Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF
Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan
Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)”. Penyusunan tugas ini di
maksudkan untuk mengembangkan wawasan serta melengkapi tugas yang di berikan
pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF,
Sp.An, KPI, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan
datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
2.2 Epidemiologi................................................................................................................4
2.3 Etiologi.........................................................................................................................4
2.6 Penatalaksaaan.............................................................................................................9
PRE-OPERATIF..............................................................................................................31
DURANTE OPERASI.....................................................................................................33
POST OPERASI..............................................................................................................36
BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................39
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang dilakukanprosedur TURP dan prostatektomi retropubik atau
suprapubik.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan parasimpatis dari
plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis
dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2.
Stimulasi parasimpatis meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan rangsangan simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke
dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan
inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat
tersebut banyak terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis
mempertahankan tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
4
BPH (Hiperplasia Prostat Benigna) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan dan merupakan suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran utrin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis
yang paling umum pada pria.
2.2 Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki usia tua
(Izmirli , et al, 2011). Menurut studi epidemiologis terpercaya mengenai BPH di
Amerika Serikat tahun 2000, BPH merupakan alasan utama kasus rujukan ke
klinik sebesar 4,4 juta kasus, dan 117.000 kunjungan ke unit gawat darurat,
serta 105.000 kasus rawat inap di rumah sakit.
Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20% pada laki-laki berusia 41-50
tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia
diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi
juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun + 25% laki-laki mengeluh
gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia 75
tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada
saat berkemih.
2.3 Etiologi
1. Teori Dihidrotestosteron
5
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
3. Interaksi stromal-epitel
6
sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.
6. Teori Inflamasi
7
inflamasi, semakin besar volume prostat dan semakin tinggi nilai IPSS.
Sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS
(De Nunzio, , et al. 2011). Inflamasi prostat kemungkinan merupakan faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan prostat dan progresifitas dari
gejala BPH. Berbagai growth factor dan sitokin berperan dalam proses
inflamasi.
8
9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS hanya digunakan
untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan factor diagnostik
untuk menegakkan adanya BPH.
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah
ukuran dan konsistensi prostat. Colok dubur pada pembesaran prostat jinak
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada
karsinoma prostat, konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin
di antara prostat tidak simetri. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan,
waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
transrectal ultrasound (TRUS) serta biopsy.
2.5.1 Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya
leukosituria dan hematuria. Kecurigaan adanya infeksi saluran kemih
perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin
dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak
manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter.
Serum Prostate Specific Antigen (PSA) dapat dipakai untuk
mengetahui perjalanan penyakit dari BPH. PSA disintesis oleh sel
epitel kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker
spesifik. Kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih
cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk, dan
lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin
9
tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Kadar PSA
di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua. Parameter PSA density (PSAD), yaitu parameter PSA berbasis
pada volume prostat dilaporkan dapat menginterpretasi kadar PSA
lebih baik pada laki-laki dengan prostat yang besar. PSA merupakan
faktor risiko terjadinya inflamasi sedang-berat pada pasien BPH.
Pemeriksaan lain yakni uroflowmetri. Uroflometri adalah
pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Q max), pancaran rata-rata (Q ave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Nilai Q max dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan.
2.5.2 Pencitraan
Pencitraan saluran kemih bagian atas intravena pyelografi dan
USG dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau
terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan
riwayat batu ginjal. Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona
sentral dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap
homogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior
terlihat hipoekogenik heterogen.
2.6 Penatalaksaaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya.
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut untuk
10
pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran kemih
yang rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH, insufisiensi
renal dan divertikel buli.
1. Watchful Waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful
waiting merupakan penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH
dengan nilai IPSS 0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga
dapat dilakukan observasi atas kehendak pasien.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang
digunakan adalah:
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin,
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin,
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin,
terazosin, dan tamsulosin,
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride,
3. Fitofarmaka
3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi
urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK
berulang, adanya batu buli atau divertikel, hematuria yang menetap
setelah medikamentosa, atau dilatasi saluran kemih bagian atas akibat
obstruksi dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi
absolut). Selain itu adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang
menetap setelah terapi konservatif atau medikamentosa merupakan
indikasi operasi relative.
11
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan
pembedahan prostat pada pasien BPH. Pada pasien dengan keluhan
derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting.
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur
bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-
23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga
membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi
prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun,
ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TURP
terjadi kurang dari 1%.
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia
stress <1% maupun inkontinensia 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%,
kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang
berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian
akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien
kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84
tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif
(termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka
morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-
angsur menurun.
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi
retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan
komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher
buli, perforasi dari kapsul prostat, dan sindrom TURP.
b. Transurethral Incicion of the Prostat (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari
12
30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak
diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini
dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan
mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai
dari muara ureter, leher bulibuli- sampai ke verumontanum. Insisi
diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih
cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
c. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan
tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan
divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi
terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin
procedure) dan retropubik (Freyer procedure).
d. Terapi Invasif Minimal
Terapi invasif minimal untuk BPH yakni terapi laser
Transurethral Electrovaporization of the Prostat Microwave
Hypertermia, Transurethral Needle Ablation of the Prostat High
Intencity Focused Ultrasound dan Stent Intraurethral.
13
2.7.3 Kontra Indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi
menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
1. Kontra indikasi absolut :
a. Infeksi pada tempat suntikan. : infeksi pada sekitar tempat
suntikan bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam
rongga subdural.
b. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah
ataupun diare : karena pada anestesi spinal bisa memicu
terjadinya hipovolemia.
c. Koagulapati atau mendapat terapi koagulan.
d. Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat
kedalam rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah
tinggi tekanan intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi
neurologis.
e. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi
spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi
dan lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat
emergensi lainnya.
f. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi : hal
ini dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada
medulla spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
g. Pasien menolak.
2. Kontra indikasi relatif :
a. Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu
diperhatikan apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu
dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
b. Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar
tempat suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih
kaudal.
14
c. Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
defisit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama : Masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan
durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
f. Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi
komplikasi ke arah jantung akibat efek obat anestesi lokal.
g. Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-
obatan atau cairan nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien
akan sulit saat diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses
penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.
2.2.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesi
15
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris.
Angka mortalitas 2%.
1. Anamnesis
16
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis),
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
2. Pemeriksaan Fisik
17
3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
a. Lab rutin :
4) EKG
18
saraf. Tempat utama kerja obat anestesi lokal adalah di membrane sel.
Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal Na+
sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.
2. Bupivacaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-
20mg.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat
anestesi lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada
system saraf akan terjadi paresis sementara akibat obat sampai
obat tersebut dimetabolisme.
19
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan
saraf yang bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus
frenikus, maka bisa menyebabkan gangguan nafas karena
kelumpuhan otot nafas.
20
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari
oleh mekanisme kerja obat anestesi lokal di ruang subaraknoid.
Obat anestesi local dimetabolisme lambat di dalam rongga
subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari
rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih
lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk
mempercepatnonset terjadinya fase anestetik pada anestesi
spinal. Analgesic opioid misalnyanfentanyl adalah obat yang
sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat
anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga menyatakan
bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi
spinal dapat menambah durasi pada anestesi. Namun perlu
diperhatikan karena klonidin adalah obat golongan Alfa 2
Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat
vasodilatasi dan penurunan heart rate.
21
2.2.6 Teknik Anestesi Spinal
22
Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.
23
Gambat 3: Posisi Duduk pada Spinal Anestesi
24
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
median dan paramedian. Pada teknik medial, penusukan
dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang belakang. Pada
tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis
tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
25
dan keadaan umumpasien. Tekanan darah pasien akan turun,
kulit menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.
1. Komplikasi Kardiovaskular
26
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan
vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output
akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena
yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang
sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa
terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara
cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-
1/4mg IV.
27
yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas
pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari
blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya
menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.
Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada
sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika
diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
28
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Komplikasi Gastointestinal
29
nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang
atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava
akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik
dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
6. Nyeri Punggung
7. Komplikasi Neurologik
30
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau
bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan.Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada
defisit motorik pada ekstremitas bawah.Komplikasi neurologic
yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.Pada penyakit
initerdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal.Iskemia dan infark korda spinal bisa
terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter
epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat
jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
31
dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran
darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
32
analgesiaspinal,umumnya berlangsung selama 24 jam.Kerusakan
saraf pemanen merupakankomplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Pengobatan
2. Hidrasi adekuat.
3. Hindari mengejan.
BAB III
LAPORAN KASUS
PRE-OPERATIF
1. Identitas Pasien
a. Nama : Paijo
33
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Usia : 72 tahun
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Wiraswasta
2. Anamnesa
b. Telaah:
- Tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
e. Riwayat Alergi :
- Tidak ada
f. Riwayat Pengobatan :
- Tidak ada
g. Riwayat Psikososial :
34
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
b. HT : 47.3 % (40 - 52 %)
Hitung Jenis
Metabolik
Fungsi Hati
35
g. Bilirubin total :-
h. Bilirubin direk :-
i. SGOT :-
j. SGPT :-
Fungsi Ginjal
36
HIV
Pemeriksaan COVID
DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
PS-ASA : II (Gangguan Sistemik Sedang- Berat)
Hari/tanggal : 05 - 10- 2021
Ahli Anastesiologi : dr. Asmin lubis, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Hasroni, Sp.U
Diagnosa Pra Bedah : Retensi urin ec BPH
Diagnosa Pasca Bedah : BPH
Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang
BB : 60 Kg
TTV : TD : 130/80 mmHg, N : 92x/menit, RR : 18x/menit,
T: 36,7 0C
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 20 x/menit
37
SP : Vesikuler
ST :-
B2 (Blood)
Akral : Hangat
TD : 130/80 mmHg
HR : 90x/menit
Ht : 47.3 % (40 – 52 %)
B3 (Brain)
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Kateter :+
38
Ureum : 24 mg/dl (10 - 50 g/dl)
B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : normal
Perkusi : Tympani
Mual/Muntah : (+)/(-)
B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)
Motorik : Normal
39
Teknik Khusus :-
Pernafasan : Spontan
Posisi : Supine
Penyulit Anestesi :-
Hipersensitivitas :-
Premedikasi :
- Ondansetron 4 mg
- Ranitidine 50 mg
Medikasi
- Bupivacaine : 20 mg
- Petidine : 25 mg
- Furosemide : 10 mg
40
Diagram Observasi
200
150
Sistol
100 Diastol
HR
50
0
0 45 50 55 00 05 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 00
.4 . . . . . . . . . . . . . . . .
08 08 08 08 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 09 10
Jumlah Cairan
41
Volume urin :-
Perdarahan
Suction :-
POST OPERASI
c. IVFD RL 40 gtt/menit
Pergerakan :2
Pernapasan :2
Warna kulit :2
Tekanan darah :2
Kesadaran :2
42
TERAPI POST OPERASI
b. IVFD RL 40 gtt/menit
43
BAB IV
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
Ktzung BG, Trevor AJ, Masters SB. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia. In:
Katzung and Trevor’s Pharmacology. Sixth edition. McGraw-Hill: USA
Reksoprodjo S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Staf Pengajar Bagian Ilmu
Bedah FK UI: Jakarta
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2007. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. EGC: Jakarta
Sutiyono et Winarno, 2009. Jarum Spinal dan Pengaruh yang Mungkin Terjadi.
Jurnal Anestesiologi Indonesia
45
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
USG
LAPORAN ANESTESI
46
GAMBAR BPH
47
48