Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :
dr. R. Yoseph Budiman, Sp. S

Disusun oleh :
Laila Azizah
20090310199

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
EPILEPSI
Disusun oleh:
Laila Azizah
20090310199

Bantul, 02 Maret 2015


Menyetujui dan mengesahkan,
Pembimbing

dr. R. Yoseph Budiman, Sp.S

BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik kronis yang sering
dijumpai. Definisi epilepsi menurut Pokdi Epilepsi Perdossi 2011 adalah
suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang (epileptic seizures)
akibat lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh
penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit,
melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah adanya
kejang. Karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Epilepsi merupakan gangguan serius pada otak yang paling sering
terjadi dan mengenai hampir lima puluh juta orang di seluruh dunia. Data
WHO juga menunjukkan bahwa epilepsi menyerang 1% penduduk dunia,
nilai yang sama dengan kanker payudara pada wanita dan kanker paru pada pria.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang, yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk pertahun.3 Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi
baru di Indonesia adalah sekitar 250.000 pertahun. Berkaitan dengan umur,
grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi
pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia .
Bagi penderita epilepsi dan keluarganya, epilepsi dirasakan lebih dari
sekedar kejang belaka. Epilepsi berarti suatu rangkaian persoalan medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi yang saling terkait dan tampil dalam wujud
rasa takut, kesalahpahaman, stigmatisasi sosial, dan diskriminasi, yang pada
akhirnya mendorong penderita dan keluarganya hidup dalam dunia yang
tertutup. Serangan

kejang

bisa

mempengaruhi

kedudukan

seseorang

di

lingkungan sosial/ lingkungan kerjanya. Hal lain yang lebih penting, bahwa
setiap kali terjadi serangan kejang, apalagi bila berlangsung sampai beberapa
menit, akan menimbulkan kerusakan hingga kematian sejumlah sel otak.
Apabila terus berulang dan banyak sel otak yang menjadi lemah, bahkan

mengalami kematian, akan

mengakibatkan

menurunnya

kemampuan

intelegensi, bahkan bisa menyebabkan kemunduran mental/ intelektual yang


berat. Jadi upaya untuk mengatasi kejang ini harus dilakukan sedini dan seagresif
mungkin. Salah satu terapi pada epilepsi adalah terapi bedah. Terapi bedah
merupakan terapi pilihan pada epilepsi yang refrakter atau sudah kebal
terhadap obat. Epilepsi parsial kompleks, yang sebagian besar memiliki zona
epileptogenik di otak samping atau lobus temporalis, merupakan bagian
terbesar dari para penderita yang refrakter ini.
Berdasarkan pemaparan definisi epilepsi dan dampaknya terhadap
penderitanya yang sangat merugikan, baik dari sisi medis, sosial maupun
intelegensia.

BAB II
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama
Status perkawinan

: An. DK
: 15 th
: Kretek Bantul
: Pelajar
: Islam
: Belum Menikah

B. Anamnesis
Allo-anamnesa
1. Keluhan utama : kejang sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poli.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien kejang sejak 4 hari yang lalu sebelum datang ke poli klinik, kejang
umum seluruh tubuh, serangan kejang dua kali dalam satu hari.
- Pada siang hari, kejang selama 5 menit, diawali kaku seluruh tubuh
30 detik diikuti dengan kelojotan 1 menit. Saat kejang pasien tidak
sadar, mata mendelik, lidah tidak tergigit, mulut tidak berbuih. Saat
dan sesudah kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien terlihat
-

bingung dan kelelahan. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Pada malam hari, kejang selama 3 menit, diawali kaku seluruh tubuh
2 menit diikuti dengan kelojotan 2 menit. Saat kejang pasien tidak
sadar, mata mendelik, lidah tidak tergigit, mulut tidak berbuih. Saat
dan sesudah kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien terlihat

bingung dan kelelahan. Demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Pasien rutin minum obat dari dokter selama empat bulan ini. Selama dua
bulan ini, pasien mengalami kejang sebanyak empat kali. Keluhan diawali
kaku seluruh tubuh diikuti kelojotan, saat kejang pasien tidak sadar, mata
mendelik, mulut tidak berbuih. Saat dan sesudah kejang pasien tidak
sadar, setelah kejang pasien terlihat bingung dan kelelahan. Demam tidak
ada, mual dan muntah tidak ada.
3. Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat kejang demam saat usia < 5 th disangkal.

Riwayat kejang pertama kali 2 bulan yang lalu, ketika pasien sedang
bersantai, setelah kejang pasien tidak dirawat, tapi minum obat dan

kontrol.
Riwayat kejang kedua dua minggu setelah kejang pertama, pasien

tidak dirawat, tapi minum obat setelah itu rajin kontrol.


Sudah 4 kali kejang selama 2 bulan ini.
Riwayat trauma kepala pada usia 2 bulan.

4. Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama dengan
pasien.
5. Riwayat pribadi dan kebiasaan :
Pasien sehari-hari sebagai pelajar dan mengaku sering banyak pikiran dan
sering kelelahan akibat tugas di sekolah.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran
: komposmentis kooperatif
GCS
: E4M6V5
Tanda vital
- TD : 110/80 mmHg
- N
: 64 x/menit
- RR : 20 x/menit
- S
:Rambut : warna hitam dan sudah beruban, lebat, sukar dicabut
Kelenjar getah bening
- Leher
: tidak ada pembesaran
- Aksila : tidak ada pembesaran
- Inguinal : tidak ada pembesaran
Kepala
- Mata
- Telinga
- Hidung
- Mulut

: sklera tidak kuning, konjungtiva tidak anemis


: serumen tidak ada
: sekret tidak ada, deviasi septum tidak ada
: mukosa basah, lidah tidak kotor

Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
b. Jantung
Inspeksi

: simetris kanan dan kiri


: vokal fremitus kanan = kiri
: sonor kedua lapang paru
: vasikuler, ronki (-), wheezing (-)
: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi
: Ictus cordis teraba. Thrill tidakada.
Perkusi
:
Batas jantung kanan : SIC IV linea para sternalis dekstra
Batas jantung kiri: SIC V 1 jari medio linea midclavicula sinistra
Auskultasi
: bunyi jantung murni, irama regular, bising (-)
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

: bentuk abdomen datar


: bising usus (+) normal
: timpani (+)
: nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
-

ada kelemahan.
Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak
ada kelemahan.

2. Status neurologis
a. Tanda rangsang selaput otak
Kaku Kuduk
: negative
Brudzinski I
: negative
Brudzinski II
: negative
Kernig Sign
: negative
Lasegue
: negative
b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Pupil
: isokor
Refleks cahaya : +/+
c. Pemeriksaan saraf kranial
N. I (n. olfactorius)
Penciuman
Subyektif
Obyektif dengan bahan

Kanan
Normal
Normal

Kiri
Normal
Normal

Kanan
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai

Kiri
Normal
Normal
Normal
Tidak dinilai

N.II (n. opticus)


Penglihatan
Tajam penglihatan
Lapang pandang
Melihat warna
Funduskopi
N. III (n. okulomotorius)

Bola mata
Ptosis
Gerakan bulbus
Strabismus
Nistagmus
Ekso/Endophtalmus
Pupil :

Kanan
Normal (Ortho)
Tidak ada
Ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Normal (Ortho)
Tidak ada
Ke segala arah
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Bentuk

Isokor

Isokor

Refleks cahaya

Positif

Positif

Rrefleks akomodasi

Positif

Positif

Refleks konvergensi

Positif

Positif

N. IV (n. trochlearis)
Gerakan mata kebawah
Sikap bulbus
Diplopia

Kanan
Normal

Kiri
Normal

Normal (ortho)

Normal (ortho)

Tidak ada

Tidak ada

N. V (n. trigeminus)
Kanan

Kiri

Motorik :

Membuka mulut

Normal

Normal

Menggerakkan rahang

Normal

Normal

Menggigit

Bisa

Bisa

Bisa

Bisa

Normal

Normal

Baik

Baik

Normal

Normal

Baik

Baik

Mengunyah
Sensorik :

Divisi Optalmika

Refleks kornea

Sensibilitas

Divisi Maksila

Refleks masseter

Sensibilitas

Baik

DivisiMandibula

Baik

Sensibilitas
N. VI (n. abduscen)
Kanan
Normal
Normal
Tidak ada

Gerakan mata lateral


Sikap bulbus
Diplopia

Kiri
Normal
Normal
Tidak ada

N. VII (n. facialis)


Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada

Raut wajah
Sekresi air mata
Fisura palpebra
Menggerakkan dahi
Menutup mata
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 depan
Hiperakusis

Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Tidak ada

N. VIII (n. vestibulocochlearis)


Kanan
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai

Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai
Tidak dinilai

Memanjang

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Memendek
Nistagmus :

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Suara berbisik
Detik arloji
Renne test
Webber test
Scwabach test :

Pendular

Tidak ada

Tidak ada

Vertikal

Tidak ada

Tidak ada

Siklikal

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Pengaruh posisi

Tidak ada

kepala
N. IX (n. glossopharingeus)
Sensasi lidah 1/3 belakang
Refleks muntah/Gag reflek

Kanan
Normal
Positif

Kiri
Normal
Positif

N. X (n. vagus)
Kanan
Normal
Normal ditengah
Normal
Normal
Normal
64 x/menitteratur

Arkus faring
Uvula
Menelan
Artikulasi
Suara
Nadi

Kiri
Normal
Normal di tengah
Normal
Normal
Normal
64 x/menit teratur

N. XI (n. assesorius)
Menoleh kekanan
Menoleh kekiri
Mengangkat bahu kekanan
Mengangkat bahu kekiri

Kanan
Normal
Normal
Normal
Normal

Kiri
Normal
Normal
Normal
Normal

Kanan
Normal
Normal
Ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Normal
Normal
Ada
Tidak ada
Tidak ada

N. XII (n. hipoglosus)


Kedudukan lidah di dalam
Kedudukan lidah dijulurkan
Tremor
Fasikulasi
Atrofi
d. Pemeriksaan koordinasi
Cara berjalan
Romberg test
Atakasia
Rebound phenomen
Testumit-lutut

Normal
Negatif
Tidak ada
Tidak ada
Negative

Disatria
Disgrafia
Supinasi-pronasi
Tes jari-hidung
Tes hidung-hidung

Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Normal

e. Pemeriksaan fungsi motorik


a. Berdiri dan Berjalan
Gerakan spontan
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea

Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

b. Fungsi motorik otot

wajah
Otot frontalis
Otot korugator supersili
Otot orbicularis oculi
Otot zygomaticus
Otot risorius

Ekstremitas
Gerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus

Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kanan

Kiri

Angkat alis (-)


Mengerutkan dahi (-)
Menutup mata (-)
Pasien tersenyum (-)
Meringis (-)

Angkat alis (+)


Mengerutkan dahi (+)
Menutup mata (+)
Pasien tersenyum (+)
Meringis (+)

Superior
Kanan
Kiri
Normal
Normal
555
555
normotrofi Normotrofi
Normotonu Normotonu
s
s

Inferior
Kanan
Kiri
Normal
Normal
555
555
Normotrofi
Normotrofi
Normotonus
Normotonus

f. Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas taktil
Sensibilitas nyeri
Sensibilitas termis
Sensibilitas kortikal
Stereognosis
Pengenala 2 titik
Pengenalan rabaan

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

g. Sistem refleks
Refleks Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Laring

Kanan
Normal
Normal
Tidak dinilai

Kiri
Normal
Normal
Tidak dinilai

Masseter
Dinding perut
Atas
Bawah
Tengah
Biseps
Triseps
APR
KPR
Bulbokavernosus
Sfingter

Normal

Normal

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
++
++
++
++
++
++
++
++
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa

Refleks Patologis
Lengan
Hoffman-Tromner
Tungkai
Babinski
Chaddoks
Oppenheim
Gordon
Schaeffer

Kanan

Kiri

Negatif

Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

3. Fungsi otonom
- Miksi
: normal
- Defekasi
: normal
- Sekresi keringat : normal

4. Fungsi luhur

Kesadaran
Reaksi bicara
Fungsi intelek
Reaksi emosi

Baik
Baik
Baik

Tanda Demensia
Reflek glabella
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek memegang
Refleks palmomental

D. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan.
E. Masalah
Diagnosis
Diagnosis klinis
Diagnosis topik

: ptit mal epilepsi


: corteks serebri

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Diagnosis etiologi
: idiopatik
Diagnosis sekunder : tidak ada diagnosis

F. Pemecah Masalah
Terapi
a. Umum
- Makan makanan yang bergizi
- Hindari stres/hindari pencetus
b. Khusus
-

Asam valproat

(anti epilepsi)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah
medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi
neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obatobatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.
Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting
mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga
bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.1
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari
tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan
terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia,
dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul
pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat muncul
kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif
bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia, Berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada perempuan.1,2
Petit mal (absence) adalah epilepsi yang menyebabkan gangguan kesadaran
secara tiba-tiba, di mana seseorang menjadi seperti bengong tidak sadar tanpa
reaksi apa-apa, dan setelah beberapa saat bisa kembali normal melakukan aktivitas
semula.Data epidemiologi menunjukkan bahwa petit mal (absence) epilepsi lebih
sering terjadi padaanak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahundan awal
remaja.2
B. Definisi Epilepsi
Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan
dan menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga
dia jatuh.2
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik

abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan


oleh beberapa etiologi.2,3
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari
bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).2,3
Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi,
umur, awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.2,3
C. Klasifikasi
MenurutInternational League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.2,3,4
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
a. Parsial sederhana
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
- Dengan gejala autonom
- Dengan gejala psikis
b. Parsial kompleks (kesadaran menurun)
- Berasal sebagai parsial sederhana & berekambang menjadi penurunan
kesadaran.
- Dengan penurunan kesadaran sejak awitan.
c. Parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik.
- Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik.
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonikkonik.
2. Bangkitan umum
a. Absence/lena/petit mal
b. Klonik
c. Tonik
d. Tonik klonik/grand mal
e. Mioklonik
f. Atonik
3. Tak tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
a. Berkaitan dengan lokasi kelainannya (localized related)
- Ideopatik (primer)

- Simtomatik (sekunder)
- Kriptogenik
b. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai
denganpeningkatan usia.
- Idiopatik (primer)
- Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom
west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi
mioklonik-astatik).
- Simtomatik
c. Epilepsi dan sindrom yangtak dapat ditentukanfokal dan umum
- Bangkitan umum dan fokal
- Tanpa gambaran umum tegas fokal atau umum
d. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
- Kejang demam
- Status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
- Bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi
-

atau hiperglikemik non ketotik.


Epilepsi refretorik

D. Petit Mal (Absence)


Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita
diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia
antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak
hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan
memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan
benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali
dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG
akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3
siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.3,4
E. Etiologi
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Berdasarkan penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsi


primer dan epilepsi sekunder.2,4,7
a. Epilepsi primer penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) mungkin diduga
terdapat gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada jaringan
otak yang abnormal.
b. Epilepsi sekunder diketahui penyebabnya diantaranya sebagai berikut:
- Cidera kepala
- Infeksi jaringan otak
- Tumor otak
- Stroke
- Hipoglikemik dan hipokalsemia
- Obat-obatan dan alkohol
- Abnomalitas kongenital
- Gangguan degenerative
- Hipoksia dan neonatus
F. Faktor Pencetus
- Kurang tidur
- Stress emosional
- Infeksi
- Perubahan hormonal
- Terlalu lelah
- Fotosensitif terhadap cahaya
- Obat-obatan
- Alkohol
Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain:
a. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya
ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin,
minum-minuman alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran.
b. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir):
- Brain malformation
- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
- Gangguan elektrolit
- infeksi
c. Saat usia bayi-anak2
- Demam (kejang demam)
- Tumor otak (jarang)
- infeksi
d. Saat usia anak2-dewasa
- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.
- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi
idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila

kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi


-

menjadi 20%-30%.
Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak

(jarang).
- Trauma kepala.
e. Saat usia tua/lanjut
- Stroke
- Penyakit alzaimer
- Trauma
G. Patofisiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf
yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik diotak.4
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya
berperan pada reseptor n-methyl-D aspartic acid (NMDA) atau -amino 3hydroxyl

5-methyl

4-isoxazolepropionic

acid

(AMPA)

di

post-sinaptik.

Keterlibatan NMDA receptor (NMDAR) subtipe dari reseptor glutamat disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsy.2Secara farmakologik,
inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggung jawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate
(sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal
natrium dan kalium).
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium
merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan

dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal
ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada
penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat
(eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan
dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggung jawab terhadap memori dan proses belajar.2
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak adalah
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
H. Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial simpleks dimulai dengan muatan listrik dibagian otak
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita
mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal,
tergantung pada daerah otak yang terkena. Jika terjadi pada daerah otak
yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan
bergoyang dan mengalami sentakan. Jika terjadi pada lobus temporalis
anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat
menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan.3,5
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilang nya kontak
penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita
menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang
aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tidak berarti, tidak
mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan.
Kebingungan

berlangsung

beberapa

menit

dan

diikuti

dengan

penyembuhan total.5
3. Kejang tonik-klonik (grand mal) biasanya dimulai dengan kelainan
muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik segera
menyebar kedaerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah
mengalami kelainan fungsi. Pada kejang ini terdapat dua tahap, yaitu
tahap klonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan

jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja.
Serangan jenis ini biasanya didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap klonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan, dan jatuh karena otot
yang meregang, berteriak tanpa alasan yang jelas, mengigit pipi bagian
dalam atau lidah. Pada fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang
dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat
dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih, ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.1
4. Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum usia
5 tahun. Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot
wajahnya berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan
respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun
menyentak- nyentak.4
I. Diagnosa
Diagnosis epilepsy didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.4,6,7
a. Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
(auto dan alloanamnesis), meliputi:
- Pola/bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
- Frekuensi serangan
- Ada/tidaknya penyakit yang diderita sekarang
- Usia saat serangan pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsy seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
congenital, gangguan neurologic fokal atau difus. pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. pada anak-anak pemeriksan harus
memperhatikan

adanya

keterlambatan

perkembangan,

organomegali,

perbedaan ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan

pertumbuhan otak unilateral. Pada Pemeriksaan neurologis gejala defisit


unilateral atau bilateral dapat ditemukan. Hemiparesis bahkan adanya hanya
spastisitas, hiper-refleksia tendon atau babinski positif sesisi sudah
memberikan pengarahan yang berharga bagi penilaian epilepsy umum fokal.
Selain itu bagian lain dari pemeriksaan adalah memeriksa fungsi mental
seperti kemampuan untuk mengingat kata, nama objek, dan melakukan
perhitungan.
c. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsy dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsy. Hasil EEG dikatakan bermakna jika
didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi structural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan adanya kelainan genetic atau metabolic.
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak.


Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya misal gelombang delta.


Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat

yang timbul secara paroksismal.


Pemeriksaan radiologis yang dikenal dengan istilah neuroimaging
bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomic

akan

tampak

lebih

rinci.

MRI

bermanfaat

untuk

membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi


pembedahan.
J. Penatalaksanaan
Obat anti epilepsi merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Tujuan
pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya
kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi).
Prinsip-prinsip obat anti epilepsi:
a. Menentukan diagnosa yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsy. Pasien yang terdiagnosis
epilepsy mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsy akan
meminum obat dalam jangka waktu lama yang berakibat pada kemungkinan
adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
b. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat anti epilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasiren
dengan serangan epilepsy adalah memutuskan kapan dimulainya pengobatan.
Setelah kejang pertama, langkah pertama untuk menilai pengobatan adalah
menilai resiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan
bangkitan non epileptic, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab
yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi
dengan glukosa, bangkitan karena putus alcohol dapat dikontrol paling baik
dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah
psikogenik dapat diatasi dengan konselin yang tepat. Terapi bangkitan
epilepsy ditentukan oleh penilaian dua hal, resiko pengobatan dan manfaat
pengobatan. Setelah kejang lebih dua kali atau lebih maka diperlukan
pengobatan untuk mengatasi kejangnya, kecuali pada serangan-serangan
tertentu seperti kejang akibat putus alcohol, penyalahgunaan obat, kejang
akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehiderasi, hipoglikemik, karena
trauma, dan kejang akibat non epileptic lainnya, maka sebaiknya ditangani
sesuai dengan kausanya.
c. Memilih obat yang paling sesuai
Tipe serangan
Parsial simplek &

First- line
Karbamazepin

kompleks dengan atau

e
Fenitoin
Fenobarbital
Gabapentin

tanpa general sekunder


Tonik klonik

Mioklonik

Second- line
Asam valproat
Levetiracetam
Pregabalin

Third line
Pirimidon
Vigabtrin
Tiagabin

Lamotrigin

Topiramat
Levetiracetam

Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid

Lamotrigin
Clobazam
Fenobarbital

etosuksimid

Levetiracetam
zonisamid

Asam valproat
Karbamazepin
e
Fenitoin
Asam valproat

Absence

Atonik

Asam valproat
Lamotrigin

lamotrigin
topiramat

Asam valproat

clonazepam
clobazam

Tonik

felbamat

Asam valproat
Fenitoin
fenobarbital

d. Karakteristik pasien
Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu.hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu
obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra
indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
pergantian obat dilakukan.
Obat-obatan anti epilepsi beserta dosisnya.
Obat

Dosis mg/kg/hari

Kadar dalam

Waktu

serum (range,

paruh (jam)

ug/ml)
50-100

14

Semua

24

Parsial dan

Asam valproat

Dewasa: 5-15
Anak: 10-30

Fenitoin

Dewasa: 300
Anak : 5

10-20

Dewasa: 1000
2000
Anak: 15-25

4-12

Dewasa: 2-3
Anak: 3-5

10-40

Karbamazepin
e

Fenobarbital

Dewasa:1,5 (max
Klonazepam

20)
Anak:0,01-0,03
(max 0,25-0,5)

Indikasi

kejang umum
12

Parsial & kejang


umum

96
Parsial dan

0,02-0,008

30

kejang umum
Absence &
mioklonik

5-12
Primidon

12

Dewasa = anak
10-25

Parsial & kejang


umum

Pemberian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika:
a. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b. Jika terjadi reaksi pada obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien.
Terapi dengan obat kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut:
pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 13 minggu. Setelah obat pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer
gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.2
Penghentian Obat
Penghentian pemberian obat antiepilepsi dilakukan secara bertahap dapat
dipertimbangkan setalah 2 tahun bebas serangan. Syarat umum penghentian obat
antiepilepsi adalah sebagai berikut:2
a. Penghentian obat antiepilepsi dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
b. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
c. Bila digunakan lebih dari satu obat antiepilepsi, maka penghentian dimulai
dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi ke-2. Jakarta :
Dian Rakyat: 2010
2. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press: 2008
3. Ginsberg lionel. Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga:
2008
4. Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC: 2009
5. Gunawan sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007
6. Hasan Ruspeno. Ilmu Kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 1985.
7. Utoyo Sunaryo. Presentation Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi

Epilepsi PERDOSSI. Fakuktas Kedokteran Universitas Wijaya Kesuma.


Surabaya. 2007

Anda mungkin juga menyukai