Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KASUS

KELOMPOK 1 (SLEEPWALKING/SOMNABULISME)

Pembimbing:

dr. Safyuni Naswati, Sp.KJ

Disusun oleh:

Farah Huda Amani 112019227

Billy Tandra Julianto 112019204

Syela Leatemia 112019208

Calvin Augurius 112020047

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


5 APRIL 2021 – 1 MEI 2021

KASUS SLEEPWALK

Seorang pria kulit hitam berusia 33 yang sudah menikah dirawat di Sleep Institute pada tahun
2006, mengeluhkan episode sleepwalking yang berulang.

Berjalan dalam tidur telah dimulai kembali dua hingga tiga malam dalam seminggu, dua tahun
sebelum pasien mencari bantuan medis. Pemulihan mimpi melibatkan sejumlah besar air yang
mengalir dari dinding, menyebabkan pasien mati-matian bergerak dan melindungi benda-benda
dari ancaman banjir yang akan segera terjadi. Kadang-kadang, dia akan mencoba untuk
"menangkap" sesuatu dari jendela, biasanya membuat dirinya berisiko jatuh. Namun, episode
tidak akan terjadi pada hari Minggu atau selama liburan ke luar kota.

Setelah 10 tahun masa remisi, pasien diberhentikan dari pekerjaan karena tuduhan penipuan, dan
episode berjalan dalam tidur dimulai kembali. Pasien mengaku melakukan perilaku tidak etis
untuk mencapai harapan pekerjaan. Setelah beberapa waktu, dia menemukan pekerjaan lain dan
diberi kesempatan kedua oleh bos baru yang tahu tentang tuduhan penipuan sebelumnya.

Berjalan dalam tidur dikonfirmasi oleh perilaku motorik dan verbal selama episode pertama
SWS, dan clonazepam (0,5 mg) diresepkan untuk diminum setiap hari.

Evaluasi psikologis tidak mendeteksi adanya tingkat stres klinis, depresi, atau kecemasan, yang
diukur dengan skala kepribadian dan gejala. Indeks Faktor Kepribadian mendeteksi perilaku dan
sikap narsistik dan agresif, melemahkan rasa hormat dan kepatuhan kepada orang lain, ambisi,
dan strategi persuasi secara obsesif. diterapkan untuk mencapai tujuan.

Setelah dua minggu menggunakan clonazepam, pasien mengeluhkan efek samping pada kinerja
seksual dan memutuskan untuk berhenti farmakoterapi, meskipun mencatat peningkatan dalam
frekuensi dan intensitas berjalan dalam tidur. Saat ini, pasien memulai perawatan psikologis.
Periode pengobatan pertama terdiri dari 7 sesi mingguan, sedangkan periode pengobatan kedua
terdiri dari empat sesi, setiap 15 hari sekali.

Saat dewasa, pasien mengaku beralih ke agresi verbal. Psikoterapi melemahkan konflik
emosional yang terkait dengan episode agresi dan berjalan dalam tidur. Dengan menggunakan
pendekatan psikologis yang berfokus pada pemicu emosional, pada akhir pengobatan pasien
menyadari bahwa rasa hormat berarti mengakui pendapat orang lain. Proses ini memungkinkan
dia untuk menyadari bahwa kebutuhan atau keinginan orang mungkin berbeda dari pandangan
pribadinya. Lebih jauh, wawasan ini mempertahankan sikap baru dalam hubungannya sehingga
sudut pandang yang berbeda dapat dibagikan dan didiskusikan, dan kesepakatan tidak lagi
dianggap sebagai penyerahan. Dia juga melaporkan harmonisasi dalam hubungan pribadi dan
bisnis, perasaan percaya diri, tidak memiliki kebutuhan untuk segera bereaksi (seperti yang telah
dia lakukan sebelumnya), dan penurunan episode berjalan dalam tidur.

Setelah periode pengobatan psikoterapi kedua, pasien melaporkan tidak ada kejadian berjalan
dalam tidur selama 75 hari pertama setelah sesi dihentikan. Namun, setelah kematian ayahnya,
enam episode terjadi dalam jangka waktu empat bulan, setelah itu tidak ada kejadian lain yang
dilaporkan. Meskipun kekambuhan ringan selama dua bulan terakhir psikoterapi, episode
digambarkan sebagai jauh lebih intens dan lebih pendek daripada sebelum pengobatan (Gambar
1).

Menariknya, gambaran yang sama diberikan untuk mimpi yang pulih seperti mimpi selama
berjalan dalam tidur, meskipun mimpi yang pertama melibatkan sedikit air dengan banyak waktu
untuk melindungi benda-benda dari banjir. Selain itu, pasien melaporkan menjadi lebih sadar
selama kejadian, sebenarnya merasakan bahwa dia berada dalam mimpi sehingga dia bisa
bangun, kembali ke tempat tidur, dan mudah tertidur kembali.
DISKUSI

Pasien mengalami ciri khas gangguan berjalan sambil tidur, episode bangkit dari tidur dan
berjalan ke sekitar, tampak tidak responsif selama episode, mengalami amnesia untuk episode
saat bangun, dan tidak menunjukkan bukti adanya gangguan kesadaran beberapa menit setelah
bangun. Umumnya episode berjalan sambil tidur dicetuskan karena adanya faktor pencetus
seperti stress pekerjaan dan meninggalnya ayah pasien. Pasien tidak didapatkan adanya
bangkitan/kejang, tidak mengalami gejala lain seperti demam, batuk, pilek dan lain sebagainya

ANALISIS KASUS

ANAMNESIS

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan tidur sambal berjalan (sleepwalking) berulang. Pasien
mengeluh berjalan sambil tidur sebanyak 2-3x dalam seminggu selama 2 tahun terakhir. Faktor
yang memperberat meliputi adanya pemulihan mimpi yang melibatkan air mengalir dari dinding
sehingga pasien “terbangun” mati-matian bergerak dan melindungi benda-benda dari ancaman
banjir yang akan segera terjadi. Faktor memperingan yang membuat tidak mengalami
gejala/episode adalah hari minggu dan berlibur di luar kota.

Pasien menyatakan telah 10 tahun lamanya tidak mengalami gejala (remisi). Dahulu, pasien
diketahui mengalami masalah pekerjaan kemudian episode berjalan sambil tidur kembali
muncul. Ketika episode pertama berjalan sambil tidur dikonfirmasi oleh adanya perilaku motorik
dan verbal, pasien diberikan obat clonazepam 0,5 mg untuk diminum setiap hari. Pasien juga
terdeteksi oelh indeks faktor kepribadian bahwa pasien memiliki perilaku dan sikap narsistik dan
agresif, melemahkan rasa hormat dan kepatuhan kepada orang lain, ambisi, dan strategi persuasi
secara obsesif, diterapkan untuk mencapai tujuan. Dua minggu setelahnya pasien berhenti
mengkonsumsi obat karena efek samping kinerja seksual. Pasien beralih ke psikoterapi dengan
periode pengobatan pertama terdiri dari 7 sesi mingguan, sedangkan periode pengobatan kedua
terdiri dari empat sesi, setiap 15 hari sekali. Setelah periode pengobatan psikoterapi kedua,
pasien melaporkan tidak ada kejadian berjalan dalam tidur selama 75 hari pertama setelah sesi
dihentikan. Namun, setelah kematian ayahnya, enam episode terjadi dalam jangka waktu empat
bulan. menurunnya gejala pasien meliputi: menjadi lebih sadar selama kejadian, sebenarnya
merasakan bahwa dia berada dalam mimpi sehingga dia bisa bangun, kembali ke tempat tidur,
dan mudah tertidur kembali. Pasien tidak didapatkan adanya bangkitan/kejang, tidak mengalami
gejala lain seperti demam, batuk, pilek dan lain sebagainya

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya 10 tahun yang lalu. Terdapat
Faktor pencetus yaitu stress dan masalah kepribadian yang dihadapinya pada pekerjaan, tidak
terdapat depresi atau cemas. Pasien tidak sedang menggunakan obat-obatan, tidak merokok,
tidak mengkonsumsi alkohol, dan tidak memiliki riwayat penggunaan zat psikoaktif

 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serta riwayat penyakit yang sama seperti pasien.
Namun kematian ayah pasien mencetuskan gejala pasien. Sebab meninggal dan usia ayah pasien
saat meninggal tidak diketahui.
 Riwayat Kehidupan Pribadi
Berat badan pasien normal, tidak ada masalah terhadap nafsu makan dan higienitas pasien
baik. Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat, makanan maupun alergi tertentu.

PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum : Baik/tampak sakit sedang


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 95 kali/ menit
 Suhu : 36 oC
 Pernafasan : 21kali/menit
Status Generalis

 Kulit : Hitam, iktserik (-), sianosis (-), turgor baik


 Kepala : normosefal
 Mata : pupil bulat, isokor, simetris, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-
 Hidung : bentuk normal, septum deviasi (-), sekret -/-
 Telinga : normotia, nyeri tekan -/-, radang -/-
 Mulut : bibir pucat (-), sianosis (-), trismus (-), tonsil T1/T1, tonsil/faring hiperemis (-)
 Leher : tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid.
 Paru:
o Inspeksi: bentuk dada simetris, retraksi (-)
o Palpasi: gerakan dada simetris
o Perkusi: sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi: suara napas vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
 Jantung:
 Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
 Palpasi: ictus cordis teraba
 Perkusi: batas jantung DBN
 Auskultasi: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
o Inspeksi: bentuk datar
o Palpasi: supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
o Perkusi: timpani seluruh lapang abdomen
o Auskultasi: bising usus (+) normal
 Ekstremitas: akral hangat, oedem (-), CRT < 2 detik

Status Mental
A. Deskripsi Umum
 Penampilan : Berpakaian rapih, rambut lurus berwarna hitam, sikap ramah dan
sopan
 Kesadaran : Compos mentis
 Perilaku dan aktivitas psikomotor: baik
 Pembicaraan : Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan cukup baik, spontan
dan lancar
 Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
B. Alam Perasaan
 Mood : Cemas
 Afek : Sesuai
C. Gangguan Persepsi
 Halusinasi : Tidak ada
 Ilusi : Tidak ada
 Deresalisasi : Tidak ada
 Depersonalisasi : Tidak ada
D. Proses Pikir
 Produktivitas : Cukup
 Kontinuitas : Koheren
 Hendaya berbahasa :-
E. Isi Pikir
 Waham :-
 Preokupasi :-
 Obsesi :-
 Fobia :-
F. Daya Nilai
 Uji daya nilai : Baik
 Daya nilai sosial : Baik
 RTA : Tidak terganggu

G. Sensorium dan Kognitif


 Taraf intelegensi : Sesuai pendidikan
 Konsentrasi : Baik
 Kemampuan menolong diri sendiri : Baik
H. Pengendalian Impuls : Baik
I. Tilikan : Derajat 6

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Polisomnografi : dapat menghasilkan informasi yang cukup dari pasien dengan berjalan
dalam tidur.

Pemeriksaan EEG: didapatkan ketidakstabilan tidur NREM, gelombang delta


hypersynchronous, tidak teraturnya aktivitas gelombang lambat dan karakteristik EEG
(Elektroensefalografi) yang unik sebelum dan selama episode somnambulisme terjadi

DIAGNOSIS
Axis I             : [F51.3] Somnabulisme (Sleepwalking)
Axis II             : Tidak ada
Axis III : Tidak ada
Axis IV : dipecat karena tuduhan penipuan
Axis V    : 71-80 (Gejala sementara, dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial,
pekerjaan, dll)

Diagnosis Somnabulisme dapat ditegakkan dengan menggunakan pedoman diagnostik dari


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Tergolong dalam F51.3
Somnambulisme (sleepwalking), berikut kriteria diagnostiknya:
a) Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada
sepertiga awal tidur malam, dan terus berjalan-jalan; (kesadaran berubah).
Dimana pada kasus didapati laki-laki ini mengeluh bahwa episode sleep walking yang
dialaminya berulang-ulang dan terulang 2-3 malam dalam seminggu
b) Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank, staring face), relatif tak
memberi respons terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita, dan hanya dapat disadarkan/dibangunkan dari tidurnya
dengan susah payah.
c) Pada waktu sadar/bangun (setelah satu episode atau besok paginya), individu tidak ingat apa
yang terjadi.
d) Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada gangguan
aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam
waktu singkat.
e) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik.

Diagnosis Banding

 Gangguan cemas menyeluruh


 Nightmare disorder

Berbeda dengan seseorang yang mengalami gangguan tidur NREM, seseorang dengan nightmare
disorder biasanya mudah terbangun, dapat menjelaskan mimpinya dengan lengkap. Dan
cenderung mengalami episode pada malam hari. Gangguan tidur NREM biasanya terjadi pada
fase tidur NREM sedangkan nightmare disorder terjadi pada fase tidur REM

TATALAKSANA:

Perawatan pada penyakit tidur bawaan dipertimbangkan ketika frekuensi kejadian tinggi,
komplikasi psikososial atau stresor hadir atau ketika kejadian tersebut bersifat kekerasan dan
berpotensi membahayakan. Jika kondisi ini sudah membahayakan atau mengganggu banyak
orang, maka pengobatan diperlukan. Pengobatan penyakit tidur berjalan akan disesuaikan dengan
penyebab yang mendasarinya. Beberapa metode pengobatan yang bisa dilakukan adalah:
1. Terapi perilaku atau disebut juga terapi non-farmakologi berupa pengaturan pola
tidur, terapi relaksasi, pengaturan stimulus atau rangsangan, dan pengaturan
hygiene tidur. Salah satu yang berperan dalam tidur adalah lingkungan, dengan
memberikan lingkungan dan kondisi yang menunjang untuk tidur, akan
membantu gangguan tidur. Selain itu jadwal makan yang teratur, jadwal tidur dan
bangun, serta latihan fisik rutin yang teratur perlu dilakukan untuk menghindari
terjadinya ganguan tidur, serta hindari mengkonsumsi minuman berkafein dan
yang mengandung alkahol yang berdekatan dengan waktu tidur pasien.
2. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi frekuensi terjadinya tidur
berjalan tiap malam. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan adalah obat
golongan antidepresan atau golongan benzodiazepine. Benzodiazepin dosis
rendah adalah obat pilihan lorazepam atau clonazepam meskipun antidepresan
trisiklik dan trazodon mungkin bermanfaat juga.
Perlu diketahui juga, hal terpenting dalam pengobatan penyakit tidur
berjalan adalah memastikan bahwa tidak ada gangguan atau penyakit lain yang
menyertai penyakit tidur berjalan. Apabila ditemukan gangguan lain yang
menyertai, penyakit tersebut harus diatasi.

PROGNOSIS:

 Quo ad vitam: ad bonam


 Quo ad functionam: ad bonam
 Quo ad sanationam: ad bonam

Anda mungkin juga menyukai