Anda di halaman 1dari 18

Presentasi Kasus Fungsi Luhur Kepada Yth.

_______________

Afasia Transkortikal Motorik Paska Stroke Hemoragik

Penyaji : dr. Chairunnisa

Pembimbing : dr. Adre Mayza, SpS(K)

dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K)

Dr. dr. Yetty Ramli, SpS(K)

Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Juni 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit dengan angka mortalitas dan disabilitas tertinggi di


Indonesia. Berbagai manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat menyebabkan kendala bagi
penderita dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, sehingga ikut mempengaruhi kualitas
hidup pasien selanjutmya. Selain kelemahan ekstremitas, kesulitan berbicara, dan gangguan
memori, gangguan yang sering muncul adalah afasia, yaitu gangguan bahasa atau gangguan
kemampuan menggunakan kata-kata, baik komprehensi maupun ekspresi bahasa.1
Kejadian afasia pada pasien stroke dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas,
penurunan laju pemulihan fungsional, dan penurunan probabilitas pasien untuk kembali
bekerja atau produktif pascastroke jika dibandingkan dengan pasien stroke non-afasik.
Frekuensi terjadinya afasia pada pasien stroke berkisar antara 21% hingga 38%.2 Namun, data
tersebut masih terbatas pada pasien-pasien yang dirawat inap di rumah sakit, sedangkan sering
kali afasia belum dikenali secara luas sebagai salah satu gejala stroke yang memerlukan
tatalaksana yang cepat dan tepat.2
Kesulitan untuk bicara, namun sebenarnya mengetahui apa yang diinginkannya
untuk mengatakan tetapi tidak dapat mengatakannya, dapat menimbulkan perasaan frustrasi
serta emosi yang kompleks. Kemarahan adalah salah satu komponen penting dari frustasi yang
dialami oleh penderita afasia. Sikap negatif yang tidak masuk akal dan ledakan amarah yang
sering kali sulit diterima oleh siapa pun, tetapi sangat sulit bagi keluarga. Frustrasi dan
kemarahan harus dianggap sebagai komplikasi potensial yang signifikan sehingga perlu
mendapatkan perhatian khusus dan mempertimbangkan untuk dilakukan psikoterapi.2
Prinsip terapi yang diberikan pada penderita afasia adalah bertujuan untuk
meningkatkan fungsi bahasa dan terdiri dari prosedur di mana dokter secara langsung
merangsang keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Selain itu
supported conversation dalam hal ini adalah keluarga maupun pengasuh, terapi ini
dimaksudkan untuk meningkatkan komunikasi dan memberikan dukungan terhadap pasien
agar lebih banyak berinteraksi secara alami.2
Makalah ini akan menjelaskan mengenai sebuah kasus dengan afasia transkortikal
motorik paska stroke hemoragik serta penegakan diagnosis sindrom afasia. Diharapkan
makalah ini dapat membantu mendiagnosis afasia sedini mungkin.

2
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Pasien seorang laki-laki, Tn. BP, berusia 51 tahun, kinan, datang ke IGD RSUPN Cipto
Mangunkusumo dengan keluhan utama kelemahan mendadak tubuh sisi kanan sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit.
Pada 1 hari SMRS, saat itu pasien hendak ke kamar mandi, pasien masih dapat berjalan
sendiri dan tidak ada keluhan. Beberapa saat kemudian pasien ditemukan sudah terjatuh di
kamar mandi, tidak ada yang mengetahui mekanisme pasien terjatuh. Saat coba dibangunkan
oleh keluarga, tampak tubuh sisi kanan pasien lebih lemah dan saat di ajak bicara pasien tampak
kesulitan untuk bicara (mengeluarkan kata-kata), bila mengeluarkan kata-kata keluarga pasien
sulit mengerti. Keluhan penurunan kesadaran, sakit kepala, muntah, kejang disangkal. Pasien
sempat di berikan makan dan minum namun tidak tersedak. Pasien tidak langsung dibawa ke
RS karena saat itu tidak ada yang mengantar.
Keesokan harinya pasien di bawa ke RS Mediros Pulo Gadung, dilakukan CT scan
kepala dikatakan terdapat perdarahan di kepala, karena keterbatasan fasilitas pasien lalau di
rujuk ke RSCM. Saat pasien tiba di IGD rscm kontak pasien baik namun pasien tampak
kesulitan untuk berbicara, hanya dapat bicara 1-2 kata namun sulit dipahami. Keluhan juga
disertai kelemahan tubuh sisi kanan dan mulut mencong. Pasien lalu dirawat di Gedung A
bangsal neurologi selama 12 hari (pulang 08 Juni 2017). Selama perawatan di bangsal pasien
mendapatkan terapi paracetamol 3x500 mg, laxadine 3x10 cc, omeprazole 1x20 mg, valsartan
1x160 mg, HCT 1x25 mg, adalat oros 1x30 mg dan cefixime 2x100 mg. Selama perawatan
hingga pulang keluarga pasien mengatakan keluhan kelemahan tubuh sisi kanan perbaikan
namun keluhan kesulitan bicara masih ada. Pasien kemudian pulang dan direncanakan
pemeriksaan fungsi luhur, carotid duplex, transcranial Doppler dan MRI kepala dari rawat
jalan. Paska perawatan pasien rutin kontrol ke poli saraf rscm setiap bulan.
Pada riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2017, namun
tidak mengkonsumsi obat rutin. Riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit
jantung dan ginjal serta keganasan disangkal. Pada riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan
riwayat keluhan serupa, stroke, hipertensi, diabetes mellitus maupun penyakit jantung.

3
Riwayat merokok, konsumsi alkohol, penggunaan obat terlarang dan promiskuitas
disangkal. Pasien sudah menikah, pendidikan terakhir SMA dan bekerja sebagai karyawan
swasta.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah kanan dan kiri 110/60 mmHg,
frekuensi nadi 70 kali per menit, frekuensi nafas 18 kali per menit, dan suhu 36oC. Status
generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis pasien dengan GCS
(Glasgow coma scale) E4 M6 Vafasia, pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung
dan tidak langsung positif bilateral. Kaku kuduk negatif, Laseque >70o/>70o, Kernig
>135o/>135o, kesan paresis N. VII dan N. XII desktra sentral. Pada pemeriksaan motorik
didapatkan kesan hemiparesis dekstra, dengan kelemahan lengan sama berat dengan tungkai.
Pemeriksaan sensorik dan otonom belum dapat dinilai. Pada pemeriksaan funduskopi
didapatkan papil bulat, batas tegas, berwarna jingga, aa:vv 1:3, crossing sign (+), tidak tampak
perdarahan maupun eksudat, dengan kesan fundus hipertensif okuli dekstra et sinistra.
Selama kontrol di poli saraf RSCM, telah dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang,
antara lain pemeriksaan laboratorium darah, carotid duplex, transcranial Doppler, dan MRI
kepala tanpa kontras. Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil sebagai berikut (Tabel
2.1).

Tabel 2.1. Hasil laboratorium (RSCM, 18 Agustus 2017)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hb 15.7 g/dL 12-15 g/dL SGOT 24 U/L <31 U/L

Ht 43.2 % 36-46% SGPT 30 U/L <33 U/L

Leukosit 8.790 /µL 5.000-10.000/µL PT 10,4 / 11,1 detik

Trombosit 303.000 /µL 150-400x103/µL APTT 30,1 / 33,5 detik

MCV 86.1 fL 80-95 fL Fibrinogen 388,9 mg/dL 136-384 mg/dL

MCH 31.3 pg 27-31 pg HbA1c 5.6 % <5.7 %

MCHC 36.3 g/dL 32-36 g/dL GDP 93 mg/dL < 140 mg/dL

Ureum 49 mg/dL <50 mg/dL Kolesterol total 233 mg/dL < 200 mg/dL

Kreatinin 1.2 mg/dL 0,6-1,2 mg/dL Trigliserida 415 mg/dL < 150 mg/dL

Na 140 mEq/L 132-147 mEq/L HDL 40 mg/dL Rendah < 40


Tinggi ≥ 60

4
K 4,27 mEq/L 3,3 – 5,4 mEq/L LDL 128 mg/dL < 130 mg/dL

Cl 104,3 mEq/L 94-111 mEq/L Hitung jenis B/E/N/L/M: 0,9/5,1/51,8/35,5/6,7

Hasil pemeriksaan MRI kepala tanpa kontras yang dilakukan pada 18 Agustus 201,
menunjukkan perdarahan kronis di kapsula eksterna kiri dan infark lakunar kronis di basal
ganglia kanan. Periventricular dan deep white matter changes bilateral (kriteria Fazekas II) dd/
Neurodegenerative, chronic small vessel ischemia. (Gambar 2.3).

(A) (B)

(C)

Gambar 2.3. MRI kepala tanpa kontras (28 Agustus 2017) – (A) Axial T1, (B) Axial T2, (C) Axial
FLAIR.

Lebih lanjut, pada pemeriksaan Carotid Duplex didapatkan penebalan tunika intima
media sebesar 0,5 mm, sedangkan pada pemeriksaan Transcranial Doppler ditemukan oklusi
distal pada arteri karotis interna kiri dengan aliran kolateral pada arteri serebri anterior dan
media kiri yang berasal dari arteri kontralateralnya.

5
Pasien kemudian menjalani pemeriksaan fungsi luhur, meliputi pemeriksaan MMSE
(mini mental state examination), tes keping, dan TADIR (tes afasia untuk diagnosis, informasi,
dan rehabilitasi). Pada pemeriksaan pertama, pasien tidak dapat menyelesaikan keseluruhan
pemeriksaan karena merasa lelah sehingga dilanjutkan dengan pemeriksaan kedua dengan
jarak empat hari (pada tanggal 19 dan 23 Agustus 2016). Pada pemeriksaan MMSE didapatkan
nilai 14 dari 30, dengan kesalahan pada orientasi (6/10), atensi/kalkulasi (0/5), recall (0/3),
pengertian verbal (1/3), menulis (0/1), konstruksi (0/1). Pemeriksaan tes keping didapatkan
skor 11 dari 36. Hasil profil norma TADIR pertama dan kedua tampak pada Gambar 2.5 di
bawah ini.

Gambar 2.5. Profil norma TADIR, pemeriksaan I (19 Agustus 2016) ditandai lingkaran hitam,
pemeriksaan II (23 Agustus 2016) ditandai lingkaran merah

Diagnosis pada pasien ini ialah dengan diagnosis klinis kesan afasia transkortikal
motorik, paresis N. VII dan N.XII dekstra sentral, dan hemiparesis dekstra. Diagnosis topis
ialah daerah kapsula eksterna kiri. Diagnosis etiologis suspek , dengan diagnosis patologis
infark serebri. Prognosis pada pasien ini ad vitam ialah dubia ad bonam, ad functionam dubia,
ad sanactionam dubia.

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI AFASIA


Afasia adalah gangguan bahasa yang didapat (acquired disorder) akibat kerusakan
pusat bahasa di otak. Kerusakan pusat bahasa di otak ini dapat diakibatkan secara langsung
maupun tak langsung dari penyakit yang melibatkan otak (misalnya stroke, trauma kepala,
ensefalitis, neoplasma otak, dan sebagainya) atau proses degeneratif. Etiologi penyakit otak
yang tersering menyebabkan afasia adalah stroke.3
Stroke merupakan penyakit dengan angka mortalitas dan disabilitas tertinggi di
Indonesia. Berbagai manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat menyebabkan kendala bagi
penderita dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, sehingga ikut mempengaruhi kualitas
hidup pasien selanjutmya. Selain kelemahan ekstremitas, kesulitan berbicara, dan gangguan
memori, gangguan yang sering muncul adalah afasia, yaitu gangguan bahasa atau gangguan
kemampuan menggunakan kata-kata, baik komprehensi maupun ekspresi bahasa.1
Kejadian afasia pada pasien stroke dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas,
penurunan laju pemulihan fungsional, dan penurunan probabilitas pasien untuk kembali
bekerja atau produktif pascastroke jika dibandingkan dengan pasien stroke non-afasik.
Frekuensi terjadinya afasia pada pasien stroke berkisar antara 21% hingga 38%.2 Pada suatu
penelitian di Afrika Selatan, didapatkan tingkat insidensi afasia ialah 1 per 272 penduduk,
dengan berbagai etiologi lesi otak.1 Lebih lanjut, afasia lebih banyak ditemukan pada kasus
stroke dengan etiologi kardioemboli, tetapi tetap dapat didasarkan oleh berbagai mekanisme
penyebab stroke lainnya.2 Namun, data-data ini masih terbatas, mengingat pencatatan hanya
dilakukan pada pasien stroke yang datang berobat ke rumah sakit, sedangkan afasia sering kali
belum dipahami dengan baik oleh masyarakat sebagai salah satu gejala stroke yang perlu segera
ditangani dengan cepat dan tepat.
Berdasarkan hasil dari sebuah studi yang dilakukan terhadap 269 pasien dengan stroke
iskemik, didapatkan prevalensi keseluruhan afasia ialah sebesar 30%. Prevalensi ini meningkat
seiring dengan peningkatan usia, yakni meningkat sebesar 15% pada pasien dengan usia ≥ 85
tahun jika dibandingkan dengan prevalensi pasien berusia ≤ 65 tahun. Di samping itu, pada
penelitian ini tidak didapatkan perbedaan prevalensi pada laki-laki dan perempuan. Lebih
lanjut, sehubungan dengan jenis afasia yang dialami oleh pasien, sebanyak 29% pasien

7
mengalami afasia fluen dan 60% pasien dengan afasia non-fluen dengan etiologi kardioemboli
lebih banyak didapatkan pada pasien dengan afasia dibandingkan pada pasien non-afasik. Pada
pasien afasia, etiologi tersebut didapatkan pada sebanyak 48% pasien.2
Studi lain yang dilakukan oleh Hoffman dan Chen terhadap 2.389 pasien dengan stroke
menunjukkan afasia ditemukan pada 34,8% pasien dengan berbagai tipe afasia. Afasia Broca
didapatkan pada 27,2% pasien, afasia anomik 26,4%, afasia global 19,04%, dan afasia
subkortikal pada 9,12%. Jenis afasia lainnya yang lebih jarang ditemukan ialah afasia
transkortikal, afasia Wernicke, dan pure word deafness. Pada penelitian ini juga menunjukkan
adanya hubungan antara jenis sindrom afasia dengan kecenderungan etiologinya, seperti afasia
anomik yang dihubungkan dengan small vessel disease dan afasia global dengan etiologi
kardioemboli. Lebih lanjut, afasia Wernicke banyak disebabkan oleh stroke akibat
kardioemboli atau stroke hemoragik.4
NEUROANATOMI BAHASA DAN AFASIA
Bahasa didefinisikan sebagai proses encoding dan decoding dari elemen-elemen
semantik dan sintaksis yang digunakan dalam memproduksi dan memahami pemikiran atau ide
yang dimiliki seseorang. Fungsi bahasa dipengaruhi oleh kerja dari kedua hemisfer serebri,
baik hemisfer kiri maupun kanan, dengan peranan yang berbeda-beda. Hemisfer serebri kiri
berfungsi untuk peran linguistis, sedangkan hemisfer kanan dalam hal para- dan
ekstralinguistis. Dengan kata lain, sisi kiri berperan dalam penyusunan tata bahasa dan sisi
kanan mengatur penggunaan bahasa tersebut sesuai dengan situasi (pragmatik). Lokalisasi
fungsi bahasa didapatkan pada hemisfer kiri pada kurang lebih 90% populasi, seperti yang
dinyatakan oleh Broca (area Broca) pada tahun 1861 dan dikonfirmasi oleh Wernicke (area
Wernicke) di tahun 1874.1
Fungsi bahasa terutama memang dipengaruhi oleh hemisfer dominan, dimana sebanyak
90% individu memiliki cekat tangan kanan atau kinan, serta memiliki hemisfer dominan di
hemisfer kiri. Sebanyak 10% individu dengan cekat tangan kiri atau kidal, dimana sebesar 7%
dari 10% ini memiliki hemisfer dominan di hemisfer kiri, sedangkan 3% memiliki hemisfer
dominan di sisi kanan. Jadi, sebanyak 87% individu memiliki hemisfer dominan kiri dan hanya
3% yang memiliki hemisfer dominan di sisi kanan.5
Pada hemisfer kiri terdapat berbagai area yang bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsi bahasa. Area Broca (area Broadmann 44 dan 45) berlokasi di bagian posterior lobus
frontal yang berperan dalam produksi kata-kata dan artikulasi. Area Wernicke (area
Broadmann 22) berlokasi pada lobus temporal superior posterior dan berfungsi untuk proses

8
bahasa, baik bahasa tertulis maupun verbal.1,6 Kedua area ini dihubungkan secara dua arah
(timbale balik) oleh jalur neural yang disebut sebagai fasikulus arkuata (FA). Fasikulus arkuata
merupakan bagian dan ekstensi dari fasikulus longitudinalis superior (FLS) yang mulai berjalan
dari sisi dorsal insula dan menghubungkan lobus frontal dengan lobus parietal, temporal, dan
oksipital. Struktur yang merupakan ekstensi jaras ini berjalan memutari bagian akhir posterior
dari sulkus lateralis (fissura Sylvii) sebelum nantinya berakhir di area Wernicke. Sebagaimana
FLS, FA berjalan ke arah medial dan melintas dekat dengan korpus kalosum sebelum nantinya
kembali ke lateral.7,8 Lebih lanjut, girus angularis (area Broadmann 39) yang berlokasi di
perbatasan lobus temporal, oksipital, dan parietal ini berperan dalam proses masukan auditorik
maupun visual (Gambar 3.1, 3.2). Area lainnya yang juga turut mempengaruhi proses
komprehensi dan produksi bahasa ialah daerah korteks motorik, korteks visual, dan korteks
auditorik.1,6
Hemisfer kanan juga memiliki peran dalam fungsi bahasa, meskipun tidak dominan
seperti pada hemisfer kiri. Hemisfer dekstra berfungsi dalam proses pemahaman kata-kata
sederhana, terutama kata benda, tetapi tidak disertai dengan kemampuan motorik bahasa. Oleh
karena itu, pada pasien yang mengalami kerusakan pada hemisfer kiri tanpa kerusakan pada
hemisfer kanan akan tetap dapat memahami kata-kata sederhana, tetapi tidak dapat menjawab
atau menanggapi kata-kata tersebut. Selain itu, fungsi prosodi, yang mencakup intonasi dan
nada bicara, juga terletak pada lobus temporal dan frontal hemisfer serebri kanan.1,6

Gambar 3.1. Area bahasa pada otak1

9
Gambar 3.2. Anatomi fungsional pada proses bahasa9

KLASIFIKASI SINDROM AFASIA


Defisit pada area Wernicke akan menyebabkan gangguan pada proses encoding bahasa
yang digunakan untuk berbicara dan menulis, yang bermanifestasi pada kesalahan pengeluaran
bahasa, sedangkan lesi pada daerah Broca akan menimbulkan distorsi pada penggunaan bahasa,
serta gangguan motorik, yaitu suara yang tidak lancar atau terbata-bata disertai dengan
ketidaksesuaian tata bahasa. Selain itu, lesi pada jalur neural fasikulus arkuata akan
menyebabkan timbulnya afasia konduksi, yang umum terjadi akibat adanya kelainan pada girus
supramarginal dan area di sekitarnya. Kerusakan girus angularis akan bermanifestasi sebagai
anomia atau afasia nominal karena pada daerah inilah terdapat pusat ingatan terhadap benda-
benda.3 (Gambar 3.3)

Gambar 3.3. Ilustrasi neuroanatomi yang terlibat pada sindrom afasia; 1.a Afasia Global; 1.b Afasia
Transkortikal Campuran; 1.c Afasia Broca; 1.d Afasia Transkortikal Motorik; 1.e Afasia
Wernicke; 1.fAfasia Transkortikal Sensorik; 1.g Afasia Konduksi; dan 1.h Afasia
Anomik.3

10
Setiap sindrom afasia memiliki gejala klinis yang berbeda-beda yang akan membantu
dalam penegakan diagnosis selanjutnya. Pada afasia global, afasia yang ditemui sangat berat,
pasien sulit untuk berbicara, kecuali terkadang satu kalimat otomatis, serta tidak dapat meniru
ucapan, sulit mengerti bahasa orang lain, dan tidak dapat menulis maupun membaca. Pada
afasia Broca, afasia dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Pasien akan mengalami kesulitan
dalam menemukan kata-kata yang tepat dan pasien bicara dengan ragu-ragu atau berjeda dan
kalimat tidak lengkap. Pada umumnya, gangguan menulis setara dengan gangguan bicara,
tetapi pemahaman bahasa lisan maupun tulisan lebih baik.10
Pada afasia Wernicke, komponen yang terutama terganggu ialah pemahaman bahasa
lisan dan tulis, dimana pasien dapat berbicara dengan lancar tetapi menggunakan kata-kata
yang salah. Pada umumnya gangguan menulis juga setara dengan gangguan berbicaranya.
Lebih lanjut, terdapat afasia anomis dimana kesulitan utama pasien ialah dalam menemukan
kata dan memahami kata-kata tertentu. Untuk afasia konduksi, pasien juga dapat berbicara
dengan lancar, tetapi terkesan ragu-ragu karena mencari kata-kata. Namun, gangguan utama
justru terdapat pada saat meniru ucapan, sedangkan pemahaman bahasa lebih baik.10 Pada tabel
3.1 tampak perbandingan gejala klinis pada sindrom-sindrom afasia tersebut.

Tabel 3.1. Perbandingan gejala klinis pada sindrom afasia3

11
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien laki-laki berusia 51 tahun, datang ke poliklinik saraf RSCM dengan keluhan
kelemahan lengan dan tungkai kanan mendadak sejak 1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Pada saat awal onset, pasien juga tampak kesulitan untuk berbicara, seperti sulit mencari kata-
kata, serta tampak kesulitan memahami pembicaraan. Onset gejala yang bersifat mendadak
atau akut mengarahkan pada diagnosis suatu kelainan vaskular atau trauma. Pada pasien tidak
didapatkan riwayat trauma kepala sehingga diagnosis lebih terarah pada kelainan vaskular atau
stroke. Diagnosis ini dikonfirmasi melalui pemeriksaan MRI kepala dimana didapatkan
perdarahan kronis di kapsula eksterna kiri dan infark lakunar kronis di basal ganglia kanan.
Periventricular dan deep white matter changes bilateral (kriteria Fazekas II) dd/
Neurodegenerative, chronic small vessel ischemia.
Selanjutnya, pada pasien didapatkan kesan gangguan bahasa yang perlu dievaluasi
lebih lanjut melalui pemeriksaan fungsi luhur. Pada kasus ini dilakukan beberapa tes, meliputi
MMSE (mini mental state examination), tes keping, dan TADIR (tes afasia untuk diagnosis,
informasi, dan rehabilitasi). Pada pemeriksaan pertama, pasien tidak dapat menyelesaikan
keseluruhan pemeriksaan karena merasa lelah sehingga dilanjutkan dengan pemeriksaan kedua
dengan jarak empat hari (pada tanggal 19 dan 23 Agustus 2016), dimana pada pemeriksaan
TADIR kedua didapatkan kesan perbaikan dibandingakan pemeriksaan sebelumnya. Pada
pemeriksaan MMSE didapatkan nilai 14 dari 30, dengan kesalahan pada orientasi (6/10),
atensi/kalkulasi (0/5), recall (0/3), pengertian verbal (1/3), menulis (0/1), konstruksi (0/1). Pada
saat pemeriksaan MMSE tampak pasien kesulitan dalam memahami pertanyaan dan instruksi
yang diberikan selama pemeriksaan. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan tes keping.
Pemeriksaan tes keping atau token test (TT-36) merupakan pemeriksaan reseptif dengan butir
tugas yang berjumlah 36 dan mempunyai urutan kesulitan secara hierarkis. Tes ini terutama
menilai kemampuan memahami tata bahasa. Pada kasus ini, didapatkan hasil penilaian tes
keping pada pasien ialah 11 dari 36 poin sehingga didapatkan kesan gangguan pemahaman
bahasa pada pasien ini.
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis afasia dilakukan dengan TADIR, dengan
hasil profil norma TADIR sebagai berikut, tampak pada Gambar 4.2.

12
Gambar 4.2. Profil norma TADIR, pemeriksaan I (19 Agustus 2016) ditandai lingkaran hitam,
pemeriksaan II (23 Agustus 2016) ditandai lingkaran merah

Gangguan bahasa (afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri
pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam
bidang neuropsikologi yaitu TADIR (tes afasia untuk diagnosis, inforrnasi, dan rehabilitasi).
Melalui pemeriksaan TADIR dapat dinilai sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian
sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang didasarkan atas
aspek penamaan, kelancaran, pengulangan, dan pemahaman auditif. Lebih lanjut, setiap
sindrom afasia dihubungkan dengan lokasi kerusakan tertentu di otak sehingga pemeriksaan
ini juga bertujuan untuk menentukan topis yang akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
imejing, seperti CT scan atau MRI kepala. Algoritma penentuan jenis sindrom afasia dibedakan
pertama-tama dari kelancaran bicara pasien, seperti tampak pada Gambar 4.3 di bawah ini.

13
Gambar 4.3. Algoritmadiagnosis sindrom afasia fuen dan non-fluen11

Interpretasi pemeriksaan TADIR pertama-tama ialah menentukan apakah pasien


mengalami afasia atau tidak dengan menggunakan skor norma tes ‘menyebut’ dan ‘menamai –
tingkat kata’. Hasil dikatakan terganggu jika skor norma 1-4 dan normal jika skor norma 5.
Diagnosis afasia dapat ditegakkan jika skor pasien terganggu pada kedua tes tersebut. Pada
kasus ini, pada pemeriksaan pertama didapatkan skor norma ‘menyebut’ dan ‘menamai –
tingkat kata’ adalah 4 sehingga dapat didiagnosis sebagai afasia. Tahap selanjutnya adalah
menentukan jenis sindroma afasia pasien.
Penentuan sindrom afasia dilakukan dengan skor subtes skor kelancaran (tidak lancar
atau lancar), skor norma ‘pemahaman bahasa lisan – tingkat kata dan kalimat’, dan skor norma
‘bicara – meniru ucapan. Untuk skor kelancaran, pada umumnya pasien afasia dinilai tidak

14
lancar jika rata-rata menggunakan kurang dari 75 kata per menit dan dikatakan lancar jika rata-
rata mengucapkan 76 kata atau lebih per menit. Hal ini dinilai pada saat pasien diminta untuk
bercerita, dimana pada kasus ini pasien bercerita selama 20 detik dengan menggunakan hanya
18 kata, sehingga pasien bicara sebanyak 54 kata per menit atau kurang dari 75 kata per menit.
Dengan demikian, pasien dinilai tidak lancar untuk skor kelancaran. Tahap selanjutnya ialah
menilai skor norma ‘pemahaman bahasa lisan’ dimana pasien mendapat nilai 4, sedangkan skor
norma ‘meniru ucapan’ pada pasien ialah 2 (pemeriksaan I) dan 3 (pemeriksaan II).
Berdasarkan tahapan penilaian tersebut pada TADIR, pasien masuk ke dalam kategori sindrom
afasia Broca.
Dari hasil pemeriksaan tes keping didapatkan kesan gangguan pemahaman pada pasien,
sedangkan pada pemeriksaan TADIR didapatkan hasil gambaran afasia Broca. Dengan menilai
kedua modalitas pemeriksaan tersebut, dipikirkan kondisi afasia global, yang memang telah
mengalami perbaikan dibandingkan pada saat onset kejadian. Diagnosis ini juga sesuai dengan
hasil pemeriksaan imejing otak yang menunjukkan kerusakan pada teritori arteri serebri media
kiri.
Area Broca mendapat suplai darah dari arteri serebri media segmen M2 divisi superior.
Area Broca bertetangga dengan area Exner yang merupakan pusat menulis dan girus
presentralis yang menjadi pusat motorik primer.3 Oleh karena itu, umumnya gambaran klinis
seorang afasia Broca akan disertai dengan tanda hemiparesis dengan kekuatan lengan lebih
lemah dibandingkan tungkai (mengikuti homonkulus motorik yang diperdarahi arteri serebri
media), serta gangguan menulis. Di samping itu, area Wernicke yang pertama kali
diperkenalkan oleh Carl Wernicke, terletak di lobus superior temporal (Area Broadmann 22)
dan mendapat suplai dari arteri serebri media segmen M2 divisi inferior. Berdekatan dengan
area Wernicke terdapat girus Heschl, pusat membaca (area Broadmann 17 dan 18), serta girus
post sentralis. Jadi, jika terdapat oklusi pada MCA segmen M2 divisi superior akan
bermanifestasi sebagai afasia Broca, sedangkan oklusi pada MCA segmen M2 divisi inferior
akan menimbulkan afasia Wernicke, dan oklusi total pada MCA segmen M1 menyebabkan
afasia global seperti pada kasus ini.
Tatalaksana selanjutnya pada pasien ini akan meliputi rencana pemeriksaan diagnostic
lebih lanjut untuk menentukan etiologi stroke pada pasien, serta mengatasi disabilitas yang
dialami oleh pasien untuk dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Di samping terapi
medikamentosa untuk prevensi stroke sekunder, sangat perlu untuk dilakukan terapi

15
neurorestorasi baik untuk hemiparesis dekstra maupun terapi wicara untuk afasia pasien yang
semakin mengalami perbaikan.
Prognosis pada pasien ini ad vitam ialah dubia ad bonam, ad functionam dubia, ad
sanactionam dubia. Prognosis ad vitam dubia ad bonam karena pada pemeriksaan tidak
didapatkan tanda dan gejala yang mengancam atau berhubungan dengan tingginya angka
mortalitas. Prognosis ad functionam adalah dubia karena sangat bergantung pada
neuroplastisitas otak yang ditunjang dengan latihan-latihan untuk merangsang perbaikan fungsi
motorik maupun bahasa. Prognosis ad sanactionam adalah dubia karena resiko untuk stroke
berulang akan besar jika etiologi belum diketahui secara pasti dan ditangani dengan baik, serta
terkait kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi prevensi stroke sekunder.

16
BAB V
KESIMPULAN

Kejadian afasia pada pasien stroke dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas,
penurunan laju pemulihan fungsional, dan penurunan probabilitas pasien untuk kembali
bekerja atau produktif pascastroke jika dibandingkan dengan pasien stroke non-afasik.
Frekuensi terjadinya afasia pada pasien stroke berkisar antara 21% hingga 38%.2 Namun, data
tersebut masih terbatas pada pasien-pasien yang dirawat inap di rumah sakit, sedangkan sering
kali afasia belum dikenali secara luas sebagai salah satu gejala stroke yang memerlukan
tatalaksana yang cepat dan tepat.
.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Schoeman R, Van der Merwe G. Aphasia, an acquired language disorder. SA Fam Prac
2010; 52(4):308-11.
2. Engelter ST, Gostynski M, Papa S, Frei M, Born C, Gross VA, et al. Epidemiology of
aphasia attributable to first ischemic stroke. Stroke 2006; 37:1379-84.
3. Ramli Y, Prawiroharjo P (eds). Neurobehavior. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
4. Hoffman M, Chen R. The spectrum of aphasia subtypes and etiology in subacute stroke.
J Stroke CVD 2013; 22:1385-92.
5. Gupta A, Singhal G. Understanding aphasia in simplified manner. JIACM 2011;
12(1):32-7.
6. Friederici AD. White-matter pathways for speech and language processing. Handb Clin
Neurol 2015; 129:177-86.
7. Catani M, Mesulam M. The arcuate fasciculus and the disconnection theme in language
and aphasia: history and current state. Cortex. Sep 2008;44(8):953-61.
8. Smits M, Jiskoot LC, Papma JM. White matter tracts of speech and language. Semin
Ultrasound CT MR 2014; 35(5): 504-16.
9. Hickok G. The functional neuroanatomy of language. Phys Life Rev 2009; 6(3):121-
43.
10. Dharmaperwira-Prins RI. Tes afasia untuk diagnosis, informasi, dan rehabilitasi.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1996.
11. Kirshner HS. Language and Speech Disorders: Aphasia and Aphasic Syndromes. In:
Neurology in Clinical Practice: Principles of Diagnosis and Management. Taylor and
Francis. 2004;1(12A):131-148..

18

Anda mungkin juga menyukai