Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN ANAK DENGAN MASALAH EPILEPSI DI


RUANG TULIP RSU ANWAR MEDIKA KRIAN

DISUSUN OLEH :
RUCI NURUL
YUDIAWATI NIM :
202203128

PROGRAM STUDI PROFESI


NERS UNIVERSITAS BINA
SEHAT PPNI MOJOKERTO
OKTOBER, 2022
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat
spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai
modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal
dari irama. Istilah epilepsitidak boleh digunakan untuk bangkitan yang
terjadi hanya sekali saja, bangkitan yang terjadi selama penyakit akut
berlangsung, dan occasional provoked seizures misalnya kejang atau
bangkitan pada hipoglikemi (Ambarwati & Nasution, 2015).

2. Etiologi
Berikut ini adalah daftar penyebab atau faktor resiko epilepsi :
a. Idiopatik (Penyebab tidak diketahui)
1) Terjadi pada umur berapa saja, terutama kelompok umur 5-20 tahun
2) Tidak ada kelainan neurologik
3) Ada riwayat epilepsi pada keluarganya
b. Efek Kongenital dan Cidera Perinatal
1) Munculnya bangkitan pada usia bayi atau anak-anak
c. Kelainan Metabolik
1) Terjadi pada umur berapa saja
2) Kompikasi dari Diabetes Melitus
3) Ketidakseimbangan Elektrolit
4) Gagal Ginjal, Urenia
5) Defisiensi Nutrisi
6) Intoksikasi Alkohol atau Obat-obatan
d. Trauma kepala
1) Terjadi pada umur berapa saja, terutama pada dewasa muda
2) Terutama pada kontusio cerebri
3) Munculnya bangkitan biasanya 2 tahun pasca cidera
4) Bila muncul awal (2 minggu pasca cidera) biasanya tidak
menjadi kronis
e. Tumor dan Proses Desak Ruang Lainnya
1) Terjadi pada umur berapa saja, terutama umur diatas 30 tahun
2) Pada awalnya berupa bangkitan parsial
3) Kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik clonik
f. Gangguan Kardiovaskuler
1) Terutama karena stroke dan pada lanjut usia infeksi
2) Dapat terjadi pada umur berpa saja
3) Mungkin bersifat reversible
g. Infeksi
1) Dalam bentuk ensefalitis, meningitis, abses.
2) Dapat merupakan akibat dari infeksi berat di bagian lain
3) Infeksi kronis (sifilis)
4) Komplikasi dari AIDS
h. Penyakit Degeneratif
1) Terutama pada lanjut usia
2) Dimensia Alzheimer (Ambarwati & Nasution, 2015).

3. Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi yang saat ini dianut adalah klasifikasi epilepsi
berdasarkan International Laegue Against Epilepsy (ILAE) 2017.
Klasifikasi ini terdiri dari 3 tingkatan di mana tingkatan ini dirancang untuk
melayani pengelompokan epilepsi di lingkungan klinis yang berbeda.
Klasifikasi ini memungkinan penentuan etiologi penyebab epilepsi sudah
mulai dipikirkan pada saat pertama kali kejang epilepsididiagnosis.
Tabel Klasifikasi Epilepsi berdasarkan ILAE 2017
a. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG,
Imaging, video)
1) Onset Fokal
2) Onset General
3) Unknown Onset
b. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan
akses pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi)
1) Onset Fokal
2) Onset General
3) Combine focal and general onset
4) Unknown Onset
c. Berdasarkan sindrom epilepsi
Ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan
gambaran EEG atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti
dengan gambaran usia, variasi diurnal, trigger tertentu, dan
terkadang
prognosis.
Sumber : Scheffer, dkk. Classification of the epilepsies, 2017

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against


Epilepsi (2017):
a. Bangkitan parsial
1) Bangkitan parsial sederhana
a) Motorik
b) Sensorik
c) Otonom
d) Psikis
2) Bangkitan parsial kompleks
a) Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
b) Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat
awal bangkitan
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum
sekunder
a) Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian
menjadi umumtonik-klonik
b. Bangkitan Umum
a) Absans (lena)
b) Mioklonik
c) Klonik
d) Tonik
e) Tonik-klonik
f) Atonik
g) Tak tergolongkan

4. Manifestasi Klinis
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi :
a. Kejang umum (generalized seizure) ; jika aktivasi terjadi pada kedua
hamisfer otaksecara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas :
1) Tonic-clonic convulsion (Grand Mal)
Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh,
kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis,
ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian
diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
2) Abscense attacks / lena (Petit Mal)
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak
atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya
berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiaannya cuma
beberapa detik, dan bahkan sering tidakdisadari.
3) Myoclonic Seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien
mengalami sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama (tapi non-
epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
4) Atonic Seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, bisa
segerarecovered.
b. Kejang parsial / fokal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang
parsialterbagi menjadi :
1) Simple partial seizures
Pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada
bagiantertentu dari tubuh.
2) Complex partial seizures
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: Gerakan
mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran. (Nurarif &
Kusuma, 2016).

5. Patofisiologi
Proses terjadinya kejang memperlihatkan beberapa proses
biokimiawi yaitu:
a. Instabilitas membran sel saraf sehingga sel saraf mudah mengalami
pengaktifan
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang kemampuan untuk
melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan
muatan secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang
waktu dalamrepolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau difisiasi GABA (Gamma Amino Bitiric Acid).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan ini menyebabkan
neurotransmitter eksitatorik berlebihan atau penurunan neurotransmitter
inhibitorik. (dr. Badrul Munir Sp.S, 2015).
PATHWAY

6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. DL, Eletrolit, LED, fungsi liver, fungsi ginjal.
c. BGA dan lain lain
d. Pemeriksaan Elektro-Ensefalografi (EEG)
e. Pemeriksaan pencitraan otak (Brain Imaging) CT-Scan MRI untuk
melihat apakahada kelainan structural di otak. (dr. Badrul Munir
Sp.S, 2015).

7. Penatalaksanaan
Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Faktor pencetus bangkitan dapat dihindari (misal: alkohol, stres,
kurang tidur)
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam setahun
d. Penderita dan keluarga sudah dijelaskan tujuan pengobatan dan efek
samping dariOAE. (dr. Badrul Munir Sp. S, 2015).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama, suku
bangsa, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan.
b) Keluhan Utama Klien
Pada anamnese ini yang perlu dikaji adalah apa yang diperlukan
pada saat itu seperti yang sering menjadi alasan klien adalah
terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkatkesadaran.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam pengkajian ini meliputi riwayat terjadinya seperti kapan
mulai serangan, stimulus yang menyebabkan respon kejang, dan
seberapa jauh saat kejang dengan respon fisik dan psikologis
klien. Apakah sebelumnya klien pernah mengalamitrauma kepala
dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta pertolongan
setelah mengalami keluhan. Tanyakan tentang pemakaian obat
sebelumnya seperti obat- obatan antikonvulsan, antipiretik dan
lain-lain.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami
keadaan yang sama seperti sekarang, seperti mengalami kejang
berulang).
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit
saraf, dan penyakit lainnya.
2) Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan
serangankejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi
yang akan datang.
a) Aktivitas dan Istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain.
Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan
involunter,kontraksi otot.
b) Sirkulasi
Gejala yaitu hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
c) Eliminasi
Gejala yaitu inkontinensia ditandai dengan peningkatan tekanan
kandung kemih, dan tonus sfingter.
d) Makanan dan Cairan
Gejala yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah
yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Ditandai dengan
kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang)
e) Neurosensori
Gejala riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusingdan
riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi serebral.
f) Nyeri dan Kenyamanan
Gejala yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal,
ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-hati, distraksi,
perubahah tonus otot.
g) Pernafasan
Gejala yaitu gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat dan
dangkal, peningkatan sekresi mukus, fase postikal apnea.
h) Keamanan
Riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi. Ditandai dengan trauma
pada jaringan lunak, penurunan kesadaran, kekuatan tonus otot
secara menyuluruh.
i) Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan sosial melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
3. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum Klien
Pada pengkajian fisik secara umum sering didapatkan pada awal
pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun.
Pada kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanyapenurunan
kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang
bagaimana kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau
aktivitas, berapa lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang
menimbulkan peristiwa, status poskial, lamanya waktu klien
untuk kembali kejang, adanya inkontinen selama kejang.
b) Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B yaitu:
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan
pada klien epilepsy disertai adanya gangguan pada sistem
pernapasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan
pada klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah
mengalami syok.
3) B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan
lebih lengkap dibandingkan pengakjian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran: Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitive untuk
disfungsi sistem persarafan.
Fungsi serebral, status moral: observasi penampilan dan
tingkah laku, nilai gaya bicara, dan observasi ekspresi wajah,
aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya
mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan
perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
epilepsi menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya
penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum
sehingga mengganggu aktifitas perawatan diri.

2. Diagnosa Keperawatan (SDKI)


a. (D.0136) Risiko cedera ditandai dengan perubahan fungsi kognitif
b. (D.0001) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
akumulasi sekret
c. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisiologis
d. (D.0017) Risiko perfusi serebral tidak efektif ditandai
denganembolisme
3. Intervensi Keperawatan

No SDKI SLKI SIKI


1. D.0136 L.06050 I.14542
Resiko Cedera Kontrol Kejang Meningkat Pencegahan Kejang
Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
keperawatan selama x24 jam 1. Monitor status neurologis
diharapkan masalah risiko cidera pasien 2. Monitor tanda-tanda
menurun dengan kriteria hasil : vital Terapeutik
a. Kemampuan mengidentifikasi 1. Baringkan pasien agar tidak terjatuh
faktor risiko kejang 2. Rendahkan ketinggian tempat tidur
meningkat 3. Pasang side-rail tempat tidur
b. Kemampuan mencegah faktor 4. Berikan alas empuk dibawah kepala, jika
risiko kejang memungkinkan
c. Mendapatkan obat yang 5. Jauhkan benda-benda berbahaya terutamabenda tajam
dibutuhkanmenurun 6. Sediakan suction di samping tempat
d. Melaporkan frekuensi tidur Kolaborasi
kejang menurun 1. Kolaborasi pemberian antikonvulsan, jikaperlu
2. D.0001 L.01001 I.01011
Bersihan Jalan Napas Bersihan Jalan Napas Membaik Manajemen Jalan Napas
Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
keperawatan selama x24 jam 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
diharapkan masalah bersihan jalan usaha napas)
napas pasien membaik dengan kriteria 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurling,
hasil : mengi, wheezing, ronkhi kering)
a. Batuk efektif meningkat 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b. Produksi sputum menurun
c. Frekuensi napas membaik Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan heat-tilt
dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
2. Posisi semi – fowler atau fowler
3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
4. Berikan oksigen, jika perlu

3. D.0077 L.08066 I.08238


Nyeri akut Tingkat Nyeri Menurun Manajemen Nyeri
Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
keperawatan selama x24 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
diharapkan masalah nyeri akut pasien durasi,frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
menurun dengankriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyerimenurun 3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
2. Meringismenurun 4. Monitor efek samping penggunaan analgetik
3. Sikap protektif menurun 5. Monitor keberhasilan terapi komplementeryang sudah
4. Vital sign membaik diberikan
5. Pola tidur membaik Terapeutik
6. Fasilitasi istirahat tidur
7. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (misal:
suhu ruangan, pencahayaan dankebisingan).
Kolaborasi
8. Pemberian analgetik, jika perlu
4. D.0017 L.02014 I.06194
Risiko Perfusi Perfusi Selebral Membaik Manajemen Peningkatan TekananIntrakranial
Serebral Tidak Setelah dilakukan tindakan asuhan Observasi
Efektif keperawatan selama x24 jam diharapkan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi,
masalah risiko perfusi jaringan serebral gangguan metabolisme, edemaserebral)
pasien membaik dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan
a. Tingkat kesadaran meningkat darah meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia,
b. Sakit kepala menurun pola napas ireguler, kesadaran menurun)
c. Kesadaran membaik 3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
d. Nilai rata – rata tekanan 4. Monitor status pernapsan
darah membaik 5. Monitor intake dan ouput
cairan Terapeutik
1. Minimalkan stimulus
dengan menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Hindari menggunaan PEEP
5. Cegah terjadinya kejang
6. Pertahankan suhu tubuh normal
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta : EGC.

Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2015. Penegakan Diagnosis


Pada Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Dianostik,Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran keperawatan Indonesia: Definisi dan Hasil


Keperawatan, Edisi. Jakarta: DPP PPNI.

Subentar, M. 2015. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Dengan


Epilepsi. Program Sarjana Keperawatan Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai