Anda di halaman 1dari 11

“MAKALAH EPILEPSI”

Nama Kelompok : ● Dike ayu fatmala dewi


● Dinda K.H
● Eni Sulastri

SMK KESEHATAN BAKTI INDONESIA MEDIKA BLITAR


2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di
dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat
terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong
tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian epilepsi
berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan Sander,
2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk Indonesia
berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000
per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara
0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda
dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut
(Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering
dijumpai. Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron otak secara
paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh
penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah merupakan suatu
penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala. Gejala yang paling umum adalah
adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit kejang.
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari
populasi dunia terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah
orang penderita epilepsi per 1000 penduduk 8,93 dari 108 negara
responden.Jumlah orang penderita epilepsi per 1000 penduduk berbeda-beda di
setiap
regional. Sementara itu data di regional Amerika dan Afrika di dapatkan 12,59
dan 11,29. Data di regional Asia Tenggara di dapatkan sebesar 9,97.
Sedangkan data sebesar 8,23 didapatkan di regional Eropa. Jumlah rata-rata
orang epilepsi per 1000 penduduk berkisar dari 7,99 di negara-negara
berpendapatan tinggi dan 9,50 di negara-negara berpendapatan rendah (WHO,
2010)
B. Rumusan Masalah
1. Lama menderita epilepsi (Duration of Epilepsy) yang berpengaruh pada
penurunan kualitas hidup (Quality of life (QoL)).
2. Kualitas hidup penderita menjadi salah satu indikator keberhasilan
perawatan pada penderita epilepsi.
3. Peran dalam meningkatkan kualitas hidup penderita tidak hanya fokus
pada parahnya epilepsi yang diderita, namun juga efek sosial dan
psikologis dari epilepsi.
4. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan merupakan
keseluruhan kondisi status kesehatan seorang pasien, termasuk kesehatan
fisik pasien, sosial dan psikologis pasien.
5. Penelitian tentang kualitas hidup penderita epilepsi belum banyak diteliti
di Indonesia.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Epilepsi
a. Definisi
Secara konseptual epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai
dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yng terus
menerus
dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Definisi ini
mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik (Kusumastuti dan
Basuki, 2014)
Secara operasional atau definisi praktis, epilepsi adalah suatu penyakit otak
yang ditandai dengan kondisi atau gejala sebagai berikut :
 Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkita pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
 Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi
atau bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan
setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
struktural dan epileptiform discharges).
 Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (Rudolf G et al., 2004).
b. Epidemiologi
Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi daripada di
negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000

Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 thn

terakhir) adalah 4,9 per 1000 (2,3-10,3), sedangkan pada negara berkembang di

pedalaman 12,7 per 1000 (3,5-45,5) dan di perkotaan 5,9 (3,4-10,2). Antara

negara di Asia, prevalensi epilepsi aktif tertinggi dilaporkan di Vietnam, 1,7 per

1000 orang dan terendah di Taiwan 2,8 per 1000 orang (Banerjee PN et al.,2009)

Penelitian Pai dan Tsai (2005), menyatakan pasien epilepsi terdapat pada

orang dengan tingkat pendidikan rendah daripada tingkat pendidikan tinggi.

Tingkat pendidikan rendah terdiri dari pasien dengan kurang dari 12 pendidikan,

dan tingkat pendidikan tinggi dengan ≥ 12 tahun pendidikan. Pada penelitian

tersebut didapatkan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan terakhir tinggi

memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan

terakhir rendah. Hal ini tentu akan mempengaruhi kulaitas hidup pasien epilepsi

berdasarkan tingkat pendidikannya (Pai dan Tsai, 2005).

c. Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy

(ILAE) terdiri dari 2 jenis klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi

Sidrom epilepsi

Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi (Commission on

Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy,

1981) :

1. Bangkitan parsial/fokal

1.1 Bangkitan parsial sederhana

1.1.1. Dengan gejala motorik

1.1.2. Dengan gejala somatosensorik


1.1.3. Dengan gejala autonom

1.1.4. Dengan gejala psikis

1.2. Bangkitan parsial kompleks

1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan

kesadaran

1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal

bangkitan

1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum

1.3.2. Parsial kompleks yang menjadi umum

1.3.3. Parsial sederhana yang menjadi parsial kompleks lalu menjadi

umum

2. Bangkitan umum

2.1. Lena (absance)

2.1.1. Tipikal lenna

2.1.2. Atipikal lena

2.2. Mioklonik

2.3. Klonik

2.4. Tonik

2.5. Tonik-klonik

2.6. Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi (Commission on

Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy,

1989) :

1. Fokal/partial

1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah

sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal

spikes)

1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada


daerah oksipital

1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)

1.2. Simtomatis

1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-

anak (Kojenikow’s syndrome)

1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu

rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan,

hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal

tinggi)

1.2.3. Epilepsi lobus temporal

1.2.4. Epilepsi lobus frontal

1.2.5. Epilepsi lobus parietal

1.2.6. Epilepsi lobus oksipital

1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi umum

2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia

bangkitan)

2.1.1. Kejang neonatus familial benigna

2.1.2. Kejang neonatus benigna

2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

2.1.4. Epilepsi lena pada anak

2.1.5. Epilepsi lena pada remaja

4. Sindrom khusus

4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

4.1.1. Kejang demam

4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya

sekali isolated

4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian

metabolik akut atau toksis, alkohol, obat-obatan eklamsia,

hiperglikemi non ketotik


4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi

reflektorik)

d. Etiologi

Berdasarkan etiologinya, epilepsi dapat dibagi dalam tiga kategori :

 Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.

Diperkirakan memiliki predisposisi genetik dan berkaitan dengan usia

 Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui

 Simtomatis : disebabkan oleh kelainan /lesi struktural pada otak, misalkan

cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak dan toksik (Panayiotopoulos, 2005).

e. Patofisiologi

Bangkitan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,

disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage gated ion channel

opening dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi

dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh oleh

konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan

keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron (Cockerrel et al., 1996).

Bangkitan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudianmengajak neuron di
sekitarnya atau yang terkait dengan proses. Secara klinis

bangkitan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron

abnormal muncul bersama-sama membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam

otak (Prasad et al., 1999).


F. PENATALAKSANAAN
Setelah pasien didiagnosis dengan epilepsi, jenis serangan epileptik harus diidentifikasi dengan tepat
sehingga dapat menentukan penatalaksanaan yang efektif. Penilaian untuk pemberian profilaksis
antikejang harus dilakukan dengan teliti. Kebanyakan serangan dapat terkontrol dengan pemberian
obat tunggal. Namun apabila satu obat tidak dapat mengontrol serangan sampai mendekati dosis
toksis, maka harus segera diganti dengan regimen lainnya. Pemberhentian penggunaan obat
dianjurkan setelah 2 sampai 5 tahun sejak bebas serangan. Efek samping pengobatan yang paling
sering muncul adalah sedasi, dapat juga pusing dan nyeri kepala. Tata laksana epilepsi dapat
dilakukan berdasarkan panduan yang dikeluarkan NICE (The National Institute for Health and Care
Excellence, United Kingdom).
Tata Laksana untuk Serangan Fokal

Tata laksana lini pertama untuk serangan fokal yang pertama kali didiagnosis
adalah karbamazepin dan lamotigrin. Jika tidak efektif, dapat diberikan levetiracetam, oxkarbazepin,
dan asam valproat. Levetiracetam tidak dijadikan sebagai terapi lini pertama karena tidak efektif dari
segi biaya.
Bila masih tidak efektif, pertimbangkan pemberian terapi ajuvan berupa klobazam, atau gabapentin.
Bila masih tetap tidak efektif, maka pasien perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier untuk diberikan
eslikarbazepin, lakosamid, fenobarbital, phenytoin, pregabalin, tiagabalin, vigabatrin, atau zonisamid.
Pertimbangkan pemberian terapi ajuvan bila terapi antiepilepsi lini kedua tidak efektif.
Tata Laksana untuk Serangan Umum Tonik-Klonik

Pada serangan umum tonik-klonik yang pertama kali didiagnosis, obat lini pertama yang diberikan
adalah asam valproat. Bila asam valproate tidak cocok, lamotigrin dapat diberikan namun perlu
berhati-hati karena dapat mengeksaserbasi serangan mioklonik juvenil. Karbamazepin dan
oxkarbazepin dapat digunakan dengan mempertimbangkan risiko eksaserbasi serangan mioklonik atau
serangan absans.
Tata Laksana untuk Serangan Absans
Berikan etosuksimid atau asam valproat pada pasien anak dan dewasa muda. Bila ada risiko
mengalami serangan tonik-klonik, berikan asam valproat terlebih dahulu. Berhati-hati dengan efek
teratogenik asam valproat.[10,11]
Tindakan Bedah

Tindakan bedah diindikasikan untuk pasien yang resisten dengan obat antiepilepsi. Tindakan bedah
dapat bersifat paliatif maupun kuratif. Tindakan bedah yang sering pada pasien epilepsi adalah
lesionektomi dan lobektomi, yang bertujuan untuk membuang fokus epileptik. Tindakan bedah lain
namun tidak secara luas tersedia adalah hemisferektomi dan implantasi neurostimulasi responsif.
Terapi bedah untuk epilepsi telah dilakukan di Indonesia sejak tiga dekade lalu dan semakin sering
dilakukan dengan hasil yang secara signifikan lebih baik pada pasien muda.[8]
Rujukan

Pasien yang mengalami serangan epileptik untuk pertama kalinya harus dilakukan pemeriksaan yang
mengarah ke epilepsi. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis anak atau dokter
spesialis anak dengan keahlian epilepsi. Secepatnya dalam dua minggu seluruh pasien dengan
serangan epileptik harus diperiksa oleh spesialis untuk diagnosis dini dan tatalaksana segera. Pasien
dengan epilepsi harus rutin dilakukan pemantauan atau kontrol kondisi penyakitnya.[11]
Pasien dengan spasme infantil harus dirujuk ke spesialis di bidang epilepsi di fasilitas kesehatan
tersier. Pasien yang tidak respon dengan obat antiepilepsi juga harus dirujuk ke fasilitas kesehatan
tersier untuk diberikan diet ketogenik.[10]

Komplikasi Epilepsi
       
Kejang pada penderita epilepsi terkadang dapat membahayakan penderitanya dan orang lain. Bahaya
tersebut dapat berupa terjatuh saat kejang, hingga risiko mengalami cedera atau patah tulang. Bahaya
lainnya adalah hilang kesadaran ketika kejang, sehingga berisiko tenggelam saat berenang atau
mengalami kecelakaan saat berkendara.
Selain itu, masalah kesehatan mental juga sering kali dihadapi penderita epilepsi akibat efek samping
pengobatan, atau kesulitan dalam menghadapi kondisinya. Komplikasi kesehatan mental yang sering
timbul, antara lain adalah depresi, kegelisahan, atau keinginan untuk bunuh diri.
Komplikasi juga dapat terjadi pada penderita epilepsi yang sedang hamil. Meski sebagian besar
penderita epilepsi dapat mengalami kehamilan dan persalinan dengan baik, ada kemungkinan janin
mengalami cacat saat lahir atau masalah perkembangan.
Dalam kasus yang jarang terjadi, epilepsi dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan
nyawa. Komplikasi tersebut adalah status epileptikus, yaitu kejang yang berlangsung lebih dari lima
menit, atau kejang yang berulang tanpa diselingi kondisi sadar di antara kejang. Komplikasi
membayakan lainnya adalah kematian mendadak dengan penyebab yang belum diketahui. Kondisi ini
dapat dialami penderita kejang yang tidak dikendalikan dengan obat.

.
 

Penyebab Epilepsi

Epilepsi dapat mulai diidap pada usia kapan saja, umumnya kondisi ini terjadi sejak
masa kanak-kanak. Berdasarkan penyebabnya, epilepsi dibagi dua, yaitu:

 Epilepsi idiopatik, disebut juga sebagai epilepsi primer. Ini merupakan jenis
epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui. Sejumlah ahli menduga bahwa
kondisi ini disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).
 Epilepsi simptomatik, disebut juga epilepsi sekunder. Ini merupakan jenis
epilepsi yang penyebabnya bisa diketahui. Sejumlah faktor, seperti luka berat
di kepala, tumor otak, dan stroke diduga bisa menyebabkan epilepsi sekunder.

Diagnosis Epilepsi

Langkah untuk mengetahui epilepsi, dokter pertama-tama akan menanyakan perihal


aktivitas yang dilakukan oleh pengidap. Selanjutnya, dokter akan melakukan
beberapa tes untuk mengetahui bagaimana kinerja otak dengan cara mengecek:

 cara berjalan.
 otot.
 kepekaan.
 kemampuan berpikir.

Selain itu, dokter akan menyarankan tes berikut, jika kamu terindikasi mengidap
epilepsi, seperti:

 EEG atau elektroensefalogram. Tes EEG dilakukan untuk mengetahui


masalah aktivitas listrik yang ada di otak.
 Tes darah. Tes ini untuk mengetahui tanda infeksi dan masalah kesehatan
lain.

Pengobatan Epilepsi

Belum ada metode dan obat untuk menyembuhkan epilepsi. Namun, ada obat untuk
mencegah terjadinya kejang yaitu obat yang dapat menahan gejala epilepsi,
sehingga pengidapnya dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal. Kejang-
kejang pada pengidap epilepsi perlu ditangani dengan tepat adalah untuk
menghindari terjadinya situasi yang dapat berakibat fatal. Misalnya terjatuh,
tenggelam, atau mengalami kecelakaan saat berkendara akibat kejang.

Pencegahan Epilepsi

Selain dengan obat, penanganan epilepsi juga perlu ditunjang dengan pola hidup
yang sehat, seperti olahraga secara teratur, tidak mengonsumsi minuman beralkohol
secara berlebihan,

Anda mungkin juga menyukai