waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan
tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.

Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase, kriteria


diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk
diagnosis GBS; meliputi gejala utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS,
pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang menyingkirkan diagnosis.
a) Gejala utama
1) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
dengan atau tanpa disertai ataksia
2) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

b) Gejala tambahan
1) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, 90% dalam 4 minggu.
2) Biasanya simetris
3) Adanya gejala sensoris yang ringan
4) Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
bulbar,kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain.
5) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
6) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
12

7) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah


progresivitas berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali

c) Pemeriksaan CSS
1) Peningkatan protein
2) Sel MN < 10 /µl

d) Pemeriksaan elektrodiagnostik
1)Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

e) Gejala yang menyingkirkan diagnosis


1) Kelemahan yang sifatnya asimetri
2) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
3) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
4) Gejala sensoris yang nyata

7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan:
a) Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens,
meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot
mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia,
otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas serta tidak
didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.

b) Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana


pada GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan
abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak
terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.

c) Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak


tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
Pada GBS, terdapat paralisis umum yang mendadak dan boleh
13

menyebabkan paralisis otot respirasi.

d) Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan


makanan kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan
diplopia, disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal,
serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.

e) Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot


pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan
didapatinya kutu yang menempel pada kulit.

f) Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan


mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati
porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik
delta. Pada GBS, terdapat keterlibatan paralisis otot respirasi,
namun hasil pemeriksaan urin dalam batas normal.

g) Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja


industri dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset
gejala lebih lambat daripada GBS.

h) Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di


bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama
yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan
menghilang.

i) Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat,


gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

j) Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah


dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada
tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks
14

tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang


sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

8. Penatalaksanaan
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan
penyakit GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh
dengan sendirinya. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat
simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat
keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan
penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih
tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi
tetap harus diberikan.
a) Terapi Farmakologi
Kortikosteroid : Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya mengatakan bahwa preparat steroid tidak
memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian
kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat
penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian
metylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan
imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan
dalam waktu jangka panjang. Sebuah studi awal mengemukakan
pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil
yang lebih buruk daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah
studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima
metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118
pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan
pernedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan
maupun outcome yang lainnya.

Plasmaparesis : secara langsung mengeluarkan faktor-faktor


humoral, seperti autoantibody, kompleks imum, complement,
15

sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik lainnya.


Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis
yang lebih cepat, minimal penggunaan alat bantu napas, dan
lama perawatan yang lebih singkat. Dalam studi tersebut,
plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien
GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat
bantu napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari
darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk
menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin
ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien
dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi
konsentrasi protein yang hilang. Terapi ini dilakukan dengan
menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari.
Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat
bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS).
Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan
kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena
subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
pneumothoraks, hipotensi, sepsi, trombositopenia, hipokalsemia,
dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk memonitoring
tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain
itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT,
dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi
abnormal.

Imunoglobulin Intravena : Pengobatan dengn immunoglobulin


intravena (IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan dengan
terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi yang
sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi
respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan
produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang
16

dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok


ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh
makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada
GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome
Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka
membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147
pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi
juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmaparesis. Pada
penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang
dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat
keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis
penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada penderita
GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. Efek
samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan
dan jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan
jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan
kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan
ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit
hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri
kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri
punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan
dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan
premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi
meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak
tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi.
Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom
hiperviskositas.
17

b) Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan,
sehingga terapi suportif yang baik menjadi elemen penting
dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang
intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk
memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang
lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital capacities < 15
cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60
cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi
dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah
duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan
dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu
diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau
antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan. Apabila
terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu
dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang
masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak
penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih
keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah
terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot
penderita.

9. Prognosis
Kebanyakan fungsi pasien GBS kembali normal. Setelah
perkembangan penyakit berhenti, gejala biasanya terjadi selama 2-4
minggu, diikuti dengan pemulihan bertahap. Sekitar 20-25% dari pasien
memerlukan ventilasi mekanis, dan 5% meninggal. Usia yang lebih tua
(60 tahun/ lebih tua), dukungan ventilasi, perkembangan yang cepat (< 7
hari). Bila terjadi kekambuhan/ tidak ada perbaikan pada akhir minggu
IV maka termasuk CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy)
BAB III
LAPORAN KASUS

STATUS ORANG SAKIT


IDENTITAS PRIBADI
Nama : M. Reza Hambali
Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Kawin : Belum Kawin
Agama / Suku : Islam
Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa
Alamat : Jl. Letda Sujono Gg Mangga No 2 Medan
Tembung

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Kebas pada kedua tungkai dan kedua tangan
Telaah : Pasien laki-laki 28 tahun dating ke RSU Haji Medan
dengan keluhan awal kebas pada kedua tangan dan kaki. Kebas dirasakan dari jari
kaki kemudian menjalar ke seluruh tungkai dan jari-jari tangan. Kebas diikuti
dengan tremor pada jari-jari tangan. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sulit
berjalan karena lemas dan kesemutan pada kedua kaki. Pasien juga mengatakan
pada malam hari merasa sulit tidur karena kedua kaki pegal dan nyeri.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak Ada
Riwayat Penggunaan Obat : Tidak Ada
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Ada
ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius : Jantung berdebar(-), Nyeri dada(-)
Traktus Respiratorius : Sesak (-), Batuk (-)
Traktus Digestivus : Tidak Ada
Traktus Urogenitalis : BAB(+), BAK(+)
Penyakit Terdahulu & Kecelakaan : Tidak Ada
Intoksikasi & Obat-obatan : Tidak Ada

ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter : Tidak Ada
Faktor Familier : Tidak Ada
Lain-lain : Tidak Ada
ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran & Pertumbuhan : Normal

18
19

Imunisasi : Tidak Ingat


Pendidikan : SLTA
Pekerjaan :
Pelajar/Mahasiswa
Perkawinan & anak : Belum
Kawin
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah : 126/77 mmHg
Nadi : 117x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 36,3 oC
Kulit dan selaput lender : Ikterik (-), ruam(-), konjungtiva (-)
Kelenjar dan getah bening : Dalam Batas Normal
Persendian : Dalam Batas Normal

KEPALA DAN LEHER


Bentuk dan posisi : Normochepali, posisi: simetris
Pergerakan : Dalam Batas Normal
Kelainan Panca Indera : Dalam Batas Normal
Rongga Mulut dan Gigi : Dalam Batas Normal
Kelenjar Parotis : Dalam Batas Normal
Desah : Tidak Ada
Dan Lain – Lain : Tidak Ada
RONGGA DADA DAN ABDOMEN
Rongga Dada
Inspeksi : Normochest, Simetris kanan =kiri
Palpasi : Massa (-), Stem fremitus (kanan=kiri)
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Ronkhi (-)
Rongga Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa(-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

Genitalia
20

Toucher : Tidak Dilakukan Pemeriksaan

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Sensorium :Composmentis (GCS: E=4, M=5, V=6)
Kranium
Bentuk : Normocepali
Fontanella : Tertutup, keras
Palpasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Transiluminasi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Perangsangan Meningeal
Kaku kuduk :-
Tanda kernig :-
Tanda Lasegue :-
Tanda Brudzinski I :-
Tanda Brudzinski II :-

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah :-
Mual :+
Nyeri kepala :-
Kejang :-
Saraf Otak / Nervus Kranialis
Nervus I (Olfaktorius)

Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra


Normosmia :+ +
Anosmia :- -
Parosmia :- -
Hiposmia :- -
Nervus II (Opticus)

Oculi Dextra Okuli Sinistra


Visus : TDP TDP
Lapangan pandang
Normal : + +
21

Menyempit : - -
Hemianopsia : - -
Skotoma : - -
Refleks Ancam : + +
Nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlearis, Abducent)
Gerakan bola mata : + +
Nistagmus : - -
Posisi Bola Mata : Ditengah Ditengah
Pupil : Isokor Isokor
Lebar 3mm 3mm
:
Bentuk : Bulat Bulat
:
Refleks Cahaya Langsung : + +
Refleks cahaya tidak langsung: + +
Rima Palpebra : <7mm <7mm

Deviasi Konjugate : - -

Fenomena Doll’s Eye : - -


Strabismus : - -
Nervus V (Trigeminal) Kanan Kiri
• Membuka dan menutup mulut : + +
• Palpasi otot masseter & temporalis : + +
 Kekuatan gigitan : + +
Sensorik
Kulit : DBN DBN
Selaput Lendir : DBN DBN
Refleks Maseter : + +
Refleks bersin : + +

Kanan Kiri
Nervus VII (Facialis)
Motorik
Mimik
22

Kerut Kening : + +
Kedipan Mata : + +
Menutup Mata : + +
Meringis : + +
Menggembungkan Pipi : + +
Meniup Sekuatnya : + +
Memperlihatakan Gigi : + +
Tertawa : + +
Bersiul : TDP TDP

Sensorik

Pengecapan 2/3depan lidah : DBN


Produksi kelenjar ludah : DBN
Hiperakusis : TDP
Refleks stapedial : TDP
Nervus VIII (Vestibulocochclearis) Kanan Kiri

Auditorius

 Pendengaran : + +

 Tes Rinne : TDP TDP

 Tes Weber : TDP TDP

 TesSwabach : TDP TDP


Vestibularis

 Nistagmus : - -

 Reaksi kalori : TDP TDP

 Vertigo : - -

 Tinitus : - -
23

Nervus IX, X (Glosopharyngeus, Vagus)


Pallatum mole : Normal
Uvula : Medial
Disfagia :-
Disatria :-
Disfonia :-
Refleks muntah :+
Pengecapan 1/3 belakang lidah :+

Nervus XI (Accessorius) Kanan Kiri


Mengangkat Bahu :+ +
Otot sternokledomastoideus :+ +
Nervus XII (Hypoglossus)

Tremor :-
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Ujung Lidah Saat Istirahat : DBN
Ujung Lidah saat Dijulurkan : DBN
Sistem Motorik
Trofi : Hipotrofi Hipotrofi
Tonus Otot : Hipotonus Hipotonus
55555 55555
Kekuatan Otot : ESD : ESS :
55555 55555
44444 44444
EID : EIS :
44444 44444

Sikap (duduk-berdiri-berbaring) : Berbaring


Gerakan spontan abnormal Kanan Kiri
 Tremor : + +

 Kornea : - -

 Ballismus : - -

 Mioklonus : - -
24

 Atetosis : - -

 Distonia : - -

 Spasme : - -

 Tic : - -

 Dll : - -
Test Sensibilitas
Eksteroseptif

 Nyeri superfisial : DBN DBN

 Raba : DBN DBN

 Suhu : DBN DBN


Proprioseptis

 Posisi : DBN DBN

 Gerak : DBN DBN

 Tekanan : - -
Fungsi kortikal untuk
sensibilitas
 Steorognosis : TDP

 Pengenalan 2 titik : TDP

 Grafestesia : TDP

Refleks Kanan Kiri


Refleks Fisiologis
 Bisep : ++ ++

 Trisep : ++ ++

 APR : ++ +

 KPR : ++ +

 Strumple : ++ ++
25

Refleks Patologis
 Babinski : - -

 Oppenheim : - -

 Chaddock : - -

 Gordon : - -

 Schaefer : - -

 Hoffman- tromner : - -

 Klonus lutut : - -

 Klonus kaki : - -

 Refleks primitive : - -
Koordinasi
Lenggang
Bicara : DBN
Menulis : DBN
Percobaan apraksia : DBN
Mimik : DBN
Tes telunjuk-telunjuk : DBN
Tes telunjuk-hidung : DBN
Diadokinesia : TDP
Test tumit–lutut : TDP
Test Romberg : TDP
Vegetatif

Vasomotorik : TDP
Sudomotorik : TDP
Piloerektor : TDP
Miksi : (+) Normal
Defekasi : (+) Normal
26

Potensi dan Libido : TDP


Vertebra
Bentuk

 Normal :TDP

 Scoliosis :-

 Hiperlordosis :-
Pergerakkan

 Leher :+

 Pinggang :+
Tanda Perangsangan Radikuler
Laseque :-
Cros Laseque :-
Test Lhermitte :-
Test Nafziger :-
Gejala-Gejala Serebelar

Ataksia :-
Disartria :-
Tremor :-
Nistagmus :-
Fenomena rebound :-
Vertigo :-
Dll :-
Gejala-Gejala Ekstrapiramidal
Tremor :+
Rigiditas :-
Bradikinesia :-
Dan lain-lain :-
Fungsi Luhur
27

Kesadaran kualitatif : Composmentis


Ingatan baru : Normal

Ingatan lama : Normal


Orientasi

 Diri :-

 Tempat :-

 Waktu :-

 Situasi :-

Intelegensia :-
Daya pertimbangan :-
Reaksi emosi :-
Afasia

 Ekspresif :-

 Represif :-
Apraksia :-
Agnosa

 Agnosiavisual :-

 Agnosia jari-jari :-

 Akalkulia :-

:-
 Disorientasi Kanan-kiri :-

KESIMPULAN PEMERIKSAAN
Anamnesis
Keluhan Utama : Kebas pada kedua tungkai dan kedua tangan
Telaah : Pasien laki-laki 28 tahun dating ke RSU Haji Medan
dengan keluhan awal kebas pada kedua tangan dan kaki. Kebas dirasakan dari jari
kaki kemudian menjalar ke seluruh tungkai dan jari-jari tangan. Kebas diikuti
dengan tremor pada jari-jari tangan. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sulit
berjalan karena lemas dan kesemutan pada kedua kaki. Pasien juga mengatakan
pada malam hari merasa sulit tidur karena kedua kaki pegal dan nyeri.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak Ada
28

Riwayat Penggunaan Obat : Tidak Ada


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Ada
STATUS PRESENT

Tekanan Darah : 126/77 mmHg


Nadi : 117x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 36,3oc
GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL
 Tremor :+
 Rigiditas :-
 Bradikinesia : -
REFLEKS FISIOLOGI : Tetraparesis
REFLEKS PATOLOGIS : Babinski (+) dextra-sinistra, Oppenheim (+)
dextra, Hoffman-Tromner (+) dextra-sinistra
SISTEM MOTORIK
 Trofi : Hipotrofi Hipotrofi
 Tonus Otot : Hipotonus Hipotonus
44444 44444
 Kekuatan Otot : ESD : ESS :
44444 44444
55555 55555
EID : EIS :
55555 55555
 Sikap (duduk-berdiri-berbaring) : Berbaring

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Hasil Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin 13.9 g/dl
Eritrosit 4.54 10^3/uL
Leukosit 9.20 uL
Hematokrit 42.1 %
Trombosit 223000 uL
RDW-CV 15.6 fL
PDW 14.9 %
Index Eritrosit
29

MCV 93 F1
MCH 31 Pg
MCHC 33 %
Jenis Leukosit
Eosinofil% 0 %
Basofil 0 %
N. Stab %
Neutrofil 83 %
Limfosit 11 %
Monosit 6 %
LED mm/jam
Jumlah Total Sel
Total Lymphosit 1.03 ribu/uL
Total Basofil 0,00 ribu/uL
Total Monosit 0.51 ribu/uL
Total Eosinofil 0.02 ribu/uL
Total Neutrofil 7.7 ribu/uL
Elektrolit
Natrium 141 mEg/L
Kalium 3.70 mEg/L
Klorida 101.00 mEg/L

DIAGNOSA
Diagnosa Fungsional :
Diagnosis Etilogi :
Diagnosa Anatomik :

Diagnosa Banding :
Diagnosa Kerja :

PENATALAKSANAAN :
- IVFD RL
20gtt/i
- Inj Ranitidine 25 mg/2ml/ 1 amp/12
Jam
30

- Inj citicoline 250mg


- IVFD Manitol 125cc
- Inj. Ceftriaxone 1g/12 Jam
BAB IV

KESIMPULAN
Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat simetris
dan asendens yang biasanya terjadi dalam 1-3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.
Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau
bisa terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan dan
wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter.
Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor pencetus yang terlibat,
diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik. Manifestasi
klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan
risiko komplikasi pencernaan.
Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan
serebrospinal, elektromiografi dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,
serta prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk Guillain–Barré Syndrome meliputi
plasmaparesis dan IVIg serta terapi suportif. Tujuan utama penatalaksanaan GBS
adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan
dan memperbaiki prognosisnya. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan
prognosis yang lebih baik. Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah
gagal nafas dan aritmia.

31
DAFTAR PUSTAKA
Andary, M.T., Oleszek, J.L., Maurelus,K, and Mc-Crimmon, R. Y., 2014.
Guillain – Barre Syndrome http://emedicine.medscape.com/article/315632.
Benjamin R. Wakerley, Antonino Uncini and Nobuhiro Yuki. Guillain-Barre and
Miller Fisher syndromes-new diagnostic classification. Nat Rev Neurol. 2014
Center for Disease Control (CDC). Guillain Barre Syndrome (GBS)
http://www.cdc.gov./flu/protect/vaccine/guillainbarre.
Gorelick PB. Hankey’s Clinical Neurology., Taylor and Francis Group, LCC CRC
Press. 2014.
John CM, Brust MD. A Lange Medical Book Current Diagnosis and Treatment
Neurology., Edited by John CM and Brust MD, Clinical Neurology Columbia
University College of Physicians and Surgeons, New York. 2012
Kenichi K, Toshio A and Robert KY. Antianglioside antibodies and their
pathophysiological effects on Guillain-Barre Syndrome and Related Disorders.
Glycobiology. 2009
Mayo Clinic staff. 2011. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre syndrome/
Mikail, B. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di Kalangan
Usia Produktif. 2012. http://health.kompas.com . 2015
Pritchard J. Guillain-Barre syndrome. Clin Med. 2010
Ryszard MP, Cassio L., Robert MG. G. Guillain Barre Syndrom. JAMA. 2011
Van Dorn PA, et.al. IVIG Treatment and Prognosis in Guillain Barre Syndrome.
Journal of Clinical Immunology. 2010
Vucis S, Kiernan MC. Cornblath DR. Guillain-Barre syndrome: An Update. J
Clin

Anda mungkin juga menyukai