PENDAHULUAN
Stroke adalah penyebab kematian kedua di dunia dan penyebab paling umum
terjadinya kecacatan.1 Di negara yang masih berkembang, stroke menyumbang
86% dari semua kematian akibat stroke dan lebih dari 87% disability-adjusted life
years (DALYs) hilang akibat stroke. Berdasarkan data riset kesehatan dasar
(RISKESDAS) pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi pasien stroke di
Indonesia berkisar 10,9/1000 orang, sedangkan pada tahun 2013 lebih rendah yaitu
sekitar 7/1000 orang.2 Pasien stroke yang bertahan memiliki kemungkinan
kecacatan berat sebesar 30%. Di Indonesia berdasarkan data Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan (BPJS) tahun 2015, Stroke termasuk ke dalam penyakit
katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang menghabiskan biaya 16,9 Triliun
Rupiah dari anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).3 Stroke menjadi beban
yang luar biasa pada pengeluaran untuk perawatan kesehatan. Saat ini, terapi
farmakologis yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat fungsional pasien
adalah dengan penggunaan aktivator plasminogen jaringan
rekombinan/recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) untuk
menghancurkan trombus.4
Salah satu pengobatan stroke iskemik akut adalah pemberian rt-PA intravena
yang dimulai dalam 4,5 jam setelah timbulnya gejala. Meskipun trombolisis
menggunakan pengobatan rt-PA telah terbukti aman dan efektif oleh sejumlah uji
klinis dan tinjauan sistematis,5,6 hanya sekitar setengah dari pasien yang diobati
mencapai kemandirian fungsional dengan pemulihan neurologis lengkap atau
hampir lengkap dalam 3 bulan.7 Dari semua komplikasi yang berhubungan dengan
trombolisis, yang paling ditakuti adalah perdarahan intraserebral, yang terjadi pada
sekitar 7% pasien yang menyebabkan perburukan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan.8 Beberapa faktor telah dikaitkan dengan potensi peningkatan risiko hasil
yang buruk setelah pengobatan rt-PA (misalnya, usia lanjut, jenis kelamin laki-laki,
derajat keparahan stroke yang berat, diabetes, hiperglikemia pada awal serangan),
akan tetapi tetap saja, hasil klinis tidak mudah diramalkan pada permulaan terapi
1
2
karena sebagian besar skor risiko klinis saat ini tidak spesifik dan memiliki nilai
prediktif yang tidak bisa diandalkan.9
Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian yang mengevaluasi faktor-faktor
yang mempengaruhi mortalitas atau hasil pada semua pasien stroke hiperakut
dengan trombolisis. Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi luaran klinis pada semua pasien stroke
iskemik hiperakut yang telah mendapatkan terapi trombolisis intravena.
BAB II
ISI
3
4
Gambar 2. Teritori vaskularisasi ACA, MCA, dan PCA. RAH: Recurrent artery
of Heubner12
Gambar 3. Vaskularisasi cerebellum dan truncus cerebri. RN: red nucleus, CP:
cerebral peduncle, ST: spinothalamic tract, ML: medial lemniscus, P: pyramid, ON:
olivary nucleus, BP: basis pontis.12
dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke tipe
iskemik akut disebabkan oleh penyumbatan thrombosis atau embolus pada arteri
cerebral.16
adalah toksin yang terdapat pada tembakau (rokok), zat toksik tersebut larut dalam
darah dan merusak sel endotel pada tunica intima arteri. Lokasi kerusakan tunica
intima tersebut kemudian akan menjadi lokasi proses atherosclerosis dimana akan
timbul pembentukan plak (timbunan akumulasi dari lemak, kolesterol, protein,
kalsium dan sel imun) (Gambar 5). Disfungsi endotel akibat zat iritan menyebabkan
proses adesi dan migrasi subendotelial dari monosit dan akumulasi kolesterol
intramural. Terjadi inflamasi dan lipid kolesterol ditelan oleh monosit (makrofag)
sehingga terbentuk foam cell secara progresif dan terbentuklah awal mula lesi
atheromatous yang disebut dengan fatty streak. Pada tahap ini, pertumbuhan dan
faktor kemotaksis dari sel endotel dan makrofag menstimulasi proliferasi sel otot
polos tunica intima dan migrasi penambahan sel otot polos dari tunica media ke
tunica intima arteri. Sel-sel ini mensekresi senyawa matriks ekstraseluler hingga
terbentuk formasi fibrous cap diatas (menutupi) plak atherosklerotik.
Gambar 5. Patofisiologi stroke dari disfungsi endotel akibat paparan zat iritan
pada dinding arteri, proses atherosklerotik, pembentukan trombus hingga terjadi
oklusi total arteri karena sumbatan thrombosis atau emboli.12
9
penumbra iskemik dapat tepat bertahan hidup untuk beberapa jam karena prefusi
yang minimal.
Pada level seluler, neuron yang iskemik menjadi terdepolarisasi karena
penurunan ATP dan kegagalan sistem transport ion pada membran sel. Gangguan
metabolisme seluler akibat stroke juga mengganggu pompa ion Na-K pada
membrane, menyebabkan peningkatan ion Na+ intraseluler yang kemudian akan
menyebabkan peningkatan kadar air intraseluler. Pembengkakan sel ini disebut
sebagai edema sitotoksik dan dapat terjadi sangat cepat sejak terjadinya iskemik
jaringan otak. Iskemik cerebral juga mengganggu fungsi normal perpindahan ion
Na-Ca pada plasma membran. Proses influks kalsium menyebabkan terjadinya
pelepasan neurotransmitter, meliputi glutamat yang kemudian mengaktifkan N-
metil-D-aspartat (NMDA) dan reseptor eksitatorik lainnya pada neuron.
Influks ion-ion positif ini menyebabkan neuron terdepolarisasi, dan influks
kalsium lebih lanjut terus berlangsung, semakin banyak pelepasan neurotransmitter
glutamat, dan proses awal jejas iskemik berlangsung. Influk masif dan kontinu ion
Ca2+ ke dalam sel akan mengaktifkan berbagai enzim degradative, yang
menyebabkan proses destruksi membrane sel dan struktur esensial neuron lainnya.
Radikal bebas, asam arakidonat, nitrit oksida juga dihasilkan oleh proses ini dan
menyebabkan kerusakan neuron lebih lanjut.
11
mengalami nekrosis liquefaksi dan akan ditelan dan dibuang oleh makrofag,
menyebabkan proses hilangnya volume parenkimal. Area dengan cairan mirip
liquor cerebro-spinal (LCS) yang berbatas tegas dengan densitas rendah, hasil dari
perubahan kistik dan ensefalomalasia juga dapat ditemukan. Perubahan patologis
kronis ini dapat dilihat dalam kurun waktu pekan hingga bulan setelah terjadi infark
jaringan cerebral.
Infark luas dari hemispherum cerebri ataupin cerebelli yang disertai
penurunan kesadaran progresif sangat sering diakibatkan oleh edema cerebri
massif. Sejumlah besar pasien stroke iskemik akut, namun dengan kondisi
gangguan elektrolit terutama kondisi dehidrasi dan peningkatan osmolalitas plasma
secara langsung memperburuk kondisi otak, disamping memperburuk kondisi
fungsi ginjal. Edema cerebri dan peningkatan tekanan intracranial sering
dihubungkan dengan oklusi arteri besar.
Pasien dengan infark luas cerebrum umumnya memiliki prognosis yang
buruk. Sekitar 40% pasien dengan total anterior cerebral infarction (TACI)
syndrome mengalami penurunan status neurologis dalam minggu pertama, dan
setengahnya meninggal selama bulan pertama. Prognosis yang buruk jelas
diakibatkan oleh volume jaringan otak yang rusak. Penurunan kesadaran dan status
neurologis awal sering dikarenakan proses edema pada jaringan infark. Edema
menyebabkan efek space occupying lesion dengan distorsi midline shift dan
peningkatan tekanan intracranial. Proses patologis semacam itu menyebabkan
herniasi transtentorial, dan berlanjut menjadi kerusakan otak dan kematian.
Tatalaksana konvensional pada pasien edema cerebri post stroke bertujuan
mengurangi edema dan tekanan intracranial menggunakan hiperventilasi, mannitol,
atau diuretic. Namun, ketika otak membengkak dan terjadi penurunan kesadaran
dan hasil radiologi menunjukan mass effect lesion, fatalitas kasus menjadi semakin
tinggi sekalipun pasien sudah memperoleh tatalaksana intensif terapi
medikamentosa. Oleh karena itu craniectomi dekompresif bisa dilakukan untuk
mencegah herniasi transtentorial dan kematian pada pasien kelompok usia < 60
tahun dengan penurunan status neurologis dalam 48 jam setelah stroke iskemik
dengan area iskemik cukup luas. Operasi craniectomi dekompresif (Gambar 7)
13
Gambar 7. (a) Efek desak massa lesi supratentorial yang membesar (edema
cerebri) akan menyebabkan pergeseran jaringan otak dalam compartment
intracranial yang menyebabkan, 1: herniasi cingulate/ subfalcine, 2: herniasi
uncal, 3: herniasi central, 4: herniasi tonsillar, coma dan mati batang otak
umumnya disebabkan oleh mekanisme herniasi no.2,3,4 (b) Kiri: Efek desak
massa (midline shift) akibat efek desak massa atau space occupying lesion;
Kanan: Setelah operasi decompressive craniectomy.11
Infark Lakunar10,11
Infark lacunar umumnya terjadi akibat oklusi cabang perforans (deep branch)
MCA (misal: arteri lenticulostraita) yang mevaskularisasi teritori area basal ganglia
meliputi putamen, nucleus caudatus, crus posterior capsula interna dan thalamus.
Istilah lacunar berarti ‘lake’ atau danau, hal tersebut bisa dijelaskan saat terjadi
oklusi arteri perforans akan menyebabkan kerusakan iskemik jaringan otak yang
akan tampak sebagai kantung berisi cairan atau kista, dan terlihat seperti ‘lake’ pada
mikroskop (Gambar 10). Stroke lacunar umumnya terjadi karena proses hyaline
arteriolosclerosis yaitu keadaan ketika dinding arteriol perforans terisi oleh protein.
Proses ini bisa terjadi karena hipertensi kronis dan diabetes, sehingga menyebabkan
penebalan dinding arteriol dan penyempitam diameter lumen arteriol.12,17
14
Kardioemboli11,15
Stroke emboli bisa terjadi ketika produk pembekuan darah (blood clot)
terlepas dari sisi proksimal kemudian terbawa aliran darah dan akhirnya
menyumbat pembuluh darah sisi distal seperti arteri, arteriol, kapiler atau pembuluh
darah dengan diameter kecil. Pembekuan darah (blood clot) biasanya berasal dari
plak atherosklerotik, namun juga dapat berasal dari jantung (embolus kardiogenik).
Embolus yang berasal dari jantung (kardioemboli) terbentuk akibat aliran darah
yang relative statis atau stagnan, akibat atrial fibrilasi (paling sering, peningkatan
risiko stroke hingga 2-7 kali lipat dan 17 kali lipat apabila disertai kondisi kelainan
katup jantung) atau infark miokard. Jika blood clot terbentuk pada atrium atau
ventrikel sinistra maka akan terbawa aliran darah ke arah aorta dan kemudian akan
langsung menuju arteri cerebral. Tatalaksana meliputi antikoagulan, obat anti
aritmia dronedarone (400 mg per oral 2 kali sehari) juga dapat menurunkan risiko
stroke emboli. Apabila blood clot terbentuk pada vena tekanan rendah atau atrium
dan ventrikel dekstra maka akan terbawa ke arteri pulmonal dan menyebabkan
emboli pulmonal, tidak menutup kemungkinan menyebabkan stroke emboli apabila
ditemukan kondisi penyakit jantung bawaan dengan pirai (shunting) kanan ke kiri
(paradoxical embolus), misalnya atrial septal defect (ASD) atau patent formane
ovale (Gambar 11). Terapi antiplatelet adalah sama efektifnya dengan penutupan
(closure) perkutaneus untuk mencegah stroke rekurens pada pasien dengan patent
foramen ovale. Sindrom takikardi-bradikardi (sick sinus syndrome) juga berkaitan
dengan kejadian stroke kardioemboli. Sementara itu, kelainan ritme jantung lainnya
lebih menyebabkan kondisi pancerebral hipoperfusi atau sinkop.
16
2.2.2 Etiologi16,17
Etiologi stroke iskemik disebabkan oleh peristiwa trombotik atau
emboli yang menyebabkan penurunan aliran darah ke otak. Dalam peristiwa
trombotik, aliran darah ke otak terhambat di dalam pembuluh darah karena
disfungsi di dalam pembuluh itu sendiri, biasanya sekunder untuk penyakit
aterosklerotik, diseksi arteri, displasia fibromuskular, atau kondisi inflamasi.
Dalam peristiwa emboli, debris dari tempat lain di tubuh menghalangi aliran
darah melalui pembuluh yang terkena. Etiologi stroke mempengaruhi
prognosis dan hasil.
quadriplegi (awake and alert, but mute and quadriplegic) yang disebut
Locked-in Syndrome. Pada kondisi ini pasien masih mampu membuka-
tutup dan menggerakan mata sesuai perintah. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) pasien locked-in syndrome menunjukan
hasil normal, sehingga dapat dibedakan dengan kondisi koma lainnya.
Prognosis umumnya tergantung luas lesi batang otak, mortalitas
locked-in syndrome umumnya karena pneumonia dengan tingkat
mortalitas sebesar 70% dengan kausa vascular dan 40% dengan kausa
non-vaskular.
c. Emboli apex arteri basilaris (Top of the basilar syndrome). Kondisi ini
dapat menyebabkan gangguan aliran darah pada jaras ascendens
formation reticularis di mesencephalon dan thalamus, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran akut. Palsy N.III unilateral atau
bilateral sangat khas. Hemiplegia atau quadriplegia dengan respons
motorik dekortikasi (fleksi) atau deserebrasi (ekstensi) adalah sebagai
akibat dari lesi pedunculus cerebri (crus cerebri) di mesencephalon.
Sindroma ini disebut juga sebagai Top of the basilar syndrome (Rostral
brainstem infarction), dan defisit neurologis yang dihasilkan sindroma
ini sangat mirip dengan kasus space-occupying lesion dengan
komplikasi herniasi uncus. Emboli dengan ukuran kecil dapat
menyumbat arteri sisi rostral batang otak secara transien yang
kemudian terfragmentasi dan menuju salah satu atau kedua arteri
cerebral. Pada kondisi ini struktur mesencephalon, thalamus, lobus
temporalis dan lobus occipitalis dapat mengalami infark, dengan
manifestasi klinis berupa abnormalitas visus (hemianopia homonym,
cortical blindness), visuomotor (gangguan konvergensi, paralisis gaze
upward atau downward, diplopia) dan penurunan kesadaran. Respons
pupil yang melambat (sluggish pupillary response) juga dapat memberi
informasi topis lesi mesencephalon.
d. Oklusi arteri auditori interna. Arteri ini merupakan percabangan arteri
basilaris setelah AICA atau bisa juga merupakan cabang dari AICA itu
22
Gambar 10. Struktur anatomis berupa tractus dan nuclei pada medulla oblongata
yang terdampak pada oklusi PICA.11
PICA, AICA dan SCA pada kasus klinis stroke iskemik akut sangat
mudah diketahui dari munculnya tanda gejala disfungsi batang otak.
Infark batang otak atau kompresi dari edema cerebelli dapat
menyebabkan koma dan kematian. Diagnosis berdasarkan CT-scan
atau MRI, yang dapat membedakan antara infark dan hemoragik dan
harus dilakukan segera. Kompresi batang otak adalah indikasi mutlak
operasi dekompresi dan reseksi jaringan infark, karena dapat
menyelamatkan nyawa pasien.
Gambar 12. Struktur anatomis berupa tractus dan nuclei pada mesencephalon
yang terdampak pada Benedikt Syndrome.11
25
2.2.4 Tatalaksana
Stroke merupakan suatu kejadian yang berkembang dengan sangat cepat,
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas perlu dilakukan intervensi secara
cepat.
a. Tatalaksana umum:
1) Jalan napas dan pernapasan: Bantuan jalan napas dan ventilasi sebaiknya
diberikan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar
2) Suplementasi oksigen hanya diberikan pada pasien hipoksik
3) Sirkulasi (tekanan darah/TD): Target dan monitor TD bergantung jenis
stroke, atasi hipovolemia/hipotensi.
4) Pilihan terapi hipertensi pada stroke:
• labetalol 10-20 mg IV dalam 1-2 menit, terapi boleh diulang sekali
• nicardipine 5 mg/jam IV, ditirasi 2,5 mg/jam tiap 5-15 menit
maksimal 15 mg/jam
5) Suhu tubuh: hipertermia (>38oC) harus dicari tahu penyebabnya dan
diterapi.
6) Tingkat keparahan stroke yang diukur menggunakan National Institutes
of Health Stroke Scale (NHSS).
7) CT scan non-kontras dilakukan secepatnya, <20 menit dari kedatangan
di IGD.
8) Gula darah sewaktu (GDS): pasien hiperglikemia harus diterapi dengan
target 140-180 mg/dL, pasien hipoglikemia (GDS <60 mg/dL) harus segera
diterapi dengan target 80-110 mg/dL.
9) Nutrisi enteral harus diinisiasi dalam 7 hari pertama setelah awitan stroke.
pasien dengan disfagia dapat diberikan nutrisi melalui NGT.
b. Tatalaksana spesifik:
1) Hipertensi
Pasien yang mengalami peningkatan TD dan tidak ada kontraindikasi
terapi fibrinolitik, harus dipertahankan pada tekanan darah sistol <185
26
a. Sejarah Trombolitik
Sejarah trombolitik dimulai pada tahun 1933 ketika Tillet dan Garner di Johns
Hopkins Medical School menemukan bahwa filtrasi kaldu kultur Streptokokus grup
A betahemolitikus dapat melarutkan gumpalan darah, kemudian dinamai
streptokinase. Pada tahun 1958 streptokinase pertama kali digunakan pada pasien
infark miokard akut dan telah mengubah fokus terapi pada infark miokard akut.
Pada tahun 1980-an dikembangkan tissue plasminogen activator (tPA), agen
trombolitk yang ditemukan secara alami pada sel endotelial vaskular yang terlibat
dalam keseimbangan antara trombolisis dan trombogenesis. Pada tempat trombus,
ikatan antara tPA dan plasminogen pada permukaan fibrin menginduksi perubahan
kimia yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin kemudian memecah
28
thrombus menjadi produk degradasi fibrin sebagai aksi dari protease plasmin dalam
melarutkan thrombus.
Pemberian tPA intravena diajukan pada tahun 1996 oleh National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) dengan indikasi pemberian dalam 3
jam sejak timbul gejala jika tidak ada perdarahan otak dan kriteria eksklusi lainnya
berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan pada NINDS trial 1 dan NINDS trial
2.
Pada NINDS trial pertama, 291 pasien dengan stroke iskemik akut ditentukan
secara acak, dalam 3 jam setelah onset stroke mendapatkan alteplase atau plasebo
intravena. Hasil primary end point adalah pemulihan neurologis dalam 24 jam,
diindikasikan sebagai perbaikan fungsi neurologis paling sedikit 4 poin berdasarkan
skor National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). Pada penelitian ini tidak
ada perbedaan bermakna antara pasien yang menerima tPA dibandingkan plasebo.
Pada NINDS trial kedua yang melibatkan 333 pasien stroke iskemik akut dengan
primary end point adalah pemulihan fungsi neurologis setelah 3 bulan. Pasien yang
diterapi dengan tPA intravena memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
placebo.
Tiga trial lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan antara pemberian tPA
dan plasebo. Penelitian tersebut termasuk European Cooperative Acute Stroke
Study (ECASS I), ECASS II, dan Alteplase Thrombolysis for Acute
Neurointerventional Therapy in Ischemic Stroke (ATLANTIS). Penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian NINDS dalam beberapa aspek penting, di antaranya
pasien dengan onset hingga 6 jam sejak timbul gejala stroke dan hanya 14% pasien
yang diterapi dalam 3 jam; berbeda dengan NINDS yang hamper semua pasiennya
mendapat terapi dalam 3 jam pertama dan 48% dalam 90 menit. Studi ECASS III
yang melibatkan 821 pasien memperlihatkan bahwa pasien yang diterapi dengan
tPA 3-4,5 jam setelah onset stroke memiliki keluaran yang lebih baik setelah 90
hari dibandingkan pemberian plasebo. Namun, Food and Drug Administration
(FDA) hanya menyetujui penggunaan tPA tidak lebih dari 3 jam sejak onset gejala.
AHA/ASA merekomendasikan alteplase intravena (IV) untuk pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan memiliki onset gejala atau baseline terakhir yang
29
diketahui dalam waktu 3 jam. Alteplase IV adalah 0,9 mg/kg, dengan dosis
maksimum 90 mg. 10% pertama dari dosis diberikan selama menit pertama sebagai
bolus, dan sisa dosis diberikan selama 60 menit berikutnya. Waktu telah
diperpanjang menjadi 4,5 jam untuk kandidat terpilih. Kriteria inklusi pemberian
alteplase adalah adanya deficit neurologis dengan onset dalam 3 jam sebelum
pengobatan, dan usia 18 tahun atau lebih.
Untuk pasien yang datang antara 3 dan 4,5 jam sejak timbulnya gejala,
manfaat dan risiko pengobatan harus dipertimbangkan. Kriteria eksklusi relatif
tambahan untuk kategori pasien ini termasuk usia lebih dari 80 tahun, NIHSS lebih
besar dari 25, penggunaan antikoagulan oral, dan riwayat diabetes dan stroke
iskemik sebelumnya.
Tabel 1. Kriteria inklusi dan eksklusi penggunaan tPA intravena pada stroke iskemik akut
mengemukakan teori Dogma Sentral yang menyatakan bahwa sistem saraf pusat
manusia dewasa adalah sesuatu yang permanen dan tidak dapat diubah. Neuron
yang mengalami kematian, tidak dapat beregenerasi. Dogma Sentral sangat
mempengaruhi pengembangan terapi stroke dengan prinsip neuroproteksi untuk
mencegah perluasan ukuran infark. Terobosan terbaik saat ini adalah terapi
trombolisis menggunakan rtPA (recombinan tissue plasminogen activator) untuk
tujuan reperfusi pada fase stroke akut, sehingga mencegah kematian neuron secara
bermakna. Namun, karena jendela terapi yang sempit serta risiko cukup besar,
terapi ini hanya dapat diterapkan pada sekitar 1-2% penderita stroke iskemik akut.
Selanjutnya muncul penemuan bahwa jaringan otak tikus dewasa mampu
menghasilkan sel progenitor neuronal, terutama pada daerah subventricular zone
(SVZ) dan girus dentatus, hipokampus, telah mengubah paradigma lama Dogma
Sentral; proses regenerasi ternyata terus berlangsung sepanjang kehidupan hewan
tersebut. Reynolds dan Weiss mampu mengisolasi sel jaringan striatum tikus, dan
pemberian epidermal growth factor mampu meng induksi proliferasi sel tersebut
menjadi neuron dan astrosit, di mana neuron yang baru mampu menghasilkan
neurotransmitter sama seperti jaringan otak normal. Sel yang sama juga dapat
ditemukan pada jaringan otak manusia dewasa. Saat terjadi cedera otak, seperti
stroke, aktivitas neurogenesis akan meningkat secara bermakna, Dibuktikan dengan
peningkatan jumlah neuron imatur (neuroblast) pada daerah SVZ yang kemudian
mengalami migrasi menuju daerah iskemi penumbra, Selanjutnya akan mengalami
differensiasi menjadi neuron baru menggantikan neuron lama yang telah rusak.
Neuron baru yang terbentuk harus bersinaps dengan neuron lama di sekitarnya agar
dapat berfungsi baik. Aktivitas sinaptogenesis pada daerah iskemi penumbra
meningkat bermakna dibuktikan dengan peningkatan ekspresi protein sinaps,
sinaptophysin, dan growth associated protein-43 setelah serangan stroke iskemik
akut.
Daerah sistem saraf pusat yang paling aktif mengalami proses neurogenesis
adalah subgranular zone girus dentatus hipokampus, SVZ, dan bulbus olfaktori.
Lokasi tersebut juga turut berperan dalam proses neurogenesis selama masa
embryonal.
36
kondisi patologis, seperti setelah serangan stroke. Pembuluh darah yang baru
terbentuk sifatnya sangat permeabel dan akan menjadi lebih impermeabel saat
proses pematangan. Kondisi pembuluh darah yang impermeable sesaat setelah
pembentukan dapat digunakan sebagai penanda adanya proses angiogenensis,
proses tersebut dapat dideteksi dengan teknik pencitraan noninvasif, seperti
magnetic resonance imaging (MRI).
Penambahan pembuluh darah ber langsung hingga 6 minggu pasca-awitan
stroke yang diikuti peningkatan CBF (cerebral blood flow) pada daerah penumbra,
kondisi ini berdampak positif pada proses neurogenesis dan sinaptogenesis.
Terdapat korelasi kuat antara jumlah pembuluh darah korteks serebri dengan
harapan hidup, pasien dengan pembuluh darah lebih padat memiliki harapan hidup
lebih baik, dan memiliki output fungsional yang lebih baik.
Kemampuan sistem saraf untuk senantiasa berubah dinamakan
neuroplastisitas, kondisi ini terlihat sangat nyata saat perkembangan sistem saraf.
Otak manusia dewasa juga memiliki sebagian kemampuan tersebut untuk
mempelajari ketrampilan baru, membentuk ingatan baru, dan sebagai respons
terhadap cedera otak; kemampuan ini terus berlangsung sepanjang kehidupan
manusia. Plastisitas sinaps dikaitkan dengan perbaikan fungsional setelah stroke.
Berbagai aktivitas neurorestorasi endogen ini tidak pernah optimal,
sehingga proses pemulihan cedera SSP juga tidak pernah sempurna. Berbagai
penyebab turut berperan, antara lain ekspresi gen yang dihasilkan oleh badan sel
untuk memicu proses neuroregenerasi tidak mampu menjangkau lokasi cedera yang
jauh dari badan sel. Selain itu, lingkungan mikro juga harus mendukung agar proses
neurorestorasi dapat berjalan baik; pada cedera SSP, kondisi ini sulit terjadi karena
astrosit dan mikroglia mengalami aktivasi saat terjadi cedera SSP dan sitokin infl
amasi yang dihasilkan akan menghambat proses neuro restorasi tersebut, degradasi
mielin dan akson juga memicu proses infl amasi, dan pembersihan debris tersebut
membutuhkan waktu lama. Oligodendrosit pada lokasi cedera juga menghasilkan
protein nogo yang menghambat proses neurogenesis.
38
Gambar 14. Skema mekanisme kerja nitric oxide dan PDE-5 inhibitor pada proses
neurorestorasi
Statin
Obat golongan statin seperti simvastatin dan atorvastatin, yang
diperkenalkan luas untuk pengobatan dislipidemia, akhir-akhir ini diketahui
39
memiliki efek pleiotropic untuk meningkatkan kadar cGMP dan NO neuronal, serta
mengaktivasi jalur PI3K/Akt dan menstimulasi sekresi sejumlah factor
angiogenesis. Saat ini, statin sedang dalam evaluasi uji klinis fase II untuk
pengobatan stroke sebagai neuroprotektor dan agen neurorestorasi.
Erythropoetin (EPO)
Saat awitan stroke iskemik terjadi, area otak yang diperdarahi oleh
pembuluh darah akan kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga sel otak terutama
neuron berada dalam risiko, neuron ini masih dapat berfungsi yang dikenal sebagai
penumbra. Hipoksia jaringan dan iskemik serebral mengaktivasi HIF-1α, yang
kemudian mengaktivasi transkripsi gen eritropoietin (EPO) dan Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF). Eritropoietin (EPO) merupakan peptida yang
juga memiliki efek non–hematopoiesis yaitu berperan mendorong neuroproteksi.
Eritropoietin (EPO) dikeluarkan dalam hitungan menit dari proses iskemik dan
mencapai puncak dalam 24 jam dari awitan stroke iskemik. Efek neuroproteksi dari
EPO yaitu sebagai anti apoptosis, anti oksidan, anti inflamasi, anti eksitoksisitas,
neurogenesis, angiogenesis dan neurotropik. Dengan kata lain bahwa EPO dapat
mengurangi derajat keparahan akibat oklusi pembuluh darah otak.
40
Task-specific Training
Latihan motorik pada pasien stroke hendaknya ditujukan pada gerakan
bertujuan, terutama untuk pemulihan fungsional. Latihan berbasis task-specific
merupakan prinsip utama rehabilitasi penderita stroke. Pendekatan ini dapat berupa
latihan motorik dasar harian, latihan gerakan lengan atas, gerakan tungkai bawah,
gerakan duduk berdiri, dan latihan jalan yang dikerjakan berulang, di mana latihan-
latihan ini dapat meningkatkan pemulihan pasca-stroke secara efektif. Pendekatan
latihan berulang yang bersifat task specific dapat memicu pembentukan sinaps baru
yang lebih permanen dan dikaitkan dengan reorganisasi kortikal. Lingkungan
selama proses rehabilitasi berlangsung juga memegang peranan penting.
Lingkungan yang dapat memberikan kesempatan lebih baik untuk aktivitas motorik
dan yang memberikan motivasi dinamakan enriched environment.
akibat stroke dan sebagai modalitas terapeutik untuk meningkatkan fungsi motorik
dengan aman.
1. Usia
Batasan usia pemberian trombolisis IV umumnya di usia 80 tahun, namun hanya
sedikit data yang mendukung batasan ini. Berbagai penelitian menunjukkan pasien berusia
lebih tua masih mendapatkan efek dan tingkat keamanan yang sama. Emberson et al
melakukan meta-analisis dari 9 studi, yang termasuk 3391 pasien yang diberikan r-
TPA dan 3365 kontrol. Tingkat manfaat pada pasien yang lebih tua dari 80 yang
diberikan r-TPA antara 0 dan 3 jam sama dengan penderita dengan rentang usia 18-
80. Namun, pasien yang lebih tua dari 80 menunjukkan tingkat kematian yang lebih
42
tinggi dan hasil fungsional yang lebih buruk. Bhatnagar dan Lees dalam
penelitiannya juga mencapai kesimpulan yang sama dalam meta-analisis mereka
dari 13 studi. Selain itu, mereka menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara
kelompok usia untuk kemungkinan terjadi intracerebral haemorrhage, dan kematian
dalam waktu 3 sampai 6 bulan disebabkan imobilisasi dan infeksi. Penurunan dalam
plastisitas neuron, gangguan pada sirkulasi kolateral, kondisi komorbiditas sebelum
stroke, dan sejumlah besar penyakit komplikasi medis setelah stroke dianggap
berkontribusi peningkatan hasil fungsional yang buruk pada pasien lansia. 26
STROKE
ISKEMIK
TROMBOLISIS INTRAVENA
Baik Buruk
mRS 0-1 mRS 2-6
43
Gambar 16. Diagram factor-faktor yang mempengaruhi outcome dari pasien stroke iskemik yang
mendapatkan trombolisis intravena
2. Suhu tubuh
Peningkatan suhu tubuh merupakan suatu faktor prognostik yang buruk pada
stroke, peningkatan suhu dihubungkan dengan ukuran infark yang lebih besar,
keluaran yang lebih buruk, angka kematian lebih tinggi pada hewan percobaan dan
pada studi klinis. Penurunan suhu pada hewan percobaan terlihat memiliki efek
neuroprotektif. Perburukan klinis dari iskemi akibat peningkatan suhu tubuh
dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme di penumbra,
meningkatnya permeabilitas sawar otak, akumulasi leukosit intravaskular,
pembentukan radikal bebas, perubahan awal dari daerah penumbra Iskemik
menjadi jaringan rusak yang permanen. Tidak terdapat data yang cukup mengenai
dampak peningkatan suhu tubuh terhadap keluaran dari trombolisis dengan
menggunakan rtPA. Pada penelitian invitro menunjukkan peningkatan suhu akan
meningkatkan ukuran dari infark, defisit neurologis dan mortalitas pada kasus
emboli arteri serebral media di hewan coba, mengurangi efek dari rtPA yang
diberikan pada hewan coba. Namun juga terdapat penelitian yang menyatakan
bahwa peningkatan suhu tubuh dapat meningkatkan respon dari trombolisis. Hal ini
dapat terjadi karena peningkatan reaksi akibat suhu yang berkorelasi dengan peningkatan
aktivitas enzimatik dari tromboIisis. 26
hal ini merupakan prediktor dari tingkat kematian, pendarahan serebral dan
kecacatan yang berat. Hal ini didukung dengan penjelasan Diabetes mellitus (DM)
meningkat konsentrasi inhibitor aktivator plasminogen serum 1 dan menurunkan
proses fibrinolisis. Thoren et al juga menunjukkan hubungan antara glukosa darah
basal dan edema otak pada pasien trombolitik IV. Hal ini dapat dikatakan timbul
dari fakta bahwa glukosa tinggi dapat mengganggu fungsi sawar darah otak. 26
perubahan tekanan darah sistemik dan cedera reperfusi, yang berujung menjadi
predisposisi hasil fungsional yang buruk pada pasien stroke iskemik yang diobati
dengan trombolisis intravena. Tekanan darah sistol yang memiliki kemungkinan
hasil fungsional terbaik setelah 90 hari onset stroke adalah 141-150 mmHg. 27
7. Skoring NIHSS
NIHSS dapat digunakan sebagai prediksi perbaikan klinis pada pasien stroke
iskemik yang mendapat trombolitik IV. Rocha et al menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa skor NIHSS yang tinggi sebelum pengobatan trombolisis IV,
memiliki luaran fungsional yang tidak bagus atau tidak dapat pulih secara dramatis
setelah trombolisis IV. Budimkic dkk menjelaskan bahwa NIHSS ≤15 adalah
prediktor prognosis yang sangat baik. 26
mengungkapkan bahwa MPV tinggi dihasilkan dari kombinasi faktor risiko stroke
seperti penurunan kadar HDL, hipertensi, dan usia lanjut pasien. Ketika produksi
trombosit menurun akibat factor usia, trombosit muda menjadi lebih besar dan aktif,
dan nilai MPV meningkat. Peningkatan nilai MPV mengindikasikan peningkatan
diameter trombosit. Peningkatan MPV juga telah dilaporkan terkait dengan ras,
jenis kelamin, obesitas, merokok, dan kadar glukosa dan kreatinin.
Pada tahun 2019,di dalam penelitiannya, Jacek Staszewski dkk menjelaskan
bahwa MPV yang lebih besar memprediksi luaran klinis stroke yang buruk,
terutama pada kasus stroke yang lebih parah. Hasil ini mengkonfirmasi laporan
sebelumnya yang menunjukkan asosiasi antara MPV dan volume infark masuk
yang lebih besar pada CT scan otak. Trombosit mengekspresikan dan
mengeluarkan banyak zat yang merupakan mediator penting dari keadaan
protrombotik dan aterosklerosis. Trombosit yang lebih besar mengandung lebih
banyak zat trombotik (faktor trombosit 4, P-selectin, faktor pertumbuhan yang
diturunkan dari trombosit). Mereka dapat memperburuk pembentukan bekuan
melalui interaksi trombosit/fibrinogen dan mengatur reaksi inflamasi dan
permeabilitas endotel, yang dapat mempengaruhi luaran klinis stroke jangka
pendek dan jangka panjang.
Beberapa dari mediator proinflamasi yang terlibat dalam stroke iskemik
(misalnya, IL-6, IL-8, IL-1β, dan protein kemotaktik monosit 1) menginduksi
aktivasi platelet (dan dengan demikian, MPV) dan platelet-leukocyte agregasi, dan
mereka mempromosikan berbagai tanggapan yang mendukung koagulasi dan
trombosis. Interaksi ini penting untuk hemostasis dan fungsi sel endotel, dan
mereka telah disarankan sebagai faktor penting yang berkontribusi pada ruptur
plak, pembentukan trombus, dan prognosis buruk pada kasus stroke iskemik.
Meskipun penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan, namun
penelitian ini belum bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan MPV sebagai
factor predictor luaran klinis stroke iskemik yang mendapatkan trombolisis IV. Hal
ini dikarenakan penelitian tersbut memiliki beberapa kekurangan berupa tidak
adanya grup control, peneliti juga belum bisa menjelaskan mekanisme pasti dari
50
pengaruh MPV, dan penelitian ini hanya menganalisa luaran klinis jangka pendek
(24 jam post trombolisis).31
BAB III
KESIMPULAN
51
DAFTAR PUSTAKA
52
53
13. Yu R, Lui F. Neuroanatomy, Brain Arteries. [Updated 2021 Oct 21]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.
14. Hui C, Tadi P, Patti L. Ischemic Stroke. [Updated 2021 Sep 29]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.
15. Khoshnam, S.E., Winlow, W., Farzaneh, M. et al. 2017. Pathogenic
mechanisms following ischemic stroke. Neurol Sci 38, 1167–1186.
16. Ntaios G. 2020. Embolic Stroke of Undetermined Source: JACC Review
Topic of the Week. J Am Coll Cardiol ;75(3):333-340.
17. Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta:
Departemen Neurologi FKUI.
18. Gofir, Abdul. 2020. Tatalaksana stroke dan penyakit vaskuler lain.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press
19. Powers WJ, Rabinstein AA, et al. American Heart Association Stroke
Council. 2018 Guidelines for the Early Management of Patients With Acute
Ischemic Stroke: A Guideline for Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke;49(3):e46-e110.
20. Phipps, M. S., & Cronin, C. A. 2020. Management of acute ischemic stroke.
BMJ, l6983.
21. Tadi P, Lui F. 2021. Acute Stroke. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL).
22. Bansal, S., Sangha, K. S., & Khatri, P. Drug treatment of acute ischemic
stroke. American Journal of Cardiovascular Drugs. 2013;13(1): 57-69..
23. Muhammad U. Baig; Jeffrey Bodle. Thrombolytic Therapy. 2021; Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557411/#!po=97.0588
24. Ganiswara, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi keenam. Bagian Farmakologi
FKUI. Jakarta. 2016.
25. Widjaja H., Putra IBK., Nuartha AABN., Neurorestorasi Pasca-stroke;
Harapan Baru Penderita Stroke. CDK-227 42(4). 2015;257-261.
54
26. Çetiner M, Aydin HE, Güler M, Canbaz Kabay S, Zorlu Y. Predictive factors
for functional outcomes after intravenous thrombolytic therapy in acute
ischemic stroke. Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis. 2018;24.
27. Malhotra, K., Ahmed, N., et al. 2019. Association of Elevated Blood Pressure
Levels with Outcomes in Acute Ischemic Stroke Patients Treated with
Intravenous Thrombolysis: A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal
of Stroke, 21(1), 78–90.
28. Gosh KC, Bhattacharya R, et al. 2018. Predictors of severity and outcome and
roles of intravenous thrombolysis and biomarkers in first ischemic stroke.
Neuroimmunol Neuroinflammation;5:38.
29. Tóth, N. K., Székely, et al. 2018. Elevated Factor VIII and von Willebrand
Factor Levels Predict Unfavorable Outcome in Stroke Patients Treated with
Intravenous Thrombolysis. Frontiers in Neurology, 8.
30. Malhotra, K., Goyal, N., et al. 2018. Differential leukocyte counts on
admission predict outcomes in patients with acute ischaemic stroke treated
with intravenous thrombolysis. European Journal of Neurology.
31. Staszewski J, Pogoda A, Data K, et al. 2019. The mean platelet volume on
admission predicts unfavorable stroke outcomes in patients treated with IV
thrombolysis. Clin Interv Aging. 2019;14:493-503.