Anda di halaman 1dari 52

PAPER

VIRAL PNEUMONIA
Paper ini Disususn Sebagai Tugas Mengikuti Kepanitraan Klinik Senior (KKS)
Ilmu Anastesi Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatra Utara

Oleh:
Putri Weni
102119096

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, M.Ked(An)., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIS SENIOR ILMU ANESTESI RSU HAJI MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan judul “ Viral
Pneumonia” Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan
serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr.M.Winardi S.
Lesmana,M.Ked(An).,Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik
senior smf ilmu anestesi serta dalam penyelesaian paper ini. Dalam penulisan
makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan,
baik dari segi penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang
akan datang.

Medan, Oktober 2021

Penulis

i
ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................3

2.1 Definisi........................................................................................................................3

2.2 Klasifikasi....................................................................................................................3

2.3 Epidemiologi...............................................................................................................5

2.4 Etiologi........................................................................................................................6

2.5 Faktor Resiko.............................................................................................................10

2.6 Patogenesis................................................................................................................11

2.7 Manifestasi Klinis......................................................................................................13

2.8 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................14

2.9 Diagnosis...................................................................................................................20

2.10 Diagnosis Banding...................................................................................................20

2.11 Tatalaksana..............................................................................................................21

2.12 Pencegahan..............................................................................................................25

2.13 Komplikasi...............................................................................................................38

2.14 Prognosis.................................................................................................................39

BAB III KESIMPULAN.........................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................42
ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil

disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan lainya).1 Viral pneumonia adalah

infeksi paru-paru yang disebabkan oleh sejumlah besar virus pathogen.2

Patogen virus semakin dikenal sebagai penyebab pneumonia, pada pasien

imunokompeten dan lebih umum di antara immunocompromised lainnya.

Pneumonia virus pada orang dewasa dapat muncul sebagai community-acquired

pneumonia (CAP), mulai dari penyakit ringan hingga penyakit berat yang

memerlukan perawatan di rumah sakit dan ventilasi mekanis. Selain itu, peran

virus dalam pneumonia yang didapat di rumah sakit dan pneumonia terkait

ventilator sebagai agen penyebab atau sebagai kopatogen dan efek deteksi virus

pada hasil klinis sedang diselidiki. Lebih dari 20 virus telah dikaitkan dengan

CAP. Presentasi klinis, temuan laboratorium, biomarker, dan pola radiografi

tidak khas untuk etiologi virus tertentu. Saat ini, konfirmasi laboratorium paling

sering dilakukan dengan mendeteksi asam nukleat virus dengan reverse

transcription-PCR dari sekresi pernapasan.3

Selain itu, virus sebagai penyebab penting untuk hospital-acquired

pneumonia (HAP) menjadi lebih jelas. Data retrospektif dari satu rumah sakit

1
2

menunjukkan virus diisolasi sesering bakteri patogen dalam kasus HAP. Dalam

studi lain melihat HAP parah, virus diidentifikasi dalam 22,5 persen kasus,

paling sering respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Pasien

dengan pneumonia virus memiliki tingkat kematian yang sebanding dengan

pasien dengan pneumonia bakteri.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru atau bagian distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, yang

disebabkan oleh mikroorganisme yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan

paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1

Viral pneumonia adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh sejumlah besar virus

pathogen.2

2.2 KLASIFIKASI

1) Menurut sifatnya, yaitu:

a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang

tidak mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu

Staphylococcus pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae,

juga Virus penyebab infeksi pernapasan( Coronavirus, Influenza,

Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak

khas( “atypical”) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.4

b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,

selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi

mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus,

HIV, dan kanker,dll. 2


3
2) Berdasarkan Kuman penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa

bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya

Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca

infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus.

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised). 5

3) Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)

pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga

termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang

dari 48 jam. 5

b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan

pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam

berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di

temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif

lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa,

Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri

penyebab HAP. 6

c. Pneumonia aspirasi

4) Berdasarkan lokasi infeksi


4
a. Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus

besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran

airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan

edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak

pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi

dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen.

Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti

aspirasi benda asing, atau adanya proses keganasan. 5

b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus

terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk

bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan

adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat

disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.

Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. 5

c. Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan

peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan

mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan

interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus

masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata. 5

5
2.3 EPIDEMIOLOGI

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang

terbanyak di dapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia.

Angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur, pneumonia

dapat menyerang siapa saja, meskipun lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Di

Amerika Serikat pneumonia mencapai 13% dari penyakit infeksi saluran nafas pada

anak di bawah 2 tahun.

Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak

40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal

musim semi, dinegara tropis pada musim hujan, namun saat ini Sejak kasus pertama

di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China setiap hari dan memuncak

diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan

datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-

provinsi lain dan seluruh China.10

Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19

di China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand,

Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi,

Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman.11

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua

kasus.12 Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah

1.528 kasus dan 136 kasus kematian.13 Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia

sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, angka ini terus

mengalami perubahan hingga sekarang.7,14


6
2.4 ETIOLOGI

Salah satu penyebab viral pneumonia dari virus pathogen yang paling banyak

saat ini ialah coronavirus. Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel

120-160 nm. Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah

kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus

yang dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus

NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory

Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome

Coronavirus (MERS-CoV). Selain Coronavirus, tedapat juga penyebab lain

disebabkan oleh virus lain yaitu Respiratory Syncial Virus (RSV), Influenza Virus,

Para Influenza Virus, dan Adenovirus. Meskipun virus-virus ini kebanyakan

menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu

pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan

sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus

influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian.9,22

Virus Influenza

Virus influenza menjadi penyebab utama infeksi paru akibat virus. Influenza

merupakan virus yang mengandung RNA yang termasuk dalam famili Myxovirus,

yang dibagi menjadi tiga grup, yaitu A, B, dan C berdasarkan antigen membran

intena (M) dan nucleoprotein (NP). Grup A dibagi lagi berdasarkan glikoprotein

permukaannya, yaitu hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Hemaglutinin

dibutuhkan virus untuk berikatan dan penetrasi ke dalam membran sel pejamu.

Neuraminidase membantu dalam pelepasan dan penyebaran partikel virus yang sudah
7
bereplikasi. Virus influenza A dapat melakukan mutase secara spontan, memproduksi

strain baru dengan mengubah glikoprotein H dan N. Penamaan strain virus influenza

secara lengkap termasuk tipe virus, lokasi geografis ditemukannya virus, nomor

strain, tahun, dan nomor H dan N (misalnya A/California/7/2009[H1N1]). Tiga tipe

virus influenza ini dapat mengubah struktur secara minor, kecuali tipe A yang dapat

memproduksi strain yang berbeda secara serologi. Imunitas tubuh tehadap virus

influenza ini bergantung dari antibodi yang dihasilkan tehadap glikoprotein tersebut.

Ketika perubahan antigen yang minor (antigenic drift) terjadi, efek tehadap antibodi

juga minor. Namun, dengan perubahan antigen yang besar (antigentic shift), sebagian

besar orang tidak mempunyai respon imun terhadap virus yang baru ini sehingga

dapat terjadi pandemi. Misalnya, virus H1N1 berperan dalam terjadinya pandemi

pada tahun 2009. WHO memperkirakan terdapat 16.226 kematian yang berhubungan

dengan pandemi virus tersebut dari April 2009 sampai Januari 2010. Hewan-hewan,

seperti ungags atau babi merupakan reservoir penting untuk virus influenza, yang

memungkinkan untuk tejadinya rekombinasi genetik yang menghasilkan virus baru.

Infeksi virus influenza dapat menyebabkan kematian sel, terutama di saluran

naoas atas. Ketika virus menginfeksi saluran napas atas secara langsung, dapat terjadi

gangguan pembersihan mukosilier, yang menyebabkan bakteri dapat menempel di

epitel saluran napas. Gangguan fungsi dari sel T, makrofag, dan neutrofil juga terjadi,

sehingga menurunkan respon imun tubuh. Semua proses ini memungkinkan untuk

tejadinya koinfeksi dengan bakteri. Masa inkubasi virus ini adalah satu sampai dua

hari, sedangkan gejalanya berlangsung dari tiga sampai lima hari. Tiga presentasi

klinis yang mungkin terjad adalah pneumonia primer akibat influenza, pneumonia
8
akibat influenza dengan infeksi sekunder bakteri, dan ko-infeksi secara simultan

antara virus dengan bakteri.

Respiratory Syncytial Virus

RSV merupakan famili dari Paramyviridae virus, dan merupakan virus yang

menyebabkan infeksi saluran napas bawah paling sering pada anak. Belakangan

diketahui bahwa virus ini menjadi penyebab paling sering pneumonia pada dewasa,

terutama pada usia lanjut. Populasi yang beresiko adalah anak di bawah usia enam

bulan, pasien dengan penyakit kronik seperti fibrosis kistik, pasien dengan penyakit

jantung bawaan, orang usia lanjut, dan pasien imunosupresif. Total mortalitas pada

dewasa akibat infeksi virus ini bervariasi, yakni dari 1-5% pada orang sehat, dan

meningkat menjadi 41% pada resipien transplantasi sumsum tulang.

Tabel 1. Perbedaan gejala klinis antara pneumonia akibat influenza atau RSV

Adenovirus

Adenovirus merupakan virus DNA dengan 52 serotipe. Infeksi adenovirus

dapat terjadi kapan saja dalam waktu satu tahun. Adeovirus merupakan penyebab

9
10% pneumonia pada anak. Virus ini pernah diidentifikasi menjadi penyebab

outbreaks pada kemah militer di Amerika Serikat.

Serotipe virus ini diklasifikasikan menjadi 7 subgrup atau spesies (A sampai

G). Infeksi paru banyak disebabkan oleh serotipe 1, 2, 3, 4, 5, 7, 14, dan 21.

Walaupun sebagian besar virus ini mempunyai tingkat mortalitas yang rendah, namun

subtipe 14 dilaporkan dapat menyebabkan gagal napas yang berat, terutama pada

pasien HIV dan pasien dengan gangguan imunitas sel lainnya. Penyebaran virus ini

terjadi langsung melalui konjungiva, hirupan, feses, dan muntahan. Virus ini dapat

bertahan di lingkungan dalam hitungan minggu. Reaktivasi virus ini dapat juga

menghasilkan penyakit seperti keratokonjungtivitis, gastroenteritis, hepatitis, sistitis,

dan pneumonia. Mortalitasnya bervariasi, antara 38-100%, terutama pada pasien yang

menerima transplantasi sumsum tulang.

2.5 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor meningkatkan risiko kejadian dan derajat pneumonia, antara

lain defek anatomi bawaan, defisit imunologi misalnya akibat malnutrisi energi

protein, polusi, GERD (gastroesophageal reflux disease), aspirasi, gizi buruk, dan

kamar tidur yang terlalu padat penghuninya . Selain itu keadaan seperti defisiensi

vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan

(polusi udara) juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor

predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi

kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi

imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun
10
berkaitan dengan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan

neuromuskular, kontaminasi perinatal, dan gangguan klirens mukus/ sekresi seperti

pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing atau disfungsi silier.

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes

melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari

pneumonia akibatt infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak

pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada

perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor

ACE2.23 Diaz JH menduga pengguna penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin

receptor blocker (ARB) berisiko mengalami COVID-19 yang lebih berat.23,24

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien

COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan

namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah.

Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia,

sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga

medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%.8,25

2.6 PATOGENESIS

Belum diketahui sepenuhnya. Infeksi awal berbeda tiap virus. Setelah

kontaminasi, kebanyakan virus respiratori cenderung berkembangbiak di epitel

saluran nafas atas dan selanjutnya menginfeksi paru melalui sekret saluran nafas atau
11
penyebaran hematogen. Kerusakan jaringan tergantung jenis virusnya, ada yang

sitopatik, langsung mempengaruhi pneumosit, yang lain dengan respon imun yang

berlebihan. Virus respiratori merusak saluran nafas dan merangsang host melepaskan

antara lain histamine, leukotrin C4. Infeksi virus respiratori mengubah pola kolonisasi

bakteri, yang meningkatkan perlengketan bakteri ke epitel respiratori, mengurangi

mucocilliary clearance dan fagositosis. Ini membiarkan kolonisasi bakteri patogen

dan invasi ke daerah yang normal steril, sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

Virus influenza umumnya menyerang saluran nafas bawah dan parenkim paru

setelah menyebabkan infeksi saluran nafas atas. Virus mencapai paru melalui

penyebaran dari saluran nafas atas atau inhalasi partikel kecil aerosol. Infeksi mulai di

silia sel epitel mukosa dari trakea, bronkus, saluran nafas bawah sehingga merusak

sel-sel tersebut secara luas, mukosa jadi hiperemia, terlihat trakeitis, bronkitis,

bronkiolitis dengan hilangnya sel epitel normal. Submukosa hiperemi dengan

perdarahan fokal, oedem, infiltrasi sel. Rongga alveolus berisi berbagai jumlah

netrofil, sel mononuklear bercampur dengan fibrin dan cairan oedem. Kapiler

alveolus hyperemia dengan perdarahan intraalveolar. Kerusakan sel epitel normal

sebagai barrier terhadap infeksi, hilangnya mucocilliary clearance meningkatkan

patogenesis bakteri. Bakteri sendiri bisa meningkatkan replikasi virus influenza

dengan melepaskan protease yang membelah hemoglutinin virus. Gangguan

pertahanan tubuh ini dapat menerangkan sebanyak 53% pneumonia bakteri rawat

jalan disertai infeksi virus.1 Tetapi bisa juga mulai dengan sel saluran nafas lain

seperti sel alveolar, sel kelenjar mukosa, makrofag. Pada sel yang terinfeksi, virus

berkembang biak dalam 4-6 jam, lalu menjalar ke sel sekitarnya. Infeksi menyebar
12
dari fokus yang sedikit ke sel respiratori yang luas dalam beberapa jam. Masa

inkubasi 18–72 jam. Gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia, diduga

virus menginduksi sitokin terutama TNF-α, interferon-α disekret pernafasan dan

sirkulasi darah. Respon host terhadap infeksi influenza berupa antibodi humoral,

antibodi lokal, imunitas seluler, interferon, dan lain-lain. Respon antibodi serum

terdeteksi minggu kedua setelah infeksi primer. Antibodi sekretori oleh saluran nafas

utamanya adalah IgA sebagai proteksi terhadap infeksi. Interferon terdeteksi di sekret

respiratori segera setelah mulai pelepasan virus (virus shedding), bila titernya naik

pelepasan virus menurun. Pelepasan virus umumnya berhenti 2–5 hari setelah gejala

pertama muncul.

Pada orang tua, meningginya risiko infeksi dan komplikasi pneumonia virus

karena komorbid. Berkurangnya fungsi imunitas seluler, humoral, mengganggu

pembersihan virus sehingga virus menyebar ke saluran nafas bawah, inflamasinya

meningkat, penurunan kekuatan otot pernafasan dan proteksi saluran nafas oleh

mukosa.2,17

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Pneumonia primer dapat memberikan gejala berupa batuk yang persisten,

nyeri tenggorok, sakit kepala, dan mialgia selama kurang lebih lima hari. Dapat juga

terjadi sesak napas dan sianosis. Pada pneumonia dengan infeksi bakteri sekunder,

dapat ditemukan demam tinggi, batuk, dan sputum yang purulen, yang berhubungan

dengan adanya gambaran opasitas pada radiologi.

13
Manifestasi klinis pasien Covid-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari

tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS,

sepsis, hingga syok sepsis.21,26 Viremia dan viral load yang tinggi dari swab

nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan. Gejala ringan

didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi,

bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia,

malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak

membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan

diare dan muntah.5 Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan

demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2)

distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada

pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.9,27

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14

hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit

menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus

menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi

ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya

ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal.

Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit

menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika

tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin

yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya.5,24

14
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Spesimen

Diagnosis laboratorium pneumonia viral bergantung dari deteksi antigen

virus pada spesimen saluran napas atas (misalnya sekret nasofaring) dan saluran

napas bawah (misalnya sputum yang diinduksi). Spesimen tersebut kemudian

dilakukan identifikasi dengan kultur atau mikroskop imunofluoresens. Pemeriksaan

dengan PCR dapat meningkatkan kemungkinan deteksi virus, termasuk yang sulit

dideteksi dengan kultur. Setidaknya sebanyak 26 jenis virus ditemukan berhubungan

dengan pneumonia komunitas.

Pengambilan spesimen dari saluran napas atas, kadang sulit dalam

interpretasinya, karena virus pada nasofaring dapat saja menggambarkan koinsidens

dari infeksi saluran napas atas, atau patogen dari pneumonia itu sendiri. Spesimen

pada saluran napas atas yang dapat diambil adalah aspirat nasofaring, swab yang

berasal dari nasofaring, hidung, atau tenggorok, serta gabungan antara swab

nasofaring dan tenggorok. Spesimen saluran napas bawah yang dapat diidentifikasi

adalah sputum baik yang dikeluarkan langsung ataupun yang dilakukan induksi,

aspirat trakea, bronchoalveolar lavage, dan hasil dari pungsi paru.

Sebagian besar studi yang mengkaji penyebab dari pneumonia viral

menggunakan spesimen saluran napas atas untuk pemeriksaan. Pada anak, aspirat

nasofaring paling 9 banyak digunakan. Respiratory virus paling banyak ditemukan

pada 95% sampel mukus dari aspirat nasofaring pada anak dengan infeksi

pernapasan.

15
Swab hidung, yang dilakukan dengan kassa steril dari kedalaman 2-3 cm

mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan aspirat nasofaring untuk kultur semua

respiratory virus, kecuali respiratory syndcytial virus. Swab dengan serat nilon

(flocked swabs) lebih disukai dikarenakan lebih nyaman digunakan dengan

sensitivitas yang sama dengan aspirat nasofaring dalam mendeteksi respiratory virus

oleh PCR. Pada dewasa, swab nasofaring mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan swab tenggorok, tetapi kurang sensitif dibandngkan dengan

cuci nasofaring. Flocked swab nasofaring transnasal juga mempunyai tingkat deteksi

virus yang tinggi pada dewasa.

Spesimen saluran napas bawah mempunyai kelebihan dalam menentukan

etiologi dari pneumonia karena spesimen ini berasal dari tempat infeksinya. Namun,

salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah mendapatkan spesimen yang bebas

dari kontaminasi flora dari saluran napas atas. Spesimen dengan kualitas yang tinggi

didapat dengan aspirasi toraks, tetapi teknik ini tidak dianjurkan karena invasif.

B. Mengenali Pneumonia Viral

Pneumonia viral harus dibedakan dengan pneumonia bakterial, karena

manajemennya yang berbeda. Secara umum, perbedaan keduanya dapat dilihat pada

tabel 2. Respiratory virus biasanya mengikuti pola musim, sehingga waktu infeksinya

mengikuti waktu tersebut. Di negara dengan empat musim, epidemi respiratory

syncytical virus, biasanya terjadi pada akhir musim gugur, epidemi rhinovirus

meningkat pada musim gugur dan musim semi, sedangkan influenza meningkat pada

akhir musim gugur dan awal musim dingin. Beberapa virus dapat bersirkulasi pada

satu waktu yang spesifik, walaupun saat itu adalah puncak epidemi dari satu virus.
16
Tabel 2. Membedakan pneumonia viral dan bakterial

Pneumonia viral lebih dapat dikenali peningkatannya pada dewasa, walaupun

demikian, kejadiannya meningkat pada anak di bawah usia 2 tahun. Berdasarkan

British Thoracic Society, demam lebih dari 38,5ºC, laju respirasi lebih dari 50

kali/menit, dengan adanya retraksi dada menunjukkan pneumonia bakterial

dibandingkan dengan pneumonia viral. Sebagai perbandingan, pada usia muda,

adanya wheezing, demam di bawah 38,5ºC, dengan retrakasi dada yang mencolok
17
menunjukkan penyebabnya virus. Walaupun demikian, tanda dan gejala klinis dari

pneumonia viral atau bakterial seringkali overlap. Jika ada gejala seperti onset yang

tiba-tiba, demam tinggi, menggigil, nyeri dada pleuritik, infiltrat lobaris, leukositosis,

maka kumpulan gejala tersebut merujuk pada pneumonia bakterial (tipikal untuk

pneumonia pneumococcal).13,14

Jumlah sel darah putih, konsentrasi CRP dalam serum, dan prokalsitonin

merupakan variabel yang dapat menunjukkan adanya pneumonia komunitas. Namun,

secara umum, biomarker ini akan meningkat secara signifikan pada pneumonia yang

disebabkan oleh bakteri. Prokalsitonin dapat mengidentifikasi adanya infeksi bakteri.

Biomarker ini akan meningkat pada 6-12 jam setelah onset infeksi bakteri, menurun

setengahnya ketika infeksi terkontrol. Pada pneumonia, konsentrasi prokalsitonin ini

akan meningkat lebih dari 0,5 µg/L yang menunjukkan adanya infeksi bakteri. Angka

yang lebih rendah menujukkan bahwa kemungkinan kecil terjadi infeksi bakteri.

Rekomendasi dari American Thoracic Society menunjukkan bahwa diagnosis

pneumonia seharusnya dilakukan melalui pemeriksaan radiografi toraks. Adanya

infiltrat interstitial pada radiografi toraks menunjukkan bahwa penyebab pneumonia

adalah virus, sedangkan infiltrat alveolar mengindikasikan bahwa penyebab

pneumonia adalah bakteri. Walaupun demikian, baik bakteri maupun virus sendiri,

atau gabungan keduanya dapat menyebabkan perubahan radiografi yang luas. Pada

pemeriksaan CT scan toraks, ditemukan opasitas tree-bud, konsolidasi multifokal,

dan ground-glass opacities pada dewasa dengan pneumonia viral tanpa adanya bukti

infeksi bakteri.

C. Kultur
18
Kultur dapat dilakukan untuk sebagian besar respiratory virus, tetapi

dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil dari pemeriksaan ini. Untuk

melakukan pemeriksaan kultur, sampel jaringan dari saluran napas atas/bawah,

sputum, dan spesimen nasofaring atau bronchoalveolar lavage dapat digunakan. Efek

sitopatik virus dapat diamati dari kultur sel, seperti pembentukan multinucleated giant

cell atau adanya bukti pertumbuhan virus.

D. Pemeriksaan Sitologi

Spesimen untuk pemeriksaan ini diperoleh dari sekret nasal atau

bronkoalveolar. Teknik ini bertujuan untuk mengidentifikasi nukleus (virus DNA)

atau inklusi sitoplasmik (virus RNA). Identifikasi adanya inklusi mengonfirmasi

diagnosis. Kekurangan dari metode ini adalah mempunyai sensitivitas yang rendah,

sehingga tidak adanya temuan tidak dapat menyingkirkan penyakit.

E. Deteksi Antigen Cepat Tes deteksi cepat ini dapat digunakan dengan

mudah, menggunakan spesimen dari swab nasal. Tes ELISA dapat digunakan untuk

sebagian besar respiratory virus. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi antigen

virus. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini bervariasi bergantung dari agen yang

dilakukan analisis. Namun, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk

mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan ini kurang sensitif jika dibandingkan dengan

kultur, tetapi dapat digunakan sebagai tambahan untuk meningkatkan kemungkinan

diagnosis. 12

F. Amplifikasi Gen Teknik PCR sangat sensitif dan spesifik dalam

mendeteksi virus. Metode ini dapat menggunakan sampel dari sekret nasofaring, atau

cairan tubuh, seperti darah, untuk infeksi cytomegalovirus. Teknik PCR terbaru,
19
yakni MRT-PCR dapat digunakan untuk deteksi cepat beberapa respiratory virus,

seperti influenza A dan B, RSV A dan B, HPIV 1, 2, dan 3, metapneumovirus, dan

adenovirus. Namun, kekurangannya, untuk deteksi H1N1, pemeriksaan ini belum

sensitive

2.9 DIAGNOSIS

Insidensi pneumonia viral makin meningkat dalam beberapa tahun ini. Gejala

klinis yang muncul bervariasi, dari yang paling ringan dan dapat sembuh sendiri,

sampai kasus yang ekstrem dengan gagal napas, tergantung pada tingkat virulensi

agen penyebab dan komorbiditas pasien. Dalam diagnostik pneumonia viral, harus

dipahami bahwa isolasi dari agen penyebab infeksi ini tidak berarti adanya infeksi

yang aktif. Metode tervalidasi yang dapat dilakukan untuk mencari etiologi dari

infeksi virus ini adalah serologi, kultur, evaluasi secara sitologi, deteksi antigen cepat,

dan teknik amplifikasi gen.

2.10 DIAGNOSIS BANDING

a. Bacterial pneumonia 33

 Pneumonia pneumokokus adalah jenis pneumonia bakteri yang

disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae (yang juga disebut

pneumococcus). Foto toraks biasanya menunjukkan konsolidasi lobar

atau infiltrat yang tidak merata.

20
 Pneumonia stafilokokus, merupakan pneumonia berat yang biasanya

didapat dari pneumonia komunitas/perburukan klinis secara cepat walau

sudah diterapi. Pada apusan sputum ditemukan kokus gram positif yang

banyak. Foto toraks ditandai dengan adanya pneumatokel atau

pneumotoraks dengan efusi pleura.

 Penyakit Legionnaire , juga dikenal sebagai legionellosis , adalah bentuk

pneumonia atipikal yang disebabkan oleh semua jenis bakteri Legionella.

Foto toraks sering menunjukkan pneumonia dengan konsolidasi di bagian

bawah kedua paru-paru.

 Pola bronkopneumonia disebabkan oleh infeksi yang berpusat pada

bronkus, dengan akumulasi sel-sel inflamasi yang cukup cepat, terutama

leukosit polimorfonuklear, berbeda dengan pola edema yang mengisi air-

space. Pada radiologi biasa ditandai dengan gambaran difus merata pada

kedua paru, berupa bercak infiltrate halus yang dapat meluas hingga

daerah perifer paru disertai dengan corakan peribronkial.

b. Viral pneumonia (bocavirus, human metapneumovirus, rhinovirus,

adenovirus)34

c. MERS Coronavirus

MERS coronavirus adalah anggota baru dari b-coronaviruses dan berbeda

dari SARS dan virus b-coronavirus manusia lainnya (misalnya, OC43,

HKU1). MERS pneumonia pada gambar CT tampak sebagai lesi airspace

di subpleural dan basilar, dengan GGO yang luas dan konsolidasi.28

21
2.11 TATALAKSANA

Influenza Virus

Tata laksana yang harus diberikan pada pasien dengan pneumonia virus

adalah oksigen, analgesik, antipiretik, dan antivirus pada kasus tertentu. Obat yang

direkomendasikan untuk tata laksana influenza adalah amantadin, rimantadin,

oseltamivir, dan zanamivir (Tabel 3). Amantadin dan rimantadin direkomendasikan

untuk pencegahan dan terapi, tetapi tidak efektif untuk influenza tipe B. Obat ini

bekerja dengan memblik kanal ion pada protein M2 virus dan mencegah terjadinya

dekapsulasi. Harus digunakan pada 48 jam setelah onset gejala. Namun, beberapa

strain dilaporkan resisten terhadap obat ini, sehingga tidak direkomendasikan sebagai

terapi empiris tunggal.33

Tabel 3. Farmakologi pneumonia viral

Oseltamivir dan zanamivir merupakan obat yang bekerja dengan memblok protein

permukaan neuraminidase dan menangkap virus yang terinfeksi di epitel saluran


22
napas. Obat ini juga harus diberikan dalam 48 jam setelah munculnya gejala. Obat ini

dapat digunakan untuk influenza tipe A dan B, dan mempunyai potensi yang rendah

untuk menimbulkan resistensi. Pada kasus pneumonia yang berat, obat ini dapat

digunakan setelah 48 jam dari onset gejala. Ketika terjadi gagal napas, seperti pada

kasus H1N1, prone ventilation dan ECMO dapat membantu, di samping pemberian

antivirus.35

Respiratory Syncytial Virus

Ribavirin bekerja dengan mencegah terjadinya transkripsi virus dan satu-

satunya obat antivirus untuk pneumonia akibat RSV. Obat ini direkomendasikan

untuk diberikan hanya pada kasus yang berat dan pada pasien dengan risiko

komplikasi yang tinggi. Imunoglobulin spesifik intravena, seperti palivizumab, dapat

digunakan dengan kombinasi ribavirin, pada pasien yang dalam kondisi kritis dan

beresiko tinggi.

Adenovirus

Obat yang dapat digunakan untuk infeksi adenovirus adalah ribavirin,

cidofovir, ganciclovir, dan vidarabine, dengan angka kesembuhan paling tinggi

didapat dari kombinasi antara cidofovir/ribavirin.

Covid-19

Berikut tatalaksana Covid-19 berdasarkan klinis:16,36

TANPA GEJALA

a. Isolasi dan Pemantauan


23
 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen

diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik

yang dipersiapkan pemerintah.

 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP)

 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis

b. Non-farmakologis

Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa

ke rumah):

 Pasien :

o Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat

berinteraksi dengan anggota keluarga

o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin.

o Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)

o Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah

o Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)

o Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun

o Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya

(sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore).

o Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong

plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor

24
keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan

mesin cuci

o Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)

o Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau

keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC

 Lingkungan/kamar:

o Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara

o Membuka jendela kamar secara berkala

o Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan

kamar (setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung

tangan dan goggle).

o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer

sesering mungkin.

o Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan

desinfektan lainnya.

 Keluarga:

o Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien

sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.

o Anggota keluarga senanitasa pakai masker

o Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien

o Senantiasa mencuci tangan

o Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih

25
o Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara

tertukar

o Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh

pasien misalnya gagang pintu dll

c. Farmakologi

 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap

melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin

meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-

inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke

Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung

 Vitamin C, dengan pilihan ;

 Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14

hari)

 Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

 Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam

(selama 30 hari)

 Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E,

Zink

 Vitamin D

 Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,

kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul

lunak, serbuk, sirup)

26
 Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU

dan tablet kunyah 5000 IU)

 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern

Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan

untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi

klinis pasien.

 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan

DERAJAT RINGAN

a. Isolasi dan Pemantauan

o Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari

sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan

gangguan pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi

dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala.

Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik

yang dipersiapkan pemerintah.

o Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi

pasien.

o Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.

b. Non Farmakologis

Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa

gejala).

27
c. Farmakologis

Vitamin C dengan pilihan:

o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)

o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

o Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama

30 hari),

o Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E, zink

Vitamin D

o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,

tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,

sirup)

o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan

tablet kunyah 5000 IU)

Antivirus :

o Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari

ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

o Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.

o Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat

Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat

dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan

perkembangan kondisi klinis pasien.

o Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

28
DERAJAT SEDANG

a. Isolasi dan Pemantauan

 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit

Darurat COVID-19

 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit

Darurat COVID-19

 Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai.

b. Non Farmakologis

 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status

hidrasi/terapi cairan, oksigen

 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan

hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi

ginjal, fungsi hati dan foto toraks secara berkala.

c. Farmakologis

 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam

1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan

 Vitamin D

Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,

tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)

Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet

kunyah 5000 IU)

 Diberikan terapi farmakologis berikut:


29
Salah satu antivirus berikut :

o Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12

jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

Atau

o Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg

IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)

o Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (Lihat

penjelasan pada derajat berat/kritis).

o Pengobatan simptomatis (Parasetamol dan lain-lain).

o Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

DERAJAT BERAT ATAU KRITIS

a. Isolasi dan Pemantauan

o Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara

kohorting

o Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai.

b. Non Farmakologis

o Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi

(terapi cairan), dan oksigen

o Pemantauan laboratorium darah perifer lengkap beriku dengan hitung

jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal,

fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.

30
o Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan

o Monitor tanda-tanda sebagai berikut;

 Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,

 Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),

 PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,

 Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru

pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,

 Limfopenia progresif,

 Peningkatan CRP progresif,

 Asidosis laktat progresif.

o Monitor keadaan kritis

 Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau

gagal multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.

 Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan

penggunaan ventilator mekanik

 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit,

yaitu sebagai berikut

 Bila alat tersedia dan memenuhi syarat klinis, gunakan

high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive

mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan

ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan

dibandingkan NIV

31
 Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien

dengan edema paru.

 Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake

prone position).

o Terapi oksigen:

 Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan

udara bebas dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15

L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%.

 Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC

(High Flow Nasal Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis

dalam 1 jam atau terjadi perburukan klinis.

 Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit,

FiO2 40% sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat

mempertahankan target SpO2 92 -96%

 Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).

 Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan

fraksi oksigen, jika

 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)

 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)

 Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea,

otot bantu nafas aktif)

32
 Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari

dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan

intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.

 Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan

indeks ROX.

 Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman

(indeks ROX >4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa

pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85

menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi.

 Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi

oksigen dengan HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis

pada pasien, pertimbangkan untuk menggunakan metode ventilasi

invasif atau trial NIV.

 De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC,

dimulai dengan menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai

fraksi 30%, selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1-2 jam) hingga

mencapai 25 L.

 Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional

ketika flow 25 L/menit dan FiO2 < 40%.

 Perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan alat HFNC membutuhkan

ketersediaan suplai oksigen yang sangat tinggi.

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

33
 NIV (Noninvasif Ventilation)

o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).

o Trial NIV selama 1-2 jam sebagai bagian dari transisi terapi oksigen

o Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV: mode BiPAP atau NIV +

PSV, tekanan inspirasi 12-14 cmH2O, PEEP 6-12 cmH2O. FiO2 40-60%.

o Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume tidal 6-8 ml/Kg; jika

pada inisiasi penggunaan NIV, dibutuhkan total tekanan inspirasi >20 cmH2O

untuk mencapai tidal volume yg ditargetkan, pertimbangkan untuk segera

melakukan metode ventilasi invasif. (tambahkan penilaian alternatif parameter)

o Titrasi PEEP dan FiO2 untuk mempertahankan target SpO2 92-96%.

o Evaluasi penggunaan NIV dalam 1-2 jam dengan target parameter;

 Subjektif: keluhan dyspnea mengalami perbaikan, pasien tidak gelisah

 Fisiologis: laju pernafasan <30x/menit. Work of breathing menurun, stabilitas

hemodniamik

 Objektif: SpO2 92-96%, pH >7,25, PaCO2; 30 – 55mmHg, PaO2 >60 mmHg,

rasio PF > 200, TV 6-8 ml/kgBB.

o Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok disarankan untuk segera

melakukan ventilasi invasif.

o Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan dengan NIV

tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, lakukan metode

ventilasi invasif.

o Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali sehari dapat

memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS


34
ringan hingga sedang. NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol,

sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di ruangan yang bertekanan

negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari

pasien yang lain) dengan standar APD yang lengkap. Bila pasien masih belum

mengalami perbaikan klinis maupun oksigenasi setelah dilakukan terapi

oksigen ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus dilakukan penilaian

lebih lanjut.

 Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)

o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).

o Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB), plateau pressure

<30 cmH2O dan driving pressure <15 cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,

o Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher PEEP, dengan

pemantauan terjadinya barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.

o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia refrakter (meski

parameter ventilasi optimal), dilakukan ventilasi pada posisi prone selama 12-

16 jam per hari

o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dis-sinkroni antar pasien

dan ventilator yang persisten, plateau pressure yang tinggi secara persisten dan

ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam, pemberian

pelumpuh otot secara kontinyu selama 48 jam dapat dipertimbangkan.

o Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi ARDS

35
o Penggunaan mode Airway Pressure Release Ventilation dapat

dipertimbangkan pada pemakaian ventilator. Khusus penggunaan mode APRV

ini harus di bawah pengawasan intensivis atau dokter spesialis anestesi.

 ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)

Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A yang memiliki layanan

dan sumber daya sendiri untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat

menerima terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO setelah pasien tersebut

menerima terapi posisi prone (kecuali dikontraindikasikan) dan terapi ventilator

ARDS yang maksimal menurut klinisi.

Indikasi ECMO :

1. PaO2/FiO2 <80mmHg selama >6 jam

2. PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam

3. pH <7,25 + PaCO2 >60mmHg selama >6 jam

Kontraindikasi relatif :

1. Usia ≥ 65 tahun

2. Obesitas BMI ≥ 40

3. Status imunokompromis

4. Tidak ada ijin informed consent yang sah.

5. Penyakit gagal jantung sistolik kronik

6. Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mucus

bronkus, abdominal compartment

syndrome)

Kontraindikasi absolut :
36
1. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3

2. Ventilasi mekanik > 10 hari

3. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :

a. Gagal ginjal kronik stage III

b. Sirosis hepatis

c. Demensia

d. Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.

e. Keganasan metastase

f. Penyakit paru tahap akhir

g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik

h. Penyakit vaskular perifer berat

4. Gagal organ multipel berat

5. Injuri neurologik akut berat.

6. Perdarahan tidak terkontrol.

7. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.

8. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.

Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan, stroke,

pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati otak.

2.12 PENCEGAHAN

COVID-19 merupakan penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu

pengetahuan terkait pencegahannya masih terbatas. Kunci pencegahan meliputi

37
pemutusan rantai penularan dengan vaksinasi, isolasi, deteksi dini, dan melakukan

proteksi dasar.32

Deteksi dini dan Isolasi. Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau

pernah berkontak dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke

fasilitas kesehatan. WHO juga sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi

petugas kesehatan yang menangani pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi

tindakan lanjutan. Bagi kelompok risiko tinggi, direkomendasikan pemberhentian

seluruh aktivitas yang berhubungan dengan pasien selama 14 hari, pemeriksaan

infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi. Pada kelompok risiko rendah, dihimbau

melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya terhadap suhu dan gejala pernapasan

selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan memberat. Pada tingkat masyarakat,

usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan kumpul massa pada acara besar

(social distancing).14,18

Higiene, Cuci Tangan, dan Disinfeksi. Rekomendasi WHO dalam

menghadapi wabah COVID-19 adalah melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari

cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan

seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau bersin,

dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi jarak

yang harus dijaga adalah satu meter. Pasien rawat inap dengan kecurigaan COVID-19

juga harus diberi jarak minimal satu meter dari pasien lainnya, diberikan masker

bedah, diajarkan etika batuk/bersin, dan diajarkan cuci tangan.27,30

Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan pada

lima waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur, setelah
38
terpajan cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan

pasien. Air sering disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan dengan

air saja tidak cukup untuk menghilangkan coronavirus karena virus tersebut

merupakan virus RNA dengan selubung lipid bilayer. Sabun mampu mengangkat dan

mengurai senyawa hidrofobik seperti lemak atau minyak. Selain menggunakan air

dan sabun, etanol 62-71% dapat mengurangi infektivitas virus.29 Oleh karena itu,

membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub berbasis alkohol atau sabun

dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih ketika secara kasat mata tangan tidak kotor

sedangkan sabun dipilih ketika tangan tampak kotor.31

Hindari menyentuh wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut dengan

permukaan tangan. Ketika tangan terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah

dapat menjadi portal masuk. Terakhir, pastikan menggunakan tisu satu kali pakai

ketika bersin atau batuk untuk menghindari penyebaran droplet.15

Alat Pelindung Diri. SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat

pelindung diri (APD) merupakan salah satu metode efektif pencegahan penularan

selama penggunannya rasional. Komponen APD terdiri atas sarung tangan, masker

wajah, kacamata pelindung atau face shield, dan gaun nonsteril lengan panjang. Alat

pelindung diri akan efektif jika didukung dengan kontrol administratif dan kontrol

lingkungan dan teknik. Penggunaan APD secara rasional dinilai berdasarkan risiko

pajanan dan dinamika transmisi dari patogen. Pada kondisi berinteraksi dengan pasien

tanpa gejala pernapasan, tidak diperlukan APD. Jika pasien memiliki gejala

pernapasan, jaga jarak minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker. Tenaga

medis disarankan menggunakan APD lengkap. Alat seperti stetoskop, thermometer,


39
dan spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus untuk satu pasien. Bila akan

digunakan untuk pasien lain, bersihkan dan desinfeksi dengan alcohol 70%. World

Health Organization tidak merekomendasikan penggunaan APD pada masyarakat

umum yang tidak ada gejala demam, batuk, atau sesak.32

Penanganan Jenazah. Penanganan jenazah dengan COVID-19 harus mematuhi

prosedur penggunaan APD baik ketika pemeriksaan luar atau autopsi. Seluruh

prosedur autopsi yang memiliki potensi membentuk aerosol harus dihindari.

Misalnya, penggunaan mesin gergaji jika terpaksa harus dikerjakan, tambahkan

vakum untuk menyimpan aerosol. Belum terdapat data terkait waktu bertahan SARS-

CoV-2 pada tubuh jenazah.

Mempersiapkan Daya Tahan Tubuh. Terdapat beragam upaya dari berbagai

literatur yang dapat memperbaiki daya tahan tubuh terhadap infeksi saluran napas.

Beberapa di antaranya adalah berhenti merokok dan konsumsi alkohol, memperbaiki

kualitas tidur, serta konsumsi suplemen. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko

infeksi saluran napas atas dan bawah. Merokok menurunkan fungsi proteksi epitel

saluran napas, makrofag alveolus, sel dendritik, sel NK, dan sistem imun adaptif.

Merokok juga dapat meningkatkan virulensi mikroba dan resistensi antibiotika.23

2.13 KOMPLIKASI

1. Efusi pleura dan empiema. Cairannya transudat dan steril. Terkadang

terjadi empiema dengan cairan eksudat.

2. Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau

bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan


40
hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peningguan ureum dan

enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fostase alkali dan

bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.

3. Hipoksemia akibat gangguan difusi.

4. Abses Paru terbentuk akibat eksudat di alveolus paru.

5. Pneumonia kronik yang dapat terjadi bila pneumonia berlangsung

lebih dari 4-6 minggu.

6. Bronkiektasis. Biasanya terjadi karena pneunomia pada masa anak-

anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal

pada cystic fibrosis atau hipogamaglobulinemia, tuberkulosis, atau

pneumonia nekrotikan.

Komplikasi utama pada pasien COVID-19 adalah ARDS, tetapi Wang, dkk

menunjukkan data dari 52 pasien kritis bahwa komplikasi tidak terbatas ARDS,

melainkan juga komplikasi lain seperti gangguan ginjal akut (29%), jejas kardiak

(23%), disfungsi hati (29%), dan pneumotoraks (2%). Komplikasi lain yang telah

dilaporkan adalah syok sepsis, koagulasi intravaskular diseminata (KID),

rabdomiolisis, hingga pneumomediastinum.5

2.14 PROGNOSIS

Secara keseluruhan, prognosis adalah baik. Sebagian besar kasus dari pneumonia

viral sembuh tanpa pengobatan, Prognosis COVID-19 dipengaruhi banyak faktor,

tingkat mortalitas pasien COVID-19 berat mencapai 38% dengan median lama

perawatan ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari. Peningkatan kasus yang cepat

41
dapat membuat rumah sakit kewalahan dengan beban pasien yang tinggi. Hal ini

meningkatkan laju mortalitas di fasilitas tersebut. Laporan lain menyatakan perbaikan

eosinofil pada pasien yang awalnya eosinofil rendah diduga dapat menjadi prediktor

kesembuhan.25

Reinfeksi pasien yang sudah sembuh masih kontroversial. Studi pada hewan

menyatakan kera yang sembuh tidak dapat terkena COVID-19, tetapi telah ada

laporan yang menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-13 hari setelah

negatif dua kali berturut-turut dan dipulangkan dari rumah sakit. Hal ini kemungkinan

karena reinfeksi atau hasil negatif palsu pada rRT-PCR saat dipulangkan.19,20

42
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Viral pneumonia merupakan pneumonia yang disebabkan oleh virus pathogen,

saat ini telah menjadi pandemic adalah coronavirus yang disebabkan oleh SARS-

CoV-2 atau lebih dikenal COVID-19 yang merupakan penyakit baru. Penyakit ini

harus diwaspadai karena penularan yang relatif cepat, memiliki tingkat mortalitas

yang tidak dapat diabaikan, dan belum adanya terapi definitif. Gejala penyakit ini

memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan,

pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis.

Peningkatan kasus yang cepat dapat membuat rumah sakit kewalahan dengan

beban pasien yang tinggi. Hal ini meningkatkan laju mortalitas di fasilitas tersebut.

Prognosis penyakit ini dipengaruhi oleh banyak factor dan bisa terjadi reinfeksi akibat

dari hasil negatif palsu pada rRT-PCR saat pasien dipulangkan.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. D. Dandachi and M. C. Rodriguez-Barradas, “Viral pneumonia: Etiologies and


treatment,” Journal of Investigative Medicine, vol. 66, no. 6. BMJ Publishing
Group, pp. 957–965, Aug. 01, 2018, doi: 10.1136/jim-2018-000712.
2. Z. Amin, “Konsensus Pneumonia Viral,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, p.
111, 2019.
3. Said, M. 2008. Pneumonia. In : Rahajoe N.N., Supriyatno B., Setyanto D.B. (eds).
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
4. Kurz, Sebastian, M.D. 2020. Pneumonia, Viral. Ferri’s Clinical Advisor. Elsevier
5. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus
disease (COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020; published online March 3.
DOI: 10.1016/j.jaut.2020.102433.
6. Ren L-L, Wang Y-M, Wu Z-Q, Xiang Z-C, Guo L, Xu T, et al. Identification of a
novel coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study. Chin
Med J. 2020; published online February 11. DOI:
10.1097/CM9.0000000000000722.
7. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients

infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet.

2020;395(10223):497-506.

8. World Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-19) and the

virus that causes it [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2020.

Availablehttps://www.who.int/emergencies/ diseases/novel-

44
from:coronavirus2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus-

disease(covid2019)

9. World Health Organization. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation

Report – 70 [Internet]. WHO; 2020. Available from:

https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation

10. World Health Organization. WHO Director-General’s opening remarks at the

media briefing on COVID-19 - 11 March 2020 [Internet]. 2020 Available from:

https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-

at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020.

11. Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical

Microbiology. 28th ed. New York: McGraw- Hill Education/Medical; 2019.

p.617-22.

12. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report

of 72314 Cases From the Chinese Center for Disease Control and Prevention.

JAMA. 2020; published online February 24. DOI: 10.1001/jama.2020.2648.

13. World Health Organization. Situation Report – 10 [Internet]. 2020 [updated 2020

January 30; cited 2020 Juni 20]. Available from:

https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situationreports

/20200130-sitrep-10-ncov.pdf?sfvrsn=d0b2e480_2

14. World Health Organization. Situation Report – 42 [Internet]. 2020 [updated 2020

March 02; cited 2020 March 15]. Available from:

45
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation reports

%20%20/20200302-sitrep-42-covid-19.pdf?sfvrsn=224c1add_2

15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging Kementerian

Kesehatan RI [Internet]. 2020 Available from:

https://infeksiemerging.kemkes.go.id

16. World Health Organization. Novel Coronavirus (2019-nCoV) Situation Report -

54 [Internet]. WHO; 2020. Available from:https://www.who.int/

docs/defaultsource/coronaviruse/situationreports/20200314-sitrep-54-covid-

19.pdf?sfvrsn=dcd46351_2.

17. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,

Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.

18. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus

from Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;382(8):727-

33.

19. Han Y, Yang H. The transmission and diagnosis of 2019 novel coronavirus

infection disease (COVID-19): A Chinese perspective. J Med Virol. 2020;

published online March 6. DOI: 10.1002/ jmv.25749

20. van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A,

Williamson BN, et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as

Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020; published online March 17.

DOI: 10.1056/NEJMc2004973

46
21. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and

diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal. 2020; published online March 5. DOI:

10.1016/j.jpha.2020.03.001

22. Liu Y, Gayle AA, Wilder-Smith A, Rocklöv J. The reproductive number of

COVID-19 is higher compared to SARS coronavirus. J Travel Med. 2020;27(2).

23. Li G, Fan Y, Lai Y, Han T, Li Z, Zhou P, et al. Coronavirus infections and

immune responses. J Med Virol. 2020;92(4):424-32.

24. Zumla A, Hui DS, Azhar EI, Memish ZA, Maeurer M. Reducing mortality from

2019-nCoV: host-directed therapies should be an option. Lancet.

2020;395(10224):e35-e6.

25. Cai H. Sex difference and smoking predisposition in patients with COVID-19.

Lancet Respir Med. 2020; published online March 11. DOI: 10.1016/S2213-

2600(20)30117-X

26. Diaz JH. Hypothesis: angiotensin-converting enzyme inhibitors and angiotensin

receptor blockers may increase the risk of severe COVID-19. J Travel Med. 2020;

published online March 18. DOI: 10.1093/jtm/taaa041

27. International Council of Nurses. High proportion of healthcare workers with

COVID-19 in Italy is a stark warning to the world: protecting nurses and their

colleagues must be the number one priority. Geneva: International Council of

Nurses; 2020.

28. World Health Organization. Report of the WHO-China Joint Mission on

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Geneva: World Health Organization;

2020.
47
29. World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory

infection when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. Geneva: World

Health Organization; 2020.

30. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, Liang WH, Ou CQ, He JX, et al. Clinical Characteristics

of Coronavirus Disease 2019 in China. New Engl J Med. 2020; published online

February 28. DOI: 10.1056/ NEJMoa2002032.

31. Salehi S, Abedi A, Balakrishnan S, Gholamrezanezhad A. Coronavirus Disease

2019 (COVID-19): A Systematic Review of Imaging Findings in 919 Patients.

AJR Am J Roentgenol. 2020:1-7.

32. World Health Organization. Laboratory testing for coronavirus disease 2019

(COVID-19) in suspected human cases. Geneva: World Health Organization;

2020.

33. Centers for Disease Control and Prevention. Atlanta: Centers for Disease Control

and Prevention. 2020.

34. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman

Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) Maret 2020.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.

35. L. Washington and D. Palacio, 2007. Bacterial Pulmonary Infection in the

Immunocompetent Patient. Department of Radiology, MC of Wisconsin.

36. “REVISI PROTOKOL TATALAKSANA COVID-19,” 2021.

48
49

Anda mungkin juga menyukai