Anda di halaman 1dari 15

PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS MEDIK

GANGGUAN SOMATISASI

Oleh:

dr. Selvi Annisa

Pembimbing:

dr. Prima Isnieni

RS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


(Periode 26 Februari 2015 s/d 25 Februari 2016)

PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS JIWA


Nama Peserta
dr. Selvi Annisa
Nama Wahana
RSU Aminah Blitar
Topik
Gangguan Somatisasi
Tanggal (kasus)
12 Maret 2015
Nama Pasien
Ny. S
No. RM
Tanggal Presentasi
Maret 2015
Pendamping dr. Prima Isnieni
Tempat Presentasi RSU Aminah Blitar
Objektif Presentasi
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak Remaja Dewasa
Lansia
Bumil
Seorang wanita berusia 46 tahun datang dengan keluhan badan kaku,
Deskripsi
mulut kaku dan sulit berbicara, nyeri ulu hati dan sesak.
Tujuan
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Gangguan Somatisasi
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka Riset
Kasus
Audit
Cara Membahas Diskusi
Presentasi dan Diskusi
E-mail
Pos
Data Pasien
Ny. S
No. Registrasi: 0164384
Nama Klinik
Telp.
Terdaftar sejak: 2014
Data Utama untuk Bahan Diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Gangguan Somatisasi ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik yaitu pasien mengeluh badan kaku, mulut kaku dan sulit berbicara, nyeri
ulu hati dan sesak. Pasien menyangkal memiliki masalah yang dipendam, namun dari
keluarga diketahui bahwa pasien sedang ada masalah. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum tampak kaku dan tegang, GCS E3M6V5, dan nyeri epigastrium (+). Dari
pemeriksaan penunjang didapatkan hiperglikmia (250 mg/dl) dan pemeriksaan EKG normo
sinus rythm.
2. Riwayat Pengobatan: pasien pernah menderita keluhan serupa dan terkadang kambuh,
pasien sering memeriksakan dirinya ke RSU Aminah Blitar
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
- Riwayat sakit seperti ini (+) sejak setahun terakhir.
- Riwayat sakit mag (+).
- Riwayat sakit jantung disangkal.
- Riwayat sakit darah tinggi disangkal.
- Riwayat sakit gula disangkal.

4. Riwayat Keluarga:
- Riwayat anggota keluarga sakit serupa disangkal.
- Riwayat sakit darah tinggi di anggota keluarga disangkal.
- Riwayat sakit gula di anggota keluarga disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan: pasien bekerja sebagai pedagang. Suami bekerja sebagai PNS,
Pengobatan pasien dibiayai oleh BPJS mandiri. Kesan : sosial ekonomi cukup.
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Pasien tinggal bersama suami dan 3 orang anak di
rumah permanen.
7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus): lengkap.

8. Lain-lain : Daftar Pustaka:


1. Jr, G Richard S., M.D. (1990). Somatization Disorder in Medical Setting. Maryland :
Diane Publishing
2. Nolen, Susan-Hoeksema. (2007). Abnormal Psychology Fourth Edition. New York :
McGraw-Hill Education
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis Gangguan Somatisasi.
2. Klasifikasi Gangguan Somatoform.
3. Tata laksana pasien Gangguan Somatisasi.
4. Edukasi pada keluarga tentang penyakit pasien dan pengobatan pasien.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subjektif :

Pasien mengeluh kurang lebih 4 jam SMRS, saat sedang makan tiba-tiba
badan dan tangan hingga jari kaku-kaku, mulut kaku dan sulit berbicara,
nyeri ulu hati dan sulit bernapas. Pasien masih mau makan minum,
perawatan diri baik, hubungan dengan orang sekitar baik. Pasien bekerja
sebagai pedagang di rumahnya.

Dari keluarga pasien didapatkan informasi bahwa pasien sedang memiliki


masalah finansial

Demam disangkal.

Kejang disangkal.

Sulit tidur disangkal.

Keringat dingin disangkal.

Mual disangkal.

Muntah disangkal.

BAK jumlah dan warna biasa.

BAB warna dan konsistensi biasa.

Pasien terkadang merasa sakit seperti ini kurang lebih setahun terakhir dan
sering memeriksakan dirinya RS PKU Muhammadiyah Temanggung.

Riwayat penyakit keluarga: riwayat sakit serupa dikeluarga disangkal.

Riwayat kehamilan ibu: selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit
berat, kontrol secara teratur, hamil cukup bulan.

Riwayat imunisasi: lengkap

Kondisi lingkungan sosial dan fisik: Pasien tinggal bersama suami dan 3

orang anak di rumah permanen.


2. Objektif:
a. Vital sign
KU: cukup
Kesadaran: composmentis
TD: 120/80 mmHg

Frekuensi nadi: 80 x/menit


Frekuensi nafas: 20 x /menit
Suhu: 36,50 C
Berat badan: 58 kg
Tinggi badan: 150 cm
b. Pemeriksaan Fisik Psikiatri
Penampilan

: seorang wanita usia 46 tahun, tampak

sesuai dengan

umurnya. Kulit sawo matang. Rambut lurus berombak. BB dan TB ratarata. Pada saat pemeriksaan pasien tampak kebersihan cukup.
1. Perilaku dan aktivitas psikomotor :
Tingkah laku : normoaktif
2. Sikap tehadap pemeriksa : kooperatif
Kontak psikis : ada, wajar dan dapat dipertahankan.
3.
a.
b.
4.
5.
a.
b.
c.
6.
a.
b.

Mood dan Afek


Mood : euthymie
Afek : sesuai
Gangguan Persepsi : halusinasi (-), ilusi (-)
Pikiran
Bentuk pikir
: realistis
Arus pikir
: lancar
Isi pikiran
: waham (-)
Sensorium dan Kognitif
Kesadaran
: jernih
Orientasi Tempat
: baik
Waktu

: baik

Personal

: baik

Situasional

: baik

c. Daya ingat
Segera

: baik

Jangka pendek

: baik

Jangka sedang

: baik

Jangka panjang

: baik

d. Konsentrasi
e. Perhatian

: baik
: normovigilitas

f.
g.
h.
7.
8.

Kemampuan baca dan tulis


: baik
Kemampuan visuospasial
: baik
Pikiran abstrak
: baik
Pengendalian Impuls
: cukup
Tilikan
Tilikan emosional sesungguhnya: kesadaran emosional tentang motif
dan perasaan didalam diri pasien dan orang yang dapat menyebabkan
perubahan dalam perilaku.

c. Pemeriksaan Sistemik
Kulit:
Teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis.
Kepala:
Bentuk normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata:
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3
mm, refleks cahaya +/+ normal.
THT:
Faring hiperemis (-), Tonsil T2-2 hiperemis (-/-).
Mulut:
Lidah: N.IX: lateralisasi (-)
Leher :
Tidak ada kelainan.
KGB:
Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla, dan inguinal.
Thoraks:
Cor : BJ I/ II normal, regular, bising (-), gallop (-)
Pulmo : SD vesikuler (+/+), ST : Rhonki basah halus (-/-)
Abdomen:
- Inspeksi

: Abdomen datar.

- Auskultasi : Bising usus (+) normal.


- Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+).

- Perkusi

: Normotimpani, pekak alih (-)

Punggung:
Dalam batas normal, tidak tampak kelainan..
Ekstremitas:
Pitting edema pretibial -/-.
Akral dingin -/ Kekuatan Motorik
5555 5555
5555 5555
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap:
- RBC 4,44x106/mm3 (3,50-5,50x106 mm3)
- WBC 8,5x103/mm3 (3,5-10,0x103/mm3)
- HGB 13,0 gr/dl (11,5-16,5 gr/dl)
- MCV 69,0 fl (75,0-100,0 fl) L
- MCH 29,4 pq (25,0-35,0 pq)
- MCHC 41,9 gr/dl (31,0-38,0 gr/dl)
- HCT 35,5% (35-55,0%)
- PLT 358x103/mm3 (100-400x103/mm3)
- Glucose 93 mg/dl (70-108 mg/dl)
- SGOT 21 U/L (6-31 U/L)
- SGPT 14 U/L (4-31 U/L)
- Natrium 140,1 mmol/L (135-155 mmol/L)
- Kalium 3,97 mmol/L (3,6-5,5 mmol/L)
- Chloride 106,4 mmol/L (98-110 mmol/L)
3. Assesment (penalaran klinis):
Penegakan diagnosis gangguan somatisasi dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis ditemukan
gejala klinis adalah keluhan kaku-kaku nyeri di beberapa tempat hampir
seluruh tubuh terutama ekstremitas dan mulut, nyeri ulu hati, dan sesak
nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik medis hanya ditemukan nyeri tekan
pada regio epigastrium selebihnya tidak menunjukkan adanya kelainan.
Pemeriksaan fisik psikiatri tidak menunjukkan adanya kelainan (hari

perawatan 1). Pemeriksaan penunjang berupa darah rutin menunjukkan


hasil yang normal.
Terapi yang diberikan pada pasien yaitu terapi farmakologi, terapi
keluarga, terapi suportif, dan terapi okupasi. Terapi farmakologi yang
diberikan berupa obat anti ansietas berupa alprazolam 0,5 mg 1x sehari
tiap malam. Pasien juga diberikan obat H2 bloker untuk gastritisnya yaitu
omeprazole 2x 20 mg.
Terapi keluarga diberikan dengan mengedukasi keluarga pasien
tentang penyakit pasien dan meminta keluarga pasien untuk memberi
dukungan, perhatian dan semangat kepada pasien.
Terapi okupasi diberikan setelah pasien dapat mengendalikan dan
menghilangkan semua gejala penyakit tersebut. Pasien dapat diberikan
ketrampilan maupun dipersilahkan kembali bekerja di tempanya.
4. Plan:
Diagnosis klinis: Gangguan Somatisasi
Pengobatan:
a. Promotif:
Diberikan penyuluhan mengenai Gangguan Somatisasi mulai dari
pengertian, penyebab, gejala penyakit, dan pengobatan.
b. Preventif:
Pada anggota keluarga yang menunjukkan gejala yang sama diharapkan
dapat dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat
Keluarga diedukasi untuk memberikan dorongan dan semangat kepada
pasien.
c. Kuratif:
O2 NK 3L/m
Inf. RL 20 tpm
Inj Ranitidin 2x1amp
Sukralfat syr. 3xC1
Alprazolam 0,25mg 1x1tab (malam hari)
Neurobion (Vit. B1 B6 B12) 2x1tab
Edukasi
Konsultasi:

Perlu dilakukan konsultasi kepada psikiater apabila terdapat keadaan-keadaan


seperti di bawah ini:
1. Pasien mengalami perubahan perilaku.
2. Ditemukan adanya tanda-tanda bentuk pikir non realistik.
3. Pasien melakukan perbuatan yang dapat membahayakan diri sendiri
maupun orang lain.

GANGGUAN SOMATOFORM
A. GANGGUAN SOMATOFORM
Somatoform diambil dari bahasa Yunani soma, yang artinya tubuh.
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh
simtom fisik, yang tidak dapat dijelaskan oleh abnormalitas organik. Biasanya
simtom fisik itu merefleksikan faktor atau konflik psikologis, misalnya
kecemasan. Gangguan somatoform merupakan gejala-gejala fisik tanpa penjelasan
fisiologis yang jelas, tidak berada di bawah kendali volunteer, diasumsikan
berhubungan dengan faktor-faktor psikologis (berkaitan dengan gangguan emosi).
B. JENIS-JENIS GANGGUAN SOMATOFORM
1. PAIN DISORDER (GANGGUAN NYERI)

Gangguan nyeri yang berlebihan

Disebabkan oleh tekanan atau hendaya (impairment) nyata

Tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan patologi organis

Kadangkala atau mungkin berhubungan dengan stress, membolehkan


individu untuk menghindar, menjaga perhatian atau simpati orang lain.

Diagnosis yang tepat sulit karena pengalaman nyeri yang subjektif.


Sehingga tidak mudah untuk memutuskan kapan suatu nyeri merupakan
nyeri somatoform atau nyeri sungguhan.

2. BODY DISMORPHIC DISORDER


Orang yang mengalami gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang
dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka
dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan
cermin dan mengambil tindakan untuk mencoba memperbaiki sesuatu yang
dianggap salah. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan ekstrem,
seperti menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan.

Seseorang

terpreokupasi

(terpaku)

pada

defek/kerusakan

dibayangkan atau berlebihan dalam hal penampilan

10

yang

Sangat menekan dan sering mengarah untuk tindakan operasi plastik

Prevalensi lebih banyak pada perempuan

Sulit menentukan kapan persepsi suatu ketidakpuasan menjadi suatu


gangguan

Dipengaruhi secara dominan oleh faktor sosial budaya

3. HYPOCONDRIASIS DISORDER (GANGGUAN HIPOKONDRIASIS)


Ciri utama dari hipokondriasis adalah ketakutan bahwa simtom fisik yang
dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius, seperti jantung
atau kanker. Ketakutan tetap ada walaupun sudah diyakinkan secara medis
bahwa ketakutan itu tidak berdasar.
Gangguan ini muncul pada usia berapapun, namun paling sering pada usia 20
dan 30 tahun. Secara umum, gangguan ini dianggap paling biasa terjadi di
antara orang lanjut usia.

Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius

Bereaksi berlebihan pada sensasi fisik dan abnormalitas minor

Mengembangkan keyakinan yang salah (kebanyakan melakukan doctor


shopping untuk membuktikan keyakinannya)

Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Hipokondriasis :


1. Individu terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius. Orang tersebut
menginterpretasikan sensasi tubuh atau tanda fisik sebagai bukti dari
penyakit fisiknya.
2. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu
penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis.
3. Keterpakuan tidak pada intensitas khayalan (orang itu mengenali
kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan
atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran akan
penampilan.
4. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau
mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial
atau pekerjaan.

11

5. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atau lebih.


6. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan
mental lainnya.
4. CONVERSION DISORDER (GANGGUAN KONVERSI)
Ciri dari gangguan ini adalah adanya perubahan besar dalam fungsi fisik atau
hilangnya fungsi fisik. Simtom ini tidak dibuat secara sengaja, namun
biasanya muncul dalam kondisi yang penuh dengan tekanan. Gangguan ini
dinamakan konversi karena adanya keyakinan dari psikodinamika bahwa
gangguan

tersebut

mencerminkan

penyaluran/konversi,

dari

energi

seksual/agresif ke simtom fisik.

Merupakan gejala klasik menunjukkan adanya gangguan yang berkaitan


dengan kerusakan neurologis, padahal secara fisiologis tidak ada masalah.

Gangguan diadopsi secara involunter atau tak sadar

Pada sepertiga kasus ditemukan adanya la belle indifference yaitu


ketidakpedulian relative terhadap gejala.

Kelumpuhan parsial atau total pada tangan atau kaki, gangguan seizures
dan koordinasi, sensasi gatal, mati rasa, dll.

Pada fungsi penglihatan dapat terjadi buta total, tunnel vision (lapangan
penglihatan terbatas)

Pada fungsi suara dapat terjadi aphonia (kehilangan suara hanya berbisik)

Pada fungsi penciuman dapat terjadi anosmia (kehilangan sense


penciuman)

False pregnancy, penderita merasa dirinya hamil padahal secara organis


tidak terjadi apa-apa

Muncul

dalam

situasi

stress,

berhubungan

dengan

psikologis,

membolehkan individu untuk menghindar dan mendapat perhatian orang


lain.
Menurut DSM IV Ciri Diagnostik Gangguan Konversi :
1.

Paling

tidak

terdapat

satu

simtom/defisit

yang

melibatkan

motorik/sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.

12

fungsi

2.

Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena


onset/kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial
atau situasi konflik.

3.

Orang tersebut tidak sengaja menciptakan simtom atau berpura-pura memiliki


dengan tujuan tertentu.

4.

Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon,
juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan
pengujian yang tepat.

5.

Simtom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau
lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk
menjamin perhatian medis.
Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah fungsi seksual, juga
tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain.

Perlu dibedakan dengan Malingering dan Factitious Disorder

Pada malingering, individu berpura-pura menampilkan ketidakmampuan


karena niat untuk menghindari tanggung jawab (secara sadar). Dengan
demikian dilakukan dengan terarah dan hati-hati agar tidak ketahuan
berbohong.

Pada factitious disorder, gejala mirip gangguan konversi namun bersifat


volunteer (secara sadar), motivasinya cenderung tidak jelas, individu
memiliki kebutuhan akan peran sebagai pasien tetapi bukan untuk tujuan
kriminil seperti pada malingering.

5. SOMATIZATION

DISORDER

(GANGGUAN

SOMATISASI

BRIQUETS SYNDROME)
Gangguan somatisasi memiliki ciri keluhan somatik yang beragam dan
berulang. Keluhan yang muncul ini biasanya mencakup sistem organ yang
berbeda. Keluhan ini tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik, karena
biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis, seperti kecemasan dan
gangguan depresi.

Keluhan berulang-ulang secara histrionic

Bersifat multiple somatic

13

Tidak ada penyebab fisik yang jelas

Sering mengunjungi dokter, menggunakan obat-obatan, perawatan bahkan


pembedahan.

Keluhan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, kelelahan,
nyeri dada, masalah seksual, masalah pencernaan.

Prevalensi pada perempuan lebih besar daripada laki-laki.

Gangguan ditimbulkan karena intensitas stressor yang besar.

C. Etiologi dan Terapi


1.

Psikoanalisa: gangguan muncul karena impuls-impuls


yang terepresi dan dikonversikan ke gejala fisik. Menurut teori ini, penyebab
hysteria atau gangguan konversi disebabkan oleh kondisi psikologis. Ego
berfungsi mengendalikan dorongan seksual atau agresi yang tidak dapat
diterima secara sosial, dalam bentuk represi. Kendali ini akan menghambat
timbulnya kecemasan jika individu sadar akan munculnya dorongan tersebut.
Namun, energi sisa yang ada dalam dorongan tersebut dikonversikan ke
dalam simtom fisik, seperti kebutaan atau kelumpuhan.
Terapi:

membantu

mengangkat

dorongan-dorongan

yang

terepresi.

Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan cara mengungkap dan


mengangkat konflik tidak sadar ke dalam kesadaran. Jika konflik ini
diungkap dan dilalui, maka simtom tidak akan muncul sebagai usaha untuk
menyelesaikan masalah.
2.

Behaviorisme: adanya pengangkatan gejala-gejala fisik


sebagai cara untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Misalnya, orang
dengan gangguan konversi dapat dibebaskan dari tugas/tanggung jawab
dalam suatu pekerjaan. Lingkungan sekitar pun mendukung jika orang
tersebut tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Kemudian, ketika orang ini
tidak mengalami sakit, namun ingin terbebas dari tanggung jawab, maka ia
akan memunculkan simtom tersebut.

14

Terapi: mengurangi kecemasan dan mendorong perilaku yang membolehkan


pelepasan gejala. Selain itu, penanganan dengan pendekatan ini menekankan
pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder yang dihubungan
dengan keluhan fisik. Misalnya, mengabaikan keluhan orang yang mengalami
gangguan tersebut, mengajarkan kepada orang yang mengalami gangguan itu
untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawabnya, mengajarkan orang
yang mengalami gangguan untuk mengatasi kecemasan dan stres dengan cara
yang lebih adaptif.
3.

Kognitif: Penjelasan kognitif berfokus pada peran dari


pikiran yang terdistorsi. Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki
kecenderungan untuk membesar-besarkan keluhan fisik yang ringan. Mereka
salah menginterpretasi simtom ringan sebagai tanda sakit yang serius, yang
akhirnya justru menimbulkan kecemasan. Kecemasan itu sendiri akhirnya
menimbulkan simtom fisik yang tidak menyenangkan. Hal ini seperti
lingkaran setan yang tidak putus. Demikian juga halnya dengan orang yang
mengalami BDD memiliki pikiran yang salah akan konsep dirinya.
Terapi: Penanganan dengan pendekatan ini dilakukan dengan restrukturisasi
kognitif, yaitu dengan mengubah keyakinan penderita yang salah akan adanya
suatu penyakit dalam tubuh dan keyakinan yang salah mengenai konsep diri.

15

Anda mungkin juga menyukai