Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

“Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”

Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF
Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh :

Putri Weni 102119096

Pembimbing :
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”. Penyusunan tugas ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan
pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF,
Sp.An, KPI, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.

Medan, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN TEORI...................................................................................................2

2.1 Anatomi Kelenjar Prostat.............................................................................................2

2.2 Epidemiologi................................................................................................................4

2.3 Etiologi.........................................................................................................................4

2.4 Manifestasi Klinis........................................................................................................7

2.5 Pemeriksaan Penunjang................................................................................................8

2.6 Penatalaksaaan.............................................................................................................9

2.7 Anestesi Spinal...........................................................................................................12

BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................................31

PRE-OPERATIF..............................................................................................................31

DURANTE OPERASI.....................................................................................................33

POST OPERASI..............................................................................................................36

BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari


berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan
penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri
menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi
yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan
tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (benign


prostatic hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.1 BPH dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.

Pada praktek anestesi, prosedur bedah urologi mencakup 10-20%.


Pasien yang menjalani prosedur genitourinari berasal dari segala usia, tetapi
kebanyakan berasal dari kalangan lansia yang memiliki riwayat medis seperti
gangguanginjal. Beberapa posisi operasi seperti litotomi, Trendelenburg,
pendekatantransurethral, dan litotripsi mempersulit tak hanya anestesi tapi
juga teknik bedah.

TURP lebih sederhana dan lebih aman daripada prostatektomi


terbuka. Belumada penelitian yang mengamati angka kematian antara pasien

1
yang dilakukanprosedur TURP dan prostatektomi retropubik atau
suprapubik.

Hipertrofi kelenjar prostat merupakan penyebab tersering obstruksi


salurankemih pada pasien geriatri laki laki.Walau lebih sering terapi berupa
medikasifarmakologi saja, terkadang diperlukan intervensi bedah.TURP
adalah operasiyang paling sering dilakukan dan indikasi dilakukan adalah
adanya uropatiobstruktif, penumpukan kalkulus, dan episode retensi urin
yang berkali kali.Pasien dengan adenokarsinoma juga dapat dilakukan
prosedur TURP.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Kelenjar Prostat

Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular yang terletak di inferior


dari buli-buli, di belakang dari simfisis pubis. Prostat normal beratnya kurang
lebih 20 gram, dan di dalamnya terdapat urethra posterior yang panjangnya
kurang lebih 2,5 sentimeter. Kelenjar prostat di bagian anterior disupport oleh
ligamentum puboprostatic, dan di sebelah inferior oleh diafragma urogenital.di
sebelah posteriornya bermuara duktus ejakulatorius, yang berjalan secara oblik
melalui verumontanum pada dasar dari urethra pars prostatika, sebelah
proksimal dari sphincter urinary eksterna. Pada bagian posterior, prostat
terpisah dari rectum oleh a lapis fascia denonvilliers yang meluas ke diafragma
urogenital.
Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra.
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan
kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona
transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian
BPH terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat
berasal dari zona perifer.
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior dan
arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticus. Plexus venosus prostaticus yang
terletak antara kapsula fibrosa dan prostatic sheath, didrainase oleh vena iliaka
interna. Plexus venosus prostaticus kearah superior berlanjut sebagai plexus
venosus vesicalis dan ke posterior berhubungan dengan plexus venosi
vertebrales interna. Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei
iliaci interna namun beberapa drainasenya melalui nodus sacralis.

3
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari
plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis
dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2.
Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke
dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan
inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat
tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis
mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

2.1 Definisi BPH


Benign Prostate Hyperplasia merupakan proses patologi berupa
peningkatan jumlah sel-sel stromal dan epithel pada area periurethra dari
kelenjar prostat, dengan karakteristik gejala berupa Lower Urinary Tract
Symtomps (LUTS).

4
BPH (Hiperplasia Prostat Benigna) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan dan merupakan suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran utrin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis
yang paling umum pada pria.

2.2 Epidemiologi

BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki usia tua
(Izmirli , et al, 2011). Menurut studi epidemiologis terpercaya mengenai BPH di
Amerika Serikat tahun 2000, BPH merupakan alasan utama kasus rujukan ke
klinik sebesar 4,4 juta kasus, dan 117.000 kunjungan ke unit gawat darurat,
serta 105.000 kasus rawat inap di rumah sakit.

Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50
tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia
diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi
juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun + 25% laki-laki mengeluh
gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75
tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada
saat berkemih.

2.3 Etiologi

Saat ini etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat banyak


pendapat tentang hal ini. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Dihidrotestosteron

Pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu metabolit


androgen yaitu dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron dihasilkan dari
reaksi perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase
dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan

5
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan


kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:
progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam
prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini
adalah meskipun rangsangan terbentuknya selsel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

3. Interaksi stromal-epitel

Differensasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung


dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator tertentu (growth factor).
Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-
sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme


fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Saat
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-
sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-

6
sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.

5. Teori Sel Stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu


dibentuk selsel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif. Kehidupan
sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen sehingga jika
hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.

6. Teori Inflamasi

Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit


inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat dengan
LUTS (Purnomo, 2012). Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis
memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger,
2008). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa inflamasi kronis dapat
menyebabkan BPH. Telah dihipotesiskan bahwa infiltrat inflamasi dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan dan proses kronik dari penyembuhan luka
yang secara subsekuensial mengakibatkan pembesaran kelenjar prostat.

Dua hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan


inflamasi kronis pada BPH; pertama, peran dari kejadian infeksi dan yang
kedua adalah peranan respon autoimun (Robert G, 2009). Data penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik pada prostat memiliki
risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan terjadinya retensi urin.
Pada pasien dengan volume prostat yang kecil, hanya yang disertai dengan
proses inflamasi yang mengalami gejala obstruksi. Inflamasi prostat juga
dikaitkan dengan pembesaran volume prostat, semakin berat derajat

7
inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS.
Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS
(De Nunzio, , et al. 2011). Inflamasi prostat kemungkinan merupakan faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan prostat dan progresifitas dari
gejala BPH. Berbagai growth factor dan sitokin berperan dalam proses
inflamasi.

Penyebab potensial dari inflamasi meliputi perubahan hormonal,


infeksi ( viral atau bakterial), asupan makanan ataupun faktor lingkungan,
respon autoimun, refluks urin di dalam prostat collecting duct, dan inflamasi
sistemik terkait dengan sindroma metabolik. Berdasarkan hasil otopsi,
inflamasi kronik diamati pada >70% laki-laki pada otopsi, semakin banyak
inflamasi terkait dengan lebih banyak kejadian BPH.

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala


obstruksi berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas saat
berkemih, double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes
setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia.
Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah
atau Lower Urinary Tract Symtomps (LUTS).
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem
penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri. Sistem
penilaian yang dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah
International Prostatic Symptoms Score (IPSS).
IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom score yang
ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup. IPSS berisi
tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan untuk menilai
kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara kuantitatif
dalam skala 0-5. Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat gejala saluran
kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-8 derajat ringan,

8
9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan
untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan factor diagnostik
untuk menegakkan adanya BPH.
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah
ukuran dan konsistensi prostat. Colok dubur pada pembesaran prostat jinak
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada
karsinoma prostat, konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin
di antara prostat tidak simetri. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan,
waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
transrectal ultrasound (TRUS) serta biopsy.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

2.5.1 Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Kecurigaan adanya infeksi saluran kemih
perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin
dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter.
Serum Prostate Specific Antigen (PSA) dapat dipakai untuk
mengetahui perjalanan penyakit dari BPH. PSA disintesis oleh sel
epitel kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker
spesifik. Kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih
cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk, dan
lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin

9
tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Kadar PSA
di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua. Parameter PSA density (PSAD), yaitu parameter PSA berbasis
pada volume prostat dilaporkan dapat menginterpretasi kadar PSA
lebih baik pada laki-laki dengan prostat yang besar. PSA merupakan
faktor risiko terjadinya inflamasi sedang-berat pada pasien BPH.
Pemeriksaan lain yakni uroflowmetri. Uroflometri adalah
pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Q max), pancaran rata-rata (Q ave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Nilai Q max dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan.
2.5.2 Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas intravena pyelografi dan
USG dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau
terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan
riwayat batu ginjal. Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona
sentral dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap
homogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior
terlihat hipoekogenik heterogen.

2.6 Penatalaksaaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya.
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk

10
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih
yang rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi
renal dan divertikel buli.
1. Watchful Waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful
waiting merupakan penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH
dengan nilai IPSS 0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga
dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang
digunakan adalah:
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin,
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin,
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin,
terazosin, dan tamsulosin,
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride,
3. Fitofarmaka
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi
urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK
berulang, adanya batu buli atau divertikel, hematuria yang menetap
setelah medikamentosa, atau dilatasi saluran kemih bagian atas akibat
obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi
absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang
menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan
indikasi operasi relative.

11
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan
pembedahan prostat pada pasien BPH. Pada pasien dengan keluhan
derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting.
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur
bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-
23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga
membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi
prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun,
ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TURP
terjadi kurang dari 1%.
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia
stress <1% maupun inkontinensia 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%,
kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian
akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien
kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84
tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif
(termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka
morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-
angsur menurun.
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi
retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan
komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher
buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom TURP.
b. Transurethral Incicion of the Prostat (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari

12
30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak
diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini
dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan
mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai
dari muara ureter, leher bulibuli- sampai ke verumontanum. Insisi
diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih
cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.

c. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan
tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan
divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi
terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin
procedure) dan retropubik (Freyer procedure).
d. Terapi Invasif Minimal
Terapi invasif minimal untuk BPH yakni terapi laser
Transurethral Electrovaporization of the Prostat Microwave
Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the Prostat High
Intencity Focused Ultrasound dan Stent Intraurethral.

2.7 Anestesi Spinal


2.7.1 Definisi Anestesi Spinal
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal
adalah tindakan anestesi dengan memasukkan obat analgetik ke
dalam ruang subaraknid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian
akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal.
2.7.2 Indikasi Anestesi Spinal
Untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4
kebawah (daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi
yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam.

13
2.7.3 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi
menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
1. Kontra indikasi absolut :
a. Infeksi pada tempat suntikan. : infeksi pada sekitar tempat
suntikan bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam
rongga subdural.
b. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah
ataupun diare : karena pada anestesi spinal bisa memicu
terjadinya hipovolemia.
c. Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
d. Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah
tinggi tekanan intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi
neurologis.
e. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi
dan lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat
emergensi lainnya.
f. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi : hal
ini dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada
medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
g. Pasien menolak.
2. Kontra indikasi relatif :
a. Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu
diperhatikan apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu
dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
b. Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar
tempat suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih
kaudal.

14
c. Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
defisit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama : Masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan
durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
f. Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi
komplikasi ke arah jantung akibat efek obat anestesi lokal.
g. Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-
obatan atau cairan nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien
akan sulit saat diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses
penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.
2.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan


(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada
bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang


sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American


Society Anesthesiology):

15
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai


dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau
proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga


aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang


mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan
hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan
operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan).

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri


dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.

Adapun penilaian yang dilakukan sebelum operasi diantaranya adalah


sebagai berikut :

1. Anamnesis

a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

16
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis),
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi


obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid,
dan lain lain.

e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari


tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.

f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi


tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik.

g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti


hipertensi maligna.

h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan


umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal,
hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan
dermatologi.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat


penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.

17
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

a. Lab rutin :

1) Pemeriksaan lab. Darah

2) Urine : protein, sedimen, reduksi

3) Foto rongten ( thoraks )

4) EKG

b. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

1) EKG pada anak

2) Spirometri pada tumor paru

3) Tes fungsi hati pada ikterus

4) Fungsi ginjal pada hipertensi


2.2.5 Obat-Obatan Anestesi Spinal

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya


merupakan obat anestesi lokal. Anestetik lokal adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada jaringan saraf
dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal
bersifat reversible.

Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan


terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari
obat harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat
anestesi lokal ini juga harus larut dalam air. Terdapat dua golongan
besar pada obat anestesi lokal yaitu golongan amid dan golongan
ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi
local ini adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls

18
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membrane sel.
Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.

Berat jenis cairan cerebrospinal (LCS) pada 37oC adalah


1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan LCS
disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari
LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil
dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di


Indonesia dan umum digunakan :

1. Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat


hyperbaric, dosis 20-50mg(1-2ml).

2. Bupivacaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-
20mg.

3. Bupivacaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat


hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).

Obat Anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap system


tubuh manusia. Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh
yang nantinya harus diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.

1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
system saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai
obat tersebut dimetabolisme.

19
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan
saraf yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus
frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena
kelumpuhan otot nafas.

3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat


impuls saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat
pada dosis tertentu, maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis
kecil dapat menyebabkan bradikardia.

4. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat


terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat
penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan
obat anestesi lokal agar tidak masuk ke pembuluh darah.

5. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka


memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui
riwayat alergi pasien. Pada reaksi lokal dapat terjadi reaksi
pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak
sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.

6. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila


disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan
kontraksi yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.

7. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan


pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan
penekanan yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan


dengan zat lain atau adjuvant . Zat tersebut mempengaruhi kerja dari
obat anestesi lokal khususnya pada anestesi spinal. Tambahan yang
sering dipakai adalah :

20
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di ruang subaraknoid.
Obat anestesi local dimetabolisme lambat di dalam rongga
subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari
rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih
lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepatnonset terjadinya fase anestetik pada anestesi
spinal. Analgesic opioid misalnyanfentanyl adalah obat yang
sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat
anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga menyatakan
bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu
diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2
Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat
vasodilatasi dan penurunan heart rate.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk


melakukan anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

21
2.2.6 Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan


tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat
sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit.
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan
berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan
kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan prosesus spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum
spinal besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan.

22
Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

Gambar 2: Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

23
Gambat 3: Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

24
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
median dan paramedian. Pada teknik medial, penusukan
dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang belakang. Pada
tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis
tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 4 : Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah


melakukan monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan
memberikan rangsang pada dermatom di kulit. Penilaian
berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien
dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang.Hal
yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah
dan denyut nadi.Tekanandarah bisa turun drastis akibat spinal
anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belumdiberikan
loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor

25
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun,
kulit menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

2.2.7 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal

Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang


harus diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada
siste tubuh seperti. Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :

1. Komplikasi Kardiovaskular 

26
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan
vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output
akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena
yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang
sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa
terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-
1/4mg IV.

2. Blok Tinggi atau Total

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari


kesalahan perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan.
Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti
nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak
diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik

27
yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas
pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

3. Komplikasi Sistem Respirasi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat


melakukan anestesi spinal adalah :

1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,


bila fungsi paru-paru normal.

2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk


blok spinal tinggi.

28
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla. 

4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak


nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan
yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

4. Komplikasi Gastointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis


berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada
traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala
pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas
terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi
tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan
kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat
diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine.

5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)

Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah


nyeri kepala.Nyeri kepala inibisa terjadi selepas anestesi spinal
atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.Insidenterjadi
komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum
yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar
resiko untuk terjadi nyeri kepala.Selain itu,insidensi terjadi nyeri
kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi.Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 –
48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan
muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah

29
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik
dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

6. Nyeri Punggung

Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung


akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada
periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan
menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.

7. Komplikasi Neurologik

Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah


rendah. Komplikasi neurologik yang paling benign adalah
meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam
setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal
dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalambeberapa
hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok

30
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan.Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah.Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.Pada penyakit
initerdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal.Iskemia dan infark korda spinal bisa
terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter
epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat
jarang, tapi tetap mungkin terjadi.

Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional


sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur
vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh
darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area
lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesiaadalah
jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai
bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalahefek sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari
kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab
terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke
arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari
arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah

31
dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran
darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.

Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang


menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh
beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin.Jadi
kemungkinanepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada
arteri spinal anterior atau pembuluh darahyang memberikan
bekalan darah.Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regiona ldapat menyebabkan kekurangan aliran darah.

Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri


secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain.
Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami
bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke
medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien
dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.

Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan


menyebabkan araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada
komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal,
demam,leukositosis, dan rigiditas nuchal.Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan jika menggunakan anestesiregional pada pasien
yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang
menderita selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.

8. Komplikasi Traktus Urinarius

Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum


maupun regional.Fungsikandung kencing merupakan bagian
yang fungsinya kembali paling akhir pada

32
analgesiaspinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.Kerusakan
saraf pemanen merupakankomplikasi yang sangat jarang terjadi.

Pencegahan

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.

3. Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.

Pengobatan

1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

2. Hidrasi adekuat.

3. Hindari mengejan.

4. Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian


epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri
5-10ml ke dalam ruang epidural. Cara ini umumnya
memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa
jam) pada lebih dari 90% kasus.

BAB III

LAPORAN KASUS

PRE-OPERATIF

1. Identitas Pasien

a. Nama : Paijo

33
b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tempat Tanggal Lahir: Kisaran, 12-08-1949

d. Usia : 72 tahun

e. Agama : Islam

f. Pekerjaan : Wiraswasta

g. Tanggal Masuk RS : 05-10-2021

2. Anamnesa

a. Keluhan Utama : Tidak bisa BAK

b. Telaah:

Pasien datang ke RSU Haji Medan dengan keluhan BAK tersendat-sendat.


Pasien berkata keluhan dirasakan sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Sebelumnya pasien menggunakan kateter lebih kurang 10 hari, kemudian
setelah kateter dilepas keluhan kambuh lagi. Pasien juga megeluhkan nyeri
perut bagian bawah.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
e. Riwayat Alergi :
- Tidak ada
f. Riwayat Pengobatan :

- Tidak ada

g. Riwayat Psikososial :

34
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)
3. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

a. Hb : 15.7 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)

b. HT : 47.3 % (40 - 52 %)

c. Eritrosit : 5.12 x 106/µL (4,4 - 5.9 x 106/µL)

d. Leukosit : 9470 / µL (4000 - 11.000 / µL)

e. Trombosit : 339.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)

Hitung Jenis

a. Eosinofil : 2.7% (1-3 %)


b. Basofil : 1.4% (0-1 %)
c. N. Seg : 66.1% (53-75 %)
d. Limfosit : 23.0% (20-45 %)
e. Monosit : 4.8% (4-8 %)

Metabolik

f. KGDS : 10 mg/dl (<200)

Fungsi Hati

35
g. Bilirubin total :-

h. Bilirubin direk :-

i. SGOT :-

j. SGPT :-

Fungsi Ginjal

a. Ureum : 21 mg/dl (10 - 50 g/dl)

36
HIV

a. HIV R1 : Non Reactive

Pemeriksaan COVID

b. IgG Covid -19 : Non Reactive

c. IgM Covid -19 : Non Reactive

DURANTE OPERASI

1. Status Anastesi
 PS-ASA : II (Gangguan Sistemik Sedang- Berat)
 Hari/tanggal : 05 - 10- 2021
 Ahli Anastesiologi : dr. Asmin lubis, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Hasroni, Sp.U
 Diagnosa Pra Bedah : Retensi urin ec BPH
 Diagnosa Pasca Bedah : BPH
 Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 60 Kg
TTV : TD : 130/80 mmHg, N : 92x/menit, RR : 18x/menit,
T: 36,7 0C

 B1 (Breath)

Airway : Clear

RR : 20 x/menit

37
SP : Vesikuler

ST :-

 B2 (Blood)

Akral : Hangat

CRT : < 2 detik

TD : 130/80 mmHg

HR : 90x/menit

Hb : 15.7 g/dl (13,2 – 17,3g/dl)

Ht : 47.3 % (40 – 52 %)

Leukosit : 9470 / µL (4000 - 11.000 / µL)

Trombosit : 339.000/µL (150.000 - 440.000 / µL)

EKG : normal (Sinus rhytme)

 B3 (Brain)

Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6

Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

RC : (+)/(+)

 B4 (Bladder)

Kateter :+

Urine Output : 100 cc

Warna : putih kekuningan

38
Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)

 B5 (Bowel)

Abdomen

Inspeksi : Simetris

Palpasi : normal

Perkusi : Tympani

Auskultasi : Peristaltik (+)

Mual/Muntah : (+)/(-)

 B6 (Bone)

Oedem : (-)

Fraktur : (-)

Motorik : Normal

 Jenis Pembedahan : TUR-P

 Jenis Anastesi : Regional Anestesi

 Lama Operasi : 60 menit (09.00 - 10.00 WIB)

 Lama Anastesi : 80 menit (08.40 - 10.00 WIB)

 Anastesi Dengan : Bupivacaine 20 mg

 Teknik Anastesi : Sitting position  identifikasi L3-L4  Desinfeksi


dengan povidon iodine dan bersihkan dengan alcohol 70%  insersi
spinocane 25 g  CSF (+), darah (-)  injeksi dengan bupivacaine 20 mg 
Blok setinggi T10

39
 Teknik Khusus :-

 Pernafasan : Spontan

 Posisi : Supine

 Infus : IVFD RL terpasang ditangan kiri

 Penyulit Anestesi :-

 Akhir Pembedahan : TD: 100/60 mmHg. N: 70 x/menit, RR: 20


x/menit

 Terapi Khusus Pasca Bedah :-

 Penyulit Pasca Bedah :-

 Hipersensitivitas :-

 Premedikasi :

- Ondansetron 4 mg

- Ranitidine 50 mg

 Medikasi

- Bupivacaine : 20 mg

- Tranexamic Acid : 500 mg

- Petidine : 25 mg

- Furosemide : 10 mg

40
 Diagram Observasi

200

150
Sistol
100 Diastol
HR
50

0
0 45 50 55 00 05 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 00
.4 . . . . . . . . . . . . . . . .
08 08 08 08 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 10

 Jumlah Cairan

Transfusi Cairan : RL 1200 cc


Produksi Urin : kateter (-)

41
Volume urin :-

 Perdarahan

Suction :-

POST OPERASI

Perawatan Post Operasi

a. Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan


monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam

b. Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

c. IVFD RL 40 gtt/menit

Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 8

 Pergerakan :2
 Pernapasan :2
 Warna kulit :2
 Tekanan darah :2
 Kesadaran :2

d. Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan


pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign
stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam,
makan dan minum sedikit demi sedikit apabila pasien sudah sadar penuh dan
peristaltik normal.

42
TERAPI POST OPERASI

a. Minum sedikit-sedikit bila tidak ada mual dan muntah

b. IVFD RL 40 gtt/menit

c. Inj. Petidine IV 50 mg bila kesakitan

d. Obat-obat lain : ketorolac 30 mg/8 jam , paracetamol 500 mg/ 8 jam

e. Monitor TTV / 15 menit selama 2 jam

f. Bed rest 24 jam

43
BAB IV

KESIMPULAN

BPH (Hiperplasia Prostat Benigna) adalah penyakit yang disebabkan oleh


penuaan dan merupakan suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, dan menyumbat aliran utrin dengan menutup orifisium uretra. BPH
merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria. Saat ini etiologi BPH
belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat banyak pendapat tentang hal ini. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah teori
dihidrotestosteron, ketidakseimbangan estrogen-testosteron, berkurag nya kematian
sel prostat, dll. Tatalakasana BPH sendiri terdiri atas observasi dan operatif. Pada
operasi BPH, pasien akan diberikan anestesi regional sehingga pasien masih tersadar
saat proses operasi berlangsung. Pemberian bupivacaine menjadi pilihan dalam
sedasi regional. Pemberian injeksi pectidine dilakukan hanya bila pasien merasakan
nyeri yang hebat setelah post operasi.

44
DAFTAR PUSTAKA

Ktzung BG, Trevor AJ, Masters SB. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. McGraw-Hill: USA

Purnomo, Basuki, 2011. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung Seto

Reksoprodjo S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Staf Pengajar Bagian Ilmu
Bedah FK UI: Jakarta

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. EGC: Jakarta

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2007. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. EGC: Jakarta

Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang: FK Universitas Diponegoro

Sutiyono et Winarno, 2009. Jarum Spinal dan Pengaruh yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestesiologi Indonesia

45
LAMPIRAN

PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG

USG

LAPORAN ANESTESI

46
GAMBAR BPH

47
48

Anda mungkin juga menyukai