SINDROM TURP
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
Pembimbing:
Mayor CKM dr. Bambang T., Sp. U
Disusun Oleh:
Viki Dwi Randa
30101407346
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SINDROM TURP
Disusun Oleh:
Viki Dwi Randa
30101407346
Alhamdulillah, atas karunia dan kasih sayang Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas penyusunan referat bedah dengan judul Sindrom
TURP.Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat
program pendidikan profesi di bagian bedah di RST dr. Soedjono.
Terimakasih yang sebesar- besarnya penulis ucapkan kepada:
1. Mayor CKM dr. Bambang T., Sp. U selaku dokter pembimbing referat ini.
2. Semua dokter dan perawat bedah di RST dr. Soedjono yang telah banyak
membantu penulis dalam pendidikan profesi di RST dr. Soedjono.
3. Rekan-rekan koasisten atas semangat dan bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini dengan baik.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan referat
ini. Akhirnya penulis berharap semoga referat ini berguna bagi yang
membacanya.
I. Pendahuluan
TURP (Transurethral Resection of Prostate) adalah operasi kedua
terbanyak yang dilakukan oleh ahli bedah setelah operasi katarak pada pria
dengan umur lebih dari 65 tahun. Perkembangan teknologi membuat seorang
urologis mampu mencapai seluruh area sistem urinarius dengan menggunakan
endoskopi yang meminimalkan trauma pada pasien. Prosedur endoskopi pada
sistem urinarius memerlukan penggunaan cairan irigasi untuk mendilatasi ruang
mukosa secara halus, membersihkan darah, dan memotong jaringan atau debris
untuk membersihkan lapangan operasi.sehingga diperoleh penglihatan yang bagus
saat operasi.
\
BAB II
HIPERPLASIA PROSTAT
Arteri dari prostat terutama berasal dari arteri vesikalis inferior dan arteri vesikalis
media, cabang arteri iliaka eksterna. Vena-vena bergabung untuk membentuk
pleksus venosus prostatikus sekeliling sisi dan alas prostat. Pleksus venosus
prostatikus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat ditampung oleh
vena iliaka interna. Pleksus venosus prostatikus juga berhubungan dengan pleksus
venosus vesikalis dan pleksus venosi vertebralis. Pembuluh limfe terutama
berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidea sacrales.
Obstruksi Iritasi
Hesitansi Frekuensi
Intermittensi Urgensi
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih tingkat bawah
dibuatlah sistem scoring. Sistem scoring yang dianjurkan WHO adalah Skor
International Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Sistem Score). Dari
scoring IPSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat yaitu Ringan
(Skor 0-7), Sedang (8-19), Berat (20-35)
Selain gejala LUTS, keluhan yang dapat muncul dalam hiperplasia prostat
adalah gejala saluran kemih atas dan gejala di luar saluran kemih. Gejala saluran
kemih atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (tanda hidronefrosis ) atau demam yang merupakan tanda dari infeksi
atau urosepsis. Gejala di luar saluran kemih dapat berupa hernia ingunalis dan
hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena pasien sering mengejan saat miksi sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal.
Untuk pertanyaan nomer 1 hingga 6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut :
1 = Kurang dari sekali dari 5 kali kejadian 4 = Lebih dari separuh dari kejadian
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu anda baru saja kencing?
3. Harus brhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini dilakukan berkali-kali ?
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur malam untuk kencing
TOTAL SKOR (S) =
Pertanyaan nomer 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan gejala di atas : jawablah
dengan :
1. Sangat senang
2. Senang
3. Puas
4. Sangat tidak puas
5. Tidak bahagia
6. Buruk sekali
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan
miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika,
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu
urin setelah miksi dan mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai
melalui dua pendekatan, yaitu : medikamentosa dan pembedahan.
- Pendarahan
- Sindrom TURP
- Perforasi bladder
- Hipotermia
- Septisemia
- DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)
BAB III
SINDROM TURP
3.1 Definisi 1
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena pada
prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari
cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala
dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP.
1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Gagal jantung kongestif
5. Edema paru
6. Hipotensi
7. Hemolisis
8. Keracunan cairan
9. Hiperglisinemia
10. Hiperamonemia
11. Hiperglikemia
12. Ekspansi volume intravaskular
3.2 Epidemiologi
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan
irigasi yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat menyebabkan
hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal
serta syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus karena air
dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang signifikan
bisa menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi
dilarang hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.
b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai,
mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak
semurah air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun
efek samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan
konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas
serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi.
Penurunan konsentrasi glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak
akibat hipotonisitasnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi.
Keuntungan glisin 1,5% bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya
menyebabkan gagal ginjal dan hemolisis yang lebih rendah.
c. Mannitol 3%
Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun dapat
mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload dari
sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya
melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
d. Dekstrosa 2.5% - 4%
Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar jaringan
yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke dalam
sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung tangan
ahli bedah saat operasi.
e. Cytal
Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak digunakan
di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India karena
harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol
dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada
pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa
f. Urea 1%
Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu
tidak dipilih untuk cairan irigasi.
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin 1,5% dan air
steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi urologi
endoskopi.
Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit
kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi
dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi
overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan
irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah
pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi
TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan
cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai
dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter
cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi
natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic
meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms).
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan
kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya.
Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat
berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon
Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat
dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul
apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level
normal.
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada
dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung
dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui
berbagai mekanisme :
4. Glycine Toxicity 1
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan
retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5%
berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse
gelombang T. pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml
menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang
menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs
open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional
hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin
di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi
kalsium dari tulang.
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada
system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan
medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang
bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. . Mekanisme kerjanya diakibatkan
dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran
klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan
gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit
lain dari glisin yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang
mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell
apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity
jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi
ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek
sistemik.
5. AmmoniaToxicity1
6. Hipovolemi, Hipotensi1
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai
cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul
jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan
substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis
mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat
Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan
kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia
myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran
kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator.
Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
7. Gangguan Penglihatan1
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara, pandangan
berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan tidak
merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala lain
dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.
Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan
TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan
glisin. Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata
dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada
kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal
serebri.
8. Perforasi1
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen
pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan
letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah
diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari
perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan
irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea.
Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan
diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat.
Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala
khas Pallor, diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa
terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa
terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak
cukup oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan.
Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat
timbulnya ledakan.
9. Koagulopati1
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat
preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan
tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,
bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi
toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien
postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa
terjadi secara temporer pada pasien ini.
11. Hipotermia1,10
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi
hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi
oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas
dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu
tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu
dingin. Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi
otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi
terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh
pendarahan dari tempat reseksi.
Gambar 2. Skema Patofisiologi sindrom TURP 11
3.5 Diagnosis
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien
yang sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit
Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda
mayor ini dapat muncul. : peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit
peningkatan pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan
aktivitas saraf pusat (seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual,
muntah). Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut
jantung menurun.
Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan
hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan gejala
neurologikal. Pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan
lambat beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari
kejang tonik - klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan
fluktuasi hemodinamis yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural sebaiknya
dipertimbangkan sebelum melakukan anastesi regional.
KESIMPULAN