OLEH :
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
BAB I
KONSEP MEDIS
EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak lebih
dari 24 jam. Pada tahun 2005, International League Against Epilepsy (ILAE)
mulai membuat usulan definisi baru, dan pada tahun 2014 definisi baru
tersebut telah disetujui yaitu: bahwa epilepsy adalah penyakit otak yang
ditandai oleh (1) Paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih
dari 24 jam, (2) satu bangkitan kejang spontan first unprovoked seizure (FUS)
disertai kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun
berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom
epilepsi [CITATION Fir15 \l 1033 ].
B. Etiologi
Etiologi dari epilsi dalam Rianawati & Munir (2017) dapat dibagi menjadi
beberapa kategori:
1. Epilepsy idiopatik
a. Epilepsy murni karena kelainan gen tunggal pada benign familial
neonatal convulisions, autosomal dominant nocturnal frontal lobe
epilepsy, servere myoclonic epilepsy of childhood, beningn adult
familial myoclonic epilepsy.
b. Epilepsi murni dengan fator keturunan yang kompleks misalnya pada
iidiopathicgeneralizes epilepsi (dan subtipenya), beningn partial
epilepsies of childhood.
2. Epilepsi simptomatik, dominan penyebab genetic atau perkembangan
a. Sindrom epilepsy pada anak pada sindrom Lenture-Gastaur, sindrom
west.
b. Epilepsi miokanik progresif pada Urever ichr-Lundborg disease, dentate-
rubri-pallido-luysian atrophy, lafora body disease.
c. Sindrom neurokutaneus pada tuberous sclerosis neurofibromatosis,
sturge-weber syndrome.
d. Kelainan neurologis karena gen tunggal pada angelman syndrome,
kelainan lisosom, penyakit Wilson, rett syndrome, gangguan metabolism
cobalmin dan folat.
e. Gangguan fungsi kromosom pada Down Syndrom, Fragile X syndrome,
isodicentric chromosome, arachnoid cyst.
3. Epilepsi siptomatik, domain penyebab didapat;
a. Sklerosisi hipokampus
b. Penyebab perinatal dan infantile misalnya kejang neonatal, kejang post
neonatal, cerebral palsy, vaksinasi danimunisasi.
c. Trauma Kepala misalnya trauma kepala terbuka, trauma kepala tertutup,
oprasi saraf, epilepsi setelah operasi, trauma kepala bayi
d. Tumor otak misalnya glioma, ganglionglioma, dan hematoma,
meningioma, trauma skunder.
e. Infeksi otak misalnya meningitis dan ensefalitis viral, meningitis bakteri,
dan abses, malaria, neurosistiserkosis, tuberkolosis, HIV
f. Penyakit serebrovaskuler misalnya perdarahan intraserebral, infrak
serebri, penyakit vascular degenerattif, AVM, hemangioma kanvernosus
g. Kelainan imunologi otak misalnya Rasmusen, enserfalitis, kelainan
inflamasi dan imunologi.
h. Kondisi degenerative dan kelainan neurologi lain misalnya alzhaimer
dan penyakit dimensia lain multiplesklerosis dan penyakit dermylinisasi
lain.
4. Epilepsi yang diprofokasi
a. Faktor yang memprovokasi yaitu demam, siklus menstrual, dan epilepsi
katamenial, siklus bangun tidur, bangkitan yang diinduksi obat,
bangkitan yang diinduksi alcohol dan toksik.
b. reflek epilepsi yaitu fotosensitif, epilepsi yang diinduksi berkeedip,
epilepsi membaca, epilepsi yang diinduksi auditorik, epilepsi makan,
epilepsi panas
5. Epilepsi kriptogenik
C. Manifestasi Klinik
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial memilki onset pada satu bagian otak yang
meneyebabkan gejala misalnya gerak pada tangan atau wajah, perubahan
sensorik, atau gejalah fokal pada perubahan memori pada bangkitan parsial
kompleks dengan perubahan kesadaran atau memori.
Bangkitan parsial sederhana dapat berupa bangkitan motorik dengan
gerakan, sensai abnormal, gangguan penglihatan, pendengaran dan
penciuman, dan gangguan persepsi. Aktivitas bangkitan bias meluas ke
sisitem saraf otonom menyebabkan flushing, kesemutan atau mual. Semua
bangkitan parsial sederhana harus memiliki kesadaran yang penuh dan bisa
diingat sempurna oleh pasien [ CITATION Ria17 \l 1033 ].
2. Bangktan parsial kompleks
Bangkitan parsial kompleks atau disebut dengan psikomotor,
bangkitan lobus temporalis atau bangkitan limbik bias didapatkan aura
yang muncul sebelum bangkitan, biasanya berupa perasaan yang familiar
(de javu), mual, rasa panas atau kesemutan atau gangguan persepsi
sensorik. Sekitar setengah pasien tidak mengingat adanya aura. Ketika
bangkitan terjadi bangkitan parsial kompleks pasien bias melakukan
aktifitas otomatis misalnya mengambil baju, berjalan atanpa arah, atau
mengatakan kalimat berulang-ulang. Aktifitas yang tidak bertujuan disebut
automatisme. Sekitar 75% pasien bangkitan parsial kompleks memiliki
automatisme [ CITATION Ria17 \l 1033 ].
3. Bangkitan umum
Bangkitan umum dimulai dari kedua sisi otak. Para ahli percaya bahwa
bangkitan umum berasal dari struktur otak dalam kemudian ke permukaan
kortikal dimana bangkitan muncul secara simultan. Bangkitan umum
diklasifikasikan sebagai :
a. Bangkitan absans/ bangkitan petit mal. Biasanya onsetnya saat anak-
anak, namun bisa persisten sampai dewas. Biasanya diawali dengan
melamun kadang disertai kelopak mata berkedip-kedip atau kepala
menagangguk-angguk. Biasanya bangkitan absans lebih cepat dan
kembali ke normal .
b. Bangkitan tonik klonik
Bangkitan umum tonik klonik disebut sebagai grand mal. Bangkitan ini
dimulai hilangnya kesadaran mendadak dan aktivitas ini dimulai dengan
hilangnya kesadaran mendadak dan aktivitas tonik (kaku) diikitu dengan
aktivitas klonik (hentakan ritmis) dari ekstremitas. Mata pasien melirik
ke atas saat awal bangkitan dan pasien dan pasien seperti menangis
bukan karena nyeri tapi kontraksi otoot respirasi melawan tenggorokan
yang tertutup. Bangkitan ini biasanya berlangsung 1-3 menit dan
setelahnya pasien akan mengantuk dan bingung selama beberapa jam.
c. Bangkitan umum sekunder.
Bangkitan yang dimulai fokal lalu menyebar ke seluruh otak yang
menyebabkan tonik klonik sangat penting. Dsangat penting untuk
membedakan bangkitan ini yamana ini adalah grand mal yang
sesungguhnya bentuk umum awal. Bangkitan umum skunder bersal dari
bagian otak yang abnormal.
d. Bangkitan atonik
Bagkitan ini biasanya tirjadi pada anak atau dewasa dengan jejas pada
otak. Pasien dengan bangkitan ini tiba-tiba lemas dan jatuh ke lantai.
e. Bangkitan mioklonik
Bangkitan miokonik adalah bangkitan dengan hentakan serial yang tidak
simitris hentakan pada bangkitan tonik-klonik.
f. Bangkitan tonik
Bangkitan tonik berupa kekakuan otot sebagai manifestasi primer. Pada
bangkitan ini kesadaran bias intak maupun hilang. Tidak ada fase klonik
(menghentak).
4. Bangkitan campuran
Pasien bias memiliki lebih dari satu jenis bangkitan. bangkitan parsial
sederhana bias berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks (ketika
pasien menjadi bingung), lalu menjadi bangkitan umum tonik klonik
(ketika aktvitas elektrik meluas keseluruh otak).
5. Bangkitan yang tidak terklasifikasi
Kategori ini meliputi semua bangkitan yang tidak diklasifikasikan karena
keterbatasan data [ CITATION Ria17 \l 1033 ].
D. Komplikasi
Epilepsi pada anak dapat tejadi karena gen atau kejang yang
berulang. Komplikasi dari epliepsi pada anak yakni gangguan tumbuh-
kembang (kelainan neurologis) dijumpai pada 25% kasus, 39,1% di
antaranya menderita palsi serebral. Gangguan tumbuh kembang tersebut,
sebagian besar pada pasien epilepsi simtomatik dan kriptogenik [ CITATION
IGu11 \l 1033 ].
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboraturium
Perlu diperiksa laboraturium untuk mencari penyebab yang mendasari
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu darah lengkap meliputi
hitung jenis dan trombosit, kimia darah, meliputi elektrolit, kalisium,
fungsi hati dan ginjal dan urinalisi rutin. Peningkatan kadar prolatin yang
diambil dalam 20 menit setelah episode iktal dibandingkan.
2. Lumbal pungsi
Lumbal pungsi bukan pemeriksaan rutin kecuali pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik menandakan adanya kelainan yang bias ditegakkan dan
pemeriksaan fidik menandakan adanya kelainan yang bias ditegakkan
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Lumbal pungsi yang dilakuakan
setelah bangkitan umum tonik-klonik bias menunjukkan pleiositosis ringan
karena bangkitan bukan karena adanya inflamasi di intrakranisal.
Peningkatan kadar glutamin ada cairan serebrospinal dengan kadar
ammonia serum normal bias menunjukkan adanya valproate-related
hyperammonemic encerpalopathy.
3. Pemeriksaan genetik
Beberapa sindrom epilepsi genetik bias diperiksa dengan pemeriksaan
genetic terutama pada ensepalopati epileptic dimana terdapat mutasi pada
gen SCNIA (sindrom dravet).
4. Elektrosepalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG rutin masih menjadi pemeriksaan yang paling
informative pada diagnosis epilepsi namun seringkali salah dalam
penggunaanya. Prosedur EEG harus dilakukan untuk menjawab pertanyaan
spesifik mengenai nilai terapi dan prognosis. Karena pemeriksaan EEG
merupakan pemeriksaan non infasis dan tidak mahal maka pada semua
pasien epilepsy atau dicurigai epilepsi harus dilakukan minimal 1x
pemeriksaan EEG untuk menilai jika nanti ada perubahan dalam klinis
pasien. Diagnosis epilepsi ditegakkan secara klinis maka pemeriksaan EEG
berulang hanya dilakukan jika hasilnya kemungkinan akan merubah
tatalaksana pasien atau untuk mencari informasi prognosis baru. Tidak ada
batasan mengenai pengulangan EEG rutin dalam interval tertentu.
Jika pada pemeriksaan yang telah dilakukan tetap didapatkan keraguan
dalam klinis pasien maka akan dialkukan viseo EEG, monitoring (VEM
atau long trem monitoring, atau intensive neurodiagnostic monitoring)
untuk menentukan apakahpasien menderita epilepsy, mendiagnosis jenis
bangkitan, menilai karakter pola dari terjadinya bangkitan atau,
melokalisasi zona epileprogenik yang bias dihilangakan secara operatif.
5. Magnetoencepalografi (MEG)
Magnetoencepalografi menggunakan superconducting quantum
interference device (SQUID) untuk merekam gelombang magnet yang
disebabkan adanya aliran pada otak. Transien MEG seperti epilepfrome
spike dapat diukur dengan teknik diman perubbahan transien ini bias
dilokalisasi dalam tiga dimensi dan ditentukan arah alirannya. Keuntungan
MEG adalah kedalaman generator bias ditentukan dengan mudah dan
signalnya tidak dipengaruhi tengkorak. MEG terutama mengukur adanya
tangesial aliran permukaan otak.
6. Trancranial Magnetic Stimulation (TMS)
Pemeriksaan TMS adalah metode non invasive dengan menstimulasi otak
dengan elemen neuronal yang berpolarisasi secara langung melalui
hamparan magnet. Digunakan sebagai ukuran hamparan magnet untuk
menstimulasi area otak untuk pemetaaan fungsi kortikal dan ekstabilitas
kortikal.
7. Pencitraan struktural
Pencitraan structural dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
umumnya dilakukan untuk konfirmasi diagnosis atau menurunkan
kemungkinan adanya peneyebab yang bisa diatasi pada pasien dengan
bangkitan epileptik rekuren kronis. Pemeriksaan MRI rutin seringkali
memiliki hasil normal pada pasien dengan abnormalitas epileptic tipikal
seperti sclerosis hipokampus dan malformation of cortical development
(MCD).
Jika MRI tidak tersedia atau didapatkan kontadiksi maka bisa
dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk mencari proses patologis
intraaserebri yang meneyebabkan terjadinya bangkitan epilepsi. CT Scan
juga berguna untuk mendeteksi adanya klasifikasi serebri yang tidak
terlihat pada MRI [ CITATION Ria17 \l 1033 ].
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus epilepsi yakni :
1. Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah bebas kejang tanpa adanya efek
samping. Pemilihan obat antiepilepsi harus dipertimbangkan berdasarkan
jenis kejang atau sindrom epilepsi dan toleransi dari pasien.
Pilihan obat antiepilepsi berdassarkan Guideline CHFT 2011 dalam
Rianawati & Munir (2017) sebagai berikut :
a. Bangkitan fokal dan umum : karbamazepin, lamotrigin, levetiracetam,
oxcarbazepin, asam valproat.
b. Bangkitan umum primer : asam valproat, lamotrigin
c. Jenis bangkitan yang tidak pasti : asam valaproat, lamotrigin
Dalam pemilihan obat antiepilepsi harus diperhatikan efek sampaing
dan interaksi obat terhantung masing-masing individu. Pada pasien lansia
biasanya lebih sensitive terhadap efek samping sehingga direkomendasikan
dosis sekecil mungkin dengan menghindari neurotoksisitas. Terdapat
perbedaan untuk bangkitan umum tonik-klonik primer dan skunder karena
beberapa obat antiepilepsi bisa mengeksaserbasi bangkitan tonik-klonik
primer dan skunder karena bebrapa obat antiepilepsi bisa mengeksaserbasi
bangkitan tonik-klonik primer namun malah efektif untuk bangkitan
skunder.
Selain itu ada, Terapi epilepsi dimulai dengan monoterapi
menggunakan oabt antiepilepsi (OAE) yang dipilih sesuai jenis bangkitan
dan jenis sindrom epilepsi, kondisi penderita dan ketersediaan obat. 20
Penghentian OAE pada penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah
bebas kejang selama minimal dua tahun dan gambaran EEG tidak
didapatkan kelainan. Penghentian OAE dimulai dari satu OAE yang bukan
OAE utama, dengan penurunandosis yang dilakukan secara bertahap, yaitu
dosis diturunkan 25 % dari dosis semulasetiap bulan dalam jangka waktu 6
bulan. Sedangkan pada penderita yang tidak terkontrol dengan OAE tapi
tidak memenuhi persyaratan pembedahan dapat disarankan penggunaan
vagal nerve stimulator (VNS), yaitu alat serupa pacemaker yang ditanam
dibawah kulit didekat nervus vagus, yang berguna untuk mengontrol
kejang, terutama jenis kejang dengan manifestasi berupa gerakan
mengunyah atau mengecap. Mekanisme kerja alat ini belum diketahui
secara pasti, namun efektivitasnya hampir sama dengan OAE walaupun
tidak menjamin penderita bebas kejang sepenuhnya. Keuntungan alat ini
adalah tidak menimbulkan gejala neurotoksisitas seperti halnya OAE. Efek
samping yang dapat terjadi berupa batuk, suara serak, bradikardi dan apnoe
pada saat tidur [ CITATION Ver14 \l 1033 ].
Terapi diet ketogenik sangat dianjurkan untuk penderita epilepsi,
pertamakali diperkenalkan pada tahun 1920. Diet ketogenik merupakan
diet rendah gula dan protein namun mengandung lemak yang tinggi.
Komposisi nutrisi yang terdapat dalam diet ketogenik menyebabkan
pembakaran lemak yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar keton
dalam darah. Telah diketahui sebelumnya bahwa keton dapat
meminimalkan rangsangan pada sistem saraf pusat. Kelemahan dari terapi
diet ini adalah sering terjadi gangguan pencernaan seperti mual dan diare,
malnutrisi dan pembentukan batu saluran kemih karena diet ini seringkali
mengandung asam urat tinggi. Terapi diet ini dapat menurunkan kejadian
kejang sebesar 25-50 % [ CITATION Ver14 \l 1033 ].
2. Obat antiepilepsi yang direkomendasikan sebagai lini pertama terapi orang
dewasa
a. Carbamazepine
b. Gabapentin
c. Lamotrigine
d. Oxcarbazepine
e. Phenobarbital
f. Phenytoin
g. Topiramet
h. Valproat
Pemberian obat antiepilepsi dimulai dari titrasi dari dosisi terendah
yang bisa memberikan kondisi bebas kejang. Karena setiap individu
bervariasai maka direkomendasikan pemberian dosis awal yang umumnya
bisa efektif pada sebagian orang. Misalnya karbamazepin pada dosisi
400mg/hari, levetiracetam 1000 mg/hari, valproal 600-100 mg/hari
Sekitar 50% penderita dewasa dapat bebas kejang tanpa didapatkan
efek samping pada pemberian obat antiepilepsi pertama. Namun jika obat
pertama harus dihentikan karena adanya efek samping, maka pemberian obat
kedua harus hati-hati dengan menghindari obat yang berpotensi bereaksi
saling silang untuk rekasi yang sama. Jika obat pertama gagal karna kurang
efektif dengan diagnosis maksimal, maka langkah pertama adalah mencari
apakah ada ketidakpatuhan dalam minum obat, menilai ulang diagnosis dan
terapi awal yang diberikan [ CITATION Ria17 \l 1033 ].
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pemeriksaan fisik
terhadap pin prick, atau adanya defisit sensorik khusus seperti total
kongnitif
B. Diagnosa Keperawatan
Hiperaktifitas neuron
Refleks menelan
Rusak suatu area dari Hipoksia jaringan Otak
lemah
jaringan otak Peningkatan
pengeluaran energi
istrik Menutup saluran
Hipoksia jaringan
trakea
Kebutuhan energi
meningkat Adanya obstruksi jalan
Hipoventilasi
napas
Ketidakefektifan Metabolisme
Persepsi sensori meningkat Bersihan jalan napas Ketidakefektifan pola
tidak efektif napas
Pengeluaraan
Nyeri Akut Gangguan kesadaran energyilistrik oleh sel-
sel saraf motorik