Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA KASUS ABSES CEREBRI

Memenuhi Tugas Individu Praktek Klinik


Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh
Nama: Mustika Myra Permata Delima Prasodjo
NIM 2130093

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH
SURABAYA 
2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN ABSES CEREBRI

Disusun Oleh
Nama: Mustika Myra Permata Delima Prasodjo
NIM 2130093

Mengetahui, Surabaya, 27 September 2021


Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik
LAPORAN PENDAHULUAN ABSES CEREBRI
A. Definisi
Abses otak atau abses serebri adalah infeksi lokal intrakranial yang dimulai dengan area
cerebritis dan berkembang menjadi kumpulan nanah yang dikelilingi oleh kapsul. Abses otak
dapat disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, fungi, dan parasit yang berasal dari
fokus infeksi yang berdekatan dengan otak ataupun menyebar secara hematogen.
B. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri yang paling sering menyebabkan abses otak adalah Streptococcus (aerob,
anaerob, dan mikroaerophili) yang ditemukan hingga pada 70% kasus. Organisme ini
termasuk grup Streptococcus anginosus (milerri), yang merupakan flora normal di
rongga mulut, appendix, dan traktur genitalia wanita.
2. Fungi
Candida merupakan jamur yang paling sering menyebabkan abses otak berupa
mikroabses, makroabses dan difusi nodul glial. Penyakit saluran saraf pusat akibat
Rhizopus arrbizus bisa disebabkan karena masuknya mikroorganisme secara langsung
akibat trauma kepala terbuka ataupun penyebaran hematogen. Pasien
immunokompromais termasuk pasien tranplantasi dan AIDS, infeksi jamur lebih
sering ditemukan. Organisme tersebut yakni Toxoplasma gondii, Nocardia asteroids,
Candida albicans, Listeria monocytogenes, Mycobacterium, Aspergillus fumigatus.
Jamur lainnya yang telah dilaporkan menjadi penyebab abses otak adalah
Cryptococcus neoformans dan mikosis endemic.
3. Parasit
Abses otak juga dapat disebabkan oleh parasit. Beberapa parasit yang diketahui
menjadi penyebab abses otak ialah protozoa dan helminthes seperti Trypanosoma
cruzi, Taenia solium, Entamoeba histolytica, Schistosoma spp., Microsporidia spp.,
dan Paragonimus spp. Protozoa penyebab infeksi otak yang terpenting adalah
Toxoplasma gondii yang bisa terlihat terutama pada penderita HIV.
4. Komplikasi dari infeksi lain
Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) hampir setengah dari
jumlah penyebab abses otak serta komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru
(bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan
kulit.
C. Faktor Resiko
Abses otak dapat terjadi karena adanya infeksi yang berdekatan dengan otak ataupun
sumber infeksi di tempat lain yang menyebar secara hematogen. Selain itu, infeksi dapat
terjadi karena adanya trauma tajam kepala dan prosedural bedah saraf. Seseorang berisiko
menderita abses otak jika memiliki kelainan paru seperti infeksi, fistula arterivenosa, sinusits
kronis atau otitis media, dan penyakit imunokompromais seperti HIV/AIDS. Penyakit
jantung bawaan sianotik juga meningkatkan risiko terjadinya abses otak pada anak-anak.
D. Stadium Abses Cerebri
Beberapa ahli membagi  perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu :
1. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular
ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa
karena pembesaran abses.
2. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel
radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast
mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema
otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar.
3. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman
reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding
sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih
dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup
besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat
daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit
di sekitar otak mulai meningkat.
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis
sebagai berikut:
 Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
 Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
 Kapsul kolagen yang tebal.
 Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
 Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
E. Patofisiologi
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau
melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase
awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila
terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. Abses
Otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak
maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala
dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap
bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Abses Otak bersifat soliter atau multiple, biasanya ditemukan pada penyakit jantung
bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak
jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-
emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat
trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya
shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang
masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark.
Pada tahap awal abses otak terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan
infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang
disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis
dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas
dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas
tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
F. WOC

Trauma langsung (jatuh, Penyebaran infeksi dari Infeksi kuman, bakteri dan
kecelakaan, olahraga organ lain parasit

Infeksi / septikemia jaringan otak

 Rontgen
Abses Serebri  CT-Scan
 MRI

Pembentukan eksudat
Peningkatan TIK
dan transudat

Edema serebral
Kerusakan saraf Perubahan tingkat
kesadaran

Pelepasan mediator
Gangguan Fungsi Otak nyeri (histamine, Koma
prostaglandin,
serotonin, lidoakain)
 Gangguan
Resiko Perfusi mobilitas fisik
Impuls ke otak
Serebral Tidak Efektif  Deficit nutrisi

Muncul presepsi Nyeri

Nyeri Akut
G. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat gejala-gejala
infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial
berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses serebri gejala
menjadi khas berupa trias abses serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis),
peninggian tekanan intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala
neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia) Manifestasi abses serebral sebenarnya
didasarkan dengan adanya:
a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah, dan
papiledema.
b. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor, dan tanda
rangsang meningeal.
c. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.
d. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf kranial, afasia,
ataksia, paresis.
Gejala lokal yang terlihat pada abses otak:
a. Frontalis: mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam mengambil keputusan,
Gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang.  
b. Temporalis: tidak mampu meyebut objek, tidak mampu membaca, menulis atau,
mengerti kata-kata, hemianopia.
c. Parietalis: gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik, kejang fokal,
hemianopia homonim, disfasia, akalkulia, agrafia
d. Serebelum: sakit kepala suboksipital, leher kaku, gangguan koordinasi, nistagmus,
tremor intensional.

H. Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
 Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid  
 Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
 Edema otak
 Herniasi oleh massa Abses otak
 Retardasi mental
 Epilepsi
 Kelainan neurologik fokal yang lebih berat.
I. Pemeriksaan Penunjang
 Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga
tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.  
 Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak,
ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
 Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan
gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan
sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila
terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
 CT scan otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses;
daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang
normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui
lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. 
J. Penatalaksanaan Medis
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan kuman
penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan:
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer
e. Pencegahan kejang
f. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan
antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya
abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin
generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi
pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine
dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat
digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas kilen, usia, jenis, kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggian, tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal
4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema)
jantung (endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.
5. Riwayat Penyakit keluarga
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pada pemeriksaan b3
(Brain) yang terarah dihubungkan dengan keluhan dari klien dimulai dari TTV.
Peningkatan suhu pada klien abses otak 38-41 derajat celcius. Keadaan ini karena
terjadinya inflamasi dan proses supurasi di jaringan otak. Penurunan denyut nadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan
frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme dan
terjadi infeksi pada system pernfasan sebelum mengalami abses otak. TD normal atau
meningkat berhubungan dengan peningkatan TIK.
1. B1 (Breath)
Inspeksi kemampuan klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan dan gangguan pada system
pernapasan. Palpasi thoraks untuk menilai taktil primitus, pada efusi pleura atau
abses paru taktil premitus akan menurun pada sisi yang sakit. auskultasi bunyi napas
tambahan.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakuakn pada klien abses otak
pada tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
abses otak biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesdaran.
Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara,
dan observasi ekspresi wajah serta aktivitas motorik yang pada klien abses otak tahap
lanjut mengalami perubahan pada status mental.
Saraf kranial:
 Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman: Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium
benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan
sebagainya. Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
 Test nervus II (Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang: Test aktifitas visual, tutup satu mata
klien kemudian suruh baca dua baris di koran, ulangi untuk satunya., Test lapang
pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien memandang hidung
pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut,
informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda tersebut,
ulangi mata kedua.
 Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III). Test N III
(respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai
menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan
keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar. Test N IV, kepala tegak lurus,
letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah
kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus. Test N VI,
minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
 Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya: dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas
dan bawah. Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral. Refleks
kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral. Usap pula dengan
pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata klien tertutup.
Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan. Fungsi motorik, caranya:
klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan
masseter.
 Test nervus VII (Facialis)
Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,
asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan, klien
tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang
sehat. Otonom, lakrimasi dan salivasi. Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka
dengancara meminta klien untuk: tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata
sementara pemeriksa berusaha membukanya
 Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris: Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,
pemeriksa berbisik di satu telinga lain atau menggesekkan jari bergantian kanan-
kiri. - Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus,
apakah dapat melakukan atau tidak.
 Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian ini
sulit di test demikian pula dengan M. Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N
IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum lunak,
sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak. Test: inspeksi gerakan ovula (saat
klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan tertarik keatas. Refleks menelan:
dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan tong spatel, akan
terlihat klien seperti menelan.
 Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat? apakah atropi? kemudian palpasi
kekuatannya.
 Nervus XII (Hypoglosus)
Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan. Inspeksi posisi lidah (mormal,
asimetris / deviasi). Menyuruh klien mengeluarkan lidah dan memasukkan
dengan cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
4. B4 (Bladder)
Pada klien dengan abses serebri didapatkan incontensia urine tetapi pada bladder
terkadang penuh. Biasanya klien menggunakan selang kateter.
5. B5 (Bowl)
Pada perut terdapat kembung dan juga terdapat penurunan peristaltic usus, adanya
kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, nafsu makan yang
menurun, mual muntah pada fase akut. Pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus.
6. B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan
kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat
dapat ditemukan ekimosis yang berat pada wajah dan ekstremitas. Klien sering
mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu ADL.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (SDKI HAL. 51)
2. Defisit Nutrisi (SDKI HAL. 56)
3. Hipertermi (SDKI HAL. 284)
4. Nyeri Akut (SDKI HAL. 172)
5. Ganggun Mobilitas Fisik (SDKI HAL. 124)
D. Intervensi Keperawatan

N DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


O KEPERAWATAN KRITERIA HASIL (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Resiko Perfusi Setelah dilakukan 1. Identikasi penyebab peningkatan
Serebral Tidak Efektif tindakan keperawatan TIK
diharapkan: hal86 2. Monitor tanda/gejala
1. Tingkat peningkatan TIK
kesadaran 3. Monitor gelombang ICP
meningkat 4. Monitor status pernapasan
2. Kognitif 5. Berikan posisi semi fowler
meningkat 6. Pertahankan suhu tubuh normal
3. Nilai rata-rata 7. Kolaborasi pemberian sedasi
tekanan darah dan anti konvulsan, jika perlu
membaik
4. Kesadaran
membaik
5. Tekanan intra
kranial menurun

2. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan 1. Identifikasi status nutrisi


tindakan keperawatan 2. Identifikasi alergi dan toleransi
diharapkan: makanan
1. Mempertahankan 3. Identifikasi perlunya
makanan dimulut penggunaan selang nasogatrik
meningkat 4. Hentikan pemberian makanan
2. Reflek menelan melalui selang nasogastrik jika
meningkat asupan oral dapat ditoleransi
3. Kemampuan 5. Anjurkan posisi duduk
mengunyah 6. Ajarkan diet yang diprogramkan
meningkat 7. Kolaborasi dengan ahli gizi
4. Usaha menelan untuk menentukan jumlah kalori
meningkat dan jenis natrium yang
dibutuhkan
3. Hipertermi Setelah dilakukan 1. Identifikasi penyebab
tindakan keperawatan hipertermia
diharapkan: 2. Monitor suhu tubuh
1. Menggigil 3. Monitor kadar elektrolit
menurun 4. Monitor haluaran urine
2. Suhu tubuh 5. Berikan cairan oral
membaik 6. Lakukan pendinginan eksternal
3. Suhu kulit 7. Anjurkan tirah baring
membaik 8. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena
(SLKI Hal 129)
(SIKI Hal 181)
4. Nyeri Akut Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
tindakan keperawatan durasi, frekuensi, kualitas,
diharapkan: intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respon nyeri non
2. Meringis menurun verbal
3. Pola napas membaik 4. Identifikasi faktor yang
4. Tekanan darah memperberat dan memperingan
menurun nyeri
5. Melaporkan nyeri 5. Berikan teknik nonfarmakologis
terkontrol meningkat untuk mengurangi rasa nyeri
6. Kemampuan (mis. TENS, hypnosis,
mengenali penyebab akupresur, terapi musik,
nyeri meningkat biofeedback, terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain).
6. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
7. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
8. Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
9. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

5. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan 1. Identifikasi toleransi fisik melakukan


Fisik tindakan keperawatan pergerakan
diharapkan: hal65 2. Monitor kondisi umum selama
1. Pergerakan melakukan mobilisasi
ekstremitas 3. Fasilitasi melakukan pergerakan
meningkat 4. Libatkan keluarga untuk membantu
2. Kekuatan otot pasien dalam meningkatkan
meningkat pergerakan
3. Rentang gerak 5. Jelaskan tujuan dan prosedur
(ROM) mobilisasi
meningkat 6. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
4. Kelemahan fisik 7. Anjurkan mobilisasi sederhana yang
menurun harus dilakukan (duduk di (tempat
tidur, duduk di sisi kursi, disisi
tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi)
DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321. Jakarta: Dian
Rakyat. 2008. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001).  Buku ajar keperawatan medikal bedah. (Ed.8). Jakarta:
EGC

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai