Status Generalisata :
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : GCS E4V5M6
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 98 x/ menit
Nafas : 22 x/ menit
Suhu : 36,8 oC
Gangguan persepsi:
Halusinasi: -
Proses pikir:
- Hendaya bahasa (-), asosiasi longgar (-), flight of idea (-)
- Isi pikir : -
Fungsi intelektual:
Baik
Diagnosis Kerja :
Aksis I : Gangguan Kejiwaan episode depresi sedang
Aksis II : tidak ada diagnosis
Aksis III: tidak ada diagnosis
Aksis IV : masalah keluarga berupa ditinggalnya pasien oleh suami secara mendadak
Aksis V : Global Assesment of functioning/ GAF scale : 80-71
Diagnosa banding:
Chronic Fatigue Syndrome
TERAPI
Amitriptiline 0-0-50 mg
Daftar Pustaka :
a. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ III). Cetakan pertama. Jakarta: Depkes RI, 1993.
b. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry 9th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, 2003.
c. Maslim, R. (Ed) Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta: Nuh Jaya. 2001.
Hasil pembelajaran :
1. Diagnosis depresi melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Kriteria dan diagnosis depresi
3. Penatalaksanaan depresi
4. Edukasi mengenai tatalaksana depresi.
Pemeriksaan fisik masih dalam batas normal dan bertujuan untuk mengeliminasi diagnosis
banding
Assesment
Penyebab spesifik dari gangguan depresi belum diketahui. Patofisiologi gangguan
depresi juga belum dimengerti secara tepat. Sebagai gangguan kejiwaan yang paling sering
ditemukan, gangguan depresi tampaknya memiliki penyebab multifaktorial dan heterogen.
Faktor biologi, psikologi, dan sosial memiliki peranan penting dalam patogenesis gangguan
depresi. Gangguan depresi melibatkan baik aspek genetik maupun faktor lingkungan. Bukti
dari studi keluarga dan anak kembar menunjukkan bahwa depresi yang berkembang pada
anak usia dini lebih dipengaruhi oleh pengaruh psikososial daripada genetik. Onset depresi
pada remaja atau dewasa, meskipun lebih bersifat herediter daripada depresi prepubertas,
tetaplah mencerminkan interaksi antara faktor genetik dan stresor lingkungan.
Hipotesis monoamin telah menjadi fondasi teori neurobiologis terhadap depresi dalam
50 tahun terakhir. Berdasarkan observasi terhadap kerja antidepresan, dapat diketahui
bahwa depresi disebabkan oleh defisit serotonin atau noradrenalin pada celah sinaps pada
beberapa sirkuit yang penting dalam patofisiologi depresi.
Alterasi pada aksis HPA telah lama diketahui berhubungan dengan gangguan depresi
mayor. Efek biologis dari paparan stres akan memediasi sekresi CRH (corticotropin-
releasing hormone). Sekresi CRH tersebut juga akan meningkatkan pelepasan ACTH
(adrenocorticotrophic hormone) dan glukokortikoid. Glukokortikoid menyebabkan
perubahan sensitivitas reseptor adrenergik melalui regulasi sistem adenilat siklase
adrenoreseptor beta.
Stres kronik akan menghasilkan hipersensitivitas terhadap aksis HPA. Gangguan depresi
mayor berhubungan dengan meningkatnya konsentrasi CRF pada cairan serebrospinal,
meningkatnya imunoreaktivitas terhadap CRF, ekspresi gen CRF pada nukleus
paraventrikular hipotalamik, dan regulasi turun reseptor CRF-R1 di korteks frontal. Sekresi
glukokortikoid memiliki efek neurotoksik, terutama terhadap neurogenesis pada
hipokampus.
Depresi biasa mengikuti suatu stresor psikososial yang berat, terutama pada episode
depresi pertama atau kedua. Pengalaman masa kecil seperti perlakuan yang tidak
seharusnya, penelantaran, kehilangan orang tua, dan dukungan sosial yang tidak adekuat
seringkali dialami oleh pasien depresi. Bukti dari studi ini menunjukkan bahwa stres dan
trauma dapat memengaruhi sistem biologis pada depresi.
Sebagai contoh, kehilangan ibu pada hewan percobaan akan menyebabkan hipersensitivitas
aksis HPA pada individu tersebut. Pada hewan percobaan tersebut ditemukan volume
hipokampus yang berkurang. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada pasien depresi dan
yang mengalami trauma masa kecil. Pasien depresi yang disebabkan oleh trauma masa
kecil pun ternyata lebih responsif terhadap psikoterapi dibandingkan dengan terapi
antidepresan saja.
Plan :
Diagnosis :
Sesuai PPDGJ III untuk menegakkan diagnosis depresi sedang ditegakkan dengan adanya
minimal 2 kriteria mayor dan minimal 3 kriteria minor atau lebih.
Pengobatan :
Memberikan pengobatan : antidepresan amitriptilin 25 mg 3x1
Berbagai macam pengobatan yang efektif telah tersedia untuk gangguan depresi.
Antidepresan dapat meringankan gejala. Psikoterapi singkat (misalnya, terapi kognitif-
perilaku, terapi interpersonal), baik sebagai pengobatan tunggal atau dikombinasi dengan
obat-obatan, juga telah terbukti efektif untuk pengobatan akut depresi ringan sampai
sedang, serta untuk mencegah kekambuhan.
Biasanya setelah 2-12 minggu dalam dosis terapi, respons klinis sudah dapat dinilai.
Pemilihan pengobatan haruslah berdasarkan keselamatan dan toleransi pasien agar dapat
meningkatkan kepatuhan mereka terhadap pengobatan.
Berdasarkan pedoman ACP, pengobatan untuk gangguan depresi mayor harus diubah
jika pasien tidak memiliki respons yang memadai untuk farmakoterapi dalam waktu 6-8
minggu. Setelah respons yang memuaskan tercapai, pengobatan harus dilanjutkan selama
4-9 bulan pada pasien episode depresi berat pertama yang tidak berhubungan dengan ide
bunuh diri ataupun akibat bencana. Pada mereka yang memiliki dua atau lebih episode
depresi, diperlukan waktu perawatan yang lebih lama untuk mendapatkan bukti manfaat.
Pengobatan farmakologis pilihan pertama untuk depresi adalah SSRI, karena SSRI
efektif mengurangi gejala depresi dan efek samping yang rendah dan aman bagi penderita
penyakit jantung
Pengobatan haruslah memaksimalkan fungsi pasien dalam tujuan spesifik dan realistis.
Modalitas awal harus dipilih atas dasar berikut:
Penilaian klinis
Adanya gangguan lain
Stresor
Keinginan pasien
Reaksi terhadap pengobatan sebelumnya
Non farmakologis
Terapi kognitif-perilaku adalah pengobatan lini pertama untuk depresi. Hal ini bersifat
terarah dan dalam waktu yang terbatas, biasanya melibatkan antara 10 dan 20 kali
perawatan. Terapi kognitif-perilaku secara khusus dirancang untuk mengobati depresi.
Penggunaannya dalam mengobati gangguan depresi mayor didasarkan pada premis bahwa
pasien yang mengalami depresi memiliki pandangan yang menyimpang atas diri mereka
sendiri, dunia, dan masa depan. Distorsi kognitif ini berkontribusi terhadap depresi dan
dapat diidentifikasi dan dinetralkan dengan terapi kognitif-perilaku.
Terapi interpersonal berfokus pada penyebab kesedihan, peran interpersonal, perselisihan,
transisi peran, dan kesulitan interpersonal. Mufson dan Fairbanks menemukan bahwa terapi
interpersonal mungkin berguna dalam pengobatan fase akut pada remaja dengan gangguan
depresi mayor. Tingkat kekambuhan relatif rendah setelah terapi interpersonal pada fase
akut.
Terapi elektrokonvulsif adalah pengobatan yang sangat efektif untuk depresi. Onset aksi
mungkin lebih cepat daripada perawatan dengan obat, dengan keuntungan yang sering
sudah dapat terlihat dalam waktu 1 minggu sejak awal pengobatan. Satu seri terapi
elektrokonvulsif (biasanya sampai 12 sesi) adalah pengobatan pilihan untuk pasien yang
tidak merespons terhadap terapi obat, pada pasien dengan gejala psikotik, ide bunuh diri,
atau membahayakan diri mereka sendiri.
Dengan demikian, indikasi untuk penggunaan terapi elektrokonvulsif adalah sebagai
berikut:
Perlu respons cepat terhadap antidepresan
Kegagalan terapi obat
Riwayat respons yang baik terhadap terapi elektrokonvulsif
Keinginan pasien
Risiko tinggi bunuh diri
Risiko tinggi morbiditas dan mortalitas
Pendidikan :
Menjelaskan pasien tentangefek samping yang mungkin terjadi. Seringkali kegagalan
pengobatan disebabkan oleh ketidakpatuhan, durasi terapi yang tidak memadai, atau dosis
yang tidak memadai.
Memotivasi keluarga yang dekat untuk mendukung terapi dan kegiatan pasien sehari-hari
Konsultasi:
Konsultasi terhadap dokter ahli jiwa dijelaskan kepada keluarga dengan upaya agar
pengobatan dan perkembangan gangguan jiwa pasien teratasi dengan baik
Prognosis :
Pencegahan depresi dapat dilakukan dengan membangun suasana perasaan yang baik,
nyaman, dan menyenangkan bagi pasien. Beberapa macam kegiatan yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan, antara lain:
Membangun hubungan yang mendukung (keluarga, saudara, teman)
Ikut kegiatan sosial atau komunitas atau organisasi
Berpikir positif
Melakukan hal-hal yang disukai
Mengembangkan hobi yang disenangi seperti bermain musik dan menulis
Olahraga
Makan makanan sehat
Bersyukur
Bagi banyak pasien, gangguan depresi mayor dapat menjadi penyakit yang kronis dan
dapat relaps. Relaps dalam 6 bulan masa penyembuhan terjadi pada 25% pasien. Relaps
depresi dalam waktu 5 tahun terjadi pada 58% pasien. Relaps depresi dalam waktu 15
tahun terjadi pada 85% pasien.
Dalam sebuah studi terhadap pasien yang telah 1 tahun terdiagnosis depresi, 40%
mengalami kesembuhan tanpa gejala. Sebanyak 20% pasien akan terus mengalami gejala
depresi, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi mayor. Sebanyak 40%
pasien sisanya tetap mengalami episode depresi mayor.
Beberapa indikator untuk prognosis yang kurang baik, antara lain:
Episode depresi berat
Durasi episode depresi yang panjang (lebih dari 6 bulan)
Adanya penyakit komorbid
Adanya gejala psikotik
Onset usia muda
Penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan terlarang
Adanya riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya (misalnya riwayat depresi atau
gangguan cemas)
Pernah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 3 kali
Dukungan sosial yang kurang, fungsi keluarga yang buruk, dan lemahnya
keadaan ekonomi keluarga
Kurangnya kemampuan kerja selama 5 tahun sebelum terserang depresi