Anda di halaman 1dari 41

PAPER

PENANGANAN KEGAWAT DARURATAN NON OPEATIF


PASIEN PREEKLAMSIA
Paper ini Disususn Sebagai Tugas Mengikuti Kepanitraan Klinik Senior (KKS)
Ilmu Anastesi Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatra Utara

Oleh:
Berlian
102119087

Pembimbing:
dr. M. Winardi S. Lesmana, M.Ked(An)., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIS SENIOR ILMU ANESTESI RSU HAJI MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan judul “
Penanganan kegawatdaruratan non operatif pasien preeklamsia” Penyusunan tugas
ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di
berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. M. Winardi S.
Lesmana, M.Ked(An)., Sp.An selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik
senior smf ilmu anestesi serta dalam penyelesaian paper ini. Dalam penulisan makalah
ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, 1 Juli 2021

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................1
1.2. Tujuan Penelitian..............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi...........................................................................................................3
2.2. Etiologi...........................................................................................................3
2.3. Epidemiologi...................................................................................................4
2.4. Tanda dan Gejala............................................................................................5
2.5. Faktor Resiko..................................................................................................5
2.6. Diagnosis........................................................................................................6
2.7. Patofisiologi....................................................................................................8
2.8. Faktor Resiko................................................................................................13
2.9. Komplikasi....................................................................................................20
2.10. Skrining.........................................................................................................25
2.11. Penanganan Kegawatdaruratan Non-Operatif Pasien Preeklamsia..............26

BAB III KESIMPULAN...............................................................................................34


DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan ibu merupakan salah satu permasalahan kesehatan dunia.

Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh negara-negara di

dunia mengangkat permasalahan ini. World Health Organization (WHO)

menyatakan masalah kematian bayi dapat menjadi petunjuk pelayanan maternal

dan neonatal yang kurang baik (UNICEF, 2013).

Preeklamsi menjadi faktor risiko terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi.

Komplikasinya adalah eklampsia, edema paru, abrupsio plasenta,

oligohidramnion, dan dapat menyebabkan kematian ibu. Dampak jangka panjang

juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklamsia, seperti

BBLR akibat persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat,

fetal distress, serta meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal

(POGI, 2016).

Salah satu faktor yang menyebabkan asfiksia adalah faktor keadaan ibu

yaitu hipertensi dalam kehamilan. Pada kasus preeklamsi tekanan darah yang

meningkat menyebabkan perfusi uteroplasenta mengalami penurunan. Hal

tersebut dapat menyebabkan sirkulasi darah ke janin menjadi menurun sehingga

janin akan kekurangan oksigen dan nutrisi hal ini dapat menyebabkan

pertumbuhan janin terhambat dimana salah satu manifestasinya adalah BBLR

(SDKI, 2012).

1
2

Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua

morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau

mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik

pada saat dewasa. Preeklamsi juga merupakan faktor risiko untuk penyakit

kardiovaskuler dan penyakit metabolik pada wanita di masa depan. Selain itu ibu

hamil dapat mengalami stroke, disseminated intravascular coagulation,

perdarahan, edema paru, dan insufisiensi ginjal. Sehingga permasalahan

preeklamsi merupakan ancaman besar bagi ibu maupun janin yang dikandungnya

(POGI, 2016; Prawirohardjo, 2014; Roberts, dkk., 2012; de Souza, dkk., 2011;

Uzan, dkk., 2011). Oleh karena itu, sebagai dokter umum yang merupakan salah

satu palang pintu terdepan pentalaksanaan pasien-pasien kegawatdaruratan harus

memahami bagaimana tatalaksana perawatan non-operatif pasa pasien

preeklamsia.

1.2 Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan

makalah tentang pentalaksanaan pasien-pasien kegawatdaruratan harus

memahami bagaimana tatalaksana perawatan non-operatif pasa pasien

preeklamsia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Preeklampsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasokontriksi dan aktivasi endotel yang

ditandai dengan adanya hipertensi disertai proteinuria setelah usia kehamilan di

atas 20 minggu (Cunningham, 2018).

Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda – tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umunya terjadi dalam

triwulan ke – 3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola

hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda – tanda lain.

Untuk menegakkan diagnosa preeklampsia, kanaikan tekanan sistolik harus 30

mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140

mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastole sebenarnya lebih dapat dipercaya

apabila tekanan diastole naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 90 mmHg

atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat Penentuan tekanan darah

dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat

(Prawirohardjo, 2014).

2.2 Etiologi

Preeklamsi merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

di Indonesia. Sampai sekarang penyakit preeklamsi masih merupakan masalah

kebidanan yang belum dapat terpecahkan secara tuntas. Preeklamsi merupakan

penyakit yang angka kejadiannya di setiap negara berbeda-beda. Angka kejadian

3
4

lebih banyak terjadi di negara berkembang dibanding pada negara maju. Hal ini

disebabkan oleh karena di negara maju perawatan prenatalnya lebih baik.

Kejadian preeklamsi dipengaruhi oleh paritas, ras, faktor genetik dan lingkungan

(Situmorang, 2016).

2.3 Epidemiologi

Salah satu penyebab peningkatan angka morbiditas dan mortalitas maternal

maupun perinatal adalah preeklamsi. Prevalensi kejadian preeklamsi sekitar 5%-

15% dari keseluruhan kehamilan di dunia, dimana kasus hipertensi pada

kehamilan termasuk preeklamsi ditemukan dalam jumlah yang cenderung

meningkat dan merupakan komplikasi tersering dalam kehamilan. Sekitar 70%

wanita yang didiagnosis hipertensi dalam kehamilan merupakan kasus preeklamsi

(Ertiana, 2019).

Kejadian preeklamsi bervariasi di setiap negara bahkan pada setiap daerah.

Dijumpai berbagai faktor yang mempengaruhi, di antaranya jumlah primigravida

terutama primigravida muda, distensi rahim berlebihan, penyakit yang menyertai

kehamilan seperti diabetes mellitus, jumlah usia ibu >35 tahun dan preeklamsi

berkisar antara 3 sampai 5% dari kehamilan yang dirawat (Kusumawati, 2017).

Di negara berkembang yang pelayanan kesehatan tersiernya kurang

memadai, kematian maternal akibat preeklamsi dapat mencapai lebih dari 25%.

Beberapa hal yang yang sering ditemukan pada bayi hasil persalinan dengan

preeklamsi antara lain kelahiran prematur (15-67%), pertumbuhan janin terhambat

(10-25%), cedera hipoksia neurologik (<1%), kematian perinatal (1-2%) dan

morbiditas jangka panjang penyakit kardiovaskuler yang berhubungan dengan

berat bayi rendah (BBLR) (Yolanda, et al, 2015).


5

2.4 Tanda dan Gejala

Adapun tanda dan gejala yang terjadi pada ibu hamil yang mengalami pre-

eklamsi berat yaitu tekanan darah sistolik >160 mmHg dan diastolik >110 mmHg,

terjadi peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus, trombosit <100.000/mm 3,

terkadang disertai oliguria <400ml/24 jam, protein urine >2-3 gr/liter, ibu hamil

mengeluh nyeri epigastrium, skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal

yang berat, perdarahan retina dan edem pulmonal. Terdapat beberapa penyulit

juga yang dapat terjadi, yaitu kerusakan organ-organ tubuh seperti gagal ginjal,

gagal jantung, gangguan fungsi hati, pembekuan darah, sindrom HELLP, bahkan

dapat terjadi kematian pada bayi, ibu dan atau keduanya bila preeklamsi tidak

segera ditangani dengan baik dan benar (Kusumastuti, 2019).

2.5 Faktor Resiko

Faktor yang sering ditemukan sebagai faktor risiko yang dapat

meningkatkan insiden preeklamsi antara lain paritas, usia yang ekstrim, riwayat

keluarga pernah preeklamsi, riwayat hipertensi, hiperplasentosis (kehamilan

ganda, diabetes melitus, bayi besar, molahidatidosa), dan obesitas (Prawirohardjo,

2014)

Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)

faktor risiko spesifik untuk preeklamsi terdiri atas nuliparitas, usia yang lebih tua,

indeks massa tubuh, riwayat keluarga preeklamsi, riwayat penyakit ginjal atau

hipertensi kronis, kehamilan ganda, interval kehamilan lebih dari 10 tahun, dan

riwayat preeklamsi pada kehamilan sebelumnya (North, 2011). Sementara itu

menurut English et al (2015) faktor risiko yang meningkatkan kejadian preeklamsi

adalah riwayat keluarga, sel telur donor, diabetes, obesitas (English et al., 2015).
6

2.6 Diagnosis

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara

kuantitas protein urin terhadap luaran preeklamsi, sehingga kondisi proteinuria

masif (lebih dari 5g) telah dieliminasi dari kriteria preeklamsi berat. Kriteria

terbaru tidak lagi mengkategorikan preeklamsi ringan, dikarenakan setiap

preeklamsi merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan

peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.

Preeklamsi mendiagnosis pasien hanya ada dua kriteria yaitu preeklamsia dan

preeklamsi berat, kriteria diagnosis sebagai berikut (POGI, 2016):

1. Preeklamsia

Preeklamsia dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah 20 minggu

kehamilan pada wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal dan ada

minimal satu dari gejala berikut:

a. Proteinuria: Dipstick > +1 atau > 300 mg/24 jam

b. Gangguan ginjal: kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

lainnya.

c. Edema Paru

d. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminase 2 kali normal dan atau

adanya nyeri di daerah epigastrium/regio kanan atas abdomen

e. Trombositopenia: trombosit < 100.000/microliter

f. Didapatkan gejala neurologis: nyeri kepala, stroke, dan gangguan

penglihatan.
7

g. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya Absent or Reversed and Diastolic Velocity (ARDV).

2. Preeklamsia Berat

Ada salah satu tanda dari:

a. Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg

b. Proteinuria: Dipstick > +1 atau > 300 mg/24 jam

Proteinuria terjadi karena terdapat lesi pada glomerulus. Peningkatan

permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein. Pada tubulus

proksimal juga mengalami gangguan reabsorbsi protein. Ekskresi ini

berhubungan dengan pengeluaran protein dengan berat molekul (BM) kecil

karena gangguan ekskresi dan reabsorbsi tubulus tetapi juga protein dengan

BM besar. Proteinuria merupakan tanda pada preeklamsia karena

kehilangan protein pada pasien yang hamil merupakan penyebab utama

hipoproteinemia.

c. Gangguan ginjal: kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

lainnya.

d. Edema Paru

e. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminase 2 kali normal dan atau

adanya nyeri di daerah epigastrium/regio kanan atas abdomen

f. Trombositopenia: trombosit < 100.000/microliter

g. Didapatkan gejala neurologis: nyeri kepala, stroke, dan gangguan

penglihatan
8

h. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed and diastolic velocity (ARDV)

(POGI, 2016).

2.7 Patofisiologi

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan

jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam

kehamilan.

1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim, dan plasenta mendapat aliran darah dari

cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah

tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata

memberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus endometrium

menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri spiralis

(Prawirohardjo, 2014).

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi

lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas

juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks

menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan

dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak

penurunan tekanan darah, penurunan resisten vascular. dan peningkatan aliran

darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup

banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin


9

pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri

spiralis” (Prawirohardjo, 2014).

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas

pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot

arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak

memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis

relatif mengalami vasokontriksi dan terjadi kegagalan “remodeling arteri

spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan perubahan

perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya. Diameter

rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada

preeklamsi rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri

spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta

(Prawirohardjo, 2014).

2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi

dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan

akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan

hipoksia akan menghasilkan oksidan atau radikal bebas. Oksidan atau

radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang

mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting

yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat

toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.

Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal,


10

karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya

radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan

toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan

disebut “toksemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang

mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.

Peroksida lemak selain akan merusak nukleus dan protein sel endotel.

Produksi oksidan atau radikal bebas dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu

diimbangi dengan produksi antioksidan (Prawirohardjo, 2014).

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal

vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi

dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.

Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksik ini

akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak

membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami

kerusakan oleh peroksida lemak yang relatif lemak karena letaknya

langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam

lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan

radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak

(Prawirohardjo, 2014).

c. Disfungsi sel endotel


11

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel

endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya

fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini

disebut “disfungsi endotel” (Prawirohardjo, 2014).

3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil

konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte

Antigen Protein G (HLA-G) menolak hasil konsepsi atau plasenta. Adanya

HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel

Natural Killer (NK) ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi

sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi, HLA-G merupakan

prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu,

disamping untuk menghadapi sel Natural Killer (Prawirohardjo, 2014).

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi

HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi

trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan

desidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi

arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitikon, sehingga

memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi mal-adaptasi

imun pada preeklamsia. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang

mempunyai kecenderungan terjadinya preeklamsia, ternyata mempunyai

proporsi Helper Sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif

(Prawirohardjo, 2014).
12

4. Teori Adaptasi Kardiovaskuler

Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan

vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan

bahan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk

menimbulkan respons vasokontriksi. Pada kehamilan normal terjadinya

refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi

oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini

dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila

diberi prostaglandin sintesis inhibitor (bahan yang menghambat produksi

prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan

vasokontriksi dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan

vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor

hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan

vasopresor (Prawirohardjo, 2014).

5. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe

ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial

jika dibandingkan dengan genotype janin. Preeklamsi merupakan penyakit

multifaktorial dan poligenik. Dalam suatu ulasan yang komprehensif, Ward

dan Lindheimer mengutip risiko insiden preeklamsia sebesar 20-40% pada

anak dari ibu yang pernah mengalami preeklamsi, 11-37% pada saudara

perempuan seorang penderita preeklamsi dan 22- 47% pada kembar. Pada

suatu penelitian yang dilakukan Nilson, dkk pada hampir 1,2 juta kelahiran di
13

Swedia, mereka melaporkan adanya komponen genetik untuk hipertensi

gestasional sekaligus preeklamsia. Mereka juga melaporkan angka kejadian

bersama sebesar 60% pada kembar monozigot perempuan (Prawirohardjo,

2014; Cunningham, 2018).

Kecenderungan herediter ini mungkin merupakan akibat interaksi ratusan

gen yang diwariskan baik dari ayah maupun ibu yang mengendalikan sejumlah

besar fungsi metabolik dan enzimatik di setiap sistem organ. Karena itu,

manifestasi klinis pada tiap perempuan yang mengalami sindrom preeklamsi

akan menempati suatu titik pada spectrum. Berkaitan, dengan hal ini, ekspresi

fenotipik akan berbeda meskipun genotype sama, bergantung pada interaksi

dengan faktor lingkungan (Prawirohardjo, 2014).

6. Teori Stimulus Inflamasi

Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas,

sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress

oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang

timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas

juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta

besar pada hamil ganda, maka stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga

jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan

beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding

reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan

mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar

pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-

gejala preeklamsia pada ibu (Prawirohardjo, 2014).


14

2.8 Faktor Resiko

Wanita hamil cenderung mudah dan mengalami preeklamsi bila mempunyai

faktor risiko preeklamsia antara lain (Cunningham, 2018; POGI, 2016).

1. Usia

Usia merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Usia

berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga

mempengaruhi status kesehatan. Usia reproduksi sehat dikenal bahwa usia

yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-35 tahun.

Preeklamsi lebih sering didapatkan pada masa awal dan akhir usia produktif

yaitu usia remaja atau di atas 35 tahun. Umur berisiko (35 tahun) lebih besar

mengalami preeklamsi. Ibu hamil 35 tahun seiring bertambahnya usia rentan

untuk terjadinya peningkatan tekanan darah (Nursal, dkk., 2015).

Pada usia 35 tahun menurunnya fungsi organ tubuh salah satunya ginjal,

sehingga menyebabkan protein dalam urin. Ibu hamil dengan usia sangat muda

umur 35 tahun cenderung mengalami preeklamsi. Hal ini disebabkan oleh

adanya perubahan patologis, yaitu terjadinya spasme pembuluh darah arteriol

menuju organ penting dalam tubuh sehingga menimbulkan gangguan

metabolisme jaringan, gangguan peredaran darah menuju retroplasenter,

sedang tubuh ibu belum siap untuk terjadinya kehamilan (Cunningham, 2018;

Manuaba, dkk., 2013). Penelitian Yao (2014) menunjukkan usia mempunyai

risiko yang kuat (Yao, 2014).

2. Status Gravida

Gravida adalah wanita yang sedang hamil. Primigravida adalah wanita

yang hamil untuk pertama kali. Angka kejadian sebanyak 6% dari seluruh
15

kehamilan dan 12% pada kehamilan primigravida. Menurut beberapa

penelitian penulis lain frekuensi dilaporkan sekitar 3-10%. Lebih banyak

dijumpai pada primigravida daripada multigravida, terutama primigravida usia

muda. Primigravida, kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama.

Primigravida lebih berisiko untuk mengalami preeklamsi daripada

multigravida karena preeklamsi biasanya timbul pada wanita yang pertama kali

terpapar virus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme

imunologik pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G

(Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk

secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan decidual ibu

menjadi terganggu. Primigravida juga rentan mengalami stress dalam

menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan

kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah

jantung dan tekanan darah juga akan meningkat (Grum, dkk., 2017).

3. Riwayat Preeklamsi Sebelumnya

Hubungan sistem imun dengan preeklamsi menunjukkan bahwa faktor-

faktor imunologi memainkan peran penting dalam perkembangan preeklamsi.

Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa membangkitkan respon

imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh peningkatan insiden preeklamsi-

eklamsi pada ibu baru (pertama kali terpapar jaringan janin) dan pada ibu

hamil dari pasangan yang baru (materi genetik yang berbeda) (Cunningham,

2018).

4. Riwayat Preeklamsi
16

Keluarga Wanita hamil yang ibunya pernah mengalami preeklamsi,

cenderung beresiko terhadap preeklamsi. Predisposisi genetik merupakan

faktor imunologi yang menunjukkan gen resesif autosom, yang mengatur

respon imun maternal. Risiko ibu hamil yang ibunya mengalami preeklamsi,

dapat terjadi satu diantara empat kemungkinan ibu preeklamsia. Menurut

penelitian Mahran et al, preeklamsi 3,07 kali berisiko terjadi pada ibu yang ibu

kandungnya mempunyai riwayat preeklamsi sedangkan berisiko 3,11 kali pada

ibu yang mempunyai saudara perempuan dengan riwayat preeklamsi (Mahran,

dkk., 2017).

5. Hipertensi Kronik

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik

atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan

tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolik. Hipertensi kronis terjadi sebelum kehamilan atau dapat terlihat pada

kehamilan sebelum 20 minggu. Pada sebagian besar wanita dengan hipertensi

sebelum kehamilan, peningkatan tekanan darah merupakan satu-satunya

temuan. Namun, beberapa mengalami komplikasi yang meningkatkan risiko

selama kehamilan dan dapat menurunkan angka harapan hidup. Hal ini

meliputi penyakit jantung hipertensif atau penyakit jantung sistemik,

insufisiensi ginjal atau kelainan serebrovaskular sebelumnya. Gangguan

tersebut lebih sering terjadi pada wanita yang lebih tua (Cunningham, 2018;

Magee, dkk., 2014).


17

Pada penelitian hipertensi kronik termasuk ke tiga utama yang

menyebabkan preeklamsi berulang yaitu 19,83% kasus preeklamsi berulang

adalah disebabkan oleh hipertensi kronik. Sebagian besar kehamilan dengan

hipertensi esensial berlangsung normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira

sepertiga diantara para wanita penderita tekanan darah tinggi setelah 30

minggu tanpa disertai gejala lain. Kira-kira 20% menunjukkan kenaikan yang

lebih mencolok dan dapat disertai satu gejala preeklamsi atau lebih, seperti

edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri epigastrium, muntah, gangguan visus

(superimposed preeklamsi), bahkan dapat timbul eklamsi dan perdarahan otak.

Pada penyakit kencing manis terjadi perubahan pembuluh darah

permeabilitasnya terhadap protein makin tinggi, sehingga terjadinya

kekurangan protein ke jaringan (Thangaratinam, dkk., 2011).

Protein ekstravaskuler menarik air dan garam menimbulkan edema.

Hemokonsentrasi darah yang mengganggu fungsi metabolisme tubuh.

Hipertensi kronik berisiko 7 kali terjadinya preeklamsi pada ibu. Hipertensi

kronik dan anomali kongenital lebih kuat hubungannya dengan preeklamsi

pada usia kehamilan ≤ 33 minggu. Wanita dengan hipertensi kronik

mempunyai risiko lebih dari 10 kali lipat untuk mengalami preeklamsi pada

usia kehamilan ≤ 33 minggu dan sekitar 5 kali lipat lebih tinggi pada usia

kehamilan ≥34 minggu (Manuaba, dkk., 2013; Lisonkova, dkk., 2013; Bilano,

dkk., 2014).

6. Diabetes Melitus

Penyakit diabetes melitus merupakan kelainan herediter dengan ciri

defisiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah
18

tinggi dan berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan akan

menyebabkan banyak kesulitan. Pengaruh diabetes dalam kehamilan adalah

abortus dan partus prematurus, hidramnion, preeklamsia, kesalahan letak janin,

dan insufisiensi plasenta. Pada ibu dengan diabetes melitus patofisiologinya

buka preeklamsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskuler perifer

akibat diabetes melitus tersebut. Pada penyakit kencing manis terjadi

perubahan pembuluh darah permeabilitasnya terhadap protein semakin tinggi,

sehingga terjadinya kekurangan protein ke jaringan. Protein ekstravaskuler

menarik air dan garam menimbulkan edema. Hemokonsentrasi darah yang

mengganggu fungsi metabolisme tubuh (Cunningham, 2018; Manuaba, dkk.,

2013).

Preeklamsi cenderung terjadi pada wanita yang menderita diabetes

melitus karena diabetes merupakan penyakit yang dapat menjadi faktor

pencetus terjadinya preeklamsi. Penyakit diabetes melitus hampir 50% yang

terjadi pada wanita hamil berkembang menjadi preeklamsi. Hal ini terjadi

karena saat hamil, plasenta berperan untuk memenuhi semua kebutuhan janin.

Preeklamsi terjadi pada ibu dengan diabetes melitus karena adanya

peningkatan produksi deoksikortikosteron (DOC) yang dihasilkan dari

progesterone di darah plasma dan meningkat tajam selama trimester ketiga. Ibu

dengan diabetes kehamilan terdapat peningkatan insiden hipertensi dan

preeklamsia yang akan memperburuk perjalanan persalinan serta peningkatan

risiko diabetes tipe II di kemudian hari. Hipertensi sering dijumpai dari wanita

diabetes dengan penyakit ginjal sehingga berisiko tinggi mengalami preeklamsi

(Kurniasari & Arifandini, 2015).


19

7. Kehamilan Ganda

Wanita dengan gestasi kembar dua, bila dibandingkan dengan gestasi

tunggal, memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 versus 6 %) dan

preeklamsia (13 versus 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi. Dengan

adanya kehamilan kembar dan hidramnion, menjadi penyebab meningkatnya

resistensi intramural pada pembuluh darah miometrium, yang dapat berkaitan

dengan peninggian tegangan miometrium dan menyebabkan tekanan darah

meningkat. Wanita dengan kehamilan kembar berisiko tinggi mengalami

preeklamsi hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan

produksi hormone (Cunningham, 2018).

8. Penyakit Jantung

Wanita hamil dengan preeklamsia juga berisiko lebih tinggi mengalami

penyakit jantung, gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi

pada wanita preeklamsi, gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan

meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara

nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan

atau secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan kristaloid intravena

(Cunningham, 2018).

9. Penyakit Ginjal

Pada kehamilan normal, ginjal bekerja keras untuk melayani sirkulasi

cairan dan darah yang jumlahnya sangat besar. Pembesaran atau pelebaran

ginjal dan pembuluh darah akan membuat ginjal mampu bekerja ekstra. Pada

wanita hamil, ginjal dipaksa bekerja keras sampai ke titik di mana ginjal tak

mampu lagi memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Wanita hamil


20

dengan gagal ginjal kronik memiliki ginjal yang semakin memperburuk status

dan fungsinya. Beberapa tanda yang menunjukkan menurunnya fungsi ginjal

antara lain hipertensi yang semakin tinggi dan terjadi peningkatan jumlah

produk buangan yang sudah disaring oleh ginjal di dalam darah (seperti

potassium, urea, dan keratin). Ibu hamil yang menderita sakit ginjal dalam

jangka waktu lama biasanya juga menderita tekanan darah tinggi. Ibu hamil

dengan riwayat ginjal atau tekanan darah tinggi memiliki risiko lebih besar

mengalami preeklamsi (Prawirohardjo, 2014).

10. Obesitas

Overweight atau obesitas didefinisikan sebagai keadaan abnormal atau

kelebihan akumulasi lemak/kegemukan yang mungkin dapat mempengaruhi

kesehatan. Body Mass Index (BMI) adalah rumus sederhana yang digunakan

untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas. Rumus menentukan BMI

adalah sebagai berikut:

Berat Badan( Kg)


BMI =
Tinggi Badan2 (m)

Seseorang dikatakan overweight jika BMI ≥ 25 dan obesitas jika BMI ≥

30. Obesitas sangat berkaitan erat dengan berbagai macam komplikasi penyakit

terlebih jika dialami oleh wanita hamil yang mana akan berdampak buruk baik

terhadap ibu maupun janin yang dikandung. Menurut penelitian ada hubungan

wanita hamil obesitas dengan kejadian preeklamsi.18 Obesitas sebelum

kehamilan dan Indeks Massa Tubuh saat pertama kali Antenatal Care (ANC)

merupakan faktor risiko preeklamsi dan risiko ini semakin besar dengan

semakin besarnya IMT pada wanita hamil karena obesitas berhubungan dengan

penimbunan lemak yang berisiko munculnya penyakit degeneratif. Obesitas


21

adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas

dapat memicu terjadinya preeklamsi melalui pelepasan sitokin-sitokin

inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya sitokin menyebabkan inflamasi

pada endotel sistemik (Aviram, dkk., 2011).

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi berikut

ini dapat terjadi pada preeklamsia:

1. Komplikasi Maternal

a. Eklamsi

Eklamsi merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang

disertai dengan kejang menyeluruh dan koma, eklamsi selalu didahului

preeklamsi. Timbulnya kejang pada perempuan dengan preeklamsi yang

tidak disebabkan oleh penyebab lain dinamakan eklampsi.

b. Sindrom Hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count (HELLP)

Pada preeklamsi sindrom HELLP terjadi karena adanya peningkatan

enzim hati dan penurunan trombosit, peningkatan enzim kemungkinan

disebabkan nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobules hepar.

Perubahan fungsi dan integritas hepar termasuk perlambatan ekskresi bromo

sulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum

(Cunningham, 2018).

c. Ablasi retina

Ablasio retina merupakan keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel

pigmen retina. Gangguan penglihatan pada wanita dengan preeklamsi juga

dapat disebabkan karena ablasio retina dengan kerusakan epitel pigmen


22

retina karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah

akibat penimbunan cairan yang terjadi pada proses peradangan

(Cunningham, 2018).

Gangguan pada penglihatan karena perubahan pada retina. Tampak

edema retina, spasme setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa

arteri. Jarang terjadi perdarahan atau eksudat atau spasme. Retinopatia

arteriosklerotika pada preeklamsi akan terlihat bilamana didasari penyakit

hipertensi yang menahun. Spasme arteri retina yang nyata menunjukkan

adanya preeklamsi berat. Pada preeklamsi pelepasan retina karena edema

intraokuler merupakan indikasi pengakhiran kehamilan segera. Biasanya

retina akan melekat kembali dalam dua hari sampai dua bulan setelah

persalinan (Cunningham, 2018).

d. Gagal ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklamsi, perfusi

ginjal dan glomerulus menurun. Pada sebagian besar wanita dengan

preeklamsi, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Pada sebagian

besar wanita dengan preeklamsi penurunan ringan sampai sedang laju

filtrasi glomerulus terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga

kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibanding kadar normal selama

hamil (Cunningham, 2018).

Perubahan pada ginjal disebabkan oleh karena aliran darah ke dalam

ginjal menurun, sehingga filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan ginjal

berhubungan dengan terjadinya proteinuria dan retensi garam serta air. Pada
23

kehamilan normal penyerapan meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi

glomerulus. Penurunan filtrasi akibat spasme arteriol ginjal menyebabkan

filtrasi natrium menurun yang menyebabkan retensi garam dan juga terjadi

retensi air. Filtrasi glomerulus pada preeklamsi dapat menurun sampai 50%

dari normal sehingga menyebabkan dieresis turun. Pada keadaan yang lanjut

dapat terjadi oliguria sampai anuria (Cunningham, 2018).

e. Edema Paru

Penderita preeklamsi mempunyai resiko besar terjadinya edema paru

disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh

darah kapiler paru dan menurunnya dieresis. Kerusakan vaskuler dapat

menyebabkan perpindahan protein dan cairan ke dalam lobus-lobus paru.

Kondisi tersebut diperburuk dengan terapi sulih cairan yang dilakukan

selama penanganan preeklamsi dan pencegahan eklamsi. Selain itu,

gangguan jantung akibat hipertensi dan kerja ekstra jantung untuk

memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik yang menyempit dapat

menyebabkan kongesti paru (Cunningham, 2018; Prawirohardjo, 2014).

f. Kerusakan hati

Vasokontriksi menyebabkan hipoksia sel hati. Sel hati mengalami

nekrosis yang diindikasikan oleh adanya enzim hati seperti transaminase

aspartat dalam darah. Kerusakan sel endotelial pembuluh darah dalam hati

menyebabkan nyeri karena hati membesar dalam kapsul hati. Hal ini

dirasakan oleh ibu sebagai nyeri epigastrium (Cunningham, 2018).

g. Penyakit kardiovaskuler
24

Gangguan berat pada fungsi kardiovaskuler normal lazim terjadi pada

preeklamsi atau eklamsi. Gangguan ini berkaitan dengan peningkatan

afterload jantung yang disebabkan hipertensi, preload jantung, yang sangat

dipengaruhi oleh tidak adanya hipervolemia pada kehamilan akibat penyakit

atau justru meningkat secara iatrogenik akibat infus larutan kristaloid atau

onkotik intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi cairan

intravaskuler ke dalam ruang ekstrasel, dan yang penting ke dalam paru-

paru (Cunningham, 2018).

h. Gangguan Saraf

Tekanan darah yang meningkatkan pada preeklamsi dan eklampsi

menimbulkan gangguan sirkulasi darah ke otak dan menyebabkan

perdarahan atau edema jaringan otak atau terjadi kekurangan oksigen

(hipoksia otak). Manifestasi klinis dari gangguan sirkulasi, hipoksia atau

perdarahan otak menimbulkan gejala gangguan saraf di antaranya gejala

objektif yaitu kejang (hiperrefleksia) dan koma. Kemungkinan penyakit

yang dapat menimbulkan gejala yang sama adalah epilepsi dan gangguan

otak karena infeksi, tumor otak, dan perdarahan karena trauma

(Cunningham, 2018).

2. Komplikasi pada janin

a. Pertumbuhan janin terhambat

Ibu hamil dengan preeklamsi dapat menyebabkan pertumbuhan janin

terhambat karena perubahan patologis pada plasenta, sehingga janin

beresiko terhadap keterbatasan pertumbuhan (Churcill, dkk., 2016).

b. Prematuritas
25

Preeklamsi memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang

disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta, pada waktu lahir

plasenta terlihat lebih kecil daripada plasenta yang normal untuk usia

kehamilan, prematur aging terlihat jelas dengan berbagai daerah yang

sinsitianya pecah, banyak terdapat nekrosis iskemik dan posisi fibrin

intervilosa (Prawirohardjo, 2014).

c. Fetal Distress

Preeklamsi dapat menyebabkan kegawatan janin seperti sindroma

distress napas. Hal ini dapat terjadi karena vasospasme yang merupakan

akibat kegagalan invasi trofoblas kedalam lapisan otot pembuluh darah

sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan menyebabkan aliran

darah dalam plasenta menjadi terhambat dan menimbulkan hipoksia pada

janin yang akan menjadikan gawat janin (Prawirohardjo, 2014).

2.10 Skrining

Skrining preeklampsia wajib dikerjakan pada semua ibu hamil yang

melakukan pemeriksaan antenatal. Pada faskes tingkat satu/primer, dapat

melakukan skrining sederhana dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Dari anamnesis harus dicari adanya faktor-faktor risiko seperti yang

tercantum di atas. Adanya 2 faktor risiko atau 1 faktor risiko kuat, maka dikatakan

hasil skrining positif.

Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pengukuran Indeks Massa

Tubuh/Body Mass Index (BMI), Mean Arterial Pressure (MAP), dan juga Roll

Over Test (ROT). Ketiga pemeriksaan dapat dikerjakan di faskes primer. Kriteria

pemeriksaan fisik positif, yaitu:


26

1. BMI > 30 kg/m2,

2. MAP > 90 mmHg terutama pada trimester kedua,

3. ROT, peningkatan tekanan darah > 15 mmHg antara posisi terlentang dan tidur

miring kiri.

Alur skrining preeklampsia dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Alur Skrining Preeklampsia (Buku Panduan Praktis Hipertensi

dalam Fetomaternal, 2016)

2.11 Penanganan Kegawatdaruratan Non-Operatif Pasien Preeklamsia

Tatalaksana preeklampsia berat harus dikerjakan berdasarkan penilaian yang

cermat, stabilisasi kondisi ibu, monitoring ketat, dan melakukan persalinan dalam

waktu dan kondisi yang tepat. Beberapa hal yang harus dikerjakan dalam

penanganan kegawatdaruratan preeklampsia berat:

1. Stabilisasi Tekanan Darah


27

Penanganan hipertensi akut dapat mencegah risiko komplikasi

cerebrovascular dan cardiovascular pada ibu dengan preeklampsia, yang

merupakan penyebab terbanyak mortalitas dan morbiditas maternal. Obat

penurun tekanan darah harus diberikan pada kondisi:

a. Tekanan darah > 160/110 mmHg

b. Tekanan darah > 140/90 mmHg dengan komorbiditas (gangguan organ lain)

Pada ibu dengan hipertensi berat (> 160/110 mmHg), obat penurun

tekanan darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah < 160/110

mmHg. Pada ibu dengan peningkatan tekanan darah 140–159/90- 109 mmHg,

target penurunan tekanan darah tergantung ada tidaknya komorbiditas. Jika ibu

memiliki komorbiditas maka tekanan darah harus diturunkan < 140/90 mm Hg,

sedangkan tanpa komorbiditas tekanan darah dapat diturunkan sampai 130–

155/80–105 mm Hg (SOGC, 2014).

Pada hipertensi berat, obat pilihan utama: kapsul nifedipine short acting,

hydralazine intravena atau parenteral labetolol. Alternatif lain adalah:

methyldopa oral, labetolol oral, atau clonidine oral (SOGC, 2014). Nifedipine

dapat diberikan dengan dosis awal 3 × 10 mg per oral, dengan dosis maksimal

120 mg/hari. Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual. Tidak

diperbolehkan memberikan obat jenis Atenolol, ACE inhibitor, Angiotensis

Receptor Blockers (ARB) dalam kehamilan (RCOG, 2010; SOGC, 2014).

2. Pencegahan Kejang

Studi MAGPIE telah membuktikan bahwa pemberian Magnesium

Sulphate dapat menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan

preeklampsia sebesar 58%. Magnesium Sulphate (MgSO4) adalah obat pilihan


28

pertama dalam mencegah kejang pada kasus preeklampsia berat. Diazepam dan

Phenitoin tidak lagi menjadi obat pilihan utama dalam pencegahan kejang

(RCOG, 2010). Syarat pemberian MgSO4 (Angsar MD, 2005):

a. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Gluconas 10% = 1 gr

(10% dalam 10 cc) diberikan intra vena (iv) selama 3 menit.

b. Refleks patella (+) kuat.

c. Frekuensi pernafasan > 16 + / menit, dan tidak ada tanda-tanda distress

nafas.

d. Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kg.bb./jam)

3. Pemberian MgSO4

MGSO4 diberikan sebagai antikejang dengan dosis awal (loading dose)

4–5 gram/intra vena pelan dengan MgSO4 20%, dilanjutkan dengan 10 gram

MgSO4 40% intra muskular disuntikkan ke bokong kiri dan kanan dan diulang

tiap 6 jam sebanyak 5 gram MgSO4 40%. Pemberian ini juga dapat dilakukan

dengan menggunakan syringe pump sebesar 1 gram/jam/intravena MgSO4

40% (Aditiawarman, 2016). Beberapa alternatif cara pemberian MgSO4 dapat

dilihat pada Gambar 15.2 Angsar (2005) menyatakan bahwa pemberian sulfas

magnesikus dihentikan bila:

a. Ada tanda-tanda intoksikasi

b. Setelah 12-24 jam pasca persalinan

Tabel 1 Dosis terapeutik dan toksis MgSO4


29

4. Pemberian MgSO4 pada Kejang Ulangan

Kejang ulangan pada wanita yang telah mendapatkan MgSO4 dapat

diterapi dengan injeksi bolus MgSO4 2 gram, atau peningkatan kecepatan

tetesan syringe pump sampai 1.5-2.0 gram/jam. Jika setelah tatalaksana ini

masih terjadi kejang, maka obat alternatif seperti Diazepam atau Thiopentone

dapat diberikan dosis tunggal, karena pemberian Diazepam berkepanjangan

dihubungkan dengan kematian maternal (RCOG, 2010).

Menurut Angsar (2005) keuntungan pemberian MgSO4 per injeksi ialah:

a. Pasien tetap sadar, berbeda dengan pemberian barbiturates, obat penenang,

dan narkotika, sehingga kecil kemungkinan terjadi gangguan pernapasan

dan aspirasi asam lambung.

Tabel 2 Tata Cara pemberian MgSO4 untuk mencegah kejang pada Preeklampsia

b. MgSO4 tidak menimbulkan akibat buruk bagi janin.

c. Pengobatan MgSO4 mudah pemberiannya dan bila terjadi keracunan mudah

diatasi.

d. MgSO4 menambah aliran darah ke rahim dan menambah konsumsi oksigen

ke dalam otak.

Pemakaian Diazepine (Valium) sebagai obat anti kejang ternyata mulai

ditinggalkan, sebab (Angsar, 2005):


30

a. Dizepine menurunkan kesadaran pasien, sehingga kedalaman gangguan

kesadaran sukar dinilai dan kemungkinan timbulnya gangguan pernapasan

serta aspirasi asam lambung lebih besar.

b. Untuk berkhasiat sebagai obat anti kejang dibutuhkan dosis yang lebih

tinggi.

c. Diazepine melewati plasenta dan berada dalam janin relatif lama, sehingga

janin yang baru lahir sering mengalami hypotonia dan depresi.

d. Harga Diazepine relatif mahal.

5. Keseimbangan Cairan

Resitriksi cairan dianjurkan pada kondisi preeklampsia berat, disebabkan

meningkatnya risiko overload cairan pada intra atau postpartum. Total cairan

masuk harus dibatasi sampai 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam (RCOG, 2010).

Diuretikum tidak boleh diberikan, kecuali jika ada gejala edema paru, gagal

jantung kongestif, atau edema anasarka. Pemberian diuretikum akan

memperburuk kondisi ibu dan janin karena memperberat hipovolemia,

mengurangi perfusi utero plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, dan

menimbulkan dehidrasi pada janin (Angsar, 2005).

6. Pemberian Kortikosteroid Untuk Maturasi Paru Janin

Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeklamsia dengan usia

kehamilan < 34 minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam

persalinan prematur (spontan atau iatrogenik) sangat signifikan menurunkan

mortalitas dan morbiditas neonatal (ACOG, 2016). Neonatus preterm yang

mendapat terapi steroid memiliki risiko lebih rendah dalam hal berikut:

a. Respiratory Distress Syndrome (RR 0,66; 95% CI 0,59–0,59)


31

b. Perdarahan intracranial (RR 0,54; 95% CI 0.43–0,69)

c. Necrotizing Enterocolitis (RR 0,46; 95% CI 0,29–0,74)

d. Kematian (RR 0,69; 95% CI 0,58–0,81) (ACOG, 2016).

ACOG (2016) menyatakan bahwa pilihan Steroid untuk maturasi paru

janin:

a. Dexamethasone 4 × 6 mg i.m (tiap 12 jam atau dalam 2 hari pemberian)

b. Betamethasone 2 × 12 mg i.m (tiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian)

Aditiawarman (2016) menyatakan bahwa langkah-langkah

penatalaksanaan Kegawatdaruratan Preeklampsia Berat

a. Segera masuk rumah sakit

b. Tirah baring

c. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%

d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.

Regimen pemberian MgSO4 dapat mengacu pada tata cara pemberian di

atas. Pilihan metode pemberian dapat disesuaikan dengan ketersediaan

sumber daya di faskes masing-masing.

4. Pemberian antihipertensi dan mempertahankan tekanan darah di bawah

160/110 mmHg dapat diberikan Nifedipin dan Metildopa.

5. Pemberian antihipertensi par-enteral bila dijumpai tekanan darah > 180/110.

Dapat digunakan Nicardipin drip

RCOG (2010), memberikan panduan mengenai langkah-langkah

penatalaksanaan Kegawatdaruratan Eklampsia:

a. Panggil bantuan (dokter spesialis obgyn, dokter anestesi, bidan, perawat,

dan lainnya), hendaknya tidak meninggalkan ibu sendiri.


32

b. Pastikan ibu tidak mengalami cedera saat kejang (akibat benturan dengan

benda di lingkungannya, terjatuh, atau menggigit lidah), pasang sudap lidah.

c. Setelah selesai kejang, taruh ibu pada posisi miring kiri, posisi kepala

dimiringkan dan diarahkan ke bawah untuk mencegah aspirasi, dan pasang

oksigen.

d. Nilai jalan napas dan pernapasan, bebaskan jalan napas (ABC/Airway

Breathing Circulation).

e. Jika memungkinkan, dapat dipasang pulse oximetry untuk menilai

oksigenasi jaringan.

f. Berikan MgSO4 sesuai dosis awal jika ibu belum pernah menerima MgSO4

sebelumnya. Jika ibu sudah pernah mendapatkan MgSO4, maka berikan

sesuai dosis regimen ulangan kejang.

g. Jika kejang menetap dengan dosis ulangan, maka dapat dipertimbangkan

pemberian obat alternatif lain (Diazepam dan Thiopentone).

h. Jika kejang masih menetap perlu dipertimbangkan intubasi untuk

melindungi jalan nafas dan mempertahankan oksigenasi.

i. Jika kondisi ibu sudah stabil, harus disiapkan perawatan lanjutan di faskes

yang lebih tinggi (sekunder–tersier) yang memiliki fasilitas ICU dan NICU.
BAB III

KESIMPULAN

Preeklamsi merupakan penyakit yang angka kejadiannya di setiap negara berbeda-

beda. Prevalensi kejadian preeklamsi sekitar 5%-15% dari keseluruhan kehamilan di

dunia, dimana kasus hipertensi pada kehamilan termasuk preeklamsi ditemukan dalam

jumlah yang cenderung meningkat dan merupakan komplikasi tersering dalam

kehamilan.

Adapun tanda dan gejala yang terjadi pada ibu hamil yang mengalami pre-eklamsi

berat yaitu tekanan darah sistolik >160 mmHg dan diastolik >110 mmHg, terjadi

peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus, trombosit <100.000/mm3, terkadang

disertai oliguria <400ml/24 jam, protein urine >2-3 gr/liter, ibu hamil mengeluh nyeri

epigastrium, skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat, perdarahan

retina dan edem pulmonal.

Faktor risiko spesifik untuk preeklamsi terdiri atas nuliparitas, usia yang lebih tua,

indeks massa tubuh, riwayat keluarga preeklamsi, riwayat penyakit ginjal atau

hipertensi kronis, kehamilan ganda, interval kehamilan lebih dari 10 tahun, dan riwayat

preeklamsi pada kehamilan sebelumnya.

Skrining preeklampsia wajib dikerjakan pada semua ibu hamil yang melakukan

pemeriksaan antenatal. Dari anamnesis harus dicari adanya faktor-faktor risiko seperti

yang tercantum di atas. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pengukuran Indeks

Massa Tubuh/Body Mass Index (BMI), Mean Arterial Pressure (MAP), dan juga Roll

Over Test (ROT).

33
34

Tatalaksana preeklampsia berat harus dikerjakan berdasarkan penilaian yang

cermat, stabilisasi kondisi ibu, monitoring ketat, dan melakukan persalinan dalam waktu

dan kondisi yang tepat. Penanganan hipertensi akut dapat mencegah risiko komplikasi

cerebrovascular dan cardiovascular pada ibu dengan preeklampsia, yang merupakan

penyebab terbanyak mortalitas dan morbiditas maternal. Pada ibu dengan hipertensi

berat (> 160/110 mmHg), obat penurun tekanan darah diberikan dengan target

menurunkan tekanan darah < 160/110 mmHg. Pada ibu dengan peningkatan tekanan

darah 140–159/90- 109 mmHg, target penurunan tekanan darah tergantung ada tidaknya

komorbiditas. Pada hipertensi berat, obat pilihan utama: kapsul nifedipine short acting,

hydralazine intravena atau parenteral labetolol.

Studi MAGPIE telah membuktikan bahwa pemberian Magnesium Sulphate dapat

menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan preeklampsia sebesar 58%.

Diazepam dan Phenitoin tidak lagi menjadi obat pilihan utama dalam pencegahan

kejang (RCOG, 2010). MGSO4 diberikan sebagai antikejang dengan dosis awal

(loading dose) 4–5 gram/intra vena pelan dengan MgSO4 20%, dilanjutkan dengan 10

gram MgSO4 40% intra muskular disuntikkan ke bokong kiri dan kanan dan diulang

tiap 6 jam sebanyak 5 gram MgSO4 40%. Pemberian ini juga dapat dilakukan dengan

menggunakan syringe pump sebesar 1 gram/jam/intravena MgSO4 40% (Aditiawarman,

2016).

Kejang ulangan pada wanita yang telah mendapatkan MgSO4 dapat diterapi

dengan injeksi bolus MgSO4 2 gram, atau peningkatan kecepatan tetesan syringe pump

sampai 1.5-2.0 gram/jam. MgSO4 menambah aliran darah ke rahim dan menambah

konsumsi oksigen ke dalam otak. Resitriksi cairan dianjurkan pada kondisi

preeklampsia berat, disebabkan meningkatnya risiko overload cairan pada intra atau
35

postpartum. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan prematur (spontan

atau iatrogenik) sangat signifikan menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal

(ACOG, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Aditiawarman, dan Akbar, MIA. 2016. Buku Ajar Departemen Obgyn RSUD Dr.
Soetomo. Belum diterbitkan.
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG). 2016. Antenatal
Corticosteroid Therapy for Fetal Maturation. Committee Opinion, no. 677.
Angsar, MD. 2005. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan, Edisi IV tahun 2005.
Belum diterbitkan.
Aviram, A., Hod, M., dan Yogev, Y. 2011. Maternal Obesity: Implications for
Pregnancy Outcome and Long-Term Risks-A Link To Maternal Nutrition. Int J
Gynecol Obstet. 115(Suppl.1): S6–10. Available From:
Http://Dx.Doi.Org/10.1016/S0020-7292(11)60004-0
Bilano, V.L., Ota, E., Ganchimeg, T., Mori, R., Souza J.P. 2014. Risk Factors Of
Preeclampsia/Eclampsia And Its Adverse Outcomes In Low- And Middle-Income
Countries: A Who Secondary Analysis. Plos One. 9(3):1–9.
Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., et al. 2018. Williams Obstetrics. 25st Ed.
E-Book: McGraw-Hill. Hal:28/68

De Souza Rugolo, L.M.S., Bentlin, M.R., Trindade, C.E.P. 2011. Preeclampsia: Effect
On The Fetus And Newborn. . 12(4): E198–206. Available From:
Http://Neoreviews.Aappublications.Org/Lookup/Doi/10.1542/N Eo.12-4-E198
English FA, Kenny LC, McCarthy FP. 2015. Risk factors and effective management of
preeclampsia. Integr Blood Press Control. 3(8):7-12. doi: 10.2147/IBPC.S50641.
PMID: 25767405; PMCID: PMC4354613.
Ertiana, D., Wulan, S.R. 2019. Hubungan Usia dengan Kejadian Preeklamsia pada Ibu
Hamil di RSUD Kabupaten Kediri Tahun 2018. Midwiferia Jurnal Kebidanan.
5(2): 1-7.
Grum T, Seifu A, Abay M, Et al. 2017. Determinants of preeclampsia/Eclampsia among
women attending delivery Services in Selected Public Hospitals of Addis Ababa,
Ethiopia: a case control study. BMC Pregnancy and Childbirth. 17:307.
Kurniasari, D., dan Arifandini, F. 2015. Hubungan Usia, Paritas Dan Diabetes Mellitus
Pada Kehamilan Dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil Di Wilayah
Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Holistik 9(3): 142-150.
Kusumastuti, D.A., Rusnoto, dan Siti, A. 2019. Hubungan Paritas, Riwayat Kehamilan
Preeklampsia dan Asupan Kalsium dengan Kejadian Preeklampsia Berat.
Proceeding of the 10th University Research Colloquium 2019: Bidang MIPA dan
Kesehatan. Hal. 637-644.
Kusumawati, W., Wijayanti, A.R., dan Wahyuningtyas. 2017. Gambaran Faktor-Faktor
Risiko Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Bersalin Dengan Preeklampsia (Di RS
Aura Syifa Kabupaten Kediri Bulan Februari–April Tahun 2016). Jurnal
Kebidanan Dharma Husada. 6:(2): 139-146.
Lisonkova, S., Joseph, K.S. 2013. Incidence Of Preeclampsia: Risk Factors And
Outcomes Associated With Early-Versus Late-Onset Disease. Am J Obstet
Gynecol. 209(6):1–12. Available From: Http://Dx.Doi.Org/10.1016/J.Ajog.
Magee, L. A., Pels, A., Helewa, M., Et all. 2014. Hypertension Guideline C, Et Al.
Diagnosis, Evaluation, And Management of The Hypertensive Disorders of
Pregnancy: Executive Summary. J Obs Gynaecol Can. 36(5):416–38. Available
From: Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/24927294
Mahran A, Fares H, Elkhateeb R, Et Al. 2017. Risk Factors and Outcome of Patients
with Eclampsia at A Tertiary Hospital in Egypt. 1–7.
Manuaba, I.B.G. 2013. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, Dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC. Hal.183
North RA, McCowan LM, Dekker GA, Et al. 2011. Clinical risk prediction for pre-
eclampsia in nulliparous women: development of model in international
prospective cohort. BMJ. doi: 10.1136/bmj.d1875. PMID: 21474517; PMCID:
PMC3072235.
Nursal, Dien Ga, Pratiwi Tamela, Fitrayeni. 2015. Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia
Pada Ibu Hamil Di Rsup Dr. M. Djamil Padang Tahun 2014. Andalas Journal of
Public Health. 10(1): 38–44.
Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal
(POGI). 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis Dan Tata
Laksana Preeklamsia. Jakarta: POGI. Hal. 1-46.
Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Editor: Mochamad Anwar, Edi,3
Roberts, J.M., Druzin, M., August, P.A., et al. 2012. Acog Guidelines: Hypertension In
Pregnancy. American College Of Obstetricians And Gynecologists. 1-100 P.
Vol.122 Hal. 1127-1130
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG). 2010. Management of
Severe Preeclampsia/Eclampsia. RCOG Guideline, no. 10(A).
Situmorang, T.H., Yuhana, D., Afrina J. 2016. Faktor - Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil Di Poli KIA RSU Anutapura
Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2(1): 34-44.
SOGC Guidelines. 2014. Diagnosis, evaluation and Management of The Hypertensive
Disorders of Pregnancy: Executive Summary. J Obstet Gynaecol Can, vol. 36, no.
5, pp. 416–438.
Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2012. Survei Demografi Dan
Kesehatan Indonesia. Jakarta. Hal. 110.
Thangaratinam S, Tan A, Knox E, Et al. 2011. Association between thyroid
autoantibodies and miscarriage and preterm birth: meta-analysis of evidence.
BMJ. 342:d2616. doi: 10.1136/bmj.d2616. PMID: 21558126; PMCID:
PMC3089879.
The International Society for The Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP). 2014.
The Classification, diagnosis and management of the hypertensive disorders of
pregnancy: A revised statement from the ISSHP. Pregnancy Hypertension. An
International Journal of Womens Cardiovascular Health, vol. 4, pp. 97–104.
UNICEF, WHO, The World Bank, Un Pop Div. 2013. Levels And Trends In Child
Mortality, Report 2013. United Nations: America.
Uzan, J., Carbonnel, M., Piconne, O., Et al. 2011. Pre-Eclampsia: Pathophysiology,
Diagnosis, And Management. Vasc Health Risk Manag. 7(1):467–74.
World Health Organization (WHO). 2013. Meeting To Develop A Global Consensus
On Preconception Care To Reduce Maternal And Childhood Mortality And
Morbidity. Meeting Report. Geneva: Who. Hal.33
Yao, R.; Ananth, C.V.; Park, B.Y.; Et al. 2014. Obesity and the risk of stillbirth: a
population-based cohort study. American Journal of Obstetrics and Gynecology.
210(457): e1-9.
Yolanda, G.S.F., Putri Mirani, Swany. 2015. Angka Kejadian Persalinan Preterm pada
Ibu dengan Preeklampsia Berat dan Eklampsia di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2013. Majalah Kedokteran Sriwijaya. 47(1): 31-34.

Anda mungkin juga menyukai