BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................25
1
BAB I
PENDAHULUAN
Trombosis vena dalam atau Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah
satu manifestasi dari entitas penyakit tunggal, yaitu tromboemboli vena atau
Venous Thromboembolism (VTE).1 Trombosis vena dibentuk karena pembentukan
bekuan darah di dalam vena. Sebagian besar terjadi pada vena yang dalam di
dalam tungkai yang dikenal dengan deep vein thrombosis (DVT) yang sering
merupakan awal terjadinya emboli ke paru (pulmonary embolism atau PE).2
Gejala dari trombosis vena sering tidak spesifik, oleh karena itu
diagnosisnya menjadi sulit dan memerlukan test yang objektif untuk
menegakkannya.2 Diagnosis dini dan penanganan DVT yang tepat serta
komplikasinya dapat menyelamatkan banyak nyawa. Diagnosis dapat diperoleh
secara noninvasif melalui pemeriksaan ultrasonografi. Tujuan farmakoterapi
untuk DVT adalah untuk mengurangi morbiditas, mencegah sindrom paska
trombotik (PTS), dan emboli paru. Agen utama dalam pengobatan berupa
antikoagulan dan trombolitik.1,3
Selain ancaman langsung terkait emboli paru, risiko kecacatan besar
jangka panjang dari sindrom paska-trombotik tinggi. Sebagian besar morbiditas
akibat DVT berasal dari terjadinya sindrom paska-trombotik, yang terjadi pada
50% pasien dalam 2 tahun DVT dan mencakup sejumlah gejala termasuk nyeri
kaki, pembengkakan, dan pada kasus yang parah, ulkus vena.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
ditemukan pada pria dibandingkan wanita. DVT juga lebih umum ditemukan pada
ras kulit hitam, Hispanik dibandingkan ras Kaukasian. 4
Pada 25-50% episode DVT pertama, tidak ada faktor predisposisi yang
diidentifikasi. 5 Berikut beberapa faktor terjadinya DVT, di antaranya :
II.3.1. Genetik
Penyebab trombosis vena salah satunya adalah pada varian genetik.
Kelainan ini termasuk mutasi gen antikoagulan endogen sehingga kehilangan
fungsi serta mutasi pada fungsi protein prokoagulan. 6
4
protein S ,karena protein S sendiri merupakan kofaktor dari protein C. Angka
kejadian untuk defisiensi protein C dan protein S yang simptomatik adalah 1 per
16.000 sampai dengan 1 per 32.000 populasi, sedangkan angka kejadian
asimtomatik adalah 1 per 500 orang dalam populasi.7
Polimorfisme metilen tetrahidrofolat reduktase serta
hiperhomosisteinemia telah terbukti sebagai faktor risiko independen untuk
trombosis vena. 6
II.3.2. Keganasan
Keganasan dapat memberi efek kompresi pada vena sehingga
berkontribusi pada terjadinya stasis vena. Keganasan juga mengakibatkan
terlepasnya prokoagulan seperti faktor jaringan pada partikel membran yang
menimbulkan thrombosis.3
Selain itu, pasien yang menjalani pengobatan aktif untuk kanker seperti
kemoterapi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko DVT, kemungkinan akibat
inhibisi aktivitas protein C dan S plasma. 4
5
DVT lebih sering terjadi pada pasien dengan fraktur ekstremitas bawah
atau setelah operasi ortopedi mayor. Pada pasien-pasien ini, DVT diduga terjadi
akibat cedera dinding pembuluh darah, imobilitas, dan jalur koagulasi yang
teraktivasi. 4
II.3.5. Trauma
Kejadian DVT secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan fraktur
ekstremitas bawah dibandingkan mereka dengan trauma di tempat lain, seperti
perut, wajah atau dada. DVT pada pasien trauma mungkin mengalami komplikasi,
misalnya dengan adanya koagulopati dini yang dapat mengacaukan terapi
antikoagulan berikutnya, serta terjadinya hipoperfusi dan asidosis, selain upaya
resusitasi. Oleh karena itu homeostasis sistem koagulasi bergeser ke arah keadaan
pro-trombotik awal setelah cedera traumatis, mendukung perlunya profilaksis
pada tromboemboli awal. Pasien dengan trauma mayor berada pada sekitar enam
kali lipat peningkatan risiko DVT dibandingkan dengan mereka yang trauma
minor. 4
II.3.6. Lain-lain
Obesitas dan penggunaan kontrasepsi oral merupakan faktor risiko independen
untuk trombosis. Bersama-sama, keduanya meningkatkan risiko trombosis secara
sinergis.3 Selain itu, imobilitas, pembedahan, rawat inap, kehamilan dan masa
nifas, keadaan hiperkoagulasi bawaan/didapat, infark miokard, riwayat DVT,
varises, infeksi, penyakit radang usus, dan gangguan ginjal adalah risiko umum
faktor untuk DVT. 4
6
cedera vaskular, dan hiperkoagulabilitas. Stasis vena adalah yang paling penting
dari tiga faktor, tetapi stasis saja tidak cukup untuk menyebabkan pembentukan
trombus. Namun, kondisi bersamaan dari stasis vena dan cedera vaskular atau
hiperkoagulabilitas sangat meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah.
Kondisi klinis yang paling erat terkait dengan DVT pada dasarnya terkait dengan
unsur-unsur Triad Virchow. Hal ini termasuk pembedahan atau trauma,
keganasan, imobilitas berkepanjangan, kehamilan, gagal jantung kongestif,
varises, obesitas, usia lanjut, dan riwayat DVT. 3
Trombosis vena cenderung terjadi di daerah dengan aliran darah yang
menurun atau berubah secara mekanis seperti kantung yang berdekatan dengan
katup di vena dalam tungkai. Sementara katup membantu meningkatkan aliran
darah melalui sirkulasi vena, katup ini juga merupakan lokasi potensial untuk
stasis vena dan hipoksia. Beberapa penelitian postmortem telah menunjukkan
kecenderungan terbentuknya trombus vena di sinus yang berdekatan dengan katup
vena. Ketika aliran darah melambat, tekanan oksigen menurun bersamaan dengan
peningkatan hematokrit. Lingkungan mikro hiperkoagulasi yang terjadi kemudian
dapat menurunkan regulasi protein antitrombotik tertentu yang secara istimewa
diekspresikan pada katup vena termasuk trombomodulin dan reseptor protein C
endotel (EPCR). Selain mengurangi protein antikoagulan penting, hipoksia
mendorong ekspresi prokoagulan tertentu. Di antaranya adalah P-selectin,
molekul adhesi yang menarik sel imunologis yang mengandung faktor jaringan ke
endotelium. Terdapat kesepakatan umum bahwa faktor jaringan berfungsi sebagai
nidus utama untuk pembentukan trombus. 3
Trombus vena pada dasarnya memiliki dua komponen, pada sisi dalam
berupa trombus putih kaya trombosit membentuk garis Zahn yang dikelilingi oleh
gumpalan fibrin padat berwarna merah di sisi luar. Kompleks fibrin dan DNA
ekstraseluler bersama dengan protein histone membentuk susunan berbentuk
perancah pada sisi luar, yang mungkin penting dalam menentukan kerentanan
trombus terhadap aktivator plasminogen jaringan (TPA) dan trombolisis. Ketika
rasio prokoagulan terhadap antikoagulan meningkat, demikian juga risiko
pembentukan trombus. Proporsi protein sebagian ditentukan oleh rasio permukaan
7
sel endotel terhadap volume darah. Rasio permukaan sel terhadap volume darah
yang menurun (mis pembuluh darah besar) mendukung prokoagulan. 3
Faktor VIII, faktor von Willebrand, faktor VII dan protrombin
tampaknya sangat berpengaruh dalam menentukan persentase skala terjadinya
koagulasi. Selain mempromosikan pembentukan trombin, protrombin
menghambat sifat antikoagulan protein C teraktivasi sehingga mengurangi jalur
antikoagulan alami. Ada tiga jalur tersebut: jalur antikoagulan protein C (protein
C, protein S, trombomodulin, dan mungkin EPCR), jalur heparin-antitrombin, dan
jalur penghambat faktor jaringan. Kecacatan pada jalur ini berhubungan dengan
peningkatan risiko pembentukan trombus. 3
Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik tetapi tetap
menjadi landasan strategi diagnostik. Gejalanya meliputi rasa sakit, bengkak,
peningkatan visibilitas vena kulit, eritema, dan sianosis disertai dengan demam
yang tidak dapat dijelaskan.5
Sensitivitas dan spesifisitas gejala klinis rendah ketika dipertimbangkan
secara individual. Namun, kombinasi dari geala dan tanda klinis menggunakan
aturan prediksi, memungkinkan pra-tes klasifikasi probabilitas klinis menjadi dua
kategori (tidak mungkin DVT atau kecenderungan DVT) atau tiga kategori
(probabilitas klinis rendah, menengah, atau tinggi) yang sesuai dengan
peningkatan prevalensi penyakit. Wells score telah divalidasi secara luas dan
dapat diterapkan pada pasien rawat jalan dan rawat inap. Panel para ahli
mendukung probabilitas pra-tes dua kategori yang dimodifikasi karena
penggunaan yang lebih mudah. 5
8
Tabel 1. Wells Score5
a. D-Dimer
D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin.
Test ini menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolysis.
Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (nilainya sampai 95%) tetapi spesifitasnya
rendah. Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. Oleh
karena itu hasil test D-dimer yang negatif sangat baik untuk menyingkirkan DVT
9
maupun PE. Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, kehamilan,
malignansi, usia tua dan kehamilan.2
10
positif, VUS direkomendasikan. Pada pasien dengan kondisi komorbiditas yang
terkait dengan peningkatan D-dimer, VUS lebih dipilih disbanding D-dimer.3
c. Contrast Venography
Venografi kontras adalah baku emas untuk diagnosis DVT ekstremitas
bawah, tetapi dibatasi oleh sejumlah faktor termasuk ketersediaan,
ketidaknyamanan pasien, keahlian pemeriksa, visualisasi yang tidak memadai, dan
variabel spesifik pasien seperti alergi kontras dan insufisiensi ginjal. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan mengkanulasi vena dorsalis di kaki dan menggunakan
tourniquet kompresi ke paha proksimal. Media kontras disuntikkan dan radiografi
serial diambil untuk memvisualisasikan sistem vena dalam pada kaki. Defek
pengisian terus-menerus dalam banyak tampilan dianggap sebagai diagnostik
untuk DVT. 3
11
Gambar 2. Venografi kontras. Pencitraan angiogram dari vena poplitea kiri
menunjukkan trombus oklusif parsial dengan tepi yang tidak teratur dan aliran
kontras yang berkurang. Trombus ini selanjutnya diobati dengan terapi yang
dipandu dengan kateter.3
d. CT Venography
Dalam CT venografi, media kontras disuntikkan ke lengan dan
pencitraan disesuaikan dengan waktu kekeruhan sistem vena dalam di ekstremitas
bawah. Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, dapat ditemukan, sangat sensitif dan
spesifik untuk DVT, dan memberikan manfaat tambahan dari pencitraan potong
lintang.Hal ini mungkin sangat berguna untuk mengidentifikasi DVT proksimal
pada pasien dengan dugaan emboli paru. Seperti venografi konvensional, iCT
venografi membawa paparan yang sama terhadap radiasi pengion dan media
kontras dan dibatasi oleh insufisiensi ginjal dan alergi kontras yang berat. 3
12
Gambar 3. CT venografi. Pencitraan CT menunjukkan trombus vena iliaka
komunis bilateral sebagai massa oklusif hipodens dengan penyengatan dan
dilatasi dinding vena. Trombus ini meluas jauh ke vena cava inferior. 3
e. MR Venography
Venografi MR memberikan banyak manfaat yang sama dengan
venografi CT namun tanpa perlu radiasi pengion. Pencitraan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang sama untuk DVT. Selain itu, berbagai urutan
denyut dapat diterapkan untuk memvisualisasikan sistem vena dalam tanpa perlu
media kontras. Kelemahan dari venografi MR mirip dengan pencitraan MR
lainnya, yaitu pasien yang tidak toleran, peningkatan biaya, dan perangkat keras
yang tidak kompatibel. Meskipun belum dipelajari dengan baik, venografi MR
menjadi pilihan yang semakin layak ketika VUS tidak mungkin digunakan dalam
kasus yang diduga DVT.3
13
Gambar 4. Venografi MR. Pencitraan MR menunjukkan fokus trombus di vena
iliaka komunis kiri yang terlihat meluas ke vena cava inferior. Tidak ada trombus
yang terlihat di sisi kontralateral.3
14
D-dimer normal menunjukkan kondisi “tidak mungkin DVT”. Namun,
D-dimer memiliki spesifisitas rendah. ELISA kuantitatif atau pemeriksaan
turunan ELISA (> sensitivitas 95%) memungkinkan untuk menyingkirkan DVT
pada pasien dengan "tidak mungkin DVT". D-dimer ELISA negatif dapat
mengecualikan DVT tanpa pengujian lebih lanjut pada 30% pasien dengan risiko
tromboemboli 3 bulan berada <1% tanpa pengobatan. 5
Pada pasien dengan 'kemungkinan' DVT, pengujian D-Dimer tidak
diperlukan, namun diperlukan pencitraan. Terapi antikoagulasi harus dimulai,
jika tidak dikontraindikasikan, pada pasien dengan DVT 'kemungkinan' sampai
pencitraan dilakukan. 5
II.6.1. Pengobatan Fase Awal (5-21 hari) dan Jangka Panjang (3-6 bulan)
Pengobatan trombosis vena dalam terdiri dari tiga fase. Perawatan awal
(5-21 hari setelah diagnosis). Selama periode ini, pasien menerima terapi
parenteral kemudian diubah menjadi terapi antagonis vitamin K (VKA) atau
menggunakan antikoagulan oral dosis tinggi langsung (DOAC). Pengobatan
jangka panjang (setelah 3-6 bulan) meliputi pengobatan pasien dengan VKA atau
DOACs. Pengobatan awal dan jangka panjang wajib untuk semua pasien DVT.
Keputusan pengobatan yang diperpanjang (lebih dari 3-6 bulan pertama)
didasarkan pada keseimbangan manfaat / risiko dari antikoagulan yang
berkelanjutan. 5
a. Agen Trombolitik
Pada pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <30 mL / mnt),
fungsi ginjal tidak stabil, atau risiko perdarahan tinggi, low-molecular weight
heparin (LMWH) adalah pengobatan parenteral pilihan. LMWH setidaknya sama
15
efektifnya dengan UFH dan mungkin lebih aman. Fondaparinux juga dapat
digunakan sebagai agen parenteral. 5
b. Agen Antikoagulan
DOAC setidaknya memiliki efektivitas yang sama dan mungkin lebih
aman daripada pengobatan parenteral / VKA. Sebuah meta-analisis (27.023
pasien) menunjukkan tingkat kekambuhan VTE yang sama pada pasien yang
menerima DOACs atau terapi konvensional (2,0% vs 2,2%, RR 0,90). Perdarahan
mayor (RR 0,61), perdarahan fatal (RR 0,36), perdarahan intrakranial (RR 0,37),
dan perdarahan non-mayor yang relevan secara klinis (RR 0,73) secara signifikan
lebih rendah pada pasien yang diobati dengan DOAC. 5
VKA tidak sesuai untuk diberikan sebagai terapi awal karena memiliki
onset aksi yang lambat (beberapa hari) dan peningkatan risiko komplikasi
tromboemboli dalam beberapa hari pertama karena inhibisi yang dilakukan
terhadap protein C dan protein S endogen.8
16
1. Jika fase jangka panjang direncanakan dengan apixaban 5 mg BID,
pengobatan pada fase awal harus terdiri dari apixaban 10 mg BID
selama tujuh hari pertama. 8
2. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan rivaroxaban
20 mg BID, pengobatan pada fase awal harus terdiri dari rivaroxaban
15 mg BID selama 21 hari pertama. 8
Untuk peralihan ke pengobatan antikoagulan oral, terapi parenteral dapat
dihentikan, dan obat antikoagulan oral dapat dimulai sesuai jadwal injeksi obat
parenteral sebelumnya. 8
3. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan dabigatran
150 mg BID atau edoxaban 60 atau 30 mg OD, pengobatan dalam
terapi awal harus dilakukan dengan LMWH selama setidaknya lima
hari, dan obat oral hanya boleh dimulai setelah itu pada saat jadwal
injeksi obat parenteral sebelumnya.8
4. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan LMWH
(dalam kasus DVT terkait kanker), maka terapi awal juga akan
dilakukan dengan LMWH yang telah disetujui untuk DVT terkait
kanker. 8
5. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan VKA,
pengobatan dalam terapi awal perlu dilakukan dengan antikoagulan
parenteral, biasanya LMWH atau fondaparinux, dan VKA dimulai
secara paralel karena onset aksi yang lambat. Segera setelah VKA
cukup protektif (international normalized ratio [INR] 2), obat
parenteral dapat dihentikan. 8
17
kontraindikasi sembuh dan filter yang digunakan berupa filter yang dapat dilepas.
Durasi pemasangan yang direkomendasikan adalah paling lama 6 bulan.
Penggunaan filter sebagai tambahan terhadap antikoagulasi, tidak meningkatkan
kelangsungan hidup, kecuali pada pasien dengan emboli paru disertai
hemodinamik tidak stabil atau setelah terapi trombolitik.5,9
d. Stocking Compression
Tujuan kompresi adalah untuk meredakan gejala akibat sumbatan vena dan
akhirnya mencegah PTS. 5
18
II.6.2. Pengobatan Lanjutan (di atas 3-6 bulan)
19
angiogenetik jangka panjang terhadap rekurensi VTE yang berdampak
pada durasi atau intensitas terapi antikoagulasi. 8
Bagan 2. Analisis Risiko Manfaat Terapi Lanjutan Untuk VTE & DVT.10
1. Rivaroxaban
Dosis standar dan dosis rendah (10 mg od) Rivaroxaban secara signifikan
mengurangi risiko kekambuhan dibandingkan dengan aspirin, tanpa peningkatan
perdarahan yang signifikan, namun ditemukan perdarahan saluran cerna yang
lebih umum terjadi pada pasien berusia > 75 tahun. Tidak ditemukan peningkatan
risiko sindrom coroner akut. 5,9
2. Dabigatran
Dabigatran (150 mg b.i.d.) sama efektifnya dengan warfarin dan lebih
5
efektif daripada plasebo dalam mencegah VTE berulang. Pada beberapa
20
penelitian, dabigatran dikaitkan dengan peningkatan risiko sindrom coroner akut
dan perdarahan saluran cerna bila dibandingkan dengan VKA. 9
3. Apixaban
II.6.3. Pemantauan
21
II.7.1. PROGNOSIS
a. Risiko kekambuhan
b. Mortalitas
Lebih dari 200.000 kasus baru tromboemboli vena terjadi setiap tahun.
Dari kasus-kasus ini, hingga 30% pasien meninggal dalam 30 hari dengan lokasi
5
lebih sering pada proksimal daripada DVT distal. Sedangkan seperlima
menderita kematian mendadak karena emboli paru-paru. Meskipun sudah
diberikan terapi antikoagulan, angka mortalitas dan risiko kekambuhan tetap
tinggi pada fase awal VTE. Data dari studi Atherosclerosis Risk in Communities
(ARIC) melaporkan tingkat kematian 9 hari sebesar 28% dari DVT. 5,6, 10
22
II.7.2. KOMPLIKASI
BAB III
KESIMPULAN
23
1. Trombosis vena dalam merupakan bagian dari tromboembolisme vena yang
umum dijumpai dan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas berat.
2. Beberapa faktor risiko dikaitkan sebagai penyebab yang berkontribusi pada
gangguan triad Virchow yaitu statis aliran darah, cedera endotel dan kondisi
hiperkoagulabilitas.
3. Diagnosis dapat dilakukan menggunakan pendekatan 2 kategori yaitu
“kecenderungan DVT” dan “tidak mungkin” DVT dengan analisis
menggunakan Wells score yang dilanjutkan dengan diagnosis pasti
menggunakan pencitraan seperti VUS, CT venografi, contrast venography,
maupun MR venography.
4. Penatalaksanaan terdiri dari 3 fase yaitu fase awal, jangka panjang dan fase
lanjutan dengan pemilihan regimen dan dosis pengobatan menggunakan
pendekatan individual berdasarkan penyebab dan preferensi pasien.
5. Diperlukan pemantauan berkala terkait risiko kekambuhan maupun
kemungkinan komplikasi akibat DVT maupun pengobatan lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Medscape. Patel K, et al. 2018. Deep Vein Thrombosis. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview pada tanggal
21 Maret 2020.
2. Adnyana IWL, Suega K, Bakta IM. Trombosis Vena Dalam. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan, 2013:1-13.
3. Stone J, Hangge P, Albadawi H, Wallace A, Shamoun F, et al. Deep vein
thrombosis: pathogenesis, diagnosis, and medical management.
Cardiovasc Diagn Ther 2017;7(3):276-84. DOI: 10.21037/cdt.2017.09.01.
4. Osman AA, Ju W, Sun D, Qi B. Deep venous thrombosis: a literature
review. Int J Clin Exp Med, 2018;11(3):1551-61.
5. Mazzolai L, et al. Diagnosis and management of acute deep vein
thrombosis: a joint consensus document from the European Society of
Cardiology working groups of aorta and peripheral vascular diseasese and
pulmonary circulation and right ventricular function. European Heart
Journal, 2018;(39):4208–18. DOI : 10.1093/eurheartj/ehx003.
6. Kasper DL, et al. 2015. Harrison’s Principles Internal Medicine 19 th
edition. NewYork: McGraw Hill.
7. Andriani R, Wahid I. Defisiensi Protein S pada Trombosis Vena Dalam.
Jurnal Kesehatan Andalas,2018:1-4.
8. Endig et al. Deep Vein Thrombosis – Current Management Strategies.
Clinical Medicine Insights: Therapeutics, 2016;(8):11–20. DOI:
10.4137/CMT.S18890.
9. Streiff MB,et al. Guidance for the treatment of deep vein thrombosis and
pulmonary embolism. J Thromb Thrombolysis, 2016;(41):32–67. DOI :
10.1007/s11239-015-1317-0.
10. Wang KL, et al. The diagnosis and treatment of venous thromboembolism
in asian patients. Wang et al. Thrombosis Journal (2018) 16:4. DOI
10.1186/s12959-017-0155-z.
25
26