Anda di halaman 1dari 16

REFERAT NEUROEPILEPSI

11 April 2017 pukul 08.00

Manajemen Bangkitan Pertama :


Kapan dan Bagaimana Tatalaksana OAE

Penyaji : dr. Chairunnisa

Narasumber : dr. Zakiah Syeban, SpS (K)


dr. Donny H. Hamid, SpS
dr. Fitri Octaviana, SpS (K), MPd Ked
dr. Astri Budikayanti, SpS (K)
dr. Luh Ari Indrawati, SpS
dr. Winnugroho Wiratman, SpS

DEPARTMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
April 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................II
PENDAHULUAN............................................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2
2.1. DEFINISI KEJANG.....................................................................................................2
2.2. KLASIFIKASI KEJANG................................................................................................5
2.3. EPIDEMIOLOGI BANGKITAN PERTAMA.......................................................................3
2.4. PENDEKATAN KLINIS BANGKITAN PERTAMA...........................................................3
2.5. RESIKO BERULANGNYA KEJANG.............................................................................7
2.6. TERAPI ANTIKEJANG PASKA KEJANG SPONTAN PERTAMA........................................8
2.7. RINGKASAN REKOMENDASI AMERICAN ACADEMY OF NEUROLOGY......................12
KESIMPULAN..............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Bangkitan/kejang(seizure) didefinisikan sebagai terjadinya tanda atau gejala


abnormal yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal berlebihan(PERDOSSI
2014). 1Sekitar 10 persen dari seluruh manusia diperkirakan mengalami bangkitan
minimal satu kali semasa hidupnya. Separuh dari jumlah tersebut terjadi pada usia
anak, terutama pada satu tahun pertama kehidupan. 2,3
Bangkitan menimbulkan dapat masalah biologis, psikologis, dan sosial bagi
penderitanya. Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh pasien dan keluarganya
adalah apakah akan berulang di masa yang akan datang. 2,3,4
Penanganan bangkitan pertama memerlukan pendekatan diagnosis yang memadai.
Beberapa hal yang perlu ditelusuri adalah ada tidaknya riwayat kejang
sebelumnya, penyebab kejang, serta apakah kejang tersebut termasuk dalam
epilepsi.2
Tidak semua kejang merupakan suatu sindroma epilepsi. Definisi epilepsy
menurut International League Against Epilepsy(ILAE 2014) adalah bangkitan
tanpa provokasi yang berulang dalam jangka lebih dari 24 jam, satu bangkitan
tanpa provokasi disertai kemungkinanbangkitan berulang sama dengan populasi
umum dalam jangka waktu 10 tahun setelah dua bangkitan berulang, atau
diagnosis sindroma epilepsy. 1,2,3
Pada makalah ini focus pembahasan adalah manajemen kejang pertama tanpa
provokasi(spontan), kemungkinan rekurensi, serta perlu tidaknya pemberian obat
anti kejang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Definisi bangkitan dan epilepsy telah disebutkan di atas.

II.2. Klasifikasi Kejang


Klasifikasi terkait bangkitan yang telah dikeluarkan oleh ILAE adalah klasifikasi
jenis bangkitan dan klasifikasi sindroma epilepsy. Pada makalah ini difokuskan
pada jenis bangkitan karena perlu dikenal agar dapat mendiagnosis
kejang/bangkitan.
Secara garis besar, jenis bangkitan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu umum, fokal,
dan yang tidak dapat diklasifikasikan. Klasifikasi lebih lengkap adalah sebagai
berikut:1
-
Bangkitan parsial
o Bangkitan parsial sederhana
Dengan gejala motorik
Dengan gejala somatosensorik
Dengan gejala otonom
Dengan gejala psikis
o Bangkitan parsial kompleks
Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
o Bangkitan parsial menjadi umum sekunder
Parsial sederhana yang menjadi umum
Parsial kompleks yang menjadi umum
Parsial sederhana yang menjadi parsial kompleks lalu
menjadi umum

-
Bangkitan umum
o Lena
o Mioklonik
o Tonik
o Klonik
o Tonik-klonik
o Atonik
-
Bangkitan tak tergolongkan

2
II.3 Epidemiologi Bangkitan
Sebagaiman telah disebutkan dalam pendahuluan, diperkirakan sekitar 10 persen
populasi mengalami kejang satu kali semasa hidupnya. Akan tetapi hanya kurang
dari separuh yang mengalami kejang berulang. Oleh sebab itu terdapat faktor yang
memengaruhi berulangnya kejang. 2,3
Terdapat variasi angka kejadian bangkitan pertama yang tidak diprovokasi. Akan
tetapi berdasarkan penelitian yang telah ada diperkirakan angka kejadian kejang
pertama berada dalam rentang 50 sampai 70 per 100.000 penduduk. Data studi
kohort di USA pada tahun 1975 sampai 1984 menunjukkan insidensi bangkitan
tanpa provokasi sebesar 63 per 100000 penduduk, Data di Inggris menunjukkan
angka 57 per 100.000, sedangkan data di Islandia berkisar 56,8 per 100.000
penduduk.3
II.4 Pendekatan Klinis Bangkitan Pertama
Seperti pada penyakit lainnya, langkah pertama penanganan adalah diagnosis.
Masalah dalam diagnosis bangkitan pertama adalah luasnya kemungkinan etiologi
dan penyakit yang mendasarinya. Berdasarkan etiologinya, kejang pertama dapat
dikelompokkan menjadi beberapa golongan di bawah ini:2,4,5
-
Bangkitan dengan provokasi, adalah bangkitan yang disebabkan oleh
penyebab tertentu, misalnya obat dan gangguan metabolik.
-
Bangkitan akut simtomatik, adalah bangkitan yang disebabkan proses akut
di otak(misalnya ensefalitis).
-
Remote symptomatic seizure, adalah bangkitan yang terjadi pada pasien
yang memiliki kelainan yang meningkatkan resiko kejang minimal sejak
satu minggu sebelumnya.
-
Bangkitan terkait sindroma epilepsy
Langkah pertama dalam menilai pasien yang dicurigai kejang adalah memastikan
gejala dan tanda yang dialami pasien benar-benar kejang. Beberapa kondisi akut
dapat menyerupai kejang. Diagnosis banding kejang antara lain: sinkop
kardiak/neurogenik, tidur berjalan, terror tidur, migraine, transient ischemic
attack, aritmia, dan kelainan gerakan. Untuk menentukan pasien kejang atau tidak
memerlukan anamnesis yang terinci, karena seringkali pasien datang sudah tidak
dalam keadaan kejang. 2,5,6

3
Langkah kedua adalah menentukan apakah pasien pernah mengalami kejang
sebelumnya(apakah saat ini benar kejang yang pertama). Pasien sering kali datang
ke layanan medis setelah episode kejang tonik klonik. Alasannya adalah karena
tipe ini paling mudah dikenali. Beberapa gejala lainnya dapat terlewatkan atau
dianggap normal, misalnya melirik ke atas, episode melamun, menggigit lidah
saat malam, dan mioklonus setelah bangun tidur.5,6
Jika pasien mengalami bangkitan berulang perlu ditelurusuri jangka waktu
pengulangan episode tersebut. Hal ini terkait untuk menentukan apakah pasien
mengalami epilepsy atau tidak. Bila bangkitan tanpa pencetus berulang dalam
jangka kurang dari 24 jam maka dianggap sebagai satu event/kejadian. Selain
untuk menentukan diagnosis, pengulangan kejang juga berpengaruh terhadap
prognosis selanjutnya. Setelah tejadi dua kejang dengan selang waktu lebih dari
24 jam, resiko untuk terjadinya kejang ketiga meningkat lebih dari 60 persen,
sehingga pemberian obat antikejang dianjurkan. 2,5,6
Beberapa riwayat perlu ditanyakan untuk menentukan ada tidaknya resiko
kelainan intracranial. Resiko adanya kelainan intracranial pada pasien dewasa
dengan kejang spontan pertama adalah yang memiliki riwayat AIDS, trauma
kepala akut, usia lebih dari 40 tahun, demam, riwayat pemakaian antikoagulan,
riwayat keganasan, defisit neurologis fokal baru, kejang parsial, perubahan
kesadaran persisten, dan nyeri kepala persisten.6
Pemeriksaan fisis, seperti pada umumnya, digunakan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding. Pada kasus kejang pertama data klinis dari
anamnesis dan pemeriksaan fisis juga dapat menentukan pemeriksaan penunjang
selanjutnya. 5,6
Pemeriksaan penunjang untuk kejang pertama antara lain laboratorium,
pencitraan, dan EEG. Pemeriksaan laboraturium digunakan berdasarkan
kecurigaan klinis. Pemeriksaan punksi lumbal hanya dilakukan bila terdapat
kecurigaan kea rah infeksi sistem saraf pusat. Pemeriksaan toksikologi juga tidak
dianjurkan secara rutin oleh American Academy of Emergency Physicians.3,5,6

Tabel.1 . Diagnosis Banding Kejang6

4
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan, terutama MRI, memiliki
manfaat pada kejang pertama yang tidak terprovokasi. Pemeriksaan EEG
bertujuan untuk menemukan lesi fokal, menentukan prognosis rekurensi, serta
melihat ada tidaknya sindroma epilepsi. Pemeriksaan EEG dalam 24-48 jam
pertama setelah kejang menemukan abnormalitas pada 70 persen kasus. Akan
tetapi sebagian besar kelainan tersebut tidak bermakna secara klinis. 3,5
Pemeriksaan MRI bertujuan untuk melihat ada tidaknya kelainan structural otak
yang mungkin mendasari kejang. Jika dibandingkan dengan CT scan, kemampuan
mendeteksi lesi atau tumor yang kecil lebih baik pada MRI. Meskipun demikian,
peran pencitraan untuk menunjang diagnosis pada kejang pertama tanpa provokasi
terbatas dan bervariasi. Rentang persentase temuan abnormal didapatkan pada
pencitraan pasien tersebut berkisar 1-49 persen, dengan rata-rata 10 persen. 3,5,6
Salah satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah kapan menggunakan
modalitas pencitraan tersebut. Terdapat perbedaan rekomendasi indikasi
pemeriksaan pencitraan pada kelompok anak dan dewasa, ditambah lagi masih
belum terdapat bukti yang cukup untuk menunjang rekomendasi tersebut.

5
Indikasi pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan kejang spontan pertama
kali antara lain:6
-
Defisit neurologis paska kejang yang tidak pulih dalam beberapa jam
-
Tidak pulihnya status neurologis ke keadaan semula dalam beberapa jam
paska kejang
-
Riwayat trauma kepala
-
Riwayat keganasan
Pemeriksaan MRI elektif direkomendasikan pada anak dengan kondisi berikut:6
-
Defisit motorik atau kognitif dengan penyebab yang tidak diketahui
-
Kelainan pemeriksaan neurologis yang tidak dapat dijelaskan
-
Tidak ada bukti epilepsy parsial benigna atau epilepsy umum primer pada
EEG
-
Kejang parsial
Indikasi pemeriksaan neuroimaging pada pada pasien dewasa berdasarkan
rekomendasi American College of Emergency Physicians (ACEP) dan American
Academy of Neurology (AAN) antara lain:6
-
Terdapat kecurigaan lesi structural otak
-
Kejang onset parsial
-
Usia lebih dari 40 tahun

6
II.5. Resiko Berulangnya Kejang
Tidak semua pasien dengan kejang spontan pertama akan mengalami kejang
selanjutnya. Berdasarkan beberapa penelitian dan pedoman dari AAN, resiko
berulangnya kejang paling tinggi terjadi pada dua tahun pertama, yaitu sekitar 21-
45%. 7
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh AAN, faktor resiko untuk berulangnya
kejang setelah kejang spontan pertama pada pasien dewasa adalah:7
-
Trauma otak sebelum kejang, memiliki resiko relative berulangnya kejang
dalam jangka waktu 1 sampai 5 tahun sebesar 2,55(95% CI 1,44-4,52)
-
EEG dengan kelainan epileptiform memiliki peningkatan RR berulangnya
kejang dalam jangka waktu 1 sampai 5 tahun sebesar 2,16(95% CI 1,07-
4,38).
-
Kelainan pada pemeriksaan neuroimaging memiliki rasio hazard
berulangnya kejang dalam jangka waktu 1 sampai 4 tahun sebesar
2,44(95% CI 1,09-5,44).
-
Kejang saat tidur memiliki RR berulangnya kejang dalam 1 sampai 4
tahun sebesar 2,1(95% CI 1,0- 4,3).
Beberapa penelitian lainnya melaporkan faktor resiko sebagai berikut:5
-
Kelainan otak sebelumnya/epilepsy simtomatik remote
-
Kelainan EEG focal spike
-
Kelainan neurologis fokal
-
Fenomena kejang fokal
-
Riwayat epilepsy pada keluarga
-
Kejang demam sebelumnya
-
Status epileptikus
AAN memiliki pedoman kejang pertama untuk anak tersendiri. Pada pedoman
tersebut dikatakan resiko berulangnya kejang spontan pada anak dalam satu tahun
berada dalam rentang 14 sampai 65 persen. Penelitian yang ada menunjukkan
angka yang berbeda tergantung rentang yang digunakan. 8
Faktor resiko berulangnya kejang pada anak juga mirip dengan dewasa, antara
lain: remote symptomatic seizure, kejang saat tidur, riwayat kejang demam
sebelumnya, paralisis Todd, dan EEG epileptiform. Pasien anak kejang spontan
pertama dengan EEG normal memiliki resiko rekurensi kurang dari 30 persen

7
dalam lima tahun, dibandingkan dengan kelompok EEG abnormal non-
epiletpiform(45 persen) dan EEG epileptiform(60 persen).8

II.6. Terapi Anti Kejang Paska Kejang Spontan Pertama


II.6.1 Pertimbangan Terapi
Pasien dengan dua kejang spontan pertama kali atau epilepsy direkomendasikan
untuk mendapat terapi anti kejang. Pemberian terapi anti kejang paska kejang
tunggal pertama merupakan masalah yang kontrovesial. Terdapat berbagai faktor
yang menentukan perlu tidaknya terapi profilaksis kejang berikutnya. 2,4,5,6,7
Faktor pertama yang perlu dilihat adalah apakah kejang spontan atau dicetuskan
oleh penyebab lain. Kejang yang dicetuskan oleh penyebab tertentu, misalnya
metabolic, tidak memerlukan terapi profilaksis anti kejang atau bila diberikan
hanya dalam jangka waktu pendek. Secara umum kejang yang dicetuskan
penyebab lain(provokatus) berupa kejang umum. 2
Faktor kedua yang memengaruhi adalah gambaran kejang. Pada umumnya kejang
fokal tanpa penurunan kesadaran memiliki resiko yang lebih rendah. Pada
golongan ini pemberian terapi antikejang terindividualisasi. 2
Faktor ketiga adalah berdasarkan pencetus. Terdapat perbedaan prognosis antara
kejang simtomatik akut dengan remote symptomatic seizure. Kejang simtomatik
akut memiliki mortalitas 8,9 kali lebih tinggi pada 30 hari pertama dibandingkan
remote symptomatic seizure, akan tetapi kejang simtomatik akut memiliki peluang
rekurensi 80 persen lebih rendah. 2

II.6.2. Terapi Anti Kejang Pada Anak


Terapi pada anak dibagi pada setting akut dan kronis. Secara umum pada kedua
setting tersebut pilihan untuk memberikan terapi antikejang mempertimbangkan
cost and benefit. Contohnya, pada pasien dengan status epileptikus dan sakit akut
berat dianjurkan memakai antikejang intravena. Sama dengan terapi akut, terapi
kronis juga sangat terindividualisasi. Pada umumnya pemberian antikejang
berkepanjangan diberikan pada anak dengan resiko epilepsy yang nyata(palsi
serebral, retardasi mental, lesi otak structural, dan EEG abnormal). Meskipun

8
demikian, pada umumnya terapi kronis pada golongan tersebut juga diberikan
5,9
setelah kejang yang kedua.
Hasil penelitian pada pedoman kejang pertama pada anak oleh AAN 2003
disimpulkan efektifitas pemberian obat antikejang untuk mencegah rekurensi
selanjutnyasangat bervariasi.8

II.6.3. Terapi Anti Kejang Pada Dewasa


Berdasarkan data dari penelitian yang tercakup dalam pedoman kejang pertama
pasien dewasa pemberian segera obat anti kejang setelah kejang spontan pertama
menurunkan resiko berulangnya kejang sebesar 35 persen dalam dua tahun
pertama, akan tetapi tidak meningkatkan kualitas hidup. Pemberian antikejang
segera setelah kejang pertama tidak memperbaiki resiko rekurensi setelah
pemebrian selama tiga tahun jika dibandingkan dengan pemberian setelah kejang
kedua. 7

II.6.4. Pilihan Obat dan Resiko Terapi


Obat anti kejang yang tersedia bervariasi. Secara umum pemilihan obat
bergantung pada morfologi kejang yang dialami. Prinsip pemilihan terapi anti
kejang antara lain: dimulai dari monoterapi, dimulai dengan dosis rendah, efikasi
tinggi, tolerabilitas baik, efek samping rendah, dan memungkinkan kualitas hidup
yang baik.4,5,9
Pemilihan berdasarkan morfologi kejang yang dianjurkan adalah:5
-
Kejang fokal: karbamazepin, klobazam, gabapentin, lamotrigine,
topiramate, oxacarbazepine, dan valproat
-
Kejang umum: lamotrigine, topiramate, dan valproat

Pemilihan jenis obat sangat terindividualisasi. Faktor-faktor lainnya yang


menentukan pemilihan obat adalah teratogenitas, kongitif pasien, interaksi obat,
pengalaman dokter, dan biaya. 4,5,9
Berapa lama terapi anti kejang harus diberikan masih belum konklusif. Pada
pasien anak pedoman yang digunakan saat ini adalah penghentian obat setelah
bebas kejang selama satu tahun setelah kejang pertama. Demikian pula dengan
pasien dewasa, masih belum ada penelitian yang mendukung berapa lama terapi

9
harus diberikan. Lama terapi pada pasien dewasa harus memerhatikan beberapa
parameter, termasuk faktor medis dan sosial. Pada pasien dewasa dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan EEG dan neuroimaging sebagai pedoman lama
terapi antikejang. Pasien dewasa dengan kelainan EEG persisten memiliki resiko
rekurensi lebih tinggi, sehingga dianjurkan untuk meneruksan terapi selama
beberapa tahun setelah kejang. Meskipun demikian secara umum pada pasien
dewasa juga dianjurkan pemberian terapi antikejang minimal satu tahun setelah
kejang pertama. 5,9
Terdapat studi masing-masing untuk efek samping pemberian antikejang pada
pasien dewasa dan anak.
Bukti efek samping pada anak saat ini telah tersedia pada studi kelas I dan II.
Secara garis besar, efek samping pada anak dibagi menjadi terkait perilaku dan
kognitif, serta efek sistemik. Efek samping sistemik sering kali tidak dapat
diprediksi. Efek samping sistemik tersebut dapat ringan, misalnya ruam,
hirsutism, dan kenaikan berat badan; dan dapat pula fatal, misalnya
hepatotoksisitas, Sindroma Steven Johnson, dan supresi sumsum tulang. 8
Efek samping kognitif dan perilaku sering kali bersifat berhubungan dosis dan
sulit dideteksi. Biasanya efek samping ini berkurang dengan penurunan dosis,
tentunya mengakibatkan peningkatan resiko relaps. 8
Ringkasan penelitian tentang efek samping pada anak dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

10
Tabel 2. Efek Samping Kognitif dan Perilaku Pemberian Anti Kejang pada Anak setelah Kejang
Pertama8

Tabel 3. Efek samping sistemik pemberian antikejang pada anak setelah kejang pertama 8

11
Berdasarkan 4 studi kelas II dan I studi kelas III, pada pasien dewasa ditemukan
efek samping antikejang sekitar 7 sampai 31 persen. Sebagian besar efek samping
ringan dan hilang dengan penggantian antikejang. 7
II.7. Ringkasan Rekomendasi American Academy of Neurology

Ringkasan rekomendasi penanganan kejang pertama pada anak oleh AAN 2003
adalah:
-
Terapi antikejang tidak diindikasikan untuk pencegahan epilepsy(Level B)
-
Terapi antikejang pada anak paska kejang pertama dipertimbangkan pada
kondisi manfaat mengurangi resiko kejang kedua lebih besar daripada
resiko efek samping farmakologis dan psikososial.(Level B)8

Ringkasan bukti dan rekomendasi penanganan kejang pertama pada dewasa oleh
AAN 2015 adalah: 7
-
Pasien dewasa dengan kejang spontan pertama harus diberitahukan bahwa
resiko rekurensi terbesar adalah dalam dua tahun pertama.(Level A)
-
Faktor resiko yang meningkatkan resiko rekurensi adalah kerusakan otak
sebelumnya dan EEG epileptiform(Level A)
-
Faktor resiko lainnya yang meningkatkan rekurensi adalah kelainan
neuroimaging dan kejang saat tidur.(Level B)
-
Pemberian terapi antikejang segera setelah kejang, dibandingkan setelah
kejang kedua, menurunkan resiko rekurensi dalam dua tahun.(Level B)
-
Resiko terapi antikejang pada dewasa setelah kejang spontan pertama
berkisan 7 sampai 31 persen yang sebagian besar berupa efek samping
ringan dan reversible.(Level B).

12
BAB III
KESIMPULAN

Kejang spontan pertama dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, oleh sebab itu
harus dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk menentukan etiologi, terapi, dan
prognosis. Terdapat perbedaan pertimbangan pemberian terapi antikejang paska
kejang pertama pada pasien dewasa dan anak, akan tetapi secara garis besar
mempertimbangkan rasio untung rugi. Lama pemberian terapi antikejang paska
kejang pertama masih belum konklusif, akan tetapi sampai saat ini dianjurkan
minimal satu tahun setelah kejang pertama.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. 2014. Pedoman tatalaksana


epilepsy. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 5th ed.p. 1-20
2. Bergey GK. Management of first seizure. Continuum (Minneap Minn)
2016;22(1):3850.
3. Wiebe S, Tellez-Zenteno JF, Shapiro M. An Evidence-based approach to
the first seizure. Epilepsia, 2008; 49(Suppl. 1):5057,
4. AlEissa EI. First Adult Seizure. Medscape. 2016.[diakses 2017 Maret 18].
Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1186214-overview
5. Pohlmann-Eden B, Beghi E, Camfield C, Camfield P. The first seizure and
its management in adults and children. BMJ 2006; 332: 339-42
6. Adams SM, Knowles PD. Evaluation of firs seizure. Am Fam Physician
2007;75:1342-1347, 1348
7. Krumhollz A, Wiebe S, Gronseth GS, Gloss DS, Sanchez AM,
Kabir AA, et.al. Evidence-based guideline: Management of
an unprovoked first seizure in adults. Neurology 2015;84:1705
1713
8. Hirtz D, Berg A, Bettis D, Camfield C, Crumrine P, Gaillard WD, et.al.
Practice parameter: treatment of the child with a first unprovoked seizure.
Neurology.2003; 60: 166-175
9. Waite SR. Pediatric First Seizure. Medscape. 2016.[diakses 2017 Maret
17]. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1179097-
overview

14

Anda mungkin juga menyukai