Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH OBAT ANTIKONVULSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

PSDKU BANYUWANGI
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………..……2


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………...….2
1.3 Tujuan …………………………………………………………………..….2

BAB II

PEMBUKAAN
2.1 Pengertian Konvulsi…………………………………………………………4
2.2 Mekanisme Terjadinya Konvulsi………………………………………......5
2.3 Interaksi Obat……………………………………………………………….17
2.4 Efek Samping Obat…………………………………………………………20

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan ………………………………………………………………………...23
Saran………………………………………………………………………………..23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...24

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai pada hari ini, banyak manusia dan hewan yang sering mengalami

konvulsi. Penyebabnya bervariasi, baik karena penyakit keturunan atau karena

suatu penyakit yang muncul saat mulai dewasa. Penyebab konvulsi adalah

pelepasan muatan listrik yang cepat, mendadak dan berlebihan pada neuron –

neuron tertentu dalam otak yang diakibatkan antara lain trauma pada kepala,

encephalitis, penghentian obat depresan secara tiba – tiba, tumor, arterioskeloris,

dan demam tinggi.

Terapi untuk konvulsi menggunakan terapi farmakologis dengan obat

antikonvulsan. Obat antikonvulsan atau antiepilepsi adalah obat – obatan yang

dapat mengurangi atau menghilangkan gejala epilepsi. Konvulsi atau kejang di

Indonesia lebih dikenal dengan nama ayan, adalah gangguan neuron yang timbul

secara tiba – tiba dan berkala, biasanya disertai perubahan kesadaran.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana mekanisme terjadinya konvulsi?

1.2.2 Bagaimana mekanisme kerja obat antikonvulsan bekerja?

1.2.3 Bagaimana interaksi obat antikonvulsan ?

1.2.4 Bagaimana efek samping dari obat antikonvulsan ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui mekanisme terjadinya konvulsi

1.3.2 Mengetahui mekanisme kerja obat antikonvulsan

1.3.3 Mengetahui interaksi obat antikonvulsan

1.3.4 Mengetahui efek samping obat antikonvulsan

2
BAB II

` PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konvulsi

Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John

Hunghings Jackson yang dikenal sebagai bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi

di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang – kadang, secara tiba – tiba,

berlebihan dan cepat. Letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal di

sekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan

beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar

diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan (Hendra dan Vincent 2007).

Epilepsi secara fisiologik merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas

elektrik yang berlebihan dan periodik dari neuron serebrum yang dapat

menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunteer, fenomena sensorik

abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis (Samekto dan

Abdul, 2001).

Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan

neuron pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat (disebut

bangkitan berulang atau reccuent seizure) dengan gejala utama kesadaran menurun

sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang, hiperaktivitas otonomik,

gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal

dan eksesif) (Hendra dan Vincent, 2007).

Konvulsi adalah gangguan sistem neuron pusat yang ditandai dengan

bangkitan yang bersifat spontan dan terjadi berulang.

2.2 Mekanisme Terjadinya Konvulsi


3
Mekanisme terjadinya epilepsi diawali dengan penghambatan neuron dan

ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitator dan inhibitor.

Neurotransmitter eksitatori yaitu glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin,

histamin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmitter inhibitori

antara lain dopamin dan GABA (Gamma Amino Butyric Acid). Defisiensi

neurotransmitter inhibitori GABA atau peningkatan neurotransmitter eksitatori

seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Konvulsi juga dapat

diakibatkan oleh kerusakan kanal ion yang dapat mempengaruhi aktivitas transport

ion dan menyebabakan membran neuron tidak stabil.

Aktivitas glutamat pada reseptornya dapat memicu pembukaan kanal Na+.

Pembukaan kanal Na+ diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+ sehingga ion – ion Na+

dan Ca2+ masuk ke intrasel dalam jumlah banyak. Akibatnya terjadi pengurangan

perbedaan polaritas pada membran (depolarisasi). Depolarisasi ini penting dalam

penerusan potensial aksi. Depolarisasi berkelanjutan akibat peningkatan glutamat

menyebabkan terjadinya potensial aksi terus menerus dan memicu aktivitas sel

neuron.

2.2.1 Klasifikasi Kejang

Sistem klasifikasi kejang khusus untuk hewan selama ini belum ada.

Banyak jenis epilepsi terjadi pada hewan namun klasifikasi epilepsi masih

menggunakan sistem klasifikasi yang dirancang untuk manusia. Sebuah sistem

klasifikasi yang dirancang khusus hewan diperlukan untuk memungkinkan

pemahaman dan perbandingan studi prospektif khasiat antikonvulsan pada

hewan dan untuk mengkategorikan kejang secara parsial (fokal) atau general.

Tabel 1 : Klasifikasi kejang

4
I. Partial Seizures (Local, Focal)
a. Simple Partial Seizures (consciousness not impaired)
i. With motor signs
ii. With somatosensory or special sensory signs
iii. With autonomic signs
iv. With behavioral signs
b. Complex Partial Seizures (consciousness impaired)
i. Beginning as a simple partial seizure & progressing to impairment of
consciousness
ii. With impairment of consciousness at onset
c. Partial seizures evolving to secondary generalised seizures
i. With simple partial seizures evolving to generalized seizures
ii. With complex partial seizures evolving to generalized seizures
iii. With simple partial seizures evolving to complex partial,seizures
evolving to generalized seizures
II. Primary Generalised Seizures (bilaterally symmetrical without local onset;
consciousness may be impaired or lost)
i. Absence seizures
ii. Myoclonic seizures
iii. Clonic seizures
iv. Tonic seizures
v. Tonic-clonic seizures
vi. Atonic seizures
III. Unclassified Epileptic Seizures (inadequate or incomplete data)

2.2.2 Penyebab Kejang

Otak normal mampu menimbulkan kejang sebagai respons terhadap

berbagai rangsangan di dalam sistem saraf pusat dan banyak pengaruh eksternal.

Akibatnya, penyebab kejang sangat banyak. Gangguan yang menginduksi

kejang mungkin timbul baik di luar sistem saraf (penyebab ekstra kranranial)

atau di dalam sistem saraf (penyebab intrakranial) [Tabel 2]. Masing-masing

kelompok penyebab ini dapat dibagi dalam dua kategori:

1. “Symptomatic” Epilepsy

Ini termasuk penyebab ekstrakranial yang terbagi menjadi yang berasal

dari luar tubuh (misalnya agen beracun) dan yang muncul di dalam tubuh tapi di

luar sistem saraf (misalnya hipoglikemia), dan (2) Penyebab intrakranial

progresif dari gangguan kejang termasuk penyakit yang pada waktunya dapat

5
mempengaruhi peningkatan volume jaringan otak (misalnya neoplasia,

ensefalitis), dan dapat menghasilkan tanda klinis selain kejang.

2.“True” Epilepsy

Ini termasuk penyebab intrakranial non-progresif dari kejang, termasuk

warisan, perolehan, dan idiopatik epilepsi.

Tabel 2 : Penyebab Kejang

Cause of
Zeisures

Extra cranial Intra cranial

Originate Originate Non


Profressive
outside body inside body Progressive

Secara klinis, penting untuk membedakan antara penyakit otak progresif

dan non-progresif yang menyebabkan kejang. Terapi untuk penyakit progresif

tidak hanya membutuhkan kontrol kejang tapi juga terapi spesifik untuk

penyakit yang mendasarinya. Jika terapi penyakit yang mendasari tidak

memungkinkan, dokter hewan tersebut setidaknya harus memberikan diagnosis

dan prognosis yang akurat. Di sisi lain, mungkin jarang dilakukan diagnosis

etiologi atau anatomis yang tepat pada gangguan kejang non-progresif asal

intrakranial (yaitu, epilepsi). Begitu sifat non-progresif penyebab gangguan

kejang terbentuk, terapi dengan obat antikonvulsan diindikasikan.

Gangguan Ekstrcranial. Kelainan ekstracranial dapat mengubah

metabolisme otak dan elektrofisiologi, yang menyebabkannya pelepasan

paroksismal dan kejang. Karena gangguan tersebut mempengaruhi kedua

belahan otak, kejang umum primer biasanya terjadi, walaupun tanda klinis
6
lainnya mungkin ditumpangkan pada mereka. Gangguan ekstrakranial sering

terjadi akibat berbagai kondisi metabolik, seperti hipoglikemia, penyakit hati,

hiperlipoproteinemia, penyakit ginjal, hipokalsemia, dan hipotiroidisme.

Toksikosis, termasuk timah atau keracunan organofosfat, kafein atau toksikosis

theobromine (dari konsumsi coklat berlebihan) Bisa juga mengakibatkan kejang.

Parasitisme usus dan hipertermia adalah penyebab kejang ekstrasranial lainnya.

Gangguan Intracranial. Penyebab intrakranial kejang termasuk malformasi

(misalnya hidrosefalus), gangguan inflamasi (misalnya ensefalitis distemper

anjing), gangguan nutrisi (misalnya defisiensi tiamin), Neoplasia, trauma

kranial, kondisi degeneratif (misalnya penyakit penyimpanan), dan infark

serebral. Hewan yang terkena biasanya timbul penyakit neurologis progresif.

Pada beberapa binatang, seperti binatang dengan riwayat trauma kranial

sebelumnya, lesi otak morfologi mungkin telah terjadi jauh sebelum terjadi

kejang yang pertama, dan mungkin tidak aktif tapi meninggalkan otak dalam

kondisi rawan kejang. Pada binatang lain, kejang mungkin merupakan tanda

awal penyakit otak progresif, seperti neoplasia serebral, dan mungkin satu-

satunya tanda klinis untuk waktu yang lama.

Dengan penyakit intrakranial, kejang umum sekunder atau primer terjadi

pada berbagai macam manifestasi klinis, tergantung pada lokasi dan luasnya lesi

yang mendasarinya. Frekuensi kejang dapat sangat bervariasi, dan hubungan

dengan istirahat dan tidur tampaknya kurang jelas pada Idiopatik epilepsi.

Sebagian besar penyakit intrakranial menyebabkan tanda neurologis atau klinis

lainnya selama periode interictal, dan penyakit ini mungkin memiliki gejala

klinis progresif atau non-progresif.

Epilepsi. Kejang yang berhubungan dengan epilepsi idiopatik disebabkan

oleh kelainan fungsional pada otak di mana kedua belahan otak terpengaruh oleh
7
pelepasan neuron paroksismal. Kejang epilepsi bersifat umum dan simetris sejak

awal. Lesi morfologi tidak diamati pada otak besar hewan dengan epilepsi,

kecuali hewan dengan microdysgenesis (kondisi di mana terjadi kelainan

perkembangan embrio-janin, seperti peningkatan kepadatan neuron, dapat

menyebabkan penurunan ambang kejang). Namun, lesi seperti gliosis, atrofi,

atau nekrosis korteks laminar, dapat terjadi secara sekunder akibat kejang parah

atau status epileptikus. Epilepsi idiopatik pada anjing atau kucing biasanya

dimulai dengan kejang tunggal. Kejang paling sering terjadi

selama tidur atau istirahat, dan jarang terjadi selama beraktivitas.

Tabel 3 : Penyebab epilepsi

8
Tabel 3 :
Mekanisme Extracranial Intracranial

Degenerative Lysosomal storage

disease

Anomalous Hydrocephalus
Lissencephaly
Porencephaly

Metabolic Hepatic disease


Renal disease
Hypocalcemia
Hypoglycemia
Hyperlipoproteinemia
Hyper/hyponatremia
Hypoxia
Nutritional Thiamine deficiency

Neoplastic Primary brain tumor


Metastatic tumor

Inflammatory GME/Necrotizing

encephalitis

Infectious Viral (CDV, FIV, FeLV,


FIP)
Bacterial
Mycotic (Cryptococcosis,
Blastomycosis,
Histoplasmosis,
Coccidiodomycosis)
Protozoal
(Toxoplasmosis,
Neosporosis)
Rickettsial (RMSF,
Ehrlichia)
Parasitic (Heartworm,

Cuterebra)
Idiopathic Primary epilepsy,

cryptogenic epilepsy

Trauma Cranial trauma

Toxins Lead, heavy metals


Organophosphates
Strychnine
Metaldehyde
Ethylene glycol
Vascular Feline ischemic
encephalopathy
Stroke
Hemorrhage

(hypertension)
9
2.3.4 Diagnosis

Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologis yang lengkap, dan

data minimum yang terdiri dari hasil analisis kimia hematologi dan serum harus

diperoleh untuk semua hewan yang diduga memiliki gangguan kejang, meski hanya

satu kejang yang telah diamati. Atas dasar dari informasi ini daftar diagnosis banding

harus dibuat. Laboratorium klinis lebih lanjut, toksikologi,atau prosedur radiografi

dapat ditunjukkan setelah hasil tes awal ini diketahui. Tes tambahan dapat dipilih

untuk mengetahui penyebab kejang tersebut. Misalnya, pada hewan dengan kelainan

serum kimia yang komplikasi dengan penyakit hati (misalnya, BUN rendah, ALT

tinggi dan / atau alkali fosfatase, glukosa rendah, protein total rendah, dll).

Kuantifikasi asam empedu serum setelah 12 jam cepat, dan 2 jam secara

postprandial, digunakan sebagai indikator yang dapat dugunakan untuk mengetahui

fungsi hati.

Tes CSF (Cairan serebrospinal) sangat penting untuk mengetahui

penyebab kejang pada hewan yang dicurigai kejang intrasranial. Selain CSF untuk

pemeriksaan sitologi dan kuantifikasi protein, aerobik dan anaerobik, kultur bakteri

dan / atau mikotoksik. Dapat dilakukan uji sensitivitas, dan titer untuk agen infeksi

yang mungkin terjadi (misalnya, kriptokokosis, distemper anjing, dll). Radiografi

tengkorak mungkin berguna untuknya mendeteksi tumor calvarial, neoplasma

intrakranial termineralisasi, atau patah tulang tengkorak yang terkait trauma kepala.

Electroencephalography (EEG) sangat membantu dalam diagnosis

malformasi kongenital seperti hidrosefalus atau lissencephaly. EEG juga berguna

untuk mengevaluasi peristiwa elektrikal yang terkait dengan kejang yang mungkin

terjadi saat merekam dan dalam identifikasi kejadian elektrikal paroksismal yang

terkadang dapat terjadi pada beberapa hewan epilepsi. X-ray computed tomography

10
atau magnetic resonance imaging, dapat memberikan informasi spesifik mengenai

lokasi dan luasnya lesi intrakranial seperti neoplasma, granuloma, infark, atau

pendarahan.

2.3 Mekanisme Kerja Obat Antikonvulsan

Mengetahui mekanisme kerja dan farmakokinetik obat antkonvulsan adalah

sesuatu yang penting, sehingga agen – agen tersebut dapat digunakan secara efektif,

terutama dalam penggunaan beberapa obat secara bersamaan.

Banyak struktur dan proses terlibat dalam perkembangan kejang, termasuk

neuron, reseptor, kanal ion, glia, dan sinapsis eksitatori dan inhibitatori. Obat

antikonvulsi dirancang untuk memodifikasi proses isi sehingga menguntungkan

untuk menghambat eksitasi dan dengan demikian dapat menghentikan atau

mencegah terjadinya epilepsi. Obat antikonvulsi dapat digolongkan sesuai dengan

mekanisme kerja utama mereka, walaupun beberapa agen memiliki beberapa aksi

dan yang lainnya memiliki mekanisme kerja yang tidak diketahui.

11
Sumber : http://www.openaccessjournals.com/articles/mechanisms-of-action-of-antiepileptic-
drugs.pdf

2.3.1 Obat Antikonvulsan Generasi Pertama

Secara umum, mekanisme kerja obat antikonvulsan dapat dikategorikan

berdasarkan efeknya terhadap potensial aksi neuron atau hambatan pos-

sinapsis dari impuls neuron. Penghambatan potensial aksi neuron biasanya

difokuskan pada kanal ion teraktivasi yang terlibat dalam penghantaran listik

saat serangan konvulsi terjadi. Kanal natrium adalah bagian integral dari

potensial aksi dan depolarisasi neuron. Potensial aksi yang terpenuhi biasanya

menghasilkan pelepasan neurotransmitter, yang selanjutnya menghantarkan

sinyal pada sinapsis neuron atau menghasilkan efek terminal pada otak atau

neuron lain yang mengarah ke organ ekstrakranial.

12
2.3.1.1 Penghambatan Kanal Natrium (Inaktifasi Cepat)

Penghambatan kanal natrium adalah mekanisme aksi yang umum dari

obatantikonvulsan generasi pertama. Selama potensial aksi neuron terjadi,

konsentrasi natrium meningkat setelah ambang batas depolarisasi tercapai.

Konsentrasi natrium ekstraseluler meningkat seiring dengan gradien listrik

negatif di dalam sel dan mengakibatkan masukya natrium yang signifikan saat

kanal ion terbuka. Obat antikonvulsan yang termasuk golongan ini antara lain

adalah Penitoin, Carbamazine dan Valproate.

Contoh obat yang bekerja berdasarkan prinsip penghambatan kanal

natrium adalah fenitoin, yang menghambat kanal natrium di korteks neuron

dan menghalangi neuronal firing berulang – ulang. Namun dampaknya kecil

pada neuron dengan tingkat neuronal firing yang rendah. Oleh karena itu, ada

efek fenitoin yang lebih besar pada neuron dengan depolarisasi yang lebih

menonjol. Fenitoin mengurangi aktivitas perpindahan ion natrium ke dalam

dengan menghalangi kanal yang mengalami gangguan setelah depolarisasi dan

memodifikasi permeabilitas natriumnya sehingga menyebabkan peningkatan

periode inaktivasi dari neuronal firing. Fenitoin juga mengurangi amplitudo

potensial aksi dan memperlambat konduksi neuron.

2.3.1.2 Potensiasi GABA

Potensiasi atau agonisme reseptor GABA dan penghambatan kanal

klorida adalah mekanisme kerja yang umum obat antikonvulsan generasi

pertama terutama benzodiazepin. Agonis GABA mendorong neuron untuk

hiperpolarisasi denga membuka kanal ion klorida. Barbiturat juga

mengaktifkan reseptor GABA dengan mengikat reseptor yang berbeda dengan

benzodiazepin. Benzodiazepin mengikat reseptor GABAA antara subunit α dan


13
γ, terutama α-1 dan γ-2. Pengikatan ini membuka kanal ion klorida dan

memungkinkan masuknya ion klorida karena perbedaan konsentrasi

ekstraseluler. Kemudian hiperpolarisasi menurunkan potensial membran

neuron, dan membatalkan keadaan depolarisasi neuron.

Barbiturat yang mengikat reseptor GABAA berbeda dari benzodiazepin

karena binding site berada di bagian membran reseptor. Barbiturat juga

mempotensiasi aktivitas GABA (dan benzodiazepin) dengan meningkatkan

respon inhibisi terhadap GABA endogen. Barbiturat sangat bervariasi

strukturnya yang memberi efek spektrum sedatif, yaitu pentobarbital dan

thiophental yang sangat sedatif, dan fenobarbital mempunyai efek sedatif

ringan.

2.3.1.3 Hambatan Kanal Kalsium

Hambatan pada kanal ion kalsium juga memberikan dampak

antikonvulsan . Kanal ion kalsium ada pada neuron presinaptik dan terlibat

dalam depolarisasi neuron. Ethosuximide adalah agen unik yang digunakan

untuk menghilangkan kejang yang menghambat kanal ion kalsium pada neuron

thalamic. Valproate memiliki aktivitas serupa pada T-channels yang juga

membuat agen ini membantu untuk mengatasi konvulsi. Agen lain seperti

felbamate yang merupakan antagonis reseptor glutamat, dan barbiturat yang

mengurangi respons terhadap neurotransmitter eksitatori seperti glutamat,

menghambat ion kalsium masuk secara pos-sinaptik.

14
2.3.2 Obat Antikonvulsan Generasi Baru

2.3.2.1 Hambatan Reseptor NMDA

Antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) bekerja pada

membran terkait kanal ion kalsium pos-sinaptik. Reseptor NMDA berinteraksi

dengan neurotransmitter eksistatori, glutamat, dan memungkinkan masuknua

ion kalsium ke dalam neuron. Hal ini merupakan salah satu mekanisme utama

neurotoksisitas selama cedera otak traumatik dan stroke. Beberapa agen dapat

menghambat aksi glutamat pada reseptor NMDA, termasuk topiramate dan

zonisamide. Agen lain seperti felbamate dan fenobarbital memiliki sedikit efek

penghambatan pada reseptor NMDA.

2.3.2.2 Hambatan Vesikel SV2a

Leviracetam adalah agen yang mampu menghambat protein vesikel

sinaptik 2a (SV2a). SV2a merupakan bagian integral dari proses eksotosis

neurotransmiter ke celah sinaptik. Penghambatan protein ini menghasilkan

redaman spektrum aktivitas perangsangan yang luas.

2.3.2.3 Hambatan Kanal Natrium (Inaktivasi Cepat)

Rufinamide menunjukkan efek antikonvulsan spektrum luas.

Mekanisme kerja utama rufinamide dianggap sebagai penekan terhadap

hipereksitabilitas neuron dengan memperpanjang kondisi tidak aktif kanal

natrium.

2.3.2.4 Hambatan Kanal Natrium (Inaktivasi Lambat)

Inaktivasi yang lambat dari kanal natrium yang bergantung pada arus

listrik merupakan mekanisme terpisah dan baru menghambat masuknya


15
natrium dalam depolarisasi neuron. Lacosamide adalah obat antikonvulsan

pertama yang menunjukkan inaktivasi lambat pada kanal natrium. Sedangkan

inaktivasi yang cepat pada kanal natrium terjadi pada obat antikonvulsan

generasi pertama seperti fenitoin dan carbamazepine, cenderung memiliki efek

pada neuron yang sering mengadakan neuronal firing, inaktivasi lambat terjadi

pada neuron yang mengalami depolarisasi yang berkepanjangan. Inaktivasi

lambat melibatkan perubahan struktural pada kanal natrium yang berkembang

dalam periode waktu yang lebih lama daripada inaktivasi cepat. Pada titik ini,

peran klinis Lacosamide menjadi pilihan tepat bagi pasien dengan epilepsi

parsial refrakter.

2.3.2.5 Potensiasi GABA

Augmentasi penghambatan GABAminergik pada neuron juga dapat

dicapai dengan metode baru selain meningkatkan aktivitas endogen GABA.

Vigabatrin yang memiliki struktur analog dengan GABA, menghambat

GABA-transaminase yang merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk

mendegradasi GABA di celah sinaptik sehingga konsentrasi GABA akan

meningkat. Tiagabin juga meningkatkan konsentrasi GABA namun tidak

seperti vigabatrin, tiagabin bekerja dengan mengurangi penyerapan neuron

terhadap GABA. Topiramate, juga meningkatkan aktivitas GABA. Steroid

neuroaktif, misalnya ganaxolon juga meningkatkan inhibisi GABA dengan

mengikat reseptor steroid pada kompleks GABA, meningkatkan permeabilitas

kanal klorida. Stiripentol meningkatkan transmisi GABA sentral dengan

meningkatkan durasi pembukaan kanal reseptor GABAA pada irisan

hippocampus.

16
2.3.2.6 Hambatan Kanal Kalsium

Gabapentin awalnya disintesis untuk meniru struktur kimia GABA,

namun tidak untuk bekerja pada reseptor otak yang sama. Gabapentin

ditujukan untuk mengikat subunit α2δ dari kanal kalsium di sistem neuron

pusat. Mekanisme kerja serupa juga ditunjukkan oleh pregabalin. Pregabalin

menurunkan pelepasan neurotransmitter eksitatori seperti glutamat,

noradrenalin, dan substansi P. Pregabalin meningkatkan kadar GABA neuronal

dengan menghasilkan asam dekarboksilase glutamat (GAD) yang kemudian

mengubah glutamat menjadi penghambat GABA.

2.3 Interaksi Obat Antikonvulsan

Obat antikonvulsan banyak digunakan sebagai terapi adjunctive jangka

panjang atau sebagai monoterapi pada epilepsi dan indikasi lain dan terdiri dari

sekelompok obat yang sangat rentan terhadap interaksi obat. Obat antikonvulsan

yang lebih tua rentan menyebabkan induksi (carbamazepine, fenobarbital, fenitoin,

pirimidone). Konsentrasi serum antikonvulsan dapat mengikat penghambat enzim

antara antidepresan dan antipsikotik, dan obat antimikroba (seperti makrolides atau

isoniazid) dan menurun dengan mekanisme lain seperti induksi, penyerapan atau

ekskresi yang berkurang. Interaksi farmakokinetik yang melibatkan obat

antikovulsan generasi terbaru meliputi penghambat enzim felbamate, rufinamide, dan

stiripentol dan induktor oxcarbazepine dan topiramate. Interaksi individu

antikonvulsan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan tergantung pada konsekuensi

klinis dari perubahan konsentrasi serum. Tingkat satu mengakibatkan dampak klinis

yang serius, dan kombinasi tersebut harus dihindari. Tingkat dua dalam

penggunaannya harus hati – hati dan perlu penyesuaian dosis, karena kombinasi
17
tersebut kadang diperlukan dan tidak dapat dihindari. Tingkat tiga mengacu pada

interaksi dimana penyesuain dosis tidak diperlukan. Pengetahuan tentang interaksi

obat sangat penting untuk memprediksi potensi efek berbahaya yang melibatkan

antikonvulsan.

Sumber : Current Neuropharmacology, 2010, 8, 254-267 (Antiepileptic Drug Interactions - Principles


and Clinical Implications by Svein I. Johannessen and Cecilie Johannessen Landmark)

18
Sumber : Current Neuropharmacology, 2010, 8, 254-267 (Antiepileptic Drug Interactions - Principles
and Clinical Implications by Svein I. Johannessen and Cecilie Johannessen Landmark)

Sumber : Current Neuropharmacology, 2010, 8, 254-267 (Antiepileptic Drug Interactions - Principles


and Clinical Implications by Svein I. Johannessen and Cecilie Johannessen Landmark)

19
2.4 Efek Samping Obat Antikonvulsan

2.4.1 Efek Samping Akut

a. Tempat Penyuntikan

Kira kira 1 dari 10 individu mengalami iritasi lokal, nekrosis, dan

terkelupasnya kulit akibat efek samping dari obat anti konvulsan yang digunakan.

b. Sistem Gastrointestinal

Mual, muntah, konstipasi.

c. Sistem Dermatologi

Manifestasi dermatologi kadang-kadang diikuti dengan demam termasuk ruam

berbentuk sekar dan morbili. Ruam berbentuk morbili (seperti cacar air). Bentuk

serius lainnya yang dapat berakibat fatal yakni bula, dermatitis ekskoriasiatau

putpura, lupus eritematosus, syndrome Steven Johnson, dan nekrosis epidermal

toksik.

2.4.2 Efek Samping Kronik

Sejumlah laporan memperlihatkan hubungan antara obat antikonvulsi dan

terjadinya limfadenopati (lokal atau umum) termasuk hyperplasia, pseudolimfoma,

limfoma dan penyakit Hodgkin.

Obat antikonvulsi dapat menyebabkan reduksi kadar asam folat, dan

menyebabkan pasien menderita anemia megaloblastik. Asam folat tersedia dalam

makanan dengan bentuk poliglutamat, yang kemudian diubah menjadi monoglutamat

oleh konjugat intestinum. Obat antikonvulsi beraksi sebagai penghambat enzim ini

karena dapat menyebabkan defisiensi folat.

a. Sistem Jaringan Lunak

Struktur wajah menjadi kasar, pembesaran bibir, hipertrikosis, penyronie’s

desesase yang paling sering dilaporkan adalah hyperplasia ginggiva.


20
b. Sistem Kardiovaskular

Depresi konduksi atrium atau ventrikel juga fibrilasi ventrikel. Komplikasi

berat paling sering terjadi pada usia lanjut atau pasien dengan penyakit grave.

c. Sistem Syaraf Pusat

Kebanyakan manifestasi yang ditemui akibat terapi pemberian obat anti

konvulsi adalah kemampuan menembus system saraf pusat dan biasanya

berkaitan dengan dosis seperti nistagmus, ataksia, bicara kacau, penurunan

koordinasi, gangguan mental, pusing, insomia, kejang, ketakutan, dan nyeri

kepala. Jarang dilaporkan bahwa obat anti konvulsi induced diskinesia

termasuk cholera, distonia,tremor, dan asteriksis karena sepertinya hal tersebut

diinduksi oleh obat neuroleptik lainnya.

d. Sistem Haemopoetik

Trombositopenia, leukopeni, granulositopeni, agranulosis, dan

pansitipeniadengan atau tanpa supresi sumsum tulang, sedangkan anemia

makrositik dan megaloblastikpada beberapa kasus pernah dilaporkan.

e. Efek Samping Lainnya

Sistemik lupus erimatosus, periateritis nodosa, hematitits toksik, kerusakan

hepar, dan abnormalitas immunoglobin adalah efek samping yang mungkin

dapat terjadi akibat penggunaan obat anti konvulsi. Selain itu pernah

dilaporkan dalam jangka waktu beberapa tahun dengan dosis tinggi dapat

merusak saraf kaki dan kerusakan otak bagian serebelum.

2.4.3 Efek Samping Teratogenik

Anomali craniofasial (broad nasal bridge, bibir sumbing dan pallatum,

mikrosefali) dan efek samping dalam bentuk ringan seperti retardasi mental

(IQ rata - rata 71). Sindroma ini dikenal baik sebagai sindroma fetal alcohol.
21
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Antikonvulsan adalah kelompok obat yang secara khas mengakibatkan

berbagai gejala neuropsikiatrik apabila dosisnya melebihi kisaran terapeutik yang

lazim (David, 2004).

Epilepsi secara fisilogik merupakan suatu gejala akibat lepasnya aktivitas

elektrik yang berlebihan dan periodik dari neuron serebrum yang dapat menimbulkan

hilangnya kesadaran, gerakan involunteer, fenomena sensorik abnormal, kenaikan

aktivitas otonom dan berbagai gangguan psikis (Samekto dan Abdul, 2001).

Epilepsi tidak hanya terjadi pada manusia, namun juga dapat terjadi pada

hewan. Pengobatan epilepsi dengan terapi farmakologis menggunakan obat

antikonvulsan yang terdiri dari berbagai jenis berdasarkan mekanisme kerjanya.

Saran

Sebaiknya penggunaan obat-obat antikonvulsan memperhatikan riwayat

penyakit karena apabila salah pemberian akan menyebabkan fatal pada organ

tertentu. Penggunaan obat antikonvulsan dengan obat lain harus memperhatikan

interaksi obat untuk mengantisipasi timbulnya efek yang berbahaya.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://www.openaccessjournals.com/articles/mechanisms-of-action-of-antiepileptic-

drugs.pdf

http://emedicine.medscape.com/article/1187334-overview

https://amvac.ro/files/downloads/congres-2015/Rick_LeCouteur-Seizures.pdf

http://www.veterinaryirelandjournal.com/images/sa_may_2016.pdf

http://www.ivis.org/proceedings/navc/2005/SAE/230.pdf?LA=1

Current Neuropharmacology, 2010, 8, 254-267 (Antiepileptic Drug Interactions -

Principles and Clinical Implications by Svein I. Johannessen and Cecilie Johannessen

Landmark)

23

Anda mungkin juga menyukai