Disusun Oleh
Nama: Mustika Myra Permata Delima Prasodjo
NIM 2130093
Disusun Oleh
Nama: Mustika Myra Permata Delima Prasodjo
NIM 2130093
Trauma langsung (jatuh, Penyebaran infeksi dari Infeksi kuman, bakteri dan
kecelakaan, olahraga organ lain parasit
Rontgen
Abses Serebri CT-Scan
MRI
Pembentukan eksudat
Peningkatan TIK
dan transudat
Edema serebral
Kerusakan saraf Perubahan tingkat
kesadaran
Pelepasan mediator
Gangguan Fungsi Otak nyeri (histamine, Koma
prostaglandin,
serotonin, lidoakain)
Gangguan
Resiko Perfusi mobilitas fisik
Impuls ke otak
Serebral Tidak Efektif Deficit nutrisi
Nyeri Akut
G. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat gejala-gejala
infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial
berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses serebri gejala
menjadi khas berupa trias abses serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis),
peninggian tekanan intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala
neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia) Manifestasi abses serebral sebenarnya
didasarkan dengan adanya:
a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah, dan
papiledema.
b. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor, dan tanda
rangsang meningeal.
c. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.
d. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf kranial, afasia,
ataksia, paresis.
Gejala lokal yang terlihat pada abses otak:
a. Frontalis: mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam mengambil keputusan,
Gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang.
b. Temporalis: tidak mampu meyebut objek, tidak mampu membaca, menulis atau,
mengerti kata-kata, hemianopia.
c. Parietalis: gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik, kejang fokal,
hemianopia homonim, disfasia, akalkulia, agrafia
d. Serebelum: sakit kepala suboksipital, leher kaku, gangguan koordinasi, nistagmus,
tremor intensional.
H. Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
Edema otak
Herniasi oleh massa Abses otak
Retardasi mental
Epilepsi
Kelainan neurologik fokal yang lebih berat.
I. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga
tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak,
ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila
terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
CT scan otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses;
daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang
normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui
lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses.
J. Penatalaksanaan Medis
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan kuman
penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan:
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer
e. Pencegahan kejang
f. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya
abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin
generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi
pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine
dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat
digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas kilen, usia, jenis, kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggian, tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal
4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema)
jantung (endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.
5. Riwayat Penyakit keluarga
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pada pemeriksaan b3
(Brain) yang terarah dihubungkan dengan keluhan dari klien dimulai dari TTV.
Peningkatan suhu pada klien abses otak 38-41 derajat celcius. Keadaan ini karena
terjadinya inflamasi dan proses supurasi di jaringan otak. Penurunan denyut nadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan
frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme dan
terjadi infeksi pada system pernfasan sebelum mengalami abses otak. TD normal atau
meningkat berhubungan dengan peningkatan TIK.
1. B1 (Breath)
Inspeksi kemampuan klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan dan gangguan pada system
pernapasan. Palpasi thoraks untuk menilai taktil primitus, pada efusi pleura atau
abses paru taktil premitus akan menurun pada sisi yang sakit. auskultasi bunyi napas
tambahan.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakuakn pada klien abses otak
pada tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
abses otak biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesdaran.
Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara,
dan observasi ekspresi wajah serta aktivitas motorik yang pada klien abses otak tahap
lanjut mengalami perubahan pada status mental.
Saraf kranial:
Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman: Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium
benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan
sebagainya. Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
Test nervus II (Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang: Test aktifitas visual, tutup satu mata
klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya., Test lapang
pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung
pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut,
informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut,
ulangi mata kedua.
Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III). Test N III
(respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai
menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan
keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar. Test N IV, kepala tegak lurus,
letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah
kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus. Test N VI,
minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya: dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas
dan bawah. Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral. Refleks
kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral. Usap pula dengan
pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup.
Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan. Fungsi motorik, caranya:
klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan
masseter.
Test nervus VII (Facialis)
Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,
asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien
tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang
sehat. Otonom, lakrimasi dan salivasi. Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka
dengancara meminta klien untuk: tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata
sementara pemeriksa berusaha membukanya
Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris: Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,
pemeriksa berbisik di satu telinga lain atau menggesekkan jari bergantian kanan-
kiri. - Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus,
apakah dapat melakukan atau tidak.
Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini
sulit di test demikian pula dengan M. Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N
IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak,
sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak. Test: inspeksi gerakan ovula (saat
klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan tertarik keatas. Refleks menelan:
dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan
terlihat klien seperti menelan.
Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat? apakah atropi? kemudian palpasi
kekuatannya.
Nervus XII (Hypoglosus)
Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan. Inspeksi posisi lidah (mormal,
asimetris / deviasi). Menyuruh klien mengeluarkan lidah dan memasukkan
dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
4. B4 (Bladder)
Pada klien dengan abses serebri didapatkan incontensia urine tetapi pada bladder
terkadang penuh. Biasanya klien menggunakan selang kateter.
5. B5 (Bowl)
Pada perut terdapat kembung dan juga terdapat penurunan peristaltic usus, adanya
kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, nafsu makan yang
menurun, mual muntah pada fase akut. Pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus.
6. B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan
kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat
dapat ditemukan ekimosis yang berat pada wajah dan ekstremitas. Klien sering
mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu ADL.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (SDKI HAL. 51)
2. Defisit Nutrisi (SDKI HAL. 56)
3. Hipertermi (SDKI HAL. 284)
4. Nyeri Akut (SDKI HAL. 172)
5. Ganggun Mobilitas Fisik (SDKI HAL. 124)
D. Intervensi Keperawatan
Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321. Jakarta: Dian
Rakyat. 2008. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. (Ed.8). Jakarta:
EGC
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI