Anda di halaman 1dari 14

KASUS POST TRAUMA STRES DISORDER

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa
Dosen Pengampu : Soep S.Kep, Ns, M.Kes

Disusun oleh :
Nama : Nadia Sindy Preety Silaen
NIM : P07520220026
Kelas : 3A S.Tr Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


JURUSAN SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021/2022

1
LAPORAN KASUS PSIKIATRI

Nama : Tn. AR

Umur : 37 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Jati

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum menikah

Pendidikan : SMA

Tanggal masuk RS : 28 Oktober 2021

Tanggal Pemeriksaan : 28 Oktober 2021

Tempat Pemeriksaan : Ruang Poli Jiwa RSU Anutapura Palu

LAPORAN PSIKIATRIK

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. Keluhan utama
Takut
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Seorang Laki-laki berusia 37 tahun belum menikah, dibawa ke RSU
Anutapura pada 28 Oktober 2021 karena keluhan susah tidur, pasien di konsul ke
bagian kesehatan jiwa dengan keluhan takut dan, intake menurun, dan sering
mondar-mandir saat di rumahnya. Pasien merasa takut dan terlihat cemas saat
mendengar suara mobil truk yang seakan kalau mobil truk lewat akan terjadi
gempa bumi. Hal tersebut berulang-ulang kali dia rasakan pada tiap hari. Jika
sehabis minum obat pasien baru merasakan tenang. Pasien juga sering terbangun
tengah malam dan sulit untuk tidur kembali. Pasien pernah berobat di puskesmas
dan meminum obat OAT selama 6 bulan. Pasien masih bekerja di kantor BKD
sebagai Pegawai Negeri Sipil

2
Hendaya Disfungsi
Hendaya Sosial (+)
Hendaya Pekerjaan (+)
Hendaya Penggunaan Waktu Senggang (+)
 Faktor Stressor Psikososial
Pasien tidak suka mendengar cerita tentang musibah gempa bumi
 Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat penyakit fisik dan psikis
sebelumnya.
Pasien sebelumnya pernah berobat di puskesmas dengan riwayat
pengobatan OAT selama 6 bulan. Pasien merasakan takut sejak 1 tahun yang
lalu.
 Riwayat penyakit fisik pasien
Pasien memiliki riwayat Tuberculosis.
 Riwayat penyakit psikis pasien
Pasien sudah berobat selama 5 bulan.
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
Tidak ada riwayat kejang, penyakit jantung, infeksi berat dan trauma capitis,
serta gangguan jiwa sebelumnya.
D. Riwayat Kehidupan Peribadi
 Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien tidak dapat mengingat riwayat ini dengan jelas.
 Riwayat Masa Kanak Awal (1-3 tahun)
Pasien mengatakan bahwa perkembangannya sama seperti anak
normalnya
 Riwayat Masa Pertengahan (4-11 tahun)
Pasien mengatakan bahwa perkembangannya sama seperti anak
normalnya
 Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (12-18 tahun)
Pasien tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutya, pasien hanya
bekerja.
 Riwayat Perkerjaan
Pasien bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
E. Riwayat Kehidupan Keluarga
Pasien belum menikah

3
F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal bersama orang tua.
G. Persepsi pasien tentang diri dan kehidupan.
Pasien menyadari dirinya sakit secara psikis, dan mau diobati.
II. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LEBIH LANJUT
Pemeriksaan Fisik:
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg,
 Denyut Nadi : 80 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,6°C.
 Kepala : Normocepal
 Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-),
 Leher : Pembesaran KGB (-/-)
 Dada : Jantung : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur
(-).Paru : Bunyi paru vesikuler (+/-), Rhonki (-/+),
whizing (-/-),
 Perut : Kesan datar, ikut gerakan nafas, bising usus (+)
 Anggota Gerak : Akral hangat, oedem pretibialis (-)

Status Lokalis
 GCS : E4V5M6
Status Neurologis
 Meningeal Sign : (-)
 Refleks Patologis : (-/-)
 Hasil Pemeriksaan nervus cranial : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Pemeriksaan sistem motorik : Normal
 Kordinasi gait keseimbangan : terganggu
 Gerakan-gerakan abnormal : (-)

III. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
 Penampilan:

4
Tampak seorang Laki-laki memakai kemeja berwarna dominan hitam.
Postur tinggi badan pasien sekitar 170 cm, rambut berwarna hitam, tampakan
wajah pasien sesuai dengan umurnya. Perawakan biasa. Perawatan diri cukup.
 Kesadaran: Compos Mentis
 Perilaku dan aktivitas psikomotor: tampak takut dan cemas
a. Pembicaraan : Spontan, intonasi kurang jelas, artikulasi cukup. jawaban sesuai
dengan pertanyaan.
 Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
B. Keadaan afektif
 Mood : depresif
 Afek : depresif
 Keserasian : serasi
 Empati : dapat dirabarasakan
C. Fungsi Intelektual (Kognitif)
 Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan
Pengetahuan dan kecerdasan sesuai taraf pendidikannya.
 Daya konsentrasi: cukup
 Orientasi : Baik
 Daya ingat
Jangka Pendek : Baik
Jangka sedang : Baik
Jangka Panjang : terganggu
 Pikiran abstrak : baik
 Kemampuan menolong diri sendiri: baik
D. Gangguan persepsi
 Halusinasi : Tidak ada
 Ilusi : Ada
 Depersonalisasi : Tidak ada
 Derealisasi : Tidak ada
E. Proses berpikir
 Arus pikiran:
A. Produktivitas : pasien menjawab bila diberi pertanyaan
B. Kontinuitas : relevan
C. Hendaya berbahasa : tidak ada

5
 Isi Pikiran
A. preokupasi : Pasien tidak suka mendengar cerita tentang
musibah gempa bumi
B. Gangguan isi pikiran : tidak ada
F. Pengendalian impuls
Baik
G. Daya nilai
 Norma sosial : baik
 Uji daya nilai : baik
 Penilaian Realitas : baik
H. Tilikan (insight)
Derajat 4: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh pengobatan namun tidak
memahami penyebab sakitnya.
I. Taraf dapat dipercaya
Dapat dipercaya

IV. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


 Pasien di konsul ke bagian kesehatan jiwa karena mersa takut, dengan mood dan
afek depresif.
 Pasien merasakan gelisah sejak ± 1 tahun lalu.
 Pasien memiliki riwayat TBC semenjak 1 tahun yang lalu.
 Pasien merasa takut disebabkan pasien tidak suka mendengar cerita tentang
musibah gempa bumi
 Saat pemeriksaan status mental, pasien terlihat tenang, dapat berkomunikasi dan
kooperatif. Namun saat meceritakan penyebab ketakutannya, pasien menjadi
emosi. Pasien memiliki halusinasi yang jika mendengar suara mobil trek lewat,
pasien merasaan gempa bumi terjadi. Pasien tidak memiliki gangguan isi pikir
maupun gangguan menilai realita. Pasien memiliki pre okupasi yaitu Pasien tidak
suka mendengar cerita tentang musibah gempa bumi

V. EVALUASI MULTIAKSIAL
 Aksis I :

6
 Berdasarkan autoanamnesis didapatkan ada gejala klinik bermakna dan
menimbulkan penderitaan (distress) berupa takut, rasa nyeri dan menimbulkan
(disabilitas) berupa hendaya yaitu hendaya sosial dan pekerjaan dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami Gangguan Jiwa
 Pada pasien tidak ditemukan hendaya berat dalam menilai realita, serta daya
nila norma sosial tidak terganggu, sehingga pasien didiagnosa Sebagai
Gangguan Jiwa non Psikotik.
 Berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan status internus,
tidak terdapat adanya kelainan yang mengindikasi gangguan medis umum
yang menimbulkan gangguan fungsi otak serta dapat mengakibatkan gangguan
jiwa yang diderita pasien ini, sehingga pasien didiagnosa sebagai Gangguan
Jiwa non Psikotik non Organik
 Berdasarkan gambaran kasus dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala
Post Trauma Stress Disorder yaitu takut dan kesulitan tidur, selain itu
ditemukan afek depresif dan berkurangnya energi yang manuju meningkatnya
keadaan mudah lelah sehingga memenuhi kriteria Post Trauma Stress
Disorder (F43).
 Berdasarkan kriteria diagnostic DSM IV, pasien memiliki gejala post trauma
stress disorder yaitu gejala dirasakan tidak setiap hari, dan pasien memiliki
gejala otonomik berupa hipotensi, sehingga pasien didiagnosis Post Trauma
Stress Disorder (F43.1)
 Aksis II
Tidak ada diagnosis Aksis II
 Aksis III
Tuberculosis .
 Aksis IV
Masalah berkaitan dengan musibah gempa bumi, dimana jika pasien mendengar
suara mobil trek seperti terjadinya gempa bumi dan menjadi takut bila ada yang
membicarakan tentang gempa bumi.
 Aksis V
GAF scale 60-51 (gejala sedang (moderate), disabilitas sedang).

VI. DAFTAR MASALAH


 Organobiologik

7
Tidak ditemukan adanya gangguan namun ada ketidakseimbangan
neurotransmitter sehingga pasien ini membutuhkan psikofarmaka.
 Psikologi
Ditemukan adanya masalah/stressor psikososial sehingga pasien memerlukan
psikoterapi.
 Sosiologi
Ditemukan adanya hendaya sosial, pekerjaan, dan waktu senggang sehingga
pasien memerlukan sosioterapi.
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Akut stres Disorder (ASD)
2. Gangguan Cemas Menyeluruh
3. Gangguan Kepribadian

VII. PROGNOSIS

Dubia ad bonam
 Faktor yang mempengaruhi :
Tidak ada kelainan organobiologik 
Ada support keluarga
Belum menikah
Faktor yang memperburuk :
Onset kronik

VIII. RENCANA TERAPI


 Farmakoterapi :
- seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr,Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-
300mg/hr.
- Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr
 Psikoterapi suportif 
 Ventilasi
Memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan isi hati dan
keinginannya sehingga pasien merasa lega
 Persuasi:  Membujuk pasien agar memastikan diri untuk selalu kontrol dan
minum obat dengan rutin.

8
 Sugesti: Membangkitkan kepercayaan diri dan kemauan pasien untuk dia sembuh
(penyakit terkontrol).

 Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang sekitarnya sehingga tercipta
dukungan sosial dengan lingkungan yang kondusif untuk membantu proses
penyembuhan pasien serta melakukan kunjungan berkala.
IX. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakit serta menilai efektifitas
pengobatan yang diberikan dan kemungkinan munculnya efek samping obat yang
diberikan.

X. PEMBAHASAN/ TINJAUAN PUSTAKA


Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang
mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan.
Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang
telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan
orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga
akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling sering, jika gejala
ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu.
Orang-orang yang selamat dari suatu trauma (misalnya veteran, anak-anak,
penyelamat bencana atau pekerja sosial) mengalami reaksi stres yang umum.
Memahami bahwa apa yang terjadi ketika kita atau seseorang yang kita kenal bereaksi
terhadap peristiwa traumatik akan membantu kita agar tidak terlalu takut dan lebih
baik dalam menanganinya. Reaksi-reaksi tersebut yang dapat menetap
selamabeberapa hari atau bahkan beberapa minggu, yang diantaranya adalah:
- Perasaan putus asa mengenai masa depan dan ketidakpedulian
terhadap orang lain.
- Sulit konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan.
- Mudah terkejut dengan keributan yang tiba-tiba.
- Mengalami mimpi/memori yang mengganggu.
- Masalah di tempat kerja atau sekolah.(1)
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat
terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik. Peristiwa

9
traumatik adalah peristiwa yang mengancam nyawa seperti pertempuran militer,
bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau penyerangan fisik/seksual
pada orang dewasa atau pada anak-anak.(2)
Gejala utama : (3)
Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu
PTSD, yaitu:
1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik
yangbiasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa
traumatik, mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang
berhubungan dengan trauma.
2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan
pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan
ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat
peristiwa yang berbahaya.
3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,
iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, reaksi untuk
terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.
Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus
ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan
atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik
jika terjadi lebih dari 3 bulan.(4)

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk  pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan. Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah
pada proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki
efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan
norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan
etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem

10
neurotransmitter di otak . Obat antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi
generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), tetrasiklik, (SSRIs) dan antidepresi
golongan ketiga (SRNIs) .
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan
sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat . Golongan obat
trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake  neurotransmitter di otak. Secara
biokimia, obat amin sekunder  diduga bekerja sebagai penghambat reuptake
norepinefrin, sedangkan amin tersier  menghambat reuptake serotonin pada
sinaps neuron. Hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibat kekurangan
norepinefrin lebih responsif terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat
kekurangan serotonin akan lebih responsif terhadap amin tersier.
b. Tetrasiklik
Terdapat tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan
tetrasiklik tersier (imipramine, amitriptlyne). Yang paling sering digunakan
adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan
klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik .
c. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar epinefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik . Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama
dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain
karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan  tiramin 
yang  berasal  dari makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar,
MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450
yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di hati.
d. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama
pada gangguan depresif berat selain golongan trisiklik. Obat golongan ini
mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi
yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama

11
manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena
mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik,  adrenergic  dan 
histaminergik.  Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila
SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala
hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda vital.
e. SNRIs (Serotonin and  Norepinephrine Inhibitors)
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir
sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari
reuptake norepinefrin. Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya,
masih ada beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi
medikamentosa pada pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut
dapat terlihat lebih jelas pada gambar di bawah ini .

Gambar 1.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama


f. Terapi Non Farmakologis
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam pengobatan
depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku.
Telah ditemukan prediktor respons terhadap berbagai pengobatan sebagai
berikut ini : (1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah menyatakan
respons yang baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3)

12
disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap
farmakoterapi, (4) keparahan depresi yang tinggi menyatakan respons yang
baik terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi. Terapi kognitif
dikembangkan oleh Aaron Beck yang memusatkan pada distorsi kognitif yang
didalilkan ada pada gangguan depresi berat. Tujuan terapi ini untuk
menghilangkan episode depresif dan mencegah rekurennya dengan
membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif. Terapi interpersonal
dikembangkan oleh Gerald Klerman,memusatkan pada satu atau dua masalah
interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan menggunakan dua
anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang kemungkinan memiliki
akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua, masalah interpersonal
sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan atau memperberat gejala
depresif sekarang .

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R, 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-
III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
2. Maslim R, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic
Medication). Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
3. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Gunawan S, Setiabudy R, Nafrialdi, 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Departemen Farmakologi dan Terapetik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai