DEPARTMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
April 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................II
PENDAHULUAN............................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2
2.1. DEFINISI KEJANG.....................................................................................................2
2.2. KLASIFIKASI KEJANG................................................................................................5
2.3. EPIDEMIOLOGI BANGKITAN PERTAMA.......................................................................3
2.4. PENDEKATAN KLINIS BANGKITAN PERTAMA...........................................................3
2.5. RESIKO BERULANGNYA KEJANG.............................................................................7
2.6. TERAPI ANTIKEJANG PASKA KEJANG SPONTAN PERTAMA........................................8
2.7. RINGKASAN REKOMENDASI AMERICAN ACADEMY OF NEUROLOGY......................12
KESIMPULAN..............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Definisi bangkitan dan epilepsy telah disebutkan di atas.
-
Bangkitan umum
o Lena
o Mioklonik
o Tonik
o Klonik
o Tonik-klonik
o Atonik
-
Bangkitan tak tergolongkan
2
II.3 Epidemiologi Bangkitan
Sebagaiman telah disebutkan dalam pendahuluan, diperkirakan sekitar 10 persen
populasi mengalami kejang satu kali semasa hidupnya. Akan tetapi hanya kurang
dari separuh yang mengalami kejang berulang. Oleh sebab itu terdapat faktor yang
memengaruhi berulangnya kejang. 2,3
Terdapat variasi angka kejadian bangkitan pertama yang tidak diprovokasi. Akan
tetapi berdasarkan penelitian yang telah ada diperkirakan angka kejadian kejang
pertama berada dalam rentang 50 sampai 70 per 100.000 penduduk. Data studi
kohort di USA pada tahun 1975 sampai 1984 menunjukkan insidensi bangkitan
tanpa provokasi sebesar 63 per 100000 penduduk, Data di Inggris menunjukkan
angka 57 per 100.000, sedangkan data di Islandia berkisar 56,8 per 100.000
penduduk.3
II.4 Pendekatan Klinis Bangkitan Pertama
Seperti pada penyakit lainnya, langkah pertama penanganan adalah diagnosis.
Masalah dalam diagnosis bangkitan pertama adalah luasnya kemungkinan etiologi
dan penyakit yang mendasarinya. Berdasarkan etiologinya, kejang pertama dapat
dikelompokkan menjadi beberapa golongan di bawah ini:2,4,5
-
Bangkitan dengan provokasi, adalah bangkitan yang disebabkan oleh
penyebab tertentu, misalnya obat dan gangguan metabolik.
-
Bangkitan akut simtomatik, adalah bangkitan yang disebabkan proses akut
di otak(misalnya ensefalitis).
-
Remote symptomatic seizure, adalah bangkitan yang terjadi pada pasien
yang memiliki kelainan yang meningkatkan resiko kejang minimal sejak
satu minggu sebelumnya.
-
Bangkitan terkait sindroma epilepsy
Langkah pertama dalam menilai pasien yang dicurigai kejang adalah memastikan
gejala dan tanda yang dialami pasien benar-benar kejang. Beberapa kondisi akut
dapat menyerupai kejang. Diagnosis banding kejang antara lain: sinkop
kardiak/neurogenik, tidur berjalan, terror tidur, migraine, transient ischemic
attack, aritmia, dan kelainan gerakan. Untuk menentukan pasien kejang atau tidak
memerlukan anamnesis yang terinci, karena seringkali pasien datang sudah tidak
dalam keadaan kejang. 2,5,6
3
Langkah kedua adalah menentukan apakah pasien pernah mengalami kejang
sebelumnya(apakah saat ini benar kejang yang pertama). Pasien sering kali datang
ke layanan medis setelah episode kejang tonik klonik. Alasannya adalah karena
tipe ini paling mudah dikenali. Beberapa gejala lainnya dapat terlewatkan atau
dianggap normal, misalnya melirik ke atas, episode melamun, menggigit lidah
saat malam, dan mioklonus setelah bangun tidur.5,6
Jika pasien mengalami bangkitan berulang perlu ditelurusuri jangka waktu
pengulangan episode tersebut. Hal ini terkait untuk menentukan apakah pasien
mengalami epilepsy atau tidak. Bila bangkitan tanpa pencetus berulang dalam
jangka kurang dari 24 jam maka dianggap sebagai satu event/kejadian. Selain
untuk menentukan diagnosis, pengulangan kejang juga berpengaruh terhadap
prognosis selanjutnya. Setelah tejadi dua kejang dengan selang waktu lebih dari
24 jam, resiko untuk terjadinya kejang ketiga meningkat lebih dari 60 persen,
sehingga pemberian obat antikejang dianjurkan. 2,5,6
Beberapa riwayat perlu ditanyakan untuk menentukan ada tidaknya resiko
kelainan intracranial. Resiko adanya kelainan intracranial pada pasien dewasa
dengan kejang spontan pertama adalah yang memiliki riwayat AIDS, trauma
kepala akut, usia lebih dari 40 tahun, demam, riwayat pemakaian antikoagulan,
riwayat keganasan, defisit neurologis fokal baru, kejang parsial, perubahan
kesadaran persisten, dan nyeri kepala persisten.6
Pemeriksaan fisis, seperti pada umumnya, digunakan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding. Pada kasus kejang pertama data klinis dari
anamnesis dan pemeriksaan fisis juga dapat menentukan pemeriksaan penunjang
selanjutnya. 5,6
Pemeriksaan penunjang untuk kejang pertama antara lain laboratorium,
pencitraan, dan EEG. Pemeriksaan laboraturium digunakan berdasarkan
kecurigaan klinis. Pemeriksaan punksi lumbal hanya dilakukan bila terdapat
kecurigaan kea rah infeksi sistem saraf pusat. Pemeriksaan toksikologi juga tidak
dianjurkan secara rutin oleh American Academy of Emergency Physicians.3,5,6
4
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan, terutama MRI, memiliki
manfaat pada kejang pertama yang tidak terprovokasi. Pemeriksaan EEG
bertujuan untuk menemukan lesi fokal, menentukan prognosis rekurensi, serta
melihat ada tidaknya sindroma epilepsi. Pemeriksaan EEG dalam 24-48 jam
pertama setelah kejang menemukan abnormalitas pada 70 persen kasus. Akan
tetapi sebagian besar kelainan tersebut tidak bermakna secara klinis. 3,5
Pemeriksaan MRI bertujuan untuk melihat ada tidaknya kelainan structural otak
yang mungkin mendasari kejang. Jika dibandingkan dengan CT scan, kemampuan
mendeteksi lesi atau tumor yang kecil lebih baik pada MRI. Meskipun demikian,
peran pencitraan untuk menunjang diagnosis pada kejang pertama tanpa provokasi
terbatas dan bervariasi. Rentang persentase temuan abnormal didapatkan pada
pencitraan pasien tersebut berkisar 1-49 persen, dengan rata-rata 10 persen. 3,5,6
Salah satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah kapan menggunakan
modalitas pencitraan tersebut. Terdapat perbedaan rekomendasi indikasi
pemeriksaan pencitraan pada kelompok anak dan dewasa, ditambah lagi masih
belum terdapat bukti yang cukup untuk menunjang rekomendasi tersebut.
5
Indikasi pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan kejang spontan pertama
kali antara lain:6
-
Defisit neurologis paska kejang yang tidak pulih dalam beberapa jam
-
Tidak pulihnya status neurologis ke keadaan semula dalam beberapa jam
paska kejang
-
Riwayat trauma kepala
-
Riwayat keganasan
Pemeriksaan MRI elektif direkomendasikan pada anak dengan kondisi berikut:6
-
Defisit motorik atau kognitif dengan penyebab yang tidak diketahui
-
Kelainan pemeriksaan neurologis yang tidak dapat dijelaskan
-
Tidak ada bukti epilepsy parsial benigna atau epilepsy umum primer pada
EEG
-
Kejang parsial
Indikasi pemeriksaan neuroimaging pada pada pasien dewasa berdasarkan
rekomendasi American College of Emergency Physicians (ACEP) dan American
Academy of Neurology (AAN) antara lain:6
-
Terdapat kecurigaan lesi structural otak
-
Kejang onset parsial
-
Usia lebih dari 40 tahun
6
II.5. Resiko Berulangnya Kejang
Tidak semua pasien dengan kejang spontan pertama akan mengalami kejang
selanjutnya. Berdasarkan beberapa penelitian dan pedoman dari AAN, resiko
berulangnya kejang paling tinggi terjadi pada dua tahun pertama, yaitu sekitar 21-
45%. 7
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh AAN, faktor resiko untuk berulangnya
kejang setelah kejang spontan pertama pada pasien dewasa adalah:7
-
Trauma otak sebelum kejang, memiliki resiko relative berulangnya kejang
dalam jangka waktu 1 sampai 5 tahun sebesar 2,55(95% CI 1,44-4,52)
-
EEG dengan kelainan epileptiform memiliki peningkatan RR berulangnya
kejang dalam jangka waktu 1 sampai 5 tahun sebesar 2,16(95% CI 1,07-
4,38).
-
Kelainan pada pemeriksaan neuroimaging memiliki rasio hazard
berulangnya kejang dalam jangka waktu 1 sampai 4 tahun sebesar
2,44(95% CI 1,09-5,44).
-
Kejang saat tidur memiliki RR berulangnya kejang dalam 1 sampai 4
tahun sebesar 2,1(95% CI 1,0- 4,3).
Beberapa penelitian lainnya melaporkan faktor resiko sebagai berikut:5
-
Kelainan otak sebelumnya/epilepsy simtomatik remote
-
Kelainan EEG focal spike
-
Kelainan neurologis fokal
-
Fenomena kejang fokal
-
Riwayat epilepsy pada keluarga
-
Kejang demam sebelumnya
-
Status epileptikus
AAN memiliki pedoman kejang pertama untuk anak tersendiri. Pada pedoman
tersebut dikatakan resiko berulangnya kejang spontan pada anak dalam satu tahun
berada dalam rentang 14 sampai 65 persen. Penelitian yang ada menunjukkan
angka yang berbeda tergantung rentang yang digunakan. 8
Faktor resiko berulangnya kejang pada anak juga mirip dengan dewasa, antara
lain: remote symptomatic seizure, kejang saat tidur, riwayat kejang demam
sebelumnya, paralisis Todd, dan EEG epileptiform. Pasien anak kejang spontan
pertama dengan EEG normal memiliki resiko rekurensi kurang dari 30 persen
7
dalam lima tahun, dibandingkan dengan kelompok EEG abnormal non-
epiletpiform(45 persen) dan EEG epileptiform(60 persen).8
8
demikian, pada umumnya terapi kronis pada golongan tersebut juga diberikan
5,9
setelah kejang yang kedua.
Hasil penelitian pada pedoman kejang pertama pada anak oleh AAN 2003
disimpulkan efektifitas pemberian obat antikejang untuk mencegah rekurensi
selanjutnyasangat bervariasi.8
9
harus diberikan. Lama terapi pada pasien dewasa harus memerhatikan beberapa
parameter, termasuk faktor medis dan sosial. Pada pasien dewasa dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan EEG dan neuroimaging sebagai pedoman lama
terapi antikejang. Pasien dewasa dengan kelainan EEG persisten memiliki resiko
rekurensi lebih tinggi, sehingga dianjurkan untuk meneruksan terapi selama
beberapa tahun setelah kejang. Meskipun demikian secara umum pada pasien
dewasa juga dianjurkan pemberian terapi antikejang minimal satu tahun setelah
kejang pertama. 5,9
Terdapat studi masing-masing untuk efek samping pemberian antikejang pada
pasien dewasa dan anak.
Bukti efek samping pada anak saat ini telah tersedia pada studi kelas I dan II.
Secara garis besar, efek samping pada anak dibagi menjadi terkait perilaku dan
kognitif, serta efek sistemik. Efek samping sistemik sering kali tidak dapat
diprediksi. Efek samping sistemik tersebut dapat ringan, misalnya ruam,
hirsutism, dan kenaikan berat badan; dan dapat pula fatal, misalnya
hepatotoksisitas, Sindroma Steven Johnson, dan supresi sumsum tulang. 8
Efek samping kognitif dan perilaku sering kali bersifat berhubungan dosis dan
sulit dideteksi. Biasanya efek samping ini berkurang dengan penurunan dosis,
tentunya mengakibatkan peningkatan resiko relaps. 8
Ringkasan penelitian tentang efek samping pada anak dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
10
Tabel 2. Efek Samping Kognitif dan Perilaku Pemberian Anti Kejang pada Anak setelah Kejang
Pertama8
Tabel 3. Efek samping sistemik pemberian antikejang pada anak setelah kejang pertama 8
11
Berdasarkan 4 studi kelas II dan I studi kelas III, pada pasien dewasa ditemukan
efek samping antikejang sekitar 7 sampai 31 persen. Sebagian besar efek samping
ringan dan hilang dengan penggantian antikejang. 7
II.7. Ringkasan Rekomendasi American Academy of Neurology
Ringkasan rekomendasi penanganan kejang pertama pada anak oleh AAN 2003
adalah:
-
Terapi antikejang tidak diindikasikan untuk pencegahan epilepsy(Level B)
-
Terapi antikejang pada anak paska kejang pertama dipertimbangkan pada
kondisi manfaat mengurangi resiko kejang kedua lebih besar daripada
resiko efek samping farmakologis dan psikososial.(Level B)8
Ringkasan bukti dan rekomendasi penanganan kejang pertama pada dewasa oleh
AAN 2015 adalah: 7
-
Pasien dewasa dengan kejang spontan pertama harus diberitahukan bahwa
resiko rekurensi terbesar adalah dalam dua tahun pertama.(Level A)
-
Faktor resiko yang meningkatkan resiko rekurensi adalah kerusakan otak
sebelumnya dan EEG epileptiform(Level A)
-
Faktor resiko lainnya yang meningkatkan rekurensi adalah kelainan
neuroimaging dan kejang saat tidur.(Level B)
-
Pemberian terapi antikejang segera setelah kejang, dibandingkan setelah
kejang kedua, menurunkan resiko rekurensi dalam dua tahun.(Level B)
-
Resiko terapi antikejang pada dewasa setelah kejang spontan pertama
berkisan 7 sampai 31 persen yang sebagian besar berupa efek samping
ringan dan reversible.(Level B).
12
BAB III
KESIMPULAN
Kejang spontan pertama dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, oleh sebab itu
harus dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk menentukan etiologi, terapi, dan
prognosis. Terdapat perbedaan pertimbangan pemberian terapi antikejang paska
kejang pertama pada pasien dewasa dan anak, akan tetapi secara garis besar
mempertimbangkan rasio untung rugi. Lama pemberian terapi antikejang paska
kejang pertama masih belum konklusif, akan tetapi sampai saat ini dianjurkan
minimal satu tahun setelah kejang pertama.
13
DAFTAR PUSTAKA
14