EPILEPSI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S
Disusun oleh :
Laila Azizah
20090310199
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
EPILEPSI
Disusun oleh:
Laila Azizah
20090310199
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik kronis yang sering
dijumpai. Definisi epilepsi menurut Pokdi Epilepsi Perdossi 2011 adalah
suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang (epileptic seizures)
akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh
penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit,
melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya
kejang. Karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Epilepsi merupakan gangguan serius pada otak yang paling sering
terjadi dan mengenai hampir lima puluh juta orang di seluruh dunia. Data
WHO juga menunjukkan bahwa epilepsi menyerang 1% penduduk dunia,
nilai yang sama dengan kanker payudara pada wanita dan kanker paru pada pria.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang, yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk pertahun.3 Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi
baru di Indonesia adalah sekitar 250.000 pertahun. Berkaitan dengan umur,
grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi
pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia .
Bagi penderita epilepsi dan keluarganya, epilepsi dirasakan lebih dari
sekedar kejang belaka. Epilepsi berarti suatu rangkaian persoalan medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi yang saling terkait dan tampil dalam wujud
rasa takut, kesalahpahaman, stigmatisasi sosial, dan diskriminasi, yang pada
akhirnya mendorong penderita dan keluarganya hidup dalam dunia yang
tertutup. Serangan
kejang
bisa
mempengaruhi
kedudukan
seseorang
di
lingkungan sosial/ lingkungan kerjanya. Hal lain yang lebih penting, bahwa
setiap kali terjadi serangan kejang, apalagi bila berlangsung sampai beberapa
menit, akan menimbulkan kerusakan hingga kematian sejumlah sel otak.
Apabila terus berulang dan banyak sel otak yang menjadi lemah, bahkan
mengakibatkan
menurunnya
kemampuan
BAB II
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama
Status perkawinan
: An. DK
: 15 th
: Kretek Bantul
: Pelajar
: Islam
: Belum Menikah
B. Anamnesis
Allo-anamnesa
1. Keluhan utama : kejang sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poli.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien kejang sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poli klinik, kejang
umum seluruh tubuh, serangan kejang dua kali dalam satu hari.
- Pada siang hari, kejang selama 5 menit, diawali kaku seluruh tubuh
30 detik diikuti dengan kelojotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak
sadar, mata mendelik, lidah tidak tergigit, mulut tidak berbuih. Saat
dan sesudah kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien terlihat
-
bingung dan kelelahan. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Pada malam hari, kejang selama 3 menit, diawali kaku seluruh tubuh
2 menit diikuti dengan kelojotan 2 menit. Saat kejang pasien tidak
sadar, mata mendelik, lidah tidak tergigit, mulut tidak berbuih. Saat
dan sesudah kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien terlihat
bingung dan kelelahan. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Pasien rutin minum obat dari dokter selama empat bulan ini. Selama dua
bulan ini, pasien mengalami kejang sebanyak empat kali. Keluhan diawali
kaku seluruh tubuh diikuti kelojotan, saat kejang pasien tidak sadar, mata
mendelik, mulut tidak berbuih. Saat dan sesudah kejang pasien tidak
sadar, setelah kejang pasien terlihat bingung dan kelelahan. Demam tidak
ada, mual dan muntah tidak ada.
3. Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat kejang demam saat usia < 5 th disangkal.
Riwayat kejang pertama kali 2 bulan yang lalu, ketika pasien sedang
bersantai, setelah kejang pasien tidak dirawat, tapi minum obat dan
kontrol.
Riwayat kejang kedua dua minggu setelah kejang pertama, pasien
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
b. Jantung
Inspeksi
Palpasi
: Ictus cordis teraba. Thrill tidakada.
Perkusi
:
Batas jantung kanan : SIC IV linea para sternalis dekstra
Batas jantung kiri: SIC V 1 jari medio linea midclavicula sinistra
Auskultasi
: bunyi jantung murni, irama regular, bising (-)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
-
ada kelemahan.
Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
ada kelemahan.
2. Status neurologis
a. Tanda rangsang selaput otak
Kaku Kuduk
: negative
Brudzinski I
: negative
Brudzinski II
: negative
Kernig Sign
: negative
Lasegue
: negative
b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil
: isokor
Refleks cahaya : +/+
c. Pemeriksaan saraf kranial
N. I (n. olfactorius)
Penciuman
Subyektif
Obyektif dengan bahan
Kanan
Normal
Normal
Kiri
Normal
Normal
Kanan
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai
Kiri
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai
Bola mata
Ptosis
Gerakan bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endophtalmus
Pupil :
Kanan
Normal (Ortho)
Tidak ada
Ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kiri
Normal (Ortho)
Tidak ada
Ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Bentuk
Isokor
Isokor
Refleks cahaya
Positif
Positif
Rrefleks akomodasi
Positif
Positif
Refleks konvergensi
Positif
Positif
N. IV (n. trochlearis)
Gerakan mata kebawah
Sikap bulbus
Diplopia
Kanan
Normal
Kiri
Normal
Normal (ortho)
Normal (ortho)
Tidak ada
Tidak ada
N. V (n. trigeminus)
Kanan
Kiri
Motorik :
Membuka mulut
Normal
Normal
Menggerakkan rahang
Normal
Normal
Menggigit
Bisa
Bisa
Bisa
Bisa
Normal
Normal
Baik
Baik
Normal
Normal
Baik
Baik
Mengunyah
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea
Sensibilitas
Divisi Maksila
Refleks masseter
Sensibilitas
Baik
DivisiMandibula
Baik
Sensibilitas
N. VI (n. abduscen)
Kanan
Normal
Normal
Tidak ada
Kiri
Normal
Normal
Tidak ada
Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakkan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada
Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Memanjang
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Memendek
Nistagmus :
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Suara berbisik
Detik arloji
Renne test
Webber test
Scwabach test :
Pendular
Tidak ada
Tidak ada
Vertikal
Tidak ada
Tidak ada
Siklikal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Pengaruh posisi
Tidak ada
kepala
N. IX (n. glossopharingeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Refleks muntah/Gag reflek
Kanan
Normal
Positif
Kiri
Normal
Positif
N. X (n. vagus)
Kanan
Normal
Normal ditengah
Normal
Normal
Normal
64 x/menitteratur
Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi
Kiri
Normal
Normal di tengah
Normal
Normal
Normal
64 x/menit teratur
N. XI (n. assesorius)
Menoleh kekanan
Menoleh kekiri
Mengangkat bahu kekanan
Mengangkat bahu kekiri
Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal
Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Kanan
Normal
Normal
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Kiri
Normal
Normal
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Negatif
Tidak ada
Tidak ada
Negative
Disatria
Disgrafia
Supinasi-pronasi
Tes jari-hidung
Tes hidung-hidung
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Normal
Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
wajah
Otot frontalis
Otot korugator supersili
Otot orbicularis oculi
Otot zygomaticus
Otot risorius
Ekstremitas
Gerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus
Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kanan
Kiri
Superior
Kanan
Kiri
Normal
Normal
555
555
normotrofi Normotrofi
Normotonu Normotonu
s
s
Inferior
Kanan
Kiri
Normal
Normal
555
555
Normotrofi
Normotrofi
Normotonus
Normotonus
f. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Pengenala 2 titik
Pengenalan rabaan
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
g. Sistem refleks
Refleks Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring
Kanan
Normal
Normal
Tidak dinilai
Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai
Masseter
Dinding perut
Atas
Bawah
Tengah
Biseps
Triseps
APR
KPR
Bulbokavernosus
Sfingter
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
++
++
++
++
++
++
++
++
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Refleks Patologis
Lengan
Hoffman-Tromner
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Kanan
Kiri
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
3. Fungsi otonom
- Miksi
: normal
- Defekasi
: normal
- Sekresi keringat : normal
4. Fungsi luhur
Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi
Baik
Baik
Baik
Tanda Demensia
Reflek glabella
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Refleks palmomental
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan.
E. Masalah
Diagnosis
Diagnosis klinis
Diagnosis topik
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Diagnosis etiologi
: idiopatik
Diagnosis sekunder : tidak ada diagnosis
F. Pemecah Masalah
Terapi
a. Umum
- Makan makanan yang bergizi
- Hindari stres/hindari pencetus
b. Khusus
-
Asam valproat
(anti epilepsi)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah
medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi
neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obatobatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.
Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting
mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga
bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.1
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari
tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan
terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia,
dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul
pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat muncul
kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif
bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia, Berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada perempuan.1,2
Petit mal (absence) adalah epilepsi yang menyebabkan gangguan kesadaran
secara tiba-tiba, di mana seseorang menjadi seperti bengong tidak sadar tanpa
reaksi apa-apa, dan setelah beberapa saat bisa kembali normal melakukan aktivitas
semula.Data epidemiologi menunjukkan bahwa petit mal (absence) epilepsi lebih
sering terjadi padaanak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahundan awal
remaja.2
B. Definisi Epilepsi
Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan
dan menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga
dia jatuh.2
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
- Simtomatik (sekunder)
- Kriptogenik
b. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai
denganpeningkatan usia.
- Idiopatik (primer)
- Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom
west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi
mioklonik-astatik).
- Simtomatik
c. Epilepsi dan sindrom yangtak dapat ditentukanfokal dan umum
- Bangkitan umum dan fokal
- Tanpa gambaran umum tegas fokal atau umum
d. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
- Kejang demam
- Status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
- Bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi
-
menjadi 20%-30%.
Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak
(jarang).
- Trauma kepala.
e. Saat usia tua/lanjut
- Stroke
- Penyakit alzaimer
- Trauma
G. Patofisiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf
yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik diotak.4
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor n-methyl-D aspartic acid (NMDA) atau -amino 3hydroxyl
5-methyl
4-isoxazolepropionic
acid
(AMPA)
di
post-sinaptik.
Keterlibatan NMDA receptor (NMDAR) subtipe dari reseptor glutamat disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsy.2Secara farmakologik,
inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggung jawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate
(sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal
natrium dan kalium).
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium
merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan
dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal
ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada
penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan
dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggung jawab terhadap memori dan proses belajar.2
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak adalah
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
H. Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial simpleks dimulai dengan muatan listrik dibagian otak
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita
mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal,
tergantung pada daerah otak yang terkena. Jika terjadi pada daerah otak
yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan. Jika terjadi pada lobus temporalis
anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat
menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan.3,5
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilang nya kontak
penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita
menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang
aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tidak berarti, tidak
mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan.
Kebingungan
berlangsung
beberapa
menit
dan
diikuti
dengan
penyembuhan total.5
3. Kejang tonik-klonik (grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik segera
menyebar kedaerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah
mengalami kelainan fungsi. Pada kejang ini terdapat dua tahap, yaitu
tahap klonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan
jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja.
Serangan jenis ini biasanya didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan, dan jatuh karena otot
yang meregang, berteriak tanpa alasan yang jelas, mengigit pipi bagian
dalam atau lidah. Pada fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang
dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat
dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih, ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.1
4. Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia
5 tahun. Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot
wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan
respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun
menyentak- nyentak.4
I. Diagnosa
Diagnosis epilepsy didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.4,6,7
a. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
(auto dan alloanamnesis), meliputi:
- Pola/bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
- Frekuensi serangan
- Ada/tidaknya penyakit yang diderita sekarang
- Usia saat serangan pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsy seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
congenital, gangguan neurologic fokal atau difus. pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. pada anak-anak pemeriksan harus
memperhatikan
adanya
keterlambatan
perkembangan,
organomegali,
akan
tampak
lebih
rinci.
MRI
bermanfaat
untuk
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsy. Pasien yang terdiagnosis
epilepsy mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsy akan
meminum obat dalam jangka waktu lama yang berakibat pada kemungkinan
adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
b. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat anti epilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasiren
dengan serangan epilepsy adalah memutuskan kapan dimulainya pengobatan.
Setelah kejang pertama, langkah pertama untuk menilai pengobatan adalah
menilai resiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan
bangkitan non epileptic, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab
yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi
dengan glukosa, bangkitan karena putus alcohol dapat dikontrol paling baik
dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah
psikogenik dapat diatasi dengan konselin yang tepat. Terapi bangkitan
epilepsy ditentukan oleh penilaian dua hal, resiko pengobatan dan manfaat
pengobatan. Setelah kejang lebih dua kali atau lebih maka diperlukan
pengobatan untuk mengatasi kejangnya, kecuali pada serangan-serangan
tertentu seperti kejang akibat putus alcohol, penyalahgunaan obat, kejang
akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehiderasi, hipoglikemik, karena
trauma, dan kejang akibat non epileptic lainnya, maka sebaiknya ditangani
sesuai dengan kausanya.
c. Memilih obat yang paling sesuai
Tipe serangan
Parsial simplek &
First- line
Karbamazepin
e
Fenitoin
Fenobarbital
Gabapentin
Mioklonik
Second- line
Asam valproat
Levetiracetam
Pregabalin
Third line
Pirimidon
Vigabtrin
Tiagabin
Lamotrigin
Topiramat
Levetiracetam
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Lamotrigin
Clobazam
Fenobarbital
etosuksimid
Levetiracetam
zonisamid
Asam valproat
Karbamazepin
e
Fenitoin
Asam valproat
Absence
Atonik
Asam valproat
Lamotrigin
lamotrigin
topiramat
Asam valproat
clonazepam
clobazam
Tonik
felbamat
Asam valproat
Fenitoin
fenobarbital
d. Karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu.hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu
obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra
indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
pergantian obat dilakukan.
Obat-obatan anti epilepsi beserta dosisnya.
Obat
Dosis mg/kg/hari
Kadar dalam
Waktu
serum (range,
paruh (jam)
ug/ml)
50-100
14
Semua
24
Parsial dan
Asam valproat
Dewasa: 5-15
Anak: 10-30
Fenitoin
Dewasa: 300
Anak : 5
10-20
Dewasa: 1000
2000
Anak: 15-25
4-12
Dewasa: 2-3
Anak: 3-5
10-40
Karbamazepin
e
Fenobarbital
Dewasa:1,5 (max
Klonazepam
20)
Anak:0,01-0,03
(max 0,25-0,5)
Indikasi
kejang umum
12
96
Parsial dan
0,02-0,008
30
kejang umum
Absence &
mioklonik
5-12
Primidon
12
Dewasa = anak
10-25
Pemberian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika:
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b. Jika terjadi reaksi pada obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien.
Terapi dengan obat kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut:
pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 13 minggu. Setelah obat pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer
gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.2
Penghentian Obat
Penghentian pemberian obat antiepilepsi dilakukan secara bertahap dapat
dipertimbangkan setalah 2 tahun bebas serangan. Syarat umum penghentian obat
antiepilepsi adalah sebagai berikut:2
a. Penghentian obat antiepilepsi dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
b. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
c. Bila digunakan lebih dari satu obat antiepilepsi, maka penghentian dimulai
dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi ke-2. Jakarta :
Dian Rakyat: 2010
2. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2008
3. Ginsberg lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga:
2008
4. Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC: 2009
5. Gunawan sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007
6. Hasan Ruspeno. Ilmu Kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 1985.
7. Utoyo Sunaryo. Presentation Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi