Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

SPACE OCCUPYING LESION (SOL)

Pembimbing :
dr. Christina Aritonang, SpN

Disusun oleh :
Veronica Lusiana Sinurat
1765050185

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 6 MEI – 15 JUNI 2019
JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

Space occupying lesion (SOL) ialah lesi fisik substansial, seperti

neoplasma, perdarahan, atau granuloma, yang menempati ruang.1 SOL

intrakranial didefinisikan sebagai berbagai lesi, baik vaskular, neoplasma, atau

inflamasi, yang meningkatkan ukuran isi intrakranial dan meningkatkan tekanan

intrakranial.2 SOL memberikan tanda dan gejala akibat tekanan intrakranial,

intracranial shift, atau herniasi otak, sehingga dapat mengakibatkan “brain

death”.3 SOL intrakranial merupakan penyebab penting dari morbiditas

neurologi. SOL pada sistem saraf pusat (SSP) memberikan perjalanan klinis yang

serius baik lesi inflamasi maupun neoplasma jinak.4

Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang

dinamis dan fluktuatif yang dipengaruhi oleh cairan serebrospinal, jaringan otak

dan darah. Tekanan ini dinamik dan berfluktuatif secara ritmis mengikuti siklus

jantung, respirasi, dan perubahan proses fisiologis tubuh; secara klinis bisa diukur

dari tekanan intraventrikuler, intraparenkimal, ruang subdural, dan epidural.

Pengukuran kontinu pada satu kompartemen intrakranial akan memperlihatkan

perubahan fisiologis dan patologis ruang dalam tengkorak dari waktu ke waktu,

yang diperlukan untuk dasar pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Space Occupying Lesion (SOL)

SOL dapat juga disebut sebagai lesi desak ruang. Adanya proses desak

ruang perlu dipikirkan bila didapatkan gejala peningkatan tekanan intrakranial,

riwayat keluhan pusing, muntah yang telah berlangsung lama, penurunan

kesadaran, dilatasi pupil, kejang fokal atau umum, dan edem papil. Demam yang

berlangsung lama dicurigai ke arah abses otak, sedangkan tak adanya demam

dicurigai ke arah tumor.6

Berdasarkan letaknya SOL dibagi atas supratentorial dan infratentorial.

Proses desak ruang pada daerah supratentorial akan memberikan gejala berupa

kelemahan wajah, lengan dan tungkai, disfasia, perubahan kepribadian (lobus

frontalis); gangguan lapang pandang (lobus oksipitalis); disfasia reseptif,

gangguan pendengaran (lobus temporalis); apraksia, buta huruf (daerah korpus

kalosum); gangguan sensasi, kebingungan kiri atau kanan, sensorik atau motorik

(lobus parietalis); gangguan endokrin (kelenjar hipotalamus atau hipofisis). Proses

desak ruang pada daerah infratentorial akan memperlihatkan gejala paresis saraf

kranialis III – XII, gangguan motorik dan sensorik, gerak bola mata, penurunan

kesadaran, tremor, dilatasi pupil (daerah batang otak); jalan ataksik, tremor

intensi, dismetri, disartria dan nistagmus (daerah serebelum).7


Gambar 1. Letak SOL

2.2 Tekanan Intrakranial (TIK)

Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam ruang tengkorak yang

dinamis dan fluktuatif yang dipengaruhi oleh cairan serebrospinal, jaringan otak

dan darah. Doktrin Monro-Kellie menyebutkan bahwa otak, darah, dan cairan

serebrospinal (CSS) merupakan komponen yang tidak dapat terkompresi

(konstan), peningkatan salah satu komponen ataupun ekspansi massa di dalam

tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial.5 Dalam otak

normal, peningkatan ukuran lesi massa yang tumbuh dapat dikompensasi dengan

perpindahan volume CSS yang sama dari kompartemen.8 Tubuh memiliki

berbagai mekanisme melalui pergeseran dalam produksi dan penyerapan CSS

yang membuat tekanan intrakranial stabil, bervariasi sekitar 1 mmHg pada orang

dewasa normal. Tekanan CSS telah terbukti dipengaruhi oleh perubahan

mendadak tekanan intratoraks selama batuk (tekanan intraabdominal), manuver

Valsava, dan komunikasi dengan pembuluh darah (sistem vena dan arteri). TIK
diukur pada saat istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk dewasa terlentang.5

Gambar 2. Kompensasi intrakranial

Perubahan TIK dikaitkan dengan perubahan volume dalam satu atau lebih

konstituen di dalam tempurung kepala. Tengkorak dan kanal tulang belakang,

bersama dengan duramater relatif inelastis, membentuk sebuah wadah yang kaku,

sehingga peningkatan apapun dari otak, darah, atau CSS akan cenderung

meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Selain itu, setiap peningkatan salah satu

komponen harus dengan mengorbankan dua lainnya (doktrin Monro – Kellie).

Peningkatan kecil volume otak tidak menyebabkan peningkatan TIK langsung,

karena CSS akan dipindahkan ke kanal tulang belakang, serta sedikit

meregangkan falks cerebri. Namun, setelah TIK sudah mencapai sekitar 25


mmHg, peningkatan kecil volume otak sudah dapat menyebabkan peningkatan

TIK.5

Pembatasan tekanan intrakranial menyebabkan pembatasan tekanan pada

setiap kompartemen otak. Ketika tekanan di salah satu kompartemen lebih rendah,

akan terjadi ketidakseimbangan tekanan, yang dapat menyebabkan herniasi.

Dengan demikian, pergeseran intrakranial menjadi perhatian serius. Penurunan

kesadaran pada pasien jarang karena fungsi dari peningkatan TIK itu sendiri,

tetapi biasanya hasil dari ketidakseimbangan tekanan antara kompartemen yang

berbeda yang mengarah ke herniasi jaringan.8

Gambar 3. Herniasi otak


2.3 Jenis-jenis Space Occupying Lesion (SOL)

Ada beberapa jenis SOL yang dapat terjadi pada sistem saraf pusat: 6

Tabel 1. Jenis-jenis SOL


2.3.1 Abses Otak

Berbagai macam mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur dan

parasite, dapat menginvasi parenkim otak, membuat terjadinya ensefalitis

destruktif akut. Walau demikian, jika respon imunitas berhasil melawan

mikroorganisme, abses kronik atau granuloma dapat terbentuk, dan lebih bersifat

sebagai massa yang kompresif.9

Penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam/di antara parenkim otak,

dengan etiologi bermacam-macam meliputi:10

 Bakteri (yang sering) : Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob,


Streptococcus β hemolitikus, Streptococcus α hemolitikus, E.coli,


Bacteroides.

 Jamur : N.asteroids, Candida, Aspergillus, Actinomycetes 


 Parasit : E.Histolitika, Cystisercosis, Schistosomiasis 


Agen infektif mencapai otak secara hematogen atau ekstensi langsung dari

organ terdekat yang terinfeksi (sinus paranasal, telinga tengah). Kebanyakan abses

otak bacterial dalam hemisfer otak, terjadi pada lobus frontal atau temporal. Pada

kebanyakan negara di Amerika Utara dan Selatan, sistiserkosis merupakan

penyebab terbanyak yang menginfeksi hemisfer otak. Walau demikian,

sistiserkosis menimbulkan gejala kejang, dan hanya terkadang hanya sebagai

massa. Pada negara-negara yang sering berternak domba sebagai aktivitas sehari-

hari, kista echinococcal (hydatid) juga bisa menyebabkan abses.8

Karena gejala yang ditimbulkan terutama karena kompresi otak, gejala

klinis abses otak mirip dengan neoplasma otak, namun abses otak biasanya
berkembang lebih cepat.8

Tabel 2. Tanda dan gejala abses otak

Nyeri kepala, tanda defisit neurologis fokal, dan kejang sering terjadi.

Demam dan rigiditas pada tengkuk pada umumnya terjadi hanya saat fase infeksi

ensefalitis awal, dan jarang terjadi pada abses otak yang dienkapsulasi. Diagnosis

ini dapat dicurigai pada pasien dengan sumber infeksi yang diketahui atau pasien

imunosupresan.8

Kriteria diagnosis pada abses otak:10

 Gambaran klinisnya tidak khas. Kriteria terdapat gejala infeksi seperti

demam; peningkatan tanda TIK (sakit kepala yang semakin memberat,

muntah proyektil, penurunan kesadaran), dan tanda neurologis fokal.

 Pemeriksaan darah rutin: 50-60% didapati leukositosis, 70-95% LED

meningkat.

 Ditemukan fokus seperti otitis media, sinusitis, endokarditis, pneumonia,

selulitis.
 CT Scan kepala dengan kontras: massa hipodens dengan penyangatan

cincin pada tepinya 


Secara histopatologi, abses otak dibagi menjadi 4 stadium:9

 Early cerebritis (1-3 hari)

 Late cerebritis (4-9 hari)

 Early capsule formation (10-13 hari)

 Late capsule formation (> 14 hari)

Early capsule Late capsule


Early cerebritis Late cerebritis
formation formation

Hari ke 1-3 Hari ke 4-9 Hari ke 10-13 > hari ke-14


Infeksi sel-sel Pusat nekrotik Berkurangnya Jaringan nekrotik
radang, bakteri (+) yang meluas jaringan nekrotik, sedikit, fibroblas
pada pewarnaan neovaskularitas terus meningkat
gram maksimal
Edema substansia Terbentuknya Fibroblas dan Pembentukan
alba, batas belum fibroblas makrofag kapsul berisi sel
jelas meningkat, inflamasi dan
pembentukan debris, edema
kapsul dan edema semakin meluas

Tabel 3. Stadium abses otak

Tatalaksana abses serebri:10

 Terapi kausal:

Terapi empirik:
− Sefalosporin generasi III intravena (Ceftriaxone 2

gr/12 jam IV atau Cefotaxime 2 gr/8 jam iv)
− Metronidazole 500 mg/8
jam IV

Terapi empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai

dengan hasil tes sensitivitas kuman yang diisolasi dari abses atau dari

sumber infeksi. Jika hasil isolasi tidak ditemukan kuman penyebab, maka

terapi empirik dapat dilanjutkan hingga 6-8 minggu.

 Antiedema: dexamethason/manitol sesuai indikasi 


 Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter > 2,5 cm

2.3.2 Tumor Otak

Tumor otak adalah sekelompok tumor yang timbul dalam sistem saraf

pusat baik primer maupun metastasis.10 
Gejala yang timbul pada pasien dengan

kanker otak tergantung dari lokasi dan tingkat pertumbuhan tumor. Kombinasi

gejala yang sering ditemukan adalah peningkatan tekanan intrakranial (sakit

kepala hebat disertai muntah proyektil), defisit neurologis yang progresif, kejang,

penurunan fungsi kognitif.11

Kriteria diagnostik tumor otak:10,11

Pada anamnesis ditanyakan kepada pasien,

 Sakit kepala yang memburuk terutama di malam hari 


 Mual dan muntah bersamaan dengan sakit kepala yang memberat 


 Penurunan kesadaran 


 Paresis saraf-saraf kranialis 


 Perubahan mood, memori, atau kemampuan untuk berkonsentrasi 



 Gangguan fungsi kognitif dan memori 


 Kejang 


 Kelemahan dan/atau rasa baal, tingling pada ekstremitas. 


Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker

otak, khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis.

Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme

langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme

tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan: Pemeriksaan neurologis, funduskopi,

fungsi luhur (MMSE dan Moca-Ina), neurooftalmologi. 


Tatalaksana tumor otak:

 Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri

dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang

efeknya sudah dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang

direkomendasikan adalah deksametason dengan dosis bolus intravena 10

mg dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari intravena lalu tappering off 2-

16 mg (dalam dosis terbagi) bergantung pada klinis. Mannitol tidak

dianjur- kan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali

bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang berat, seperti

pascaoperasi.

 Pembedahan, bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang tepat,

menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan

meningkatkan efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya


direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel.

Kanker otak yang terletak jauh di dalam dapat diterapi dengan tindakan

bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan

umum buruk, toleransi operasi rendah).

 Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak.

Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai

adjuvant pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah

dilakukan tindakan operasi.

 Pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak menimbulkan efek sedasi

atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker otak pada umumnya.

Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20 mg/berat

badan perkali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral

maupun intravena sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri

neuropatik yang lebih dominan, maka golongan antikonvulsan menjadi

pilihan utama, seperti gabapentin 100- 1200 mg/hari, maksimal 3600

mg/hari.

 Tiga puluh persen pasien akan mengalami kejang sebagai manifestasi

awal. Bentuk bangkitan yang paling sering pada pasien ini adalah

bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder.

Oleh karena tingginya tingkat rekurensi, maka seluruh pasien kanker otak

yang mengalami kejang harus diberikan antikonvulsan. Pemilihan

antikonvulsan ditentukan berdasarkan pertimbangan dari profil efek

samping, interaksi obat dan biaya.
Obat antikonvulsan yang sering


diberikan seperti fenitoin dan karbamazepin kurang dianjurkan karena

dapat berinteraksi dengan obat-obatan, seperti deksamethason dan

kemoterapi. Alternatif lain mencakup levetiracetam, sodium valproat,

lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin.


BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas
Nama : Tn. G
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 66 tahun
No. RM : 00.06.79.09
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Cipinang
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Kristen
Tanggal Masuk : 16 Juni 2019

II. Anamnesis
Alloanamnesis tanggal : 16 Juni 2019
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
Keluhan tambahan : Gemetar pada kedua tangan dan kaki¸
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RS UKI dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS.
Pasien sebelumnya hanya terbaring di tempat tidur, namun sesekali masih
memberikan respon. Pasien belum pernah seperti ini sebelumnya. Keluarga pasien
juga mengeluhkan kedua tangan dan kaki pasien gemetar, sudah sejak 1 bulan
yang lalu. Selain itu, selama 1 minggu terakhir pasien mengalami demam dan
batuk-batuk. Keluhan pasien bertambah berat sejak 1 hari yang lalu, dimana
pasien juga bicara meracau saat di jalan menuju ke RS. Nyeri kepala sebelumnya
disangkal, mual muntah sebelumnya disangkal, kejang disangkal, riwayat trauma
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 CKD on HD sejak Januari 2019
 Riwayat diabetes mellitus
 Riwayat sirosis hepatis
 Riwayat jantung
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak diketahui
Riwayat Kebiasaan Pribadi : Restriksi cairan 800 cc

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : GCS E2M5V4
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/menit
Pernafasan : 24x/menit
Suhu : 36.7o C
Saturasi oksigen : 98%

Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : CA -/-, SI -/-
Leher : JVP distensi (+)
Thoraks
Inspeksi : simetris
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : BND bronchial, rhonki +/+
Abdomen
Inspeksi : membuncit
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel
Ekstremitas : edema (-), akral hangat

Status Neurologis
1. Rangsang Meningen
Kaku kuduk : (-)
Kernig : -/-
Lasegue : >70 / >70
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : -/-

2. Nervus Cranialis
N. I : sulit dilakukan
N.II : sulit dilakukan
Nervus Cranialis
N.III, IV, VI : Sikap bola mata sulit dilakukan
Pergerakan bola mata sulit dilakukan
Ptosis, nistagmus sulit dilakukan
Eksof/enoftalmus (-)
Diplopia sulit dilakukan
Deviasi konjugae (-)
Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm
Refleks cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+
Refleks akomodasi sulit dilakukan
N.V : Sensorik sulit dilakukan
Motorik sulit dilakukan
Refleks kornea (+)
Refleks maseter (-)
N.VII : Sikap wajah asimetris
Angkat alis +/+
Kerut dahi +/+
Menyeringai SNL mendatar di kanan
Kembung pipi sulit dilakukan
Rasa kecap sulit dilakukan
Fenomena Chovstek (-)
N.VIII : sulit dilakukan
N.IX,X: Arkus faring simetris
Palatum molle intak
Refleks faring (+)
N.XI : sulit dilakukan
N.XII : sulit dinilai

3. Motorik
Gerak tremor + +
+ +
Derajat kekuatan otot: lateralisasi dextra
Refleks fisiologis ++ ++
+++ ++
Refleks patologis Babinski +/+
Chaddock +/+
Trofi otot + +
+ +
Tonus otot +++ +++
++ ++
Cogwheel rigidity (+)
Klonus (-)

4. Koordinasi
Statis sulit dilakukan
Dinamis sulit dilakukan
5. Sensibilitas sulit dilakukan
6. Vegetatif
Miksi, anuria (+)

7. Fungsi luhur : sulit dilakukan

8. Tanda regresi : (-)

9. Palpasi saraf (perbesaran)


N. Auricularis magnus (-)
N. Ulnaris (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (16/7/19)
Foto Thorax AP (16/7/19)
Kesan: Bronkopneumonia dan efusi pleura sinistra

Gula Darah Sewaktu


EKG (16/7/19)

CT brain non kontras (16/7/19)

Kesan:

1. Bone -> tidak ada fraktur


2. Gyrus tidak tampak, sulcus menyempit -> edem cerebri
3. Lesi hipodens hampir di seluruh hemisfer cerebri sinistra bentuk tidak
beraruran
4. Sistem ventrikel  terdapat penyempitan pada ventrikel lateral sinistra
karena desakan lesi
5. Tidak tampak midline shift

V. Diagnosis
Klinis : penurunan kesadaran + hemiparese dextra + tremor
Topis : hemisfer cerebri sinistra
Etiologi : susp SOL + Parkinsonism
Diagnosis banding :
- CVD non hemoragik

VI. Terapi IGD


Pro rawat inap
Medikamentosa :
IVFD inj plug
Ketorolac 2x1 amp (iv)
Dexamethasone 3x1 amp (iv) tap off/hari
Non medikamentosa :
Rawat bersama penyakit dalam
Observasi GCS, KU, TTV
Interna:
Pasang NGT
Drip insulin 1 unit/jam (sp)
Ca glukonas 3x1 amp (iv)
Diet NGT 6x100 cc
Gliquidon stop
Cek GDS / 4 jam
Ciprofloxacin 2x800 mg (iv)
Alih rawat neurologi
VII. Follow-up Harian
PH : 1

PH : 2
PH : 3

PH : 4
PH : 5
BAB IV

PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis terhadap suatu lesi desak ruang sangat penting untuk

mencegah komplikasi lebih lanjut yaitu herniasi batang otak. Pada kasus ini,

manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan

mengarah kepada adanya suatu lesi desak ruang. Jenis lesi desak ruang belum bisa

ditegakkan secara pasti karena perlu dilakukan CT brain dengan kontras. Namun,

CT brain dengan kontras juga tidak bisa dilakukan karena fungsi ginjal pasien

yang menurun.

Pada terapi yang diberikan kepada pasien, terdapat beberapa obat yang

belum sesuai dengan teori yang ada. Ketorolac yang diberikan sebagai anti nyeri

pada pasien tidak seharusnya diberikan, karena ketorolac termasuk dalam

golongan NSAID yang memiliki efek nefrotoksik langsung. Sebaiknya pasien

diberikan tramadol yang tidak memiliki efek nefrotoksik langsung dan aman bagi

pasien penderita CKD.12 Pemberian deksametason, clonazepam, ranitidine, dan

ceftriaxone juga sudah tepat diberikan kepada pasien sesuai dengan teori.

Pemberian phenitoin tidak dianjurkan karena memiliki interaksi dengan obat-

obatan steroid seperti deksametason, namun pada kasus ini pasien tetap diberikan

phenitoin sebagai profilaksis kejang.

Lesi desak ruang pada pasien ini diduga adalah suatu abses serebri dengan

diagnosis banding tumor otak. Abses serebri sesuai dengan perjalanan klinisnya

dalam 1 minggu pertama, pasien mengalami tanda infeksi seperti demam dan
batuk, didukung dengan bunyi rhonki pada auskultasi, dan gambaran pneumonia

dd/ TB paru pada foto thorax. Selain itu, pasien juga mengalami penurunan

kesadaran, hasil laboratorium darah dimana LED dan leukositosisnya

meningkat.13 CT brain tanpa kontras tidak menunjukkan lesi abses yang jelas,

kemungkinan pasien sedang dalam stadium pembentukan kapsul awal. Tumor

otak menunjukkan gejala progresif lambat, sedangkan pasien ini mengalami gejala

lesi desak ruang baru sekitar 1 minggu SMRS.

Pada perawatan hari ke-5, pasien apneu pada pagi hari. Kemungkinan

penyebab kematian pasien adalah asidosis metabolik dan toksin pada tubuh pasien

akibat sepsis dan kadar ureum yang tinggi. Hal ini terlihat dari hasil laboratorium

pasien yaitu analisis gas darah, darah perifer lengkap, dan kadar ureum creatinin.

Selain itu, riwayat penyakit dahulu pasien yang mengenai berbagai organ vital

mengakibatkan komplikasi yang menjadi penyebab kematian pasien.


DAFTAR PUSTAKA

1. Fynn E, Khan N, Ojo A. Meningioma- a review of 52 cases. SA J of Radiology.


2004: 3-5.
2. Study of intra-cranial space occupying lesion in children at tertiary care centre,
Ahmedabad, Gujarat, India Nisha Prajapati. International Journal of
Contemporary Pediatrics Prajapati N. Int J Contemp Pediatr. 2017 Nov;4(6):2193-
2195

3. Cross SS. Underwood’s pathology: A clinical approach. Edisi ke-6. China:


Elsevier;2013.
4. Dogar T., Imran A.A., Hasan M., Jaffar R., Bajwa R. And Qureshi I.D.
Department of Pathology, Postgraduate Medical Institute, University of Health
Sciences, Lahor. Space Occupying Lesions Of Central Nervous System: A
Radiological And Histopathological Correlation Vol. 31, Issue 1, January 2015.
5. Indra Gunawan Affandi, Reggy Panggabean. Pengelolaan Tekanan Tinggi
Intrakranial pada Stroke Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP
Hasan Sadikin Bandung CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016

6. Samar Betmouni Seth Love . Pathology of space-occupying lesions of the CNS.


2004. The Medicine Publishing Company Ltd.

7. M, Irawan. Sari pediatric

8. Plum and Posners: Diagnosis of Stupor and Coma

9. Rahayu. 2015. Abses otak dan penanganannya, UMM

10. Perdossi

11. PPK Otak 2016

12. Phuong-Chi T. Pham, Edgar Toscano. 2009. Pain management in patients


with chronic kidney disease, NDT

13. Habib, Anjum. 1990. Diagnosis of SOL of brain. Proceeding Vol. 41

Anda mungkin juga menyukai