Anda di halaman 1dari 26

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3

II.1. DEFINISI TROMBOSIS VENA DALAM.........................................................3

II.2. EPIDEMIOLOGI TROMBOSIS VENA DALAM............................................3

II.3. FAKTOR RISIKO TROMBOSIS VENA DALAM...........................................4

II.4. PATOGENESIS TROMBOSIS VENA DALAM...............................................7

II.5. DIAGNOSIS TROMBOSIS VENA DALAM.....................................................8

II.6. PENATALAKSANAAN TROMBOSIS VENA DALAM................................15

II.7. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI TROMBOSIS VENA DALAM.............22

BAB III KESIMPULAN ...............................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................25

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Trombosis vena dalam atau Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah
satu manifestasi dari entitas penyakit tunggal, yaitu tromboemboli vena atau
Venous Thromboembolism (VTE).1 Trombosis vena dibentuk karena pembentukan
bekuan darah di dalam vena. Sebagian besar terjadi pada vena yang dalam di
dalam tungkai yang dikenal dengan deep vein thrombosis (DVT) yang sering
merupakan awal terjadinya emboli ke paru (pulmonary embolism atau PE).2
Gejala dari trombosis vena sering tidak spesifik, oleh karena itu
diagnosisnya menjadi sulit dan memerlukan test yang objektif untuk
menegakkannya.2 Diagnosis dini dan penanganan DVT yang tepat serta
komplikasinya dapat menyelamatkan banyak nyawa. Diagnosis dapat diperoleh
secara noninvasif melalui pemeriksaan ultrasonografi. Tujuan farmakoterapi
untuk DVT adalah untuk mengurangi morbiditas, mencegah sindrom paska
trombotik (PTS), dan emboli paru. Agen utama dalam pengobatan berupa
antikoagulan dan trombolitik.1,3
Selain ancaman langsung terkait emboli paru, risiko kecacatan besar
jangka panjang dari sindrom paska-trombotik tinggi. Sebagian besar morbiditas
akibat DVT berasal dari terjadinya sindrom paska-trombotik, yang terjadi pada
50% pasien dalam 2 tahun DVT dan mencakup sejumlah gejala termasuk nyeri
kaki, pembengkakan, dan pada kasus yang parah, ulkus vena.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI TROMBOSIS VENA DALAM

DVT merupakan darah yang terkoagulasi (sebuah trombus) di salah satu


saluran vena dalam yang mengembalikan darah ke jantung. 1 DVT juga
didefinisikan sebagai terjadinya trrombosis pada vena profunda pelvis atau
ekstremitas bawah.4
Trombosis vena dalam merupakan pembentukan bekuan darah pada
lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan perivena. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel
pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang
dikenal dengan trias Virchow.7

II.2. EPIDEMIOLOGI TROMBOSIS VENA DALAM

Trombosis vena dalam merupakan kelainan kardiovaskular tersering


nomor tiga setelah penyakit koroner arteri dan stroke.7 Insiden rata-rata DVT
pertama kali dalam populasi umum adalah 5 per 10.000 orang per tahun.1 Hampir
dua pertiga dari kasus VTE terisolasi berupa trombosis vena dalam (DVT), dan
80% ditemukan di proksimal vena profunda.5 DVT ekstremitas bawah adalah
trombosis vena yang paling umum, dengan prevalensi 1 kasus per 1000 populasi.
Sekitar 10% penderita trombosis vena bersifat fatal, terutama terjadi pada orang
tua atau penderita dengan penyakit berat seperti kanker. 2 DVT juga merupakan
sumber yang mendasari 90% emboli paru akut, yang menyebabkan 25.000
kematian per tahun di Amerika Serikat.1
Insiden DVT dapat meningkat secara dramatis seiring pertambahan usia
dari 2 hingga 3 per 10.000 orang-tahun pada usia 30-49 tahun hingga 20 pada usia
70-79 tahun. (Harrison) Insiden DVT maupun kekambuhan DVT lebih tinggi

3
ditemukan pada pria dibandingkan wanita. DVT juga lebih umum ditemukan pada
ras kulit hitam, Hispanik dibandingkan ras Kaukasian. 4

II.3. FAKTOR RISIKO TROMBOSIS VENA DALAM

Pada 25-50% episode DVT pertama, tidak ada faktor predisposisi yang
diidentifikasi. 5 Berikut beberapa faktor terjadinya DVT, di antaranya :

II.3.1. Genetik
Penyebab trombosis vena salah satunya adalah pada varian genetik.
Kelainan ini termasuk mutasi gen antikoagulan endogen sehingga kehilangan
fungsi serta mutasi pada fungsi protein prokoagulan. 6

a. Kelainan Faktor Prokoagulan


Defisiensi antitrombin heterozigot dan homozigositas dari mutasi faktor
V Leiden secara signifikan meningkatkan risiko trombosis vena. Dalam mutasi
faktor V Leiden yang mempengaruhi hingga 5% Kaukasian dan meningkatkan
risiko trombosis 7 kali lipat, faktor Va teraktivasi tahan terhadap pengaruh
3
penghambatan oleh protein C. Selain itu, gangguan seperti disfibrogenemia
kongenital dan kelainan struktur plasminogen juga berokontribusi pada terjadinya
thrombosis.7

b. Defisiensi Faktor Antikoagulan


Penyebab lain yang dapat menimbulkan kecenderungan trombosis vena
dalam adalah defisiensi antitrombin, defisiensi protein C, dan defisiensi protein S.
Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan pembentukannyan
memerlukan vitamin K. Protein ini telah diaktifkan oleh trombin dengan bantuan
trombomodulin dapat menghambat aktifitas Faktor Va dan Faktor VIIIa serta
meningkatkan fibrinolisis. Oleh karena itu defisiensi protein C kongenital akan
terjadi trombosis vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada defisiensi

4
protein S ,karena protein S sendiri merupakan kofaktor dari protein C. Angka
kejadian untuk defisiensi protein C dan protein S yang simptomatik adalah 1 per
16.000 sampai dengan 1 per 32.000 populasi, sedangkan angka kejadian
asimtomatik adalah 1 per 500 orang dalam populasi.7
Polimorfisme metilen tetrahidrofolat reduktase serta
hiperhomosisteinemia telah terbukti sebagai faktor risiko independen untuk
trombosis vena. 6

II.3.2. Keganasan
Keganasan dapat memberi efek kompresi pada vena sehingga
berkontribusi pada terjadinya stasis vena. Keganasan juga mengakibatkan
terlepasnya prokoagulan seperti faktor jaringan pada partikel membran yang
menimbulkan thrombosis.3
Selain itu, pasien yang menjalani pengobatan aktif untuk kanker seperti
kemoterapi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko DVT, kemungkinan akibat
inhibisi aktivitas protein C dan S plasma. 4

II.3.3. Usia tua


Usia lanjut dikaitkan dengan peningkatan risiko trombosis. Sementara
penyebabnya tetap tidak menentu, beberapa faktor yang berkaitan dengan penuaan
telah diamati: prevalensi obesitas yang lebih besar, peningkatan frekuensi
penyakit dan periode imobilitas yang berkepanjangan, kondisi medis penyerta,
dan peningkatan kadar prokoagulan tanpa peningkatan antikoagulan yang sepadan
seperti protein C. DVT jarang ditemukan pada anak-anak. Penyakit anemia sickle
cell, infeksi berat dan status hiperkoagulabilitas dianggap sebagai faktor risiko
potensial DVT pada anak-anak. 3,4

II.3.4. Paska pembedahan ortopedi

5
DVT lebih sering terjadi pada pasien dengan fraktur ekstremitas bawah
atau setelah operasi ortopedi mayor. Pada pasien-pasien ini, DVT diduga terjadi
akibat cedera dinding pembuluh darah, imobilitas, dan jalur koagulasi yang
teraktivasi. 4

II.3.5. Trauma
Kejadian DVT secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan fraktur
ekstremitas bawah dibandingkan mereka dengan trauma di tempat lain, seperti
perut, wajah atau dada. DVT pada pasien trauma mungkin mengalami komplikasi,
misalnya dengan adanya koagulopati dini yang dapat mengacaukan terapi
antikoagulan berikutnya, serta terjadinya hipoperfusi dan asidosis, selain upaya
resusitasi. Oleh karena itu homeostasis sistem koagulasi bergeser ke arah keadaan
pro-trombotik awal setelah cedera traumatis, mendukung perlunya profilaksis
pada tromboemboli awal. Pasien dengan trauma mayor berada pada sekitar enam
kali lipat peningkatan risiko DVT dibandingkan dengan mereka yang trauma
minor. 4

II.3.6. Lain-lain
Obesitas dan penggunaan kontrasepsi oral merupakan faktor risiko independen
untuk trombosis. Bersama-sama, keduanya meningkatkan risiko trombosis secara
sinergis.3 Selain itu, imobilitas, pembedahan, rawat inap, kehamilan dan masa
nifas, keadaan hiperkoagulasi bawaan/didapat, infark miokard, riwayat DVT,
varises, infeksi, penyakit radang usus, dan gangguan ginjal adalah risiko umum
faktor untuk DVT. 4

II.4. PATOGENESIS TROMBOSIS VENA DALAM

Triad Virchow, yang pertama kali dijelaskan pada 1856, berimplikasi


pada tiga faktor yang berkontribusi dalam pembentukan trombosis: stasis vena,

6
cedera vaskular, dan hiperkoagulabilitas. Stasis vena adalah yang paling penting
dari tiga faktor, tetapi stasis saja tidak cukup untuk menyebabkan pembentukan
trombus. Namun, kondisi bersamaan dari stasis vena dan cedera vaskular atau
hiperkoagulabilitas sangat meningkatkan risiko pembentukan bekuan darah.
Kondisi klinis yang paling erat terkait dengan DVT pada dasarnya terkait dengan
unsur-unsur Triad Virchow. Hal ini termasuk pembedahan atau trauma,
keganasan, imobilitas berkepanjangan, kehamilan, gagal jantung kongestif,
varises, obesitas, usia lanjut, dan riwayat DVT. 3
Trombosis vena cenderung terjadi di daerah dengan aliran darah yang
menurun atau berubah secara mekanis seperti kantung yang berdekatan dengan
katup di vena dalam tungkai. Sementara katup membantu meningkatkan aliran
darah melalui sirkulasi vena, katup ini juga merupakan lokasi potensial untuk
stasis vena dan hipoksia. Beberapa penelitian postmortem telah menunjukkan
kecenderungan terbentuknya trombus vena di sinus yang berdekatan dengan katup
vena. Ketika aliran darah melambat, tekanan oksigen menurun bersamaan dengan
peningkatan hematokrit. Lingkungan mikro hiperkoagulasi yang terjadi kemudian
dapat menurunkan regulasi protein antitrombotik tertentu yang secara istimewa
diekspresikan pada katup vena termasuk trombomodulin dan reseptor protein C
endotel (EPCR). Selain mengurangi protein antikoagulan penting, hipoksia
mendorong ekspresi prokoagulan tertentu. Di antaranya adalah P-selectin,
molekul adhesi yang menarik sel imunologis yang mengandung faktor jaringan ke
endotelium. Terdapat kesepakatan umum bahwa faktor jaringan berfungsi sebagai
nidus utama untuk pembentukan trombus. 3
Trombus vena pada dasarnya memiliki dua komponen, pada sisi dalam
berupa trombus putih kaya trombosit membentuk garis Zahn yang dikelilingi oleh
gumpalan fibrin padat berwarna merah di sisi luar. Kompleks fibrin dan DNA
ekstraseluler bersama dengan protein histone membentuk susunan berbentuk
perancah pada sisi luar, yang mungkin penting dalam menentukan kerentanan
trombus terhadap aktivator plasminogen jaringan (TPA) dan trombolisis. Ketika
rasio prokoagulan terhadap antikoagulan meningkat, demikian juga risiko
pembentukan trombus. Proporsi protein sebagian ditentukan oleh rasio permukaan

7
sel endotel terhadap volume darah. Rasio permukaan sel terhadap volume darah
yang menurun (mis pembuluh darah besar) mendukung prokoagulan. 3
Faktor VIII, faktor von Willebrand, faktor VII dan protrombin
tampaknya sangat berpengaruh dalam menentukan persentase skala terjadinya
koagulasi. Selain mempromosikan pembentukan trombin, protrombin
menghambat sifat antikoagulan protein C teraktivasi sehingga mengurangi jalur
antikoagulan alami. Ada tiga jalur tersebut: jalur antikoagulan protein C (protein
C, protein S, trombomodulin, dan mungkin EPCR), jalur heparin-antitrombin, dan
jalur penghambat faktor jaringan. Kecacatan pada jalur ini berhubungan dengan
peningkatan risiko pembentukan trombus. 3

II.5. DIAGNOSIS TROMBOSIS VENA DALAM

II.5.1. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik tetapi tetap
menjadi landasan strategi diagnostik. Gejalanya meliputi rasa sakit, bengkak,
peningkatan visibilitas vena kulit, eritema, dan sianosis disertai dengan demam
yang tidak dapat dijelaskan.5
Sensitivitas dan spesifisitas gejala klinis rendah ketika dipertimbangkan
secara individual. Namun, kombinasi dari geala dan tanda klinis menggunakan
aturan prediksi, memungkinkan pra-tes klasifikasi probabilitas klinis menjadi dua
kategori (tidak mungkin DVT atau kecenderungan DVT) atau tiga kategori
(probabilitas klinis rendah, menengah, atau tinggi) yang sesuai dengan
peningkatan prevalensi penyakit. Wells score telah divalidasi secara luas dan
dapat diterapkan pada pasien rawat jalan dan rawat inap. Panel para ahli
mendukung probabilitas pra-tes dua kategori yang dimodifikasi karena
penggunaan yang lebih mudah. 5

8
Tabel 1. Wells Score5

II.5.2. Pemeriksaan Penunjang

Pencitraan diagnostik sering digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis DVT.3

a. D-Dimer
D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin.
Test ini menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolysis.
Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (nilainya sampai 95%) tetapi spesifitasnya
rendah. Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. Oleh
karena itu hasil test D-dimer yang negatif sangat baik untuk menyingkirkan DVT

9
maupun PE. Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, kehamilan,
malignansi, usia tua dan kehamilan.2

b. VUS (Venous Ultrasound)


VUS adalah modalitas pencitraan lini pertama untuk diagnosis DVT
proksimal karena aman, mudah diakses, hemat biaya, dan hasilnya dapat
dipercaya. VUS dapat secara akurat menentukan ukuran, kronisitas, dan tingkat
oklusi trombus dan oleh karena itu lebih baik dalam membantu menentukan
keputusan untuk manajemen medis atau teknik intervensi lanjutan. Pada DVT
yang dicurigai secara klinis, VUS memberikan sensitivitas keseluruhan 94,2%
untuk proksimal, dan 63,5% untuk DVT distal terisolasi, dengan spesifisitas
keseluruhan 93,8%.5
Selama pemeriksaan, probe VUS digunakan untuk menekan pembuluh
darah dengan lembut.3 VUS dapat dilakukan dengan memeriksa hanya vena
poplitea dan vena femoralis [2-titik / 2-regio kompresi ultrasonografi (CUS) atau
CUS terbatas], atau dengan pencitraan yang diperluas dari vena cava inferior,
iliaka dan vena femoralis , dan vena pada paha (VUS seluruh-kaki atau VUS
lengkap). 5
Ketidakmampuan untuk menekan vena dianggap sebagai diagnostik
untuk DVT. Sumbatan lebih lanjut dapat ditandai dengan pencitraan real-time
seperti duplex dan color-flow Doppler.3 Menurut European Cardiology, kriteria
diagnostik DVT adalah vena potong lintang yang tidak dapat terkompresi,
pencitraan trombus langsung dengan pembesaran vena, aliran spektral dan warna
Doppler yang abnormal. 5
Keterbatasan utama VUS adalah berkurangnya kemampuan untuk
mendeteksi DVT distal. Namun, pemeriksaan VUS pada proksimal sering lebih
disukai daripada VUS kaki keseluruhan saat pemeriksaan karena DVT distal
jarang menghasilkan gejala sisa yang signifikan secara klinis. 3
VUS dibantu untuk mendiagnosis DVT bersama kriteria skor Wells dan uji D-
dimer. Pada pasien dengan D-dimer negatif yang "tidak mungkin" memiliki DVT,
VUS tidak diperlukan. Pada pasien dengan stratifikasi serupa dengan D-dimer

10
positif, VUS direkomendasikan. Pada pasien dengan kondisi komorbiditas yang
terkait dengan peningkatan D-dimer, VUS lebih dipilih disbanding D-dimer.3

Gambar 1. Color-flow Doppler pada vena. Pencitraan Doppler VUS dari


vena femoralis kiri menunjukkan oklusi total oleh trombus heterogen dengan
dilatasi vena di lokasi trombosis. Tidak ada bentuk gelombang yang signifikan.
Arteri yang berdekatan juga ditunjukkan untuk referensi. 3

c. Contrast Venography
Venografi kontras adalah baku emas untuk diagnosis DVT ekstremitas
bawah, tetapi dibatasi oleh sejumlah faktor termasuk ketersediaan,
ketidaknyamanan pasien, keahlian pemeriksa, visualisasi yang tidak memadai, dan
variabel spesifik pasien seperti alergi kontras dan insufisiensi ginjal. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan mengkanulasi vena dorsalis di kaki dan menggunakan
tourniquet kompresi ke paha proksimal. Media kontras disuntikkan dan radiografi
serial diambil untuk memvisualisasikan sistem vena dalam pada kaki. Defek
pengisian terus-menerus dalam banyak tampilan dianggap sebagai diagnostik
untuk DVT. 3

11
Gambar 2. Venografi kontras. Pencitraan angiogram dari vena poplitea kiri
menunjukkan trombus oklusif parsial dengan tepi yang tidak teratur dan aliran
kontras yang berkurang. Trombus ini selanjutnya diobati dengan terapi yang
dipandu dengan kateter.3

d. CT Venography
Dalam CT venografi, media kontras disuntikkan ke lengan dan
pencitraan disesuaikan dengan waktu kekeruhan sistem vena dalam di ekstremitas
bawah. Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, dapat ditemukan, sangat sensitif dan
spesifik untuk DVT, dan memberikan manfaat tambahan dari pencitraan potong
lintang.Hal ini mungkin sangat berguna untuk mengidentifikasi DVT proksimal
pada pasien dengan dugaan emboli paru. Seperti venografi konvensional, iCT
venografi membawa paparan yang sama terhadap radiasi pengion dan media
kontras dan dibatasi oleh insufisiensi ginjal dan alergi kontras yang berat. 3

12
Gambar 3. CT venografi. Pencitraan CT menunjukkan trombus vena iliaka
komunis bilateral sebagai massa oklusif hipodens dengan penyengatan dan
dilatasi dinding vena. Trombus ini meluas jauh ke vena cava inferior. 3

e. MR Venography
Venografi MR memberikan banyak manfaat yang sama dengan
venografi CT namun tanpa perlu radiasi pengion. Pencitraan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang sama untuk DVT. Selain itu, berbagai urutan
denyut dapat diterapkan untuk memvisualisasikan sistem vena dalam tanpa perlu
media kontras. Kelemahan dari venografi MR mirip dengan pencitraan MR
lainnya, yaitu pasien yang tidak toleran, peningkatan biaya, dan perangkat keras
yang tidak kompatibel. Meskipun belum dipelajari dengan baik, venografi MR
menjadi pilihan yang semakin layak ketika VUS tidak mungkin digunakan dalam
kasus yang diduga DVT.3

13
Gambar 4. Venografi MR. Pencitraan MR menunjukkan fokus trombus di vena
iliaka komunis kiri yang terlihat meluas ke vena cava inferior. Tidak ada trombus
yang terlihat di sisi kontralateral.3

Bagan 1. Algoritma Diagnosis dan Penanganan Trombosis Vena Dalam yang


Diajukan. 5

14
D-dimer normal menunjukkan kondisi “tidak mungkin DVT”. Namun,
D-dimer memiliki spesifisitas rendah. ELISA kuantitatif atau pemeriksaan
turunan ELISA (> sensitivitas 95%) memungkinkan untuk menyingkirkan DVT
pada pasien dengan "tidak mungkin DVT". D-dimer ELISA negatif dapat
mengecualikan DVT tanpa pengujian lebih lanjut pada 30% pasien dengan risiko
tromboemboli 3 bulan berada <1% tanpa pengobatan. 5
Pada pasien dengan 'kemungkinan' DVT, pengujian D-Dimer tidak
diperlukan, namun diperlukan pencitraan. Terapi antikoagulasi harus dimulai,
jika tidak dikontraindikasikan, pada pasien dengan DVT 'kemungkinan' sampai
pencitraan dilakukan. 5

II.6. PENATALAKSANAAN TROMBOSIS VENA DALAM

II.6.1. Pengobatan Fase Awal (5-21 hari) dan Jangka Panjang (3-6 bulan)

Pengobatan trombosis vena dalam terdiri dari tiga fase. Perawatan awal
(5-21 hari setelah diagnosis). Selama periode ini, pasien menerima terapi
parenteral kemudian diubah menjadi terapi antagonis vitamin K (VKA) atau
menggunakan antikoagulan oral dosis tinggi langsung (DOAC). Pengobatan
jangka panjang (setelah 3-6 bulan) meliputi pengobatan pasien dengan VKA atau
DOACs. Pengobatan awal dan jangka panjang wajib untuk semua pasien DVT.
Keputusan pengobatan yang diperpanjang (lebih dari 3-6 bulan pertama)
didasarkan pada keseimbangan manfaat / risiko dari antikoagulan yang
berkelanjutan. 5

a. Agen Trombolitik
Pada pasien dengan gagal ginjal berat (bersihan kreatinin <30 mL / mnt),
fungsi ginjal tidak stabil, atau risiko perdarahan tinggi, low-molecular weight
heparin (LMWH) adalah pengobatan parenteral pilihan. LMWH setidaknya sama

15
efektifnya dengan UFH dan mungkin lebih aman. Fondaparinux juga dapat
digunakan sebagai agen parenteral. 5

b. Agen Antikoagulan
DOAC setidaknya memiliki efektivitas yang sama dan mungkin lebih
aman daripada pengobatan parenteral / VKA. Sebuah meta-analisis (27.023
pasien) menunjukkan tingkat kekambuhan VTE yang sama pada pasien yang
menerima DOACs atau terapi konvensional (2,0% vs 2,2%, RR 0,90). Perdarahan
mayor (RR 0,61), perdarahan fatal (RR 0,36), perdarahan intrakranial (RR 0,37),
dan perdarahan non-mayor yang relevan secara klinis (RR 0,73) secara signifikan
lebih rendah pada pasien yang diobati dengan DOAC. 5
VKA tidak sesuai untuk diberikan sebagai terapi awal karena memiliki
onset aksi yang lambat (beberapa hari) dan peningkatan risiko komplikasi
tromboemboli dalam beberapa hari pertama karena inhibisi yang dilakukan
terhadap protein C dan protein S endogen.8

Gambar 5. Fase-fase pengobatan trombosis vena dalam. ClCreat: pembersihan


kreatinin;; Inhibitor P-P: inhibitor pompa proton. 5

Pilihan obat termasuk pertimbangan terapi yang direncanakan untuk fase


jangka panjang, karena pilihan obat dan regimen pada fase awal secara rutin
didorong oleh rencana pengobatan untuk tiga bulan ke depan. 8

16
1. Jika fase jangka panjang direncanakan dengan apixaban 5 mg BID,
pengobatan pada fase awal harus terdiri dari apixaban 10 mg BID
selama tujuh hari pertama. 8
2. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan rivaroxaban
20 mg BID, pengobatan pada fase awal harus terdiri dari rivaroxaban
15 mg BID selama 21 hari pertama. 8
Untuk peralihan ke pengobatan antikoagulan oral, terapi parenteral dapat
dihentikan, dan obat antikoagulan oral dapat dimulai sesuai jadwal injeksi obat
parenteral sebelumnya. 8
3. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan dabigatran
150 mg BID atau edoxaban 60 atau 30 mg OD, pengobatan dalam
terapi awal harus dilakukan dengan LMWH selama setidaknya lima
hari, dan obat oral hanya boleh dimulai setelah itu pada saat jadwal
injeksi obat parenteral sebelumnya.8
4. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan LMWH
(dalam kasus DVT terkait kanker), maka terapi awal juga akan
dilakukan dengan LMWH yang telah disetujui untuk DVT terkait
kanker. 8
5. Jika fase pengobatan jangka panjang direncanakan dengan VKA,
pengobatan dalam terapi awal perlu dilakukan dengan antikoagulan
parenteral, biasanya LMWH atau fondaparinux, dan VKA dimulai
secara paralel karena onset aksi yang lambat. Segera setelah VKA
cukup protektif (international normalized ratio [INR] 2), obat
parenteral dapat dihentikan. 8

c. Filter vena cava

Filter vena cava dapat digunakan ketika antikoagulasi benar-benar


dikontraindikasikan pada pasien dengan DVT proksimal akut yang baru
terdiagnosis.(4 minggu pertama). Namun, salah satu komplikasi utama adalah
trombosis filter. Oleh karena itu, antikoagulasi harus dimulai segera setelah

17
kontraindikasi sembuh dan filter yang digunakan berupa filter yang dapat dilepas.
Durasi pemasangan yang direkomendasikan adalah paling lama 6 bulan.
Penggunaan filter sebagai tambahan terhadap antikoagulasi, tidak meningkatkan
kelangsungan hidup, kecuali pada pasien dengan emboli paru disertai
hemodinamik tidak stabil atau setelah terapi trombolitik.5,9

d. Stocking Compression
Tujuan kompresi adalah untuk meredakan gejala akibat sumbatan vena dan
akhirnya mencegah PTS. 5

Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan stocking compression,


di antaranya :

1. Semakin banyak seorang pasien DVT merasakan nyeri dan pembengkakan


kaki, semakin besar kemungkinan pasien tersebut akan mendapat manfaat
dari terapi kompresi (stocking atau perban), asalkan perangkat kompresi
dipasang dengan benar. Sebaliknya, kegunaan kompresi pada kaki dengan
DVT asimptomatik masih diperdebatkan. 8
2. Kompresi yang berhubungan dengan mobilisasi dini dan olahraga berjalan
kaki telah menunjukkan kemanjuran yang signifikan dalam meringankan
gejala vena pada pasien dengan DVT akut5
3. Pasien yang menerima terapi kompresi perlu diedukasi tentang
penggunaan yang tepat dan risiko terjadinya ulkus akibat tekanan, yang
merupakan risiko signifikan terutama pada pasien lumpuh atau hemiplegik
atau pasien dengan neuropati berat. Diperlukan inspeksi kulit setiap hari
selama terapi kompresi. 8

18
II.6.2. Pengobatan Lanjutan (di atas 3-6 bulan)

a. Durasi pemberian antikoagulan

Beberapa pertimbangan untuk melanjutkan pemberian antikoagulan jangka


panjang, di antaranya :
1. Pasien dengan DVT proksimal episode pertama (yaitu, yang
melibatkan segmen vena iliaka, paha, atau poplitea) atau DVT dengan
penyebab yang tidak diketahui harus melanjutkan pengobatan asalkan
risiko perdarahan rendah. Pengobatan selama 3 bulan dipilih bila
faktor risiko bersifat sementara dan reversible. 5,8
2. Pasien dengan pemicu "ringan" yang mungkin berkontribusi pada
terjadinya DVT, seperti terapi hormon, perjalanan jarak jauh, atau
trauma tanpa fraktur dapat menghentikan antikoagulasi, asalkan
mereka berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal,
mempertimbangkan tromboprofilaksis dalam situasi pemicu berulang,
dan dapat dipercaya untuk pemeriksaan objektif kembali dalam kasus
gejala VTE berulang. 8
3. Pasien dengan DVT distal berulang dengan penyebab yang tidak
diketahui, dengan atau tanpa trombofilia ringan dapat menghentikan
antikoagulasi, tetapi keputusan ini membutuhkan informasi dan
persetujuan pasien yang terperinci. Sementara pedoman saat ini
merekomendasikan untuk mengobati setiap DVT distal hanya selama
tiga bulan, yang mungkin bila berupa DVT proksimal atau emboli paru
masih relevan. Jika pasien tidak mau mengambil risiko itu, pengobatan
jangka panjang harus didiskusikan dengan pasien. 8
4. Pasien dengan DVT terkait kanker yang berada pada fase awal setelah
pengobatan kuratif kanker. Pedoman merekomendasikan kelanjutan
dari antikoagulasi selama pasien memiliki "kanker aktif," tetapi ada
perdebatan yang sedang berlangsung tentang berapa lama kanker non-
metastatik "aktif" dan apa dampak terapi anti-hormon atau anti-

19
angiogenetik jangka panjang terhadap rekurensi VTE yang berdampak
pada durasi atau intensitas terapi antikoagulasi. 8

Bagan 2. Analisis Risiko Manfaat Terapi Lanjutan Untuk VTE & DVT.10

b. Pemberian jenis antikoagulan

1. Rivaroxaban
Dosis standar dan dosis rendah (10 mg od) Rivaroxaban secara signifikan
mengurangi risiko kekambuhan dibandingkan dengan aspirin, tanpa peningkatan
perdarahan yang signifikan, namun ditemukan perdarahan saluran cerna yang
lebih umum terjadi pada pasien berusia > 75 tahun. Tidak ditemukan peningkatan
risiko sindrom coroner akut. 5,9

2. Dabigatran
Dabigatran (150 mg b.i.d.) sama efektifnya dengan warfarin dan lebih
5
efektif daripada plasebo dalam mencegah VTE berulang. Pada beberapa

20
penelitian, dabigatran dikaitkan dengan peningkatan risiko sindrom coroner akut
dan perdarahan saluran cerna bila dibandingkan dengan VKA. 9

3. Apixaban

Apixaban sama efektifitasnya dengan LMWH/VKA dalam pengobatan


DVT dan emboli paru. Terkait dengan risiko perdarahan, apixaban memiliki risiko
rendah untuk perdarahan mayor maupun perdarahan non-mayor yang relevan
secara klinis. Tidak ditemukan peningkatan risiko sindrom coroner akut atau
perdarahan saluran cerna yang terlihat pada apixaban. Selain itu, kekambuhan
VTE terjadi secara signifikan lebih sedikit dalam dosis standar dan dosis rendah
Apixaban (5 dan 2,5 mg b.i.d.) dibandingkan plasebo. 5,9

Melanjutkan antikoagulasi dengan obat yang sama yang diberikan selama


bulan-bulan pertama adalah pilihan terbaik untuk pasien dengan episode VTE
multipel atau riwayat keluarga VTE kuat, pasien dengan trombofilia mayor, atau
penyakit medis yang sudah berlangsung lama dengan risiko trombotik tinggi,
episode pertama dari VTE dengan penyebab yang tidak diketahui, terutama yang
mengalami gambaran klinis yang parah, dengan pengecualian pasien berisiko
perdarahan yang rendah.5

II.6.3. Pemantauan

Pasien dengan DVT harus dipantau untuk menghindari risiko


kekambuhan serta komplikasi terkait DVT dan pemberian antikoagulasi. Kondisi
seperti gagal ginjal, perubahan berat badan, atau kehamilan yang mungkin
memerlukan penyesuaian antikoagulasi harus dipantau. Kepatuhan serta
keseimbangan manfaat / risiko harus dinilai secara berkala. VUS pada
penghentian antikoagulasi berguna dalam menentukan trombosis vena residual
awal. 5

II.7. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI TROMBOSIS VENA DALAM

21
II.7.1. PROGNOSIS

a. Risiko kekambuhan

Setelah antikoagulasi dihentikan, risiko kekambuhan VTE selama


bertahun-tahun setelah episode pertama secara konsisten sekitar 30%. Risiko
kekambuhan semakin tinggi, terutama dalam 6 bulan pertama . Risiko lebih dari
dua kali lipat pada pasien dengan penyebab yang tidak diketahui (angka tahunan >
7,0%) dibanding mereka dengan (sementara) penyebab diketahui VTE. 5,6

Tabel 2. Risiko Kekambuhan Setelah Episode Pertama VTE Dengan Penyebab


Tidak Diketahui. 5

b. Mortalitas

Lebih dari 200.000 kasus baru tromboemboli vena terjadi setiap tahun.
Dari kasus-kasus ini, hingga 30% pasien meninggal dalam 30 hari dengan lokasi
5
lebih sering pada proksimal daripada DVT distal. Sedangkan seperlima
menderita kematian mendadak karena emboli paru-paru. Meskipun sudah
diberikan terapi antikoagulan, angka mortalitas dan risiko kekambuhan tetap
tinggi pada fase awal VTE. Data dari studi Atherosclerosis Risk in Communities
(ARIC) melaporkan tingkat kematian 9 hari sebesar 28% dari DVT. 5,6, 10

22
II.7.2. KOMPLIKASI

Komplikasi awal dan jangka menengah di antaranya perluasan trombosis,


emboli paru dan kekambuhan DVT. 5
Komplikasi jangka panjang termasuk sindrom paska-trombotik (PTS),
didefinisikan sebagai gejala vena kronis dan / atau tanda-tanda sekunder akibat
DVT. Kondisi ini merupakan komplikasi DVT kronis yang paling sering, terjadi
pada 30-50% pasien dalam 2 tahun setelah DVT proksimal. Dalam 5-10% kasus
ditemukan PTS yang berat. DVT ipsilateral sebelumnya, lokasi proksimal (ilio-
femoral> popliteal), dan obstruksi vena residual merupakan faktor risiko PTS
yang paling signifikan. Obesitas dan kontrol INR yang buruk selama pengobatan
3 bulan pertama adalah faktor risiko independen tambahan.5

BAB III
KESIMPULAN

23
1. Trombosis vena dalam merupakan bagian dari tromboembolisme vena yang
umum dijumpai dan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas berat.
2. Beberapa faktor risiko dikaitkan sebagai penyebab yang berkontribusi pada
gangguan triad Virchow yaitu statis aliran darah, cedera endotel dan kondisi
hiperkoagulabilitas.
3. Diagnosis dapat dilakukan menggunakan pendekatan 2 kategori yaitu
“kecenderungan DVT” dan “tidak mungkin” DVT dengan analisis
menggunakan Wells score yang dilanjutkan dengan diagnosis pasti
menggunakan pencitraan seperti VUS, CT venografi, contrast venography,
maupun MR venography.
4. Penatalaksanaan terdiri dari 3 fase yaitu fase awal, jangka panjang dan fase
lanjutan dengan pemilihan regimen dan dosis pengobatan menggunakan
pendekatan individual berdasarkan penyebab dan preferensi pasien.
5. Diperlukan pemantauan berkala terkait risiko kekambuhan maupun
kemungkinan komplikasi akibat DVT maupun pengobatan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Medscape. Patel K, et al. 2018. Deep Vein Thrombosis. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview pada tanggal
21 Maret 2020.
2. Adnyana IWL, Suega K, Bakta IM. Trombosis Vena Dalam. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan, 2013:1-13.
3. Stone J, Hangge P, Albadawi H, Wallace A, Shamoun F, et al. Deep vein
thrombosis: pathogenesis, diagnosis, and medical management.
Cardiovasc Diagn Ther 2017;7(3):276-84. DOI: 10.21037/cdt.2017.09.01.
4. Osman AA, Ju W, Sun D, Qi B. Deep venous thrombosis: a literature
review. Int J Clin Exp Med, 2018;11(3):1551-61.
5. Mazzolai L, et al. Diagnosis and management of acute deep vein
thrombosis: a joint consensus document from the European Society of
Cardiology working groups of aorta and peripheral vascular diseasese and
pulmonary circulation and right ventricular function. European Heart
Journal, 2018;(39):4208–18. DOI : 10.1093/eurheartj/ehx003.
6. Kasper DL, et al. 2015. Harrison’s Principles Internal Medicine 19 th
edition. NewYork: McGraw Hill.
7. Andriani R, Wahid I. Defisiensi Protein S pada Trombosis Vena Dalam.
Jurnal Kesehatan Andalas,2018:1-4.
8. Endig et al. Deep Vein Thrombosis – Current Management Strategies.
Clinical Medicine Insights: Therapeutics, 2016;(8):11–20. DOI:
10.4137/CMT.S18890.
9. Streiff MB,et al. Guidance for the treatment of deep vein thrombosis and
pulmonary embolism. J Thromb Thrombolysis, 2016;(41):32–67. DOI :
10.1007/s11239-015-1317-0.
10. Wang KL, et al. The diagnosis and treatment of venous thromboembolism
in asian patients. Wang et al. Thrombosis Journal (2018) 16:4. DOI
10.1186/s12959-017-0155-z.

25
26

Anda mungkin juga menyukai