Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS SOL INTRAKRANIAL

DI RUANG ICU

RSUD. BENYAMIN GULUH

OLEH :

FAHIRA SYARIF

182431996

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA

KOLAKA TAHUN AJARAN 2020/2021


LAPORAN PENDAHULUAN KASUS SOL INTRAKRANIAL

DI RUANG ICU

RSUD. BENYAMIN GULUH

OLEH :

FAHIRA SYARIF

182431996

Mengetahui,

Preceptor Akademik Preceptor Klinik

(…………………………….) (…………………………….)
I. Konsep Teori SOL Intranial
A. Pengertian
Istilah SOL (Space-occupying lesion) intrakranial merupakan merupakan
istilah yang digunakan untuk generalisasi masalah tentang adanya lesi misalnya
neoplama, baik jinak maupun ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain
seperti parasit, abses, hematoma, kista, ataupun malformasi vaskular. Tumor-
tumor SOL intrakranial merupakan sekitar 9% dari seluruh tumor primer yang
terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada pada sistem saraf pusat
maka tumor ini menjadi masalah kesehatan yang serius dan kompleks. Tumor-
tumor ini umumnya berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel sistem saraf
pusat kecuali mikroglia dan diperkirakan sekitar 40%-50% SOL intrakranial
disebabkan oleh tumor (Butt, Khan, Chaudrhy, & Qureshi, 2016).
ICSOL (Intracranial Space-occupying Lesion) merupakan generalisasi
masalah tentang ada lesi pada ruang intracranial khususnya mengenai otak.
Banyak penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio
serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intracranial karena cranium
merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi ini
akan meningkatkan tekanan intracranial. Suatu lesi yang meluas pertama kali,
komodasi dengan cara mengeluarkan cairan serebrospinal dari rongga kranium.
Akhirnya vena mengalami kompresi dan gangguan sirkulasi darah otak dan
cairan serebrospinal mulai timbul dan tekanan intracranial mulai naik. Kongesti
venosa menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi cairan
serebrospinal dan meningkatkan volume dan terjadi kembali hal-hal seperti di
atas (Jindal, Verma, Gupta, & Mital, 2016).
B. Etiologi
ICSOL (Intracranial Space-occupying Lesion) disebabkan oleh lesi
misalnya neoplama, baik jinak maupun ganas, primer atau sekunder, dan
masalah lain seperti parasit, abses, hematoma, kista, ataupun malformasi
vaskular, dimana semuanya menimbulkan ekspansi dari volume dari cairan
intrakranial yang kemudian menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Pembengkakan pada otak dapat dibagi dua yaitu diffuse dan fokal (Cross, 2013).
Pembengkakan diffuse sering terjadi akibat peningkatan umum cairan di
otak diakibatkan oleh vasodilatasi atau edema. Gangguan sistem vasomotor
dapat menyebabkan vasodilatasi yang kemudian meningkatan aliran darah di
serebrum. Hal ini terjadi sebagai respons terhadap hypercapnia dan hipoksia, dan
juga terjadi akibat head injury.
Selain itu, edema dapat terjadi dari tiga mekanisme yaitu vasogenik,
sitotoksik dan interstisial. Pada edema vasogenik terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah serebral akibat disfungsi sawar otak. Pada edema
sitotoksik terjadi jejas terhadap sel endotel, sel glia dan neuron pada otak. Pada
edema interstisial terjadi kerusakan pada ventrikel-ventrikel otak, sering
ditemukan pada kasus hidrosefalus (Cross, 2013; Jindal, Verma, Gupta, & Mital,
2016).
Pembengkakan fokal dapat terjadi akibat abses serebral, hematoma, atau
neoplasma. Lesi menyebar ekstrinsik seperti hematoma subdural dan
meningioma juga meningkatkan tekanan pada kavitas otak dan disebut sebagai
space-occupying lesion (Cross, 2013).

Pada neoplasma dapat ditemukan faktor-faktor resiko berikut:

1. Riwayat trauma kepala


2. Faktor genetic
3. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik
4. Virus tertentu
5. Defisiensi imunologi
6. Kongenital
C. Patofisiologi
1. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan edema serebral
2. Aktivitas kejang dan tanda – tanda neurologis fokal
3. Hidrosefalus
4. Gangguan fungsi hipofisis

Pada fase awal, abses otak ditandai dengan edema local, hyperemia,
infiltrasi leukosit / melunaknya parenkim trombosis sepsis dan edema, beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses uque fraction atau dinding kista
berisi pus. Kemudian rupture maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa
timbul meningitis. Tumor otak menyebabkan gangguan neurolagis. Gejala-gejala
terjadi berurutan Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan
klien. Gejala neurologic pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh
tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan vocal terjadi apabila penekanan pada
jaringan otak dan infiltrasi / inovasi langsung pada parenkim otak dengan
kerusakan jaringan neuron.

Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang


tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan cerebro vaskuler primer. Serangan kejang
sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan dengan kompersi
invasi dan perubahan suplai darah kejaringan otak.

Peningkatan intracranial dapat diakibatakan oleh beberapa factor


:bertambahnya masa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan
perubahan sirkulasi serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan
bertambahnya massa karena tumor akan mengambilkan ruang yang relative dari
ruang tengkorak yang kaku.

Tumor ganas menimbulkan odem dalam jaringan otak. Mekanisme


belum sepenuhnya dipahami namun diduga disebabkan selisih osmotik yang
menyebabkan pendarahan. Obstruksi vena oedema yang disebabkan kerusakan
sawar darah otak semuanya menimbulkan kenaikan volume inntrakranial.
Observasi sirkulasi cairan serebro spinal dari vantrikel laseral keruang sub
arachnoid menimbulkan hidrosephalus. Peningkatan intracranial akan
membahayakan jiwa bila terjadi secara cepat akibat salah satu penyebab yang
telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memrlukan waktu
berhari-hari / berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tidak
berguna apabila tekanan intracranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah
intrakranial, volume cairan cerborspinal, kandungan cairan intra sel dan
mengurangi sel-sel parenkim. Kenaikan tekanan yang tidak diobati
mengakibatkan herniasi ulkus/ serebulum. Herniasi timbul bila
girusmedalislobus temporalis bergeser keinterior melalui insi surat entorial oleh
massa dalam hemisterotak.

Herniasi menekan ensefalon menyebabkan kehilangan kesadaran dan


menekan saraf ketiga. Pada herniasi serebulum tonsil sebelum bergeser kebawah
melalui foramen magnum oleh suatu massa poterior,( Suddart, Brunner. 2001).
D. Manifestasi klinik
Menurut Cross (2013) & Brunner & Suddarth (2003) tanda dan gejala
klinis dari space-occupying lesion (SOL) sebagai berikut :
1. Gejala dan tanda umum
Gejala umum yang dapat ditemukan pada SOL adalah sakit kepala akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Sakit kepala dipengaruhi posisi dan postur
dan biasanya berat pada pagi hari. Sakit kepala juga bersifat sangat berat dan
tidak berkurang dengan obat nyeri. Selain itu, gejala peningkatan tekanan
intrakranial lain seperti muntah, kejang juga timbul. Pada beberapa kasus
dapat terjadi perubahan perilaku dan memori. Kejang yang terjadi bisa tipe
fokal atau umum. Selain itu SOL dapat menimbulkan tanda-tanda
kelemahan, ataksia atau gangguan gait. Defisit juga dapat ditemukan pada
penglihatan dan saat pasien bercakap. Pemeriksaan funduskopi atau
optalmoskopi dapat menemukan papilloedema yaitu tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
2. Tanda-tanda melokalisir
a. Lobus temporalis
Lesi pada lobus temporalis sering menimbulkan gangguan
psikologis yang umum seperti perubahan perilaku dan emosi. Selain itu
pasien juga dapat mengalami halusinasi dan déjà vu. Lesi pada lobus
temporalis juga dapat menyebabkan afasia.

Tumor pada daerah ini dapat mengakibatkan kejang dengan


halusinasi, fenomena motorik dan gangguan kesadaran eksternal tanpa
penurunan kesadran yang benar. Lesi lobus temporalis dapat mengarah
kepada depersonalisasi, gangguan emosi, gangguan sikap, sensasi déjà vu
atau jamais vu, mikropsia atau makropsia (objek kelihatan lebih kecil
atau lebih besar daripada seharusnya), gangguan lapangan pandang
(crossed upper quadrantanopia) dan ilusi auditorik atau halusinasi
audotorik, Lesi bahagian kiri dapat mengakibatkan dysnomia dan
receptive aphasia, dan lesi pada bagian kanan menggangu persepsi pada
nada dan melodi.
b. Lobus frontalis
Lesi pada lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya anosmia.
Gangguan perilaku juga dapat terjadi dimana pasien itu cenderung
berperilaku tidak sopan dan tidak jujur. Afasia dapat terjadi apabila area
broca terlibat.
Tumor pada lobus frontalis seringkali mengarah kepada
penurunan progresif intelektual, perlambatan aktivitas mental, gangguan
personality dan reflex grasping kontralateral. Pasien mungkin mengarah
kepada afasia ekspresif jika melibatkan bahagian posterior daripada gyrus
frontalis inferior sinistra. Anosmia dapat terjadi karena tekanan pada
saraf olfaktorius. Lesi presentral dapat mengakibatkan kejang motoric
fokal atau defisit piramidalis kontralateral.
c. Lobus pariental
Lesi pada lobus parietal dapat menyebabkan terjadinya astereognosis dan
disfasia. Selain itu dapat juga terjadi kehilangan hemisensorik.
d. Lobus occipital
Lesi sebelum chiasma optic dari mata akan menyebabkan gangguan pada
satu mata saja. Lesi pada chiasma optic tersebut akan menyebabkan
gangguan kedua mata. Lesi di belakang chiasma optic akan menyebabkan
gangguan pada mata yang berlawanan.
e. Sudut serebellopontin
Lesi pada sudut serebellopontin dapat menyebabkan tuli ipsilateral,
tinnitus, nystagmus, penurunan refleks kornea, palsi dari sarat kranial
fasialis dan trigeminus.
f. Mesensefalon
Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities menggerakkan
mata ke atas atau ke bawah, amnesia, dan kesadaran somnolen sering
timbul apabila terdapat lesi pada mesensefalon.
Tumor intracranial dapat mengarah kepada gangguan fungsi serebral
secara umum dan memperlihatkan tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial. Karena itu, dapat terjadi perubahan personalitas, penurunan
intelektual, labilitas emosi, kejang, sakit kepala, mual dan malaise. Jika
tekanan intracranial meningkat di dalam rungan kranial tertentu jaringan otak
dapat mengalami herniasi ke dalam ruangan dengan tekanan rendah.
Sindroma yang paling sering ditemukan adalah herniasi lobus temporalis ke
dalam hiatus tentoria sehingga mengakibatkan kompresi saraf kranial III,
batang otak dan arteri cerebralis posterior. Tanda paling awal untuk sindroma
ini adalah dilatasi pupil, Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities
menggerakkan mata ke atas atau ke bawah, amnesia, dan kesadaran
somnolen sering timbul apabila terdapat lesi pada mesensefalon.

Tumor intracranial dapat mengarah kepada gangguan fungsi serebral


secara umum dan memperlihatkan tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial. Karena itu, dapat terjadi perubahan personalitas, penurunan
intelektual, labilitas emosi, kejang, sakit kepala, mual dan malaise. Jika
tekanan intracranial meningkat di dalam rungan kranial tertentu jaringan otak
dapat mengalami herniasi ke dalam ruangan dengan tekanan rendah.
Sindroma yang paling sering ditemukan adalah herniasi lobus temporalis ke
dalam hiatus tentoria sehingga mengakibatkan kompresi saraf kranial III,
batang otak dan arteri cerebralis posterior. Tanda paling awal untuk sindroma
ini adalah dilatasi pupil, diikuti dengan stupor, komaposturasi deserebrasi
dan kesulitan pernafasan. Satu lagi sindroma herniasi penting terdiri daripada
penurunan tonsilar cerebreli melewati foramen magnum, sehingga
mengakibatkan kompresi medullaris yang mengarah kepada apnea,
circulatory collapse dan kematian. Sindroma herniasi lain adalah lebih jarang
dan kepentingan klinis yang kurang jelas. Tumor intracranial dapat mengarah
kepada defisit fokal tergantung lokasinya.
E. Pemeriksaan penunjang
Menurut Maxine, Stephen, & Michael (2013); Mustafa & Mahmoud
(2014) beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai
berikut :
1. Head CT-Scan
CT-Scan merupakan merupakan alat diagnostik yang penting
dalam evaluasi pasien yang diduga menderita tumor otak. CT-Scan
merupakan pemeriksaan yang mudah, sederhana, non invasif, tidak
berbahaya, dan waktu pemeriksaan lebih singkat. Ketika kita
menggunakan CT-Scan dengan kontras, kita dapat mendeteksi tumor
yang ada.

CT-Scan tidak hanya dapat mendeteksi tumor, tetapi dapat


menunjukkkan jenis tumor apa, karena setiap tumor intrakranial
menunjukkan gambar yang berbeda pada CT-Scan.
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai
lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya.
Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena
densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi
mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya hiperdens.
Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu
pemeriksaan CT-Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Kekurangan CT-Scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa tumor
yang kecil, massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium,
maupun massa di batang otak.
Pada perdarahan subdural akut CT-Scan kepala (non kontras)
tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk
bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling
banyak terdapat pada konveksitas otak didaerah parietal. Terdapat dalam
jumlah yang lebih sedikit didaerah bagian atas tentorium serebeli.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (middle shift)
akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada middle shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila middle shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya.
Pada fase akut subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak
sehingga lebih sulit dinilai pada gambaran CT-Scan, oleh karena itu
pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI sering dipergunakan
pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak
jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak. Perdarahan subdural akut sering juga berbentuk lensa (bikonveks)
sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural
hematoma.
Pada fase kronik lesi subdural pada gambaran CT-Scan tanpa
kontras menjadi hipodens dan sangat mudal dilihat. Bila pada CT-Scan
kepala telah ditemukan perdarahan subdural, sangat penting untuk
memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan seperti
fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan subarakhnoid.
Pada abses, CT-Scan dapat digunakan sebagai pemandu untuk
dilakukannya biopsi. Biopsi aspirasi abses ini dilakukan untuk keperluan
diagnostik maupun terapi.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pemeriksaan yang paling baik terutama untuk
mendeteksi tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada
dibasis kranium, batang otak dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik
dalam memberikan gambaran lesi perdarahan, kistik, atau, massa padat
tumor intrakranial.
3. Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk
menemukan kelainan dalam tubuh. Misalnya pada abses serebri dapat
ditemukan leukositosis.
4. Foto Toraks
Foto toraks dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor di paru yaitu
tempat tersering untuk terjadinya metastasis prmer paru. Pada hematoma,
dapat ditemukan juga perubahan struktur tulang, perubahan struktur garis
(perdarahan/ edema) dan fragmen tulang.
5. Biopsi
Pada tumor otak, biopsy dilakukan untuk mengetahui jenis sel tumor
tersebut sehingga dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi tipe
dan stadium tumor dan menentukan pengobatan yang tepat seperti
apakah akan dilakukan pengangkatan seluruh tumor ataupun dilakukan
radioterapi.
6. Lumbal pungsi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan jenis infeksi atau tumor
pada otak. Namun, pemeriksaan lumbal pungsi dikontraindikasikan pada
pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi.
F. Penatalaksanaan

Menurut Dewanto, George, Suwono, Riyanto, & Turana (2009) ada 2 penata
laksanaan yang dapat dilakukan untuk penyakit SOL yaitu :

1. Terapi suportif
Terapi suportif berfokus pada meringankan gejala dan meningkatkan
fungsi neuroligik pasien. Terapi suportif yang utama digunakan adalah
antikonvulsan dan kortikosteroid.
a. Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda
seizure. Phenytoin (300-400mg/d) adalah yang paling umum
digunakan, tapi carbamazepine (600-1000mg/h). Phenobarbitol (90-
150mg/h) dan valproic acid (750-1500mg/h) juga dapat digunakan.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi udem peritumoral dan emngurangi
tekanan intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat.
Dexamethasone adalah kortikosteroid yang dipilih karena aktifitas
mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari
16mg/h tetapi dosis ini dapat ditambah atau dikurangi untuk
mencapai dosis yang yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala
neurologik.
c. Manitol
Digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2. Terapi definitive
a. Pembedahan
Bertujuan mengurangi efek massa dan edema, melindungi dan
memperbaiki fungsi neurologis, mengurangi kejadian kejang,
menjaga alirana cairan serebrospinalis, dan memperbaiki prognosis
b. Terapi radiasi
Terapi radiasi mengantarkan radiasi yang mengionisasi sel-sel
tumor. Ionisasi ini merusak DNA seltumor dan menghentikan proses
pembelahan sel tumor dan menghentikan proses pembelahan
seltumor yang pada akhirnya mematikan sel tumor.
Terapi radiasi memainkan peran penting dalam pengobatan
tumor otak pada orang dewasa. Terapi radiasi adalah terapi
nonpembedahan yang paling efektif untuk pasien dengan malignant
glioma dan juga sangat penting bagi pengobatan pasien dengan low-
grade glioma.
c. Kemoterapi
Kemoterapi hanya sedikit bermanfaat dalam pengobatan
pasien dengan melignant glioma. Kemoterapi tidak memperpanjang
rata-rata pertahanan semua pasien, tetapi sebuah subgroup tertentu
nampaknya bertahan lebih lama dengan penambahan kemoterapi dan
radioterapi. Kemoterapi juga tidak berperan banyak dalam
pengobatan pasien dengan low-grade astrocytoma. Sebaliknya
kemoterapi disarankan untuk pengobatan pasien dengan
oligodendroglioma.

Penanganan khusus tergantung dari penyebab atau etiologi lesi


intrakranial tersebut. Antara etiologi dari Space-occupying lesion (SOL)
adalah malignansi (tumor primer atau metastasis), infeksi (abses serebri,
subdural abses, epidural abses, kista hidatid), perdarahan (intraserebral,
subdural, epidural) dan granuloma (neurosistiserkosis, tuberkuloma).

Apabila sudah ditegakkan tumor, dapat dilakukan biopsi untuk


mengidentifikasi secara histologi tipe dan grade dari tumor tersebut.
Tumor otak biasanya ditangani dengan operasi, terapi radiasi dan
kemoterapi.

Pada abses serebri, terapi antimikroba harus diberikan bersamaan


dengan penanganan hipertensi intrakranial. Antibiotik diberikan selama 4
sampai 8 minggu. Ukuran dan jumlah abses harus dievaluasi dari CT
Scan atau MRI. Abses dengan ukuran lebih dari 2,5cm dapat dieksisi atau
diaspirasi. Abses dengan ukuran kurang dari 2,5cm diaspirasi untuk
tujuan diagnostik.

Pada kasus perdarahan, tekanan darah harus diturunkan dan


tanda-tanda vital distabilkan. Operasi tidak direkomendasikan pada
pasien dengan pendarahan di bawah 10cm3, dengan defisit neurologis
minimal. Pasien dengan pendarahan >3cm di serebelum dengan
penurunan neurologis harus dioperasi segera. Antara tindakan operasi
yang dilakukan adalah drainase (burr hole) atau kraniotomi.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas klien: usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tgl MRS, askes, dst.
2) Keluhan utama: nyeri kepala disertai penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise peninggian
tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal.
4) Riwayat penyakit dahulu: pernah, atau tidak menderita infeksi telinga
(otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis, abses
paru, empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis.
5) Pemeriksaan fisik
6) Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise
Tanda :Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
7) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis
Tanda :TD meningkat, N : menurun (berhubungan dengan peningkatan
TIK dan pengaruh pada vasomotor).
8) Eliminasi
9) Nutrisi
Gejala : Kehilangan nafsu makan, disfagia (pada periode akut)
Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa kering.
10) Hygiene
Gejala : -
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan, perawatan diri (pada
periode akut).
11) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, timbul kejang, gangguan penglihatan.
Tanda :Penurunan status mental dan kesadaran. Kehilangan memori,
sulit dalam keputusan, afasia, mata : pupil unisokor (peningkatan TIK),
nistagmus, kejang umum lokal.
12) Nyeri / kenyamanan
Gejala :Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan, leher /
pungung kaku.
Tanda : Tampak terus terjaga, menangis / mengeluh.
13) Pernapasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal). Perubahan mental
(letargi sampai koma) dan gelisah
2. Masalah K eperawatan
a. Gangguan pertukaran gas
b. Gangguan rasa nyaman
c. Risiko cedera
d. Ansietas
3. Intervensi
a. Gangguan pertukaran gas
Observasi
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
2) Monitor pola napas
3) Monitor kemampuan batuk efektif
4) Auskultasi bunyi napas
5) Monitor saturasi oksigen
Terapeutik
1) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2) Dokumetasikan hasil pemantauan

Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur pematauan
Informasikan
2) Informasikan hasil pemntauan, jika perlu
b. Gangguan rasa nyaman
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3) Fasilitasi istrahat dan tidur
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
c. Risiko cedera
Observasi
1) Identifikasi kebutuhan keselamatan
2) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
Terapeutik
1) Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan
2) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko
3) Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
4) Lakukan program krining bahaya lingkungan
Edukasi
1) Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya
lingkungan
d. Ansietas
Observasi
1) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
2) Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik
1) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan,jika kemungkinan
2) Pahami situasi yang membuat ansietas
3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4) Motivasi mengindentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Edukasi
1) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin di alami
2) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan
prognosis
3) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
4) Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
PATHWAY

Idiopatik

Tumor otak

Penekanan jaringan otak Bertambahnya massa

Invasi jaringan otak Nekrosis jaringan otak Penyerapan cairan otak

Kerusakan jaringan Gangguan Hipoksia Obstruksi vena di otak


Neuron ( Nyeri ) Suplaidarah jaringan

Kejang Gangguan Gangguan Gangguan Oedema


Neurologisfokal Fungsi otak Perfusi
jaringan

Defisitneurologis Disorientasi Peningkatan TIK Hidrosefalus

Risiko Cidera Perubanah


 Aspirasisekresi proses pikir
 Obstruksi jalan nafas
 Dispnea
Bradikardi progresif, Bicara terganggu,
 Henti nafas Hernialis ulkus
hipertensi sitemik, afasia
 Perubahan pola nafas
gangguan pernafasan

Ancaman Gangguan Menisefalontek


Gangguan kematian Komunikasi verbal anan
Pertukaran
gas
Cemas Mual, muntah, papile Gangguan
odema, pandangan kabur, kesadaran
Gangguan penurunan fungsi
Rasa nyaman pendengaran, nyeri
kepala
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta :
PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta :
PPNI

Anda mungkin juga menyukai