Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ABSES SEREBRI DI


RUANG GARDENA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Kurnia Juliarthi, S. Kep
NIM 132311101012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
APRIL, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ABSES SEREBRI

1. PENGERTIAN

Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah


mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi
(biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi
perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke
bagian lain dari tubuh.

Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah
nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali
proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan
bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.

Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi


nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan
abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk
melalui proses terjadinya abses tersebut.

Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka


manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari
proses inflamasi, yakni: kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan
(tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap
jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru,
otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke
jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang
ekstensif (gangren).
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah, debridemen, dan kuretase.

Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,


utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus
diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu
dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan
mungkin juga antibiotik.

Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan


apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Hal ini dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus,
ibi evacua.

Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,


tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir
yang perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan
penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui saluran
pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak
dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.

Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,


antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering
digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten
Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut
menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,
digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.

Abses otak / abses serebri adalah proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi
bakteri, fungi dan protozoa atau Abses otak adalah suatu proses infeksi yang
melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau
melaui sistem vaskular. Timbunan abses pada daerah otak mempunyai daerah
spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%. (Haslam, 2004)

2. ANATOMI FISIOLOGIS SISTEM

Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume


sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak manusia
bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia.
Oleh karena itu terdapat kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf
didalamnya dipercayai dapat mempengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan
mengenai otak mempengaruhi perkembangan psikologi kognitif.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan
volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor,
dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan tekanan
perfusi serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. (Vander, 2001)
Peningkatan TIK dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu;
1. Tumor primer atau metastasis
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
6. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi

Pembagian otak.

a. Anatomi

1. Prosencephalon - Otak depan

2. Mesencephalon - Otak tengah

 Diencephalon = thalamus, hypothalamus

 Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum

3. Rhombencephalon - Otak belakang

 Metencephalon= pons, cerebellum

 Myelencephalon= medulla oblongata

b. Fisiologi

Sawar darah otak memisahkan dua kompartemen utama dari susunan


saraf, yaitu otak dan likuor serebrospinalis, dari kompartemen ketiga, yaitu darah.
Tempat-tempat rintangan itu adalah tapal batas antara darah dan kedua
kompartemen susunan saraf tersebut di atas, yaitu pleksus korioideus, pembuluh
darah serebral dan ruang subarachnoid serta membrane araknoid yang menutupi
ruang subaraknoid.
Semua tempat sawar dibentuk oleh sel-sel yang bersambung satu dengan
yang lain dengan tight junction, yang membatasi difus interseluler. Sel-sel tersebut
adalah endothelium pembuluh darah, epithelium pleksus korioideus dan sel-sel
membran araknoid serta perineurium.
Sawar darah otak dapat mengalami perubahan jika terjadi beberapa proses
patologis, seperti anoksia dan iskemia, lesi destruktif dan proliferatif, reaksi
peradangan dan imunologik, dan juga jika terdapat autoregulasi akibat sirkulasi
serebral yang terganggu.
Tight junction dari endothelium pembuluh darah serebral biasanya mampu
menghalangi masuknya leukosit ataupun mikroorganisme patogen ke susunan
saraf pusat. Tetapi pada proses radang dan imunologik, tight junction dapat
menjadi bocor. Leukosit polinuklearis terangsang oleh substansi-substansi yang
dihasilkan dari sel-sel yang sudah musnah sehingga ia dapat melintasi pembuluh
darah, tanpa menimbulkan kerusakan structural. Limfosit yang tergolong dalam T-
sel ternyata dapat juga menyebrangi endothelium tanpa menimbulkan kerusakan
structural pada pembuluh darah

3. KLASIFIKASI
Menurut Goodkin tahun 2004 klasifikasi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Stadium serebritis dini/ Cerebritis Early (hari ke 1-3)
b. Stadium serebritis lambat/ Cerebritis Late (hari ke 4-9)
c. Stadium pembentukan kapsul dini/ Early Capsula Formation (hari ke 10-
14)
d. Stadium pembentukan kapsul lambat/ Late Capsula Formation (setelah
hari ke 14)

4. ETIOLOGI
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada abses otak, yaitu bakteri,
jamur dan parasit.Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha
hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya
berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal
dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob,
Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan
Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita
jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. Jamur penyebab
abses otak antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies
Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit
amuba usus dapat menimbulkan abses otak secara hematogen. (Goodkin, 2004)

5. PATOFISIOLOGI
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari
atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi
pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas
keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. (Robert, 2004)

Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus


infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau
secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi
oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering
pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum
biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.Abses
otak bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada
penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan
darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia.
Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses
pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini
menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt
kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang
masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark.
Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga abses otak adalah
soliter, hanya sepertiga abses otak adalah multipel. Pada tahap awal Abses otak
terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit
disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai
bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis
dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia,
fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses
tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif
terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter. (Goodkin, 2004)

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke
arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.Infeksi
jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel
nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan abses otak yang berlokasi pada
lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan abses otak lobus
temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen.

Clinical Pathway (Terlampir)

6. TANDA DAN GEJALA


1. Gejala Infeksi pada umumnya : Demam, malaise, muntah nyeri kepala

2. Terjadi peningkatan tekanan intracranial : nyeri kepala hebat, muntah-


muntah, penglihatan kabur dan pada pemeriksaan funduskopi tampak
adanya papil edema

3. Kejang - kejang

4. Gejala fokal yang terlihat pada abses otak Lobus :

5. Frontalis mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam mengambil


keputusan, Gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang

6. Temporalis tidak mampu menyebut objek; tidak mampu membaca,


menulis atau, mengerti kata-kata; hemianopia.
7. Parietalis gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik, kejang fokal,
hemianopia homonim, disfasia, akalkulia, agrafia. Serebelum sakit kepala
suboksipital, leher kaku, gangguan koordinasi, nistagmus, tremor
intensional. (Goodkin, 2004)

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemantauan nilai Glasgow Coma Scale/ GCS

b. Foto rontgen untuk mencari kemungkinan fokus infeksi foto tengkorak


untuk mencari tanda-tanda TIK juga mencari sumber infeksi

c. USG

d. Angiografi, menentukan lokalisasi abses

e. EEG. Memperlihat tanda-tanda fokal sloding disekitar abses

f. CT Scan

g. MRI

h. Laboratorium :

i. Jumlah Leukosit 10.000 – 20.000/cm3 (60-70 %)

j. LED meningkat ; 45 mm/jam (75-90%)

k. Pemeriksaan CSS/ Lumbal punksi tidak boleh dilakukan, karena dapat


menyebabkan herniasi otak secara cepat.

9. PENATALAKSANAAN
a. MEDIK
1. Menghilangkan proses infeksi, effek massa dan oedema terhadap otak

2. Pemberian Antibiotik yang tepat sesuai uji kultur selama 6-8 minggu
untuk mengecilkan abses dan 10 minggu untuk menghilangkan effek
massa dari abses otak.
3. Pemberian kortikosteroid dapat diberikan untuk merununkan
peradangan edema serebri.

4. Obat-obatan antikonvulsan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya


kejang

5. Pembedahan: craniotomy, VP shunt (Mardjono, 2006)

b. KEPERAWATAN
Penatalaksaan Umum
1. Support nutrisi: tinggi kalori dan tinggi protein.
2. Terapi peningktan TIK
3. Support fungsi tanda vital
4. Fisioterapi (Mardjono, 2006)
10. KOMPLIKASI
Menurut Mardjono tahun 2006, abses otak menyebabkan kecacatan bahkan
kematian. Adapun komplikasinya adalah:
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrofesalus
3. Edema otak
4. Herniasi oleh massa Abses otak
A. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. PENGKAJIAN
a. Biodata
Identitas klien ;
usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tgl MRS,

askes, jamsostek dst.


b. Riwayat Penyakit :
Keluhan utama ;
nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran dan mengalami kejang serta

muntah.
Riwayat penyakit sekarang ;
demam, anoreksi dan malaise, penurunan penglihatan, kelemahan ekstermitas,

peninggian tekanan intrakranial serta gejala neurologik fokal .


Riwayat penyakit dahulu ;
pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis ) atau infeksi

paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema) jantung ( endokarditis ), organ

pelvis, gigi dan kulit.


Riwayat penyakit keluarga :
apakah dalam keluarga ada atau tidak yang mempunyai penyakit infeksi paru –

paru, jantung, AIDS


c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum :
Apakah ada penurunan tingkat kesadaran secara drastis, TTV; TD, N, RR, S.(Suhu

badan mengalami peningkatan 38-41C)


Kepala :
Inspeksi :bentuk kepala simetis/tidak, ada ketombe/tidak, pertumbuhan rambut,

ada lesi/tidak,
Palpasi : ada nyeri tekan/tidak.
Kulit :
Inspeksi : Warna kulit, turgor kulit cepat kembali/tidak, tanda peradangan

ada/tidak, adanya lesi/tidak, oedema/tidak.


Palpasi : ada nyeri tekan/tidak
Mata :
Inspeksi : Bola mata simetris/tidak, gerakan bola mata, reflek pupil thd cahaya

ada/tidak, kornea benik/tidak, konjungtiva anemis/tidak, sclera ada ikterik/tidak,

ketajaman penglihatan normal/tidak, (pupil terlihat unisokor tanda adanya

peningkatan TIK, oedema pupil, terdapat fotophobia )


Hidung :
Inspeksi : Bentuk simetris/ tidak, fungsi penciuman baik/ tidak, peradangan ada/

tidak, ada polip/ tidak, pemeriksaan sinus maxilaris kemungkinan ada peradangan.
Telinga :
Inspeksi : Bentuk daun telinga (simetris/ tidak), letaknya(simetris/ tidak),

peradangan (ada/ tidak), fungsi pendengaran (baik/ tidak), ada serumen/ tidak, ada

cairan purulent / tidak.


Mulut :
Inspeksi : Bibir (warnanya pucat/ cyanosis/ merah), kering/ tidak, pecah/ tidak,

Gigi (bersih/ tidak), gusi (ada berdarah/ peradangan/ tidak), tonsil (radang/ tidak),

lidah (tremor/ tidak, kotor/ tidak), fungsi pengecapan (baik/ tidak), mucosa

mulut(warnanya), ada stomatitis/tidak.


Leher :
Inspeksi : terdapat benjolan/ massa (ada/ tidak), ada kekakuan / tidak, ada nyeri

tekan/ tidak, pergerakan leher (ROM): bisa bergerak fleksi/ tidak, rotasi/tidak,

lateral fleksi/tidak, hiperekstension/tidak, tenggorokan: ovula(simetris/tidak),

kedudukan trachea(normal/tidak), gangguan bicara(ada/tidak).


Paru-Paru :
Inspeksi : Bentuk (simetris/tidak), bentuk dan pergerakan dinding dada

(simetris/tidak)
Palpasi : ada/tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskutasi : ada bunyi/irama pernapasan seperti :teratur/tidak, ada cheynes

stokes/tidak, ada irama kussmaul/tidak, stridor/tidak, wheezing ada/tidak,

ronchi/tidak, pleural friction-Rub/tidak


Jantung :
Inspeksi : Bentuk (simetris/tidak)
Palpasi : ada nyeri tekan pada daerah dada/tidak
Perkusi : redup
Auskultasi : ada/tidak bunyi jantung seperti: BJ I yaitu bunyi menutupnya katup

mitral dan trikuspidalis, BJ II yaitu bunyi menutupnya katup aorta dan

pulmonalis,Bising jantung/Murmur
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk(simetris/tidak), datar/tidak
Auskultasi : suara bising usus (hiperaktif/tidak)
Palpasi : ada nyeri tekan pada epigastrik/tidak, ada peningkatan peristaltic

usus/tidak, ada nyeri tekan pada daerah suprapubik/tidak, ada oedem/tidak


Perkusi : tympani
Genetalia :
Inspeksi : Ada radang pada genitalia eksterna/tidak, ada lesi/tidak, siklus

menstruasi teratur/tidak, ada pengeluaran cairan/tidak.


Ekstremitas
Inspeksi : Ada pembatasan gerak/tidak, ada edema/tidak, varises ada/tidak,

tromboplebitis ada/tidak, nyeri/kemerahan(ada/tidak), tanda-tanda

infeksi(ada/tidak), ada kelemahan tungkai/tidak. (Terdapat penurunan dalam

gerakan motoric, kekuatan otot menurun tidak ada koordinasi dengan otak,

gangguan keseimbangan otot)


d. Pengkajian neurologi
Status mental
Tingkat kesadaran pasien
Fungsi saraf cranial
N.I : daya pembau
N.II : daya penglihatan
N.III : ptosis, gerak kedua mata ke medial atas dan bawah
N.IV : gerak kedua mata lateral ke bawah, strabismus
N.V : sensibilitas, motorik
N.VI : gerak kedua mata lateral, strabismus konvergen, diplopia
N.VII : motorik, paresis, saliva dan lakrimasi
N.VIII : pedengaran suara baik / buruk pada telinga kanan dan kiri
N.IX&X : arkus daring simetris / tidak, bersuara, sengaum / tidak, menelan
N. XI : bisa memalingkan kepala dan mengangkat bahu
N. XII : artikulasi baik / buruk, kekuatan lidah
Bahasa dan bicara:
Kemampuan berbicara terganggu
Tanda-tanda meningeal:
Kaku kuduk, lasegue, kernig, nervus kranialis
Status neurologik dan status motorik:
Kekuatan otot, tonus otot, refleks biologis, reflek patologis
e. Pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan penanganan kesehatan : Apakah pasien pernah

mengalami trauma kepala dan apa yang dirasakan pasien terkait

kondisi kesehatannya saat ini.


2) Pola nutrisi dan metabolisme : Pasien mengalami kehilangan nafsu

makan,vdisfagia (pada periode akut )


3) Pola eliminasi : Apakah terdapat gangguan pada proses eliminasi
4) Pola aktifitas : Saat berada di Rumah Sakit pasien sering mengalami

kejang, ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.


5) Pola istirahat dan tidur : Apakah pasen memiliki masalah dengan

tidurnya.
6) Pola kognitif/ persepsi : Pada pasien dalam kasus abses serebri

didapatkan hasil bahwa pola kognitif terganggu dengan tanda dan

gejala sakit kepala sudah 3 hari tidak sembuh-sembuh, saat di RS

pasien juga mengalami kejang


7) Pola konsep diri
8) Pola peran : Observasi terhadap perilaku dan penampilan diri pasien,

pantau setiap aktivitas motorik, hubungan dengan keluarga mengalami

penurunan juga hubungan dengan masyarakat.


9) Pola seksualitas dan reproduksi : Terdapat gangguan pemenuhan

kebutuhan seksual, penurunan tingkat kesadaran.


10) Pola keyakinan dan nilai : Melaksanakan kegiatan keagamaan secara

rutin dan taat.


f. Pengkajian per sistem
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
a. Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
b. Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
- Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya

atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.


- Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan

bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam

trakeobronkial dan alveoli.


- Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan

peningkatan usaha napas)


c. Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan

adanya COPD
d. Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
- Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada

paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau

penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.


- Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-

otot interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi

paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi

jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding dada.


e. Sputum.
- Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya.

Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale;

sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia,

brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang mengandung darah dapat

menunjukan adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.


f. Selang oksigen
g. Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube yang

berada di luar.
h. Parameter pada ventilator
- Volume Tidal
- Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
- Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status

ventilasi penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya

penurunan ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan

peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya

peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.


- Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
- Minute Ventilasi
- Forced expiratory volume
- Peak inspiratory pressure

2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)


a. Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
b. Distensi Vena Jugularis
c. Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
d. Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
i. S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat

penutupan katup mitral dan trikuspid.


ii. S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan

katup pulmonal dan katup aorta.


iii. S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi

ventrikel.
e. Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar

pada pasien gangguan katup atau CHF.


f. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik
g. Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat

terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.


h. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke

lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya

pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.


i. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Tingkat kesadaran
b. Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi

akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral.

Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.


c. Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang

disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).


d. GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap

lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata,

respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah

nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.


e. Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang

terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :


- Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,

dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..


- Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan

sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.


- Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,

berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.


- Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon

psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu

memberi jawaban verbal.


- Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada

respon terhadap nyeri.


- Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap

rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,

mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).


f. Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk

perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan

oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di

dalam rongga tulang kepala.


g. Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral

atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran

berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan

mortalitas (kematian).
h. Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.

Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
i. GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai

tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak)

dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.


j. Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka

mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat

(score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.


Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan

kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )

disorientasi tempat dan waktu.


(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun

tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)


(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi

rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi

stimulus saat diberi rangsang nyeri)


(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada &

kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).


(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,

dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…

V…M… Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi

adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.


k. Refleks pupil
- Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
- Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
- Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis

penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang

menggunakan respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.


- Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan

narkotik, heroin.

4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)


a. Kateter urin
b. Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
c. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat

menurunnya perfusi pada ginjal.


d. Distesi kandung kemih

5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)


a. Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan

pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.


b. Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan

palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.

Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus

dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang

endotrakeal dan nasotrakeal.


c. Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan

memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat

juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.

Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah

stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya

terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.


d. Nyeri
e. Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
f. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
g. Mual dan muntah.

6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)


a. Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis

(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat

pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya

kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning)

pada pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan

aliran darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
b. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas

terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam,

infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat

gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril.


i. Integritas kulit
ii. Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak bd. peradangan dan edema pada

otak dan selaput otak


b. Ketidakefektifan pola nafas bd difungsi nueromuskular (penurunan aliran

darah otak)
c. Nyeri akut bd. iritasi selaput dan jaringan otak
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd. akumulasi secret, kemampuan batuk

menurun akibat penurunan kesadaran.


e. Resiko tinggi cedera bd. kejang, perubahan status mental dan penurunan

tingkat kesadaran.
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan

makan
g. Kerusakan integritas kulit b.d imobilisasi fisik
h. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan kesadaran
i. Hypertermi bd. Inflamasi sekunder pada pusat pengatur suhu tubuh.
j. Ansietas b.d ancaman kematian dan kurangnya pengetahuan keluarga
3. RENCANA DAN INTERVENSI

No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Gangguan NOC: Tissue Perfusion: NIC: 1. Mengetahui status sirkulasi
Circulatory Precaution
perfusi jaringan Cerebral perifer dan adanya kondisi
1. Kaji sirkulasi perifer secara
serebral Kriteria hasil: abnormal pada tubuh
komprehensif (nadi perifer, edema, 2. Mengetahui adanya
berhubungan 1. Menunjukkan perfusi
CRT, warna, dan suhu ekstremitas) perubahan akibat gangguan
dengan jaringan membaik TD
2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi sirkulasi perifer
penurunan dalam batas normal,
3. Menghindari cedera untuk
kemerahan, nyeri, atau pembengkakan
aliran darah ke tidak ada keluhan sakit
meminimalkan luka
3. Hindarkan cedera pada area dengan
otak kepala. 4. Posisi trendelenberg akan
perfusi yang minimal
2. Tanda-tanda vital stabil meningkatkan TIK sehingga
4. Hindarkan klien dari posisi
3. Tidak menunjukkan memperparah kondisi klien
trendelenberg yang meningkatkan TIK 5. Mengurangi penekanan agar
adanya gangguan
5. Hindarkan adanya penekanan pada perfusi tidak terganggu
perfusi meliputi
6. Obat-obatan untuk
area cedera
disorientasi,
meningkatkan sattus perfusi
6. Pertahankan cairan dan obat-obatan
kebingungan, maupun 7. Mengurangi kecemasan
sesuai program
nyeri kepala keluarga
7. Health education tentang keadaan dan 8. Membantu mempercepat
kondisi pasien kepada keluarga kesembuhan klien
8. Kolaborasi pemberian terapi
medikamentosa
2. Ketidakefektifa Respiratory status : Respiratory monitoring 1. Mengetahui kondisi
1. Monitor kecepatan, frekuensi,
n pola nafas Ventilation pernapasan pasien
kedalaman dan kekuataan ketika 2. Mengetahui keadaaan paru dan
berhubungan Status sistem pernapasan :
pasien bernapas jantung pasien
dengan ventilasi
2. Monitor hasil pemeriksaan rontgen 3. Mengetahui suara napas pasien
kerusakan Pola napas pasien adekuat 4. Mengetahui kondisi pasien
dada
neuromuskuler ditandai dengan: 3. Monitor suara napas pasien untuk menentukan intervensi
1. Pasien bernapas tanpa 4. Kaji dan pantau adanya perubahan
selanjutnya sesuai indikasi
kesulitan dalam pernapasan 5. Untuk memantau kondisi
2. Menunjukkan perbaikan 5. Monitor sekret yang dikeluarkan oleh
pasien (suara napas pasien)
pernapasan pasien
untuk menentukan intervensi
3. Paru-paru bersih pada
6. Health education tentang keadaan
sesuai indikasi
pemeriksaan auskultasi
dan kondisi pasien kepada keluarga 6. Mengurangi kecemasan
4. Kadar PO2 dan PCO2
7. Kolaborasi pemberian terapi keluarga
dalam batas normal
7. Membantu penyembuhan klien
medikamentosa
3 Ketidakefektifa NOC : NIC :
n bersihan jalan 1. Respiratory status : Airway suction
napas Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal 1. Menjaga kebersihan oral
berhubungan 2. Respiratory status : suctioning mencegah penumpukan
dengan Airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sputum
akumulasi 3. Aspiration Control sesudah suctioning. 2. Mengetahui ada tidaknya
sekret Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga sputum
1. Mendemonstrasikan tentang suctioning 3. Informed consent tindakan
batuk efektif dan suara 4. Minta klien nafas dalam sebelum 4. Menampung O2 sebagai
nafas yang bersih, tidak suction dilakukan. cadangan
ada sianosis dan dyspneu 5. Berikan O2 dengan menggunakan 5. O2 masih ada untuk
(mampu mengeluarkan nasal untuk memfasilitasi suksion pernapasan
sputum, mampu bernafas nasotrakeal 6. Mencegah infeksi
dengan mudah, tidak ada 6. Gunakan alat yang steril setiap 7. Memberikan waktu pasien
pursed lips) melakukan tindakan untuk istirahat
2. Menunjukkan jalan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan 8. Mengetahui status oksigen
nafas yang paten (klien napas dalam setelah kateter pasien
tidak merasa tercekik, dikeluarkan dari nasotrakeal 9. Mencegah hipoksia yang
irama nafas, frekuensi 8. Monitor status oksigen pasien berlebihan
pernafasan dalam 9. Hentikan suction dan berikan oksigen
rentang normal, tidak apabila pasien menunjukkan
ada suara nafas bradikardi, peningkatan saturasi O2,
abnormal) dll.
3. Mampu Airway Management
mengidentifikasikan dan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik 1. Membuat jalan napas paten
mencegah factor yang chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Memposisikan yang nyaman
dapat menghambat jalan 2. Posisikan pasien untuk untuk ventilasi
nafas memaksimalkan ventilasi 3. Mengetahui status respirasi
3. Identifikasi pasien perlunya pasien adekuat atau tidak
pemasangan alat jalan nafas buatan 4. Membantu jalan napas supaya
4. Pasang mayo bila perlu paten
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 5. Membantu mengeluarkan
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau sputum
suction 6. Mencegah penumpukan
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya sputum didalam paru
suara tambahan 7. Mengetahui adanya suara
8. Lakukan suction pada mayo tambahan
9. Berikan bronkodilator bila perlu 8. Mencegah jalan napas tidak
10. Berikan pelembab udara kassa basah buntu
NaCl lembab 9. Vasodilatasi paru
11. Atur intake untuk cairan 10. Mencegah gesekan yang
mengoptimalkan keseimbangan. berlebihan
12. Monitor respirasi dan status O2 11. Menjaga balance cairan
12. Mengetahui status oksigen
pasien
4 Ketidakseimba NOC : NIC :
ngan 1. Nutritional Status : Nutrition Management
pemenuhan Food and Fluid Intake 1. Pasang pipa lambung sesuai indikasi, 1. Memenuhi kebuthan nutrisi
kebutuhan Kriteria Hasil : periksa posisi pipa lambung setiap pasien
nutrisi kurang 1. Adanya peningkatan akan memberikan makanan 2. Untuk mencegah terjadinya
dari kebutuhan berat badan sesuai 2. Tinggikan bagian kepala tempat tidur regurgitasi dan aspirasi
tubuh dengan tujuan setinggi 30 derajat 3. Mengetahui jumlah intake
berhubungan 2. Berat badan ideal sesuai 3. Catat makanan yang masuk harian pasien
dengan dengan tinggi badan 4. Kaji cairan gaster, muntahan 4. Mengetahui adanya tidaknya
penurunan 3. Mampu mengidentifikasi 5. Health education tentang diet dengan perdarahan gastrointestinal
kesadaran kebutuhan nutrisi keluarga 5. Meningkatkan pengetahuan
4. Tidak ada tanda tanda 6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam keluarga
malnutrisi pemberian diet yang sesuai dengan 6. Memenuhi kebutuhan nutrisi
5. Tidak terjadi penurunan kondisi pasien harian pasien
berat badan yang berarti
5. Nyeri akut NOC : NIC : a. Membantu dalam menentukan
berhubungan - Pain level Pain Management status nyeri pasien dan
dengan - Pain control a. Kaji karakteristik pasien secara menjadi data dasar untuk
- Comfort level
terputusnya PQRST intervensi dan monitoring
Kriteria hasil: b. Lakukan manajemen nyeri sesuai skala
kontinuitas keberhasilan intervensi
a. Mampu mengontrol nyeri misalnya pengaturan posisi b. Meningkatkan rasa nyaman
jaringan
nyeri (tahu penyebab fisiologis dengan mengurangi sensasi
c. Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas
nyeri, mampu tekan pada area yang sakit
dalam dan distraksi pada saat rasa c. Hipoksemia lokal dapat
menggunakan teknik
nyeri datang (jika pasien sadar dan menyebabkan rasa nyeri dan
nonfarmakologi untuk
kooperatif) peningkatan suplai oksigen
mengurangi nyeri)
d. Beri manajemen sentuhan berupa
b. Melaporkan bahwa nyeri pada area nyeri dapat
pemijatan ringat pada area sekitar
berkurang dengan membantu menurunkan rasa
nyeri
menggunakan nyeri
e. Kolaborasi dengan pemberian
d. Meningkatkan respon aliran
manajemen nyeri
analgesik secara periodik
c. Mampu mengenali nyeri darah pada area nyeri dan
(skala, intensitas, merupakan salah satu metode
frekuensi dan tanda pengalihan perhatian
e. Mempertahankan kadar obat
nyeri)
d. Menyatakan rasa dan menghindari puncak
nyaman setelah nyeri periode nyeri
berkurang
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptomps, and
Prognosis of Intracerebral Abscess. American of Pediatrics. Available
http://aapgrandrounds.aappublications.org accessed 1 Mei 2018

Himawan. Sutisna, Patologi, Jakarta, Bagian Patologi Anatomi FKUI, 1996.

Hudak, Carolyn. M, Keperawatan Kritis, Alih bahasa Adiyanti Monica. E.D, edisi
6, volume 2, Jakarta, EGC, 1997.

Judith M. Wilkinson, 2007, Buku saku diagnosis keperawatan, Jakarta: EGC

Mardjono,M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian rakyat

Price, Syivian Anderson, Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit, Alih


bahasa Agung Waluyo, edisi 8, Jakarta, EGC, 2001.

Robert H.A. Haslam. 2004. Brain Abscess In Nelson Textbook of Pediatrics 17th
ed. USA: WB Saunders

Robert H.A. Haslam. 2004. Neurologic Evaluation In Nelson Textbook of


Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders

Sjaifoellah Noer, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Jakarta, FKUI,
1996.

Smeltzar, Suzanna. C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and


Suddarth, edisi 8, volume . 2, Jakarta : EGC, 2001.

Vander, et al. Human Physiology: the mechanism of body function.8th ed. The
McGraw-Hill: Companies; 2001

Anda mungkin juga menyukai