Anda di halaman 1dari 18

Arrini Fahamsya

H2A018005

Skenario 1.

SADARKAN AKU DARI SEMUA INI

Seorang laki-laki berusia 65 tahun dibawa ke IGD RS karena tidak dapat dibangunkan
sejak 2 jam SMRS. 1 bulan SMRS pasien batuk berdahak kuning dan sering sesak nafas. 2 hari
SMRS, pasien mengeluh demam tinggi dan nyeri kepala hebat hingga gelisah. Riwayat penyakit
dahulu (-). Kelemahan anggota gerak (-), penglihatan ganda (-), bicara pelo (-), wajah merot (-),
mual dan muntah (-).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS E2M5V2, TD 125/85, T38,5oC, RR 30x/menit,


HR 115x/menit. Ronkhi (+/+). Pemeriksaan neurologis didapatkan N.Cranialis dbn, refleks
patologis (-), reflex fisiologis (+), kaku kuduk (+), Brudzinski I dan IV (+).

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan pada CT scan kepala dbn. Pada radiologis
x-foto thorax gambaran bercak berawan dan kavitas di seluruh lapang paru, terutama di apeks.
Pemeriksaan darah rutin ditemukan leukosit 12.000, limfosit 45%. Pada pemeriksaan LCS,
didapatkan warna xanthochrome, limfosit meningkat, glukosa menurun, dan protein meningkat.
Swab nasofaring SARS-Cov 2 (-).

Saat akan dirawat, SOP RS mengharuskan pasien untuk menjalani prosedur Swab untuk
skrining COVID-19 selama masa pandemi. Keluarga pasien awalnya menolak swab karena takut
pasien di-Covid-kan dan takut keluarga dijauhi tetangganya. Namun setelah diedukasi dokter,
akhirnya keluarga setuju untuk pasien diperiksa swab dan hasilnya negatif.

STEP 1 : KLARIFIKASI ISTILAH

1. Refleks Fisiologis : Pemeriksaan refleks fisiologis merupakan


suatu prosedur diagnostik yang rutin
dilakukan untuk menilai mengevaluasi
fungsi sensorimotor pada tubuh.
Pemeriksaan ini tergabung pada
pemeriksaan neurologi lengkap.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk
menemukan lesi pada lower motor
neuron (LMN) seperti cauda equina
syndrome atau Guillain-Barre syndrome.
Maupun lesi pada Upper motor
neuron (UMN) seperti traumatic brain
injury maupun stroke.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang sederhana, namun dapat memberikan
informasi untuk membantu menegakkan
diagnosa adanya gangguan pada sistem
saraf.

(Lumbantobing S. Neurologi Klinik


Pemeriksaan Fisik dan Mental, 2014, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; Ed 17: hal
134-145)
2. Refleks Patologis : Gerakan volunter yang muncul akibat suatu
rangsangan. Gerakan ini seharusnya tidak
muncul pada orang dewasa sehat, tetapi
dapat muncul secara normal pada anak kecil
dan bayi sebagai refleks primitif.

(Lumbantobing S. Neurologi Klinik


Pemeriksaan Fisik dan Mental, 2014, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; Ed 17: hal
134-145)
3. LCS : Cairan yang mengisi sistem ventrikel dan
ruang subarachnoid yang bertujuan
melindungi otak dari benturan, bakteri dan
juga berperan sebagai pembersih
lingkungan otak. Jumlah cairan
serebrospinal pada orang dewasa berkisar
antara 75-150 ml. Jumlah ini konstan sesuai
hukum monroe-kelli kecuali jika terdapat
kondisi yang tidak seimbang antara
komponen parenkim, darah dan cairan
serebrospinal.

Departemen Anestesiologi & Reanimasi


Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Jurnal Neuroanestesi
Indonesia. Volume 8. No 1. 2019)
4. Kaku kuduk : Kaku kuduk dapat disebabkan oleh berbagai
macam proses patologik. Untuk
membedakan kaku kuduk karena
perangsangan terhadap selaput otak
(meningitis, meningo-ensefalitis) dan kaku
kuduk akibat spondilosis servikal, harus
dilakukan tindakan dari Brudzinski dan
Kernig.

Kaku kuduk (Rigiditas nuche). Istilah


nuchae merujuk pada bagian belakang leher.
Rigiditas nuchae berarti bahwa baik pasien
maupun pemeriksa tidak mampu melakukan
fleksi kepala pasie karena spasme refleks
otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang
subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi
(ensefalitis atau meningitis) atau karena
darah subaraknoid, menyebabkan rigiditas
nuchae.

(Kumar M, Das B, Kumar D. Meningeal


Signs–It’s Validity in Suspected
Meningitis. J Neurosci Clin Res, 2017.
Vol: 3)
5. Brudzisnki IV : Penekanan pada simfisis pubis.Tanda ini
positif (+) jika terjadi gerakan fleksi
reflektorik pada ekstremitas inferior (kaki)
(Program Pendidikan Dokter Spesialis
Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan
Sadikin, Bandung, Indonesia. Jurnal
CDK-237/ vol. 43 no. 2, th. 2016)

STEP 2 : Identifikasi Masalah

1. Mengapa pasien mengeluh nyeri kepala hebat?


2. Mengapa Pasien mengeluh demam menggigil?
3. Apakah batuk berdahak dan sesak mengindikasikan pasien mengalami gejala covid
atau merujuk ke penyakit lain?
4. Mengapa pasien tidak bisa dibangunkan (penurunan kesadaran) ?
5. Apa yang dimaksud pemeriksaan GCS?
6. Bagaimana prosedur pemeriksaan LCS?
7. Bagaiman interpretasi pemeriksaan LCS?
8. Apa yang terjadi pada pasien?
9. Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasien?
10. Apa yang dimaksud pemeriksaan Swab nasofaring SARS-Cov 2?

STEP 3 : Merumuskan Masalah


1. Mengapa pasien mengeluh nyeri kepala hebat?

Nyeri kepala merupakan salah satu keluhan yang sering menjadi alasan pasien
datang berobat. Klasifikasi nyeri kepala primer yang digunakan saat ini berdasarkan
ICHD-3 (International Classification of Headache Disorders). Nyeri kepala primer
dibagi menjadi 4 yaitu migren, nyeri kepala tipe tegang (tension type-headache),
Nyeri kepala trigeminal otonom (trigeminal autonomic cephalalgias) atau nyeri
kepala klaster dan nyeri kepala tipe lainnya

Secara umum, persepsi nyeri berubah seiring pertambahan usia. Persepsi nyeri
kepala akan berbeda antar usia muda dan usia lanjut. Perbedaan jenis kelamin juga
berperan dalam persepsi nyeri kepala. Perempuan lebih sering mengeluhkan nyeri
kepala dibanding laki-laki. Ada beberapa teori terkait nyeri kepala primer dan
hubungannya dengan jenis kelamin. Hubungan hormonal merupakan salah satu fokus
utama beberapa penelitian yang masih terus dikembangkan saat ini.

Jurnal Human Care. Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas. Volume 5;No.2.


(May, 2020)

Kelompok Studi Nyeri Kepala, PERDOSSI. Konsensus Nasional V. Diagnostik


dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. 2018. Hal 13-37

Sefalgia atau nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke belakang kepala. Berdasarkan
penyebabnya nyeri kepala digolongkan menjadi nyeri kepala primer dan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tidak jelas terdapat kelainan
anatomi atau kelainan struktur atau sejenisnya.

Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi
atau kelainan struktur atau sejenisnya, bersifat kronik progresif, meliputi kelainan
non vaskuler. Bedasarkan The International Classification of Headache Disorders
tahun 2013, nyeri kepala dibagi ke dalam tiga kategori menurut penyebabnya: nyeri
kepala primer, nyeri kepala sekunder dan neuralgia kranial.
Sefalgia kronik adalah nyeri kepala yang terjadi lebih dari tiga bulan, yang
mengalami pertambahan dalam derajat berat, frekuensi,dan durasinya serta dapat
disertai munculnya defisit neurologis yang lain selain nyeri kepala. Sefalgia kronik
bersifat progresif, berdenyut, dan memberat terutama pada pagi hari, pada seluruh
kepala terutama bagian depan dan dapat bertambah nyeri saat mengejan atau batuk
ataupun dengan perubahan posisi.

Sefalgia dapat merupakan tanda dari proses penyakit tertentu baik ekstrakranial
maupun intrakranial. Tumor dan abses serebral merupakan contoh dari space
occupying lesion yang menimbulkan nyeri kepala oleh karena terjadinya kompresi
jaringan otak terhadap tengkorak sehingga meningkatkan tekanan intrakranial. Mual
dengan atau tanpa muntah dapat menyertai nyeri kepala yang disebabkan oleh
migrain, glaukoma, space occupying lesion,dan meningitis.

(JURNAL MEDULA UNILA. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung)

2. Mengapa Pasien mengeluh demam menggigil?

Mycobacterium tuberculosis pertama akan menginfeksi paru-paru dan


bermultiplikasi pada makrofag alveolar. Multiplikasi makrofag alveolar
menyebabkan penyebaran Mtb ke organ lain, salah satunya otak khususnya pada
bagian selaput pembungkus otak (meninges).

Tubuh akan mengalami infeksi dan terjadi proses peradangan pada selaput
pembungkus otak, hal ini menyebabkan tubuh menstimulasi monosit dan makrofag
untuk memproduksi pirogen endogen seperti IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN-γ. Sitokin
pirogenik akan bekerja pada Preoptic Anterior Hypothalamus untuk menginduksi
produksi Prostaglandin E2 dan terjadi peningkatan set point temperatur tubuh yang
menyebabkan pasien demam. Prostaglandin E2 juga meningkatkan Blood Brain
Barrier Permeability yang akan menyebabkan edema vasogen dan mengakibatkan
terjadi peningkatan tekanan intrakranial di otak.
(Journal of Medicine and Health. Vol.2 No.3 February 2019. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran)

3. Apakah batuk berdahak dan sesak mengindikasikan pasien mengalami gejala


covid atau merujuk ke penyakit lain?
Infeksi virus corona baru penyebab Covid-19 dan penyakit tuberkulosis (TBC)
diketahui sama-sama dapat menimbulkan gejala batuk pada seseorang. Meski
demikian, gejala batuk yang muncul akibat virus corona memiliki ciri yang berbeda
dengan batuk karena TBC.
Gejala batuk akibat infeksi virus corona yang memiliki nama resmi SARS-CoV-2
itu bersifat akut. Sedangkan, batuk akibat penyakit TBC dikenal bersifat kronis. ciri
batuk yang mengindikasikan seseorang menderita Covid-19, yakni batuk kering yang
terjadi secara terus menurus. Batuk tersebut bisa terjadi setidaknya dalam waktu
setengah hari. Meski tidak semua orang yang mengalami batuk kering bisa disebut
100 persen positif Covid-19, tapi batuk jenis ini lebih berpotensi menjadi gejala
infeksi virus corona daripada batuk yang mengeluarkan dahak.
Pada penderita Covid-19, gejala batuk biasanya disertai juga dengan demam dan
sesak napas. Gejala tersebut biasanya muncul antara 2-14 hari setelah terpapar virus.
Sedangkan, batuk akibat penyakit TBC biasanya disertai dengan dahak kental dan
kadang-kadang muncul bercak darah. Selain batuk berdahak, pengidap penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis itu juga bisa merasakan
gejala lain, seperti: Nyeri dada Sesak napas Demam menggigil Berkeringat secara
berlebihan di malam hari Nasfsu makan turun sehingga bisa mengakibatkan
penurunkan berat badan secara drastis.

4. Mengapa pasien tidak bisa dibangunkan (penurunan kesadaran) ?

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri


(kualitas) dengan Ascending Reticular Activating System (ARAS) (kuantitas) yang
terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons.ARAS menerima serabut-serabut
saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan
secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu tombol off-on,
untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabutserabut saraf pada susunan saraf.
Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat dimana
kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau
input-input rangsangan sensoris (awareness). Neurotransmiter yang berperan pada
ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan Gamma
Aminobutyric Acid (GABA).

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal
maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan
dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, Koma juga dapat disebabkan oleh
penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi
adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik
yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan
metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik,
perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi,
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan
psikogenik.

Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada
perbaikan keadaan klinis.

(Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, (2010) American Academy of
N. Evidence-based guideline update: Determining brain death in adults: Report of
the quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology; 74:1911-8.)

5. Apa yang dimaksud pemeriksaan GCS?


Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh dokter dari Inggris, Teasdale
dan Jennet, sebagai alat bantu dalam menilai klinis kondisi penurunan kesadaran.
Teasdale dan Jannet, menyusun Glasgow Coma Scale untuk menilai tingkat
kesadaran secara kuantitatif. Kemudian GCS digunakan secara luas untuk
mengukur pasien individual, membandingkan efektifitas perawatan dan faktor
yang menentukan prognosis. GCS telah digunakan pada berbagai sistem
klasifikasi trauma dan penyakit kritis.

Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3-15, nilai terendah 3
dan tertinggi 15 yang berarti sadar. Skala dihitung dengan cara penjumlahan
semua nilai respon. Penjumlahan nilai respon merupakan tingkat kesadaran
pasien. Penurunan kesadaran akibat trauma atau nontrauma, dapat dikategorikan
tingkat penurunan kesadarannya menjadi: ringan (13-15 poin), moderat (9-12
poin) dan berat/koma (3-8 poin).

Respon membuka mata spontan biasanya menghilang pada keadaan koma,


sebagai fungsi dari penurunan tingkat kesadaran seiring dengan menutupnya
mata. Sementara titik berat penilaian fungsi motorik adalah pada gerakan lengan
dan tungkai. Respon fleksi lengan biasanya menunjukan lesi serebral inkomplit
kontralateral terhadap postur. Ekstensi menunjukan lesi serebral atau lesi batang
otak yang lebih dalam. Respon postur terdiri dari beberapa postur yang stereotip
dari tulang belakang dan ekstremitas kebanyakan muncul hanya jika dirangsang
nyeri atau dengan rangsangan yang sangat kuat.15 Postur dekortikasi adalah
postur fleksi lengan dengan ekstensi tungkai. Postur ini seringkali tampak
sebagian atau asimetris, mencerminkan lesi sentral yang kecil. Dekortikasi ini
umumnya disebabkan oleh kerusakan hemisfer serebri bilateral dengan fungsi
batang otak yang masuh baik, lesi yang meluas melibatkan disfungsi forebrain
mendorong ke midbrain. Pasien-pasien seperti ini tipikal mempunyai gerakan
mata yang normal. Pola yang sama respon motorik ini bisa dijumpai juga pada
pasien-pasien dengan bermacam-macam gangguan metabolik atau intoksikasi.

Salah satu kekurangan GCS adalah kegagalan dalam mengukur refleks batang
otak. Pengukuran ini memiliki bias numerik dalam menghitung respon motorik.
Masalah lain yang berkembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada pasien
terintubasi. Sehingga berbagai cara pengukuran lain telah dikembangkan untuk
mengatasi kekurangan GCS. Kendati memiliki kekurangan, Glasgow Coma Scale
masih digunakan secara luas untuk mengukur tingkat kesadaran

(Markam S. Pengantar neuro-psikologi. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit


FKUI; 2010)

6. Bagaimana prosedur pemeriksaan LCS?

Liquour Cerebrospinalis adalah cairan otak yang diambil melalui lumbal

punksi Cairan otak tidak boleh dipandang sama dengan cairan yang terjadi oleh

proses ultrafiltrasi saja dari plasma darah. Di samping filtrasi, faktor sekresi dari

plexus choriodeus turut berpengaruh. Karena itu cairan otak bukanlah transudat

belaka. Akan tetapi seperti transudat, susunan cairan otak juga selalu dipengaruhi

oleh konsentrasi beberapa macam zat dalam plasma darah.

Pengambilan cairan otak itu dilakukan dengan maksud diagnostik atau untuk

melakukan tindakan terapi. Kelainan dalam hasil pemeriksaan dapat memberi

petunjuk kearah suatu penyakit susunan saraf pusat, baik yang mendadak maupun

yang menahun dan berguna pula setelah terjadi trauma. Secara makroskopi,

mikroskopi, kimia, bakteriologi, dan serologi.

Cairan otak biasanya diperoleh dengan melakukan punksi lumbal pada lumbal

III dan IV dai cavum subarachnoidale, namun dapat pula pada suboccipital ke

dalam cisterna magma atau punksi ventrikel, yang dapat disesuaikan dengan

indikasi klinik. Seorang klinik yang ahli dapat memperkirakan pengambilan


tersebut. Hasil punksi lumbal dimasukkan dalam 3 tabung atau 3 syringe yang

berbeda, antara lain :

 Tabung I berisi 1 mL

Dibuang karena tidak dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan

karena mungkin mengandung darah pada saat penyedotan.

 Tabung II berisi 7 mL

Digunakan untuk pemeriksaan serologi, bakteriologi dan kimia klinik.

 Tabung III berisi 2 mL

Digunakan untuk pemeriksaan jumlah sel, Diff.count dan protein

kualitatif/kuantitatif.

Tata Cara :

1) Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (lutut

di tarik ke arah dahi ).

2) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara L4 dan L5 yaitu dengan menentukan garis

potong sumbu kraniospinal ( kolumna verterbralis ) dan garis antara kedua spina

ishiadika anterior superior ( SIAS ) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula di lakukan

anatara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.

3) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm

dengan larutan Povidon iodin di ikuti larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk

steril di mana daerah pungsi lumbal di biarkan terbuka.


4) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah

memakai sarung tangan steril selama 15 – 30 detik yang akan menandai titik pungsi

tersebut selama 1 menit.

5) Tasukan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah di tentukan. Masukan jarum

perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum

terbuka ke atas samapai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang

subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya

1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3 –5 tahun. Pada

remaja jaraknya 6 – 8 cm.

6) Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan

yang lebih baik, jarum di putar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil

cairan untuk pemeriksaan

7) Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester.

7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan LCS?


a. Warna
Normal warna LCS tampak jernih, wujud dan viskositasnya sebanding air.
- Merah muda → perdarahan trauma akibat pungsi
- Merah tua atau coklat → perdarahan subarakhnoid akibat hemolisis dan
- akan terlihat jelas sesudah disentrifuge
- Hijau atau keabu-abuan → pus
- Coklat → terbentuknya methemalbumin pada hematoma subdural kronik
- Xanthokromia → (kekuning-kuningan) pelepasan hemoglobin dari eritrosit yang
lisis (perdarahan intraserebral/subarachnoid); juga disebabkan oleh kadar protein
tinggi (> 200 mg/dl)
b. Kekeruhan
Normal → tidak ada kekeruhan atau jernih. Walaupun demikian LCS yang jernih
terdapat juga pada meningitis luetika, tabes dorsalis, poliomyelitis, dan
meningitis tuberkulosa.
Keruh → ringan seperti kabut mulai tampak jika :
- lekosit 200-500/ul3
- eritrosit > 400/ml
- mikroorganisme (bakteri, fungi, amoeba)
- aspirasi lemak epidural sewaktu dilakukan pungsi
- media kontras radiografi.
c. Konsistensi Bekuan
- Bekuan → banyak darah masuk
- Normal → tidak terlihat bekuan
- Bekuan → banyaknya fibrinogen yang berubah menjadi fibrin.
Disebabkan: trauma pungsi, meningitis supurativa, atau meningitis tuberkulosa.
Jendalan sangat halus à LCS didiamkan di dalam almari es selama 12-24 jam.
- LCS yang bercampur darah dalam jumlah banyak pada kedua tabung, tidak
dapat diperiksa karena karena akan sama hasilnya dengan pemeriksaan dalam
darah, terutama bila ada bekuan merah sebagaimana darah membeku.
- Adanya bekuan terlihat berupa kabut putih yang menggumpal karena bekuan
terdiri atas benang fibrin.

Protein Kualitatif

 Keadaan normal→ cairan otak mengandung sedikit sekali protein


 Perbandingan antara albumin dan globulin LCS leih kecil daripada dalam plasma
 Konsentrasi protein ↑ :
- Permeabilitas sawar darah-otak ↑ oleh radang
- Meningitis yang berat

Glukosa Kunatitatif
Menyusutnya kadar glukosa dalam LCS → meningitis purulenta (metabolism
leukosit & bakteri ↓ kadar glukosa à 0).
Semua mikroorganisme menggunakan glukosaà pe↓ kadar glukosa dapat
disebabkan oleh : fungi, protozoa, bakteri tuberculosis, dan bakteri piogen.
Meningitis oleh virus sedikit me↓ kadar glukosa dalam LCS.

(Slack SD, Turley P, Allgar V, Holbrook IB. Cerebrospinal fluid lactate:


measurement of an adult reference interval. Ann Clin Biochem.
2016;53(1):164–7 )

8. Apa yang dimaksud pemeriksaan Swab nasofaring SARS-Cov 2?

Dalam rangka diagnosis Covid-19, terdapat dua jenis pemeriksaan yang bisa
dilakukan. Yang pertama adalah swab test atau RT-PCR. Yang kedua adalah rapid
test atau tes serologis. Keduanya memiliki prosedur dan mekanisme yang berbeda
dalam menentukan hasil tes untuk diagnosis.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), swab test menggunakan metode


polymerase chain reaction atau PCR lebih direkomendasikan untuk diagnosis Covid-
19. Namun rapid test juga memiliki peran penting dalam deteksi dini penularan virus
corona di masyarakat. Dari deteksi dini, tim yang bertugas menangani Covid-19 bisa
menentukan langkah selanjutnya guna mencegah penularan lebih luas. Pemeriksaan
RT PCR merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi materi genetik
virus. Pemeriksaan PCR dapat menggunakkan sampel swab nasofaring (melalui
hidung) dan swab orofaring (melalui tenggorokan). Alat yang digunakan
menggunakan swab khusus yang digunakan untuk pemeriksaan PCR kemudian
dimasukkan kedalam tabung penampung ( viral transport media/ VTM).

Metode PCR terdiri dari beberapa tahap yaitu proses pelepasan dan penggandaan
materi genetik virus sehingga dapat dideteksi dengan alat. Pemeriksaan ini dilakukan
dalam ruangan laboratorium dan peralatan PCR yang sesuai dengan standar Biosafety
Level 2. Faktor yang berpengaruh pada pemeriksaan PCR antara lain faktor
pengambilan sampel, transportasi sampel, hingga proses pengerjaan sampelnya.
Untuk proses pengerjaan sampel hingga dikeluarkan hasil dapat memakan waktu
yang cukup lama dibandingkan pemeriksaan laboratorium lainnya. Untuk
memastikan adanya seseorang terinfeksi virus SARS COV-2 ini dianjurkan
menggunakan PCR SARS COV-2.

Pemeriksaan Swab PCR menggunakan sampel lendir yang dapat diambil melalui
hidung (nasofaring) atau mulut (orofaring). Hasil pemeriksaan Swab PCR ini akan
benar-benar menunjukkan keberadaan virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-
19 di dalam tubuh pasien. Tahapan prosedur pemeriksaan Swab PCR ini yaitu, alat
swab / dacron yang akan diusapkan ke area belakang hidung/ nasofaring untuk
memperoleh sampel cairan atau lendir yang ada di area ini. Kemudian sampel yang
diambil akan di analisa menggunakan teknis PCR di Laboratorium Klinik.
Virus penyebab COVID-19 merupakan virus RNA, deteksi virus ini dengan
tes PCR akan diawali dengan proses konversi (perubahan) RNA yang ditemukan di
sampel menjadi DNA. Proses mengubah RNA virus menjadi DNA dilakukan dengan
enzim reverse-transcriptase, sehingga di sebut dengan Reverse-
Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Setelah RNA diubah menjadi DNA, barulah alat PCR akan melakukan
amplifikasi atau perbanyakan materi genetik ini sehingga bisa terdeteksi. Jika alat
PCR mendeteksi RNA virus Corona di sampel nasofaring yang diperiksa, maka
hasilnya dikatakan positif.

(Sahin AR. 2019 Novel Virus corona (COVID-19) Outbreak: A Review of the
Current Literature. Eurasian J Med Investig. 2020;4(1):1–7)

9. Apa yang terjadi pada pasien?


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Penyakit TB terutama menyerang paru-paru,
namun juga dapat menyerang organ lain yang disebut dengan TB ekstra paru.
Meningitis tuberkulosis (MTB) adalah TB ekstra paru yang mengenai selaput
pembungkus otak serta sumsum tulang belakang dan menyebabkan proses
peradangan.1 Meningitis tuberkulosis merupakan TB pada susunan saraf pusat
(SSP) yang paling sering dan paling berat dengan tingkat kematian yang tinggi.2
Penderita MTB tercatat sebanyak 1,5% ditemukan pada pasien-pasien TB.
Tingkat mortalitas dari MTB tergolong tinggi dengan persentase 20-41%.
Beberapa faktor yang diketahui berhubungan dengan risiko kematian yang tinggi
adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) (40-58%) tingkat keparahan
penyakit, level kesadaran pasien, serta usia. Human Immunodeficiency Virus
merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh dan melemahkan sistem
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Meningitis tuberkulosis
adalah salah satu dari lima penyakit TB ekstra paru yang paling sering terjadi
dengan persentase 0.7% dari seluruh kasus TB Tingkat keparahan MTB
digolongkan berdasarkan British Medical Research Council grade (BMRC)
menjadi tiga tingkatan yaitu tingkat 1, 2, dan 3.
10. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
Diagnosis meningitis tuberkulosis dapat ditetapkan berdasarkan gambaran
klinis maupun radiologis. Diagnosis berdasarkan ke dua hal tersebut tidak dapat
dijadikan patokan untuk diagnosis pasti meningitis tuberculosis. Diagnosis pasti
meningitis tuberkulosis ditetapkan berdasarkan ditemukannya M.tuberculosis di
cairan serebrospinal (CSS), melalui pemeriksaan mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) mempunyai
kepekaan yang rendah dan beragam antara 20–58%. Biakan M.tuberculosis
mempunyai kepekaan yang lebih tinggi dan beragam antara 50–70%, akan tetapi
hasil pemeriksaan baru akan didapat setelah 6 sampai 8 minggu. Hal tersebut
yang menyebabkan mengapa hasil periksaan bakteri dalam CSS mempunyai
kepekaan yang rendah, menurut telitian hasilan Thwaites dkk adalah karena
rendahnya kepekatan M.tuberculosis dalam CSS. Namun demikian, sampai saat
ini biakan masih tetap dijadikan baku emas, sedangkan pemeriksaan mikroskopik
digunakan sebagai penguatan terhadap hasil biakan.
Hal yang perlu diperhatikan juga adalah cara mengambil CSS yang invasif
dan harus dilakukan oleh tenaga terampil. Karena itu diperlukan pemeriksaan
yang lebih mudah cara mengambilnya, lama waktu memeriksa cepat, tepat untuk
penguatan diagnosis meningitis tuberkulosis, yaitu dengan pemeriksaan serologis
(bahan pemeriksaan serum). Pemeriksaan serum tersebut adalah untuk menilai
respons imun penderita yang khusus untuk M.tuberculosis, yaitu pemeriksaan
imunoglobulin (IgM dan IgG). Saat ini telah terdapat reagen untuk pemeriksaan
IgM/IgG, bersifat kualitatif dan hasil periksaan diperoleh dengan cepat. IgG
positif menandakan infeksi kronis TB. IgM dan IgG positif menandakan
peneralan (reaktivasi) infeksi kronis atau infeksi TB aktif. IgM positif
menandakan jangkitan/tularan TB yang baru.

(Thwaites GE, Chau TTH, Farrar JJ. Improving the Bacteriological


Diagnosis of Tuberculous Meningitis. Oxford University Clinical Research Unit
2003)

STEP 4 : Skema

TB MENINGITIS

Etiologi Px. Fisik Tatalaksana Komplikasi Peran Dokter


Keluarga
Patofisiologi Px. Penunjang Prognosis

DD

Dx. Klinis
STEP 5 : Sasaran Belajar

1. Etiologi dan Patofisiologi TB Meningitis


2. Px. Fisik, Px. Penunjang, DD dan Dx. Klinis TB Meningitis
3. Tatalaksana TB Meningitis
4. Komplikasi dan Prognosis TB Meningitis
5. Peran Dokter Keluarga
6. AIK

STEP 6 : Belajar Mandiri

DAFTAR PUSTAKA

1) Brancusi F, Farrar J, Heemskerk D. Tuberculous meningitis in adults: a review of a


decade of develo- pments focusing on prognostic factors for outcome. Future
microbiology. 2012;7(9):1101–1116.
2) Journal of Medicine and Health. Vol.2 No.3 February 2019. Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
3) Kelompok Studi Nyeri Kepala, PERDOSSI. Konsensus Nasional V. Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Kepala. 2018. Hal 13-37
4) Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: PT dian rakyat; 2007. hlm. 242.
5) Markam S. Pengantar neuro-psikologi. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
6) Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, (2010) American Academy of N.
Evidence-based guideline update: Determining brain death in adults: Report of the
quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology;
74:1911-8.

Anda mungkin juga menyukai