Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah penyebab kematian kedua di dunia dan penyebab paling umum
terjadinya kecacatan.1 Di negara yang masih berkembang, stroke menyumbang
86% dari semua kematian akibat stroke dan lebih dari 87% disability-adjusted life
years (DALYs) hilang akibat stroke. Berdasarkan data riset kesehatan dasar
(RISKESDAS) pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi pasien stroke di
Indonesia berkisar 10,9/1000 orang, sedangkan pada tahun 2013 lebih rendah yaitu
sekitar 7/1000 orang.2 Pasien stroke yang bertahan memiliki kemungkinan
kecacatan berat sebesar 30%. Di Indonesia berdasarkan data Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan (BPJS) tahun 2015, Stroke termasuk ke dalam penyakit
katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang menghabiskan biaya 16,9 Triliun
Rupiah dari anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).3 Stroke menjadi beban
yang luar biasa pada pengeluaran untuk perawatan kesehatan. Saat ini, terapi
farmakologis yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat fungsional pasien
adalah dengan penggunaan aktivator plasminogen jaringan
rekombinan/recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) untuk
menghancurkan trombus.4
Salah satu pengobatan stroke iskemik akut adalah pemberian rt-PA intravena
yang dimulai dalam 4,5 jam setelah timbulnya gejala. Meskipun trombolisis
menggunakan pengobatan rt-PA telah terbukti aman dan efektif oleh sejumlah uji
klinis dan tinjauan sistematis,5,6 hanya sekitar setengah dari pasien yang diobati
mencapai kemandirian fungsional dengan pemulihan neurologis lengkap atau
hampir lengkap dalam 3 bulan.7 Dari semua komplikasi yang berhubungan dengan
trombolisis, yang paling ditakuti adalah perdarahan intraserebral, yang terjadi pada
sekitar 7% pasien yang menyebabkan perburukan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan.8 Beberapa faktor telah dikaitkan dengan potensi peningkatan risiko hasil
yang buruk setelah pengobatan rt-PA (misalnya, usia lanjut, jenis kelamin laki-laki,
derajat keparahan stroke yang berat, diabetes, hiperglikemia pada awal serangan),
akan tetapi tetap saja, hasil klinis tidak mudah diramalkan pada permulaan terapi

1
2

karena sebagian besar skor risiko klinis saat ini tidak spesifik dan memiliki nilai
prediktif yang tidak bisa diandalkan.9
Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian yang mengevaluasi faktor-faktor
yang mempengaruhi mortalitas atau hasil pada semua pasien stroke hiperakut
dengan trombolisis. Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi luaran klinis pada semua pasien stroke
iskemik hiperakut yang telah mendapatkan terapi trombolisis intravena.
BAB II
ISI

2.1 Anatomi Vaskularisasi Otak


Otak (Cerebrum) merupakan organ yang sangat aktif secara metabolik.
Sekalipun hanya 2% dari massa tubuh, otak membutuhkan 15-20% dari total
cardiac output untuk menyediakan kebutuhan glukosa dan oksigen untuk
metabolismenya. Dasar pengetahuan anatomi neurovascular otak dan area teritori
vaskularisasi arteri cerebral sangat bermanfaat dalam menentukan diagnosis topis
pada pasien suspek stroke iskemik akut.10,11
Secara sederhana, hemispherum cerebri divaskularisasi oleh 3 pasang arteri
utama yaitu Anterior Cerebral Artery (ACA), Middle Cerebral Artery (MCA) dan
Posterior Cerebral Artery (PCA) (Gambar 1). ACA dan MCA, yang merupakan
cabang arteri carotis interna supraclinoid, menyusun neurovaskularisasi anterior
cerebrum. ACA memvaskularisasi sisi medial lobus frontalis dan parietalis, sisi
anterior ganglia basalis dan crus anterior capsula interna. MCA mensuplai sisi
lateral lobus frontalis dan parietalis, sisi anterior dan lateral lobus temporalis, dan
memiliki cabang perforantes ke dalam globus pallidus dan putamen (nucleus
lentiformis) dan genu capsula interna. MCA merupakan sumber dominan dengan
teritori neurovascular terluas pada hemispherum cerebri. PCA merupakan cabang
dari arteri basilaris dan menyusun neurovaskularisasi posterior cerebrum. PCA
memiliki percabangan perforantes ke dalam thalamus, batang otak, dan cabang
kortikal sisi inferior-medial-posterior lobus temporal dan lobus occipitalis (gambar
2).12,13

3
4

Gambar 1. Anatomi vaskularisasi cerebri11


5

Gambar 2. Teritori vaskularisasi ACA, MCA, dan PCA. RAH: Recurrent artery
of Heubner12

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, vertigo dan ataksia juga


merupakan sindroma stroke apabila terjadi oklusi pada pembuluh darah yang
memvaskularisasi batang otak ataupun cerebellum. Hemispherum cerebellum dan
batang otak (truncus cerebru) memperoleh neurovaskularisasi sebagai berikut
(Gambar 3):12
a. Sisi inferior oleh Posterior Inferior Cerebellar Artery (PICA), merupakan
cabang dari arteri vertebralis
b. Sisi anterolateral oleh Anterior Inferior Cerebellar Artery (AICA),
merupakan cabang dari arteri basillaris
c. Sisi superior oleh Superior Cerebellar Artery (SCA), merupakan cabang
dari arteri basillaris dan lebih proksimal daripada PCA dan diantara SCA
dan PCA terdapat N.oculomotorius (N.III)
6

Gambar 3. Vaskularisasi cerebellum dan truncus cerebri. RN: red nucleus, CP:
cerebral peduncle, ST: spinothalamic tract, ML: medial lemniscus, P: pyramid, ON:
olivary nucleus, BP: basis pontis.12

2.2. Stroke Iskemik


Stroke iskemik akut ditandai dengan hilangnya sirkulasi suplai darah secara
akut pada sebuah area di otak, umumnya area vascular tertentu, dan secara klinis
menyebabkan hilangnya atau disfungsi neurologis area yang bersangkutan.
Terminologi sebelumnya disebut sebagai Cerebrovascular Accident (CVA) atau
Sindroma Stroke, stroke merupakan keadaan non-spesifik dari jejas cerebral dengan
disfungsi neuronal yang diakibatkan oleh berbagai kausa patofisiologi. Stroke
7

dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke tipe
iskemik akut disebabkan oleh penyumbatan thrombosis atau embolus pada arteri
cerebral.16

2.2.1 Patofisiologi Stroke Iskemik


Atherosklerosis arteri besar ekstrakranial di leher dan basis cranii dan arteri
kecil intracranial merupakan penyebab umum iskemik fokal cerebral. Dalam
sirkulasi otak, letak predileksi adalah arteri carotis comunis dan percabangan
bifucartionya, arteri carotis interna, MCA, arteri vertebralis dan arteri basilaris.

Gambar 4. Letak predileksi atherosklerotik (area merah gelap) sirkulasi


arteri intracranial, terlihat kecenderungan atherosklerotik pada tempat
percabangan dan curvatura.10

Patogenesis atherosclerosis hingga menjadi stroke iskemik belum sepenuhnya


diketahui, namun proses disfungsi sel endotel diyakini sebagai penyebab utama
atherosclerosis. Ketika zat atau subtansi mengiritasi lapisan terdalam dari arteri
yaitu tunica intima. Iritan klasik yang sering menjadi penyebab disfungsi sel endotel
8

adalah toksin yang terdapat pada tembakau (rokok), zat toksik tersebut larut dalam
darah dan merusak sel endotel pada tunica intima arteri. Lokasi kerusakan tunica
intima tersebut kemudian akan menjadi lokasi proses atherosclerosis dimana akan
timbul pembentukan plak (timbunan akumulasi dari lemak, kolesterol, protein,
kalsium dan sel imun) (Gambar 5). Disfungsi endotel akibat zat iritan menyebabkan
proses adesi dan migrasi subendotelial dari monosit dan akumulasi kolesterol
intramural. Terjadi inflamasi dan lipid kolesterol ditelan oleh monosit (makrofag)
sehingga terbentuk foam cell secara progresif dan terbentuklah awal mula lesi
atheromatous yang disebut dengan fatty streak. Pada tahap ini, pertumbuhan dan
faktor kemotaksis dari sel endotel dan makrofag menstimulasi proliferasi sel otot
polos tunica intima dan migrasi penambahan sel otot polos dari tunica media ke
tunica intima arteri. Sel-sel ini mensekresi senyawa matriks ekstraseluler hingga
terbentuk formasi fibrous cap diatas (menutupi) plak atherosklerotik.

Gambar 5. Patofisiologi stroke dari disfungsi endotel akibat paparan zat iritan
pada dinding arteri, proses atherosklerotik, pembentukan trombus hingga terjadi
oklusi total arteri karena sumbatan thrombosis atau emboli.12
9

Proses pembentukan plak atherosklerotik ini umumnya terjadi pada titik


percabangan (bifucartio) dari A.carotis interna dan MCA (Gambar 4). Sekalipun
demikian, proses atherosclerosis memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat
menyumbat sebagian atau bahkan total dari lumen arteri. Patogenesis selanjutnya
ketika plak sudah menempati suatu lumen arteri, plak secara konstan dan kronis
akan stress akibat gesekan mekanik dari aliran darah. Dan umumnya plak kecil
sangatlah lemah dan rentan untuk mengalami ruptur (robekan atau pengelupasan)
fibrous cap daripada plak besar, karena plak atherosklerotik kecil memiliki lapisan
fibrous cap yang tipis dan lemah. Ketika fibrous cap terkelupas akibat gaya mekanik
aliran darah, maka fatty streak akan terekspos dalam darah lumen arteri dan sangat
trombogenik. Komplikasi serius proses selanjutnya ialah pelepasan faktor
prokoagulan dan kaskade proses thrombosis, dan dalam hitungan menit akan
terbentuk lumen arteri yang teroklusi oleh thrombosis atau embolus dari debris
thrombosis pada arteri yang lebih distal (Gambar 4). Dari patofisiologi stroke
iskemik ini tampak bahwa faktor risiko atherosclerosis sehingga menjadi stroke
meliputi hipertensi, peningkatan serum kolesterol LDL dan diabetes mellitus.12,15
Stroke iskemik akut merupakan akibat dari oklusi vascular sekunder karena
proses aterosklerosis. Iskemia menyebabkan hipoksia seluler dan penurunan
adenosine triphosphate (ATP). Tanpa ATP, sel tidak memiliki energy untuk
menjaga homeostasis gradien ion membrane sel dan sel menjadi depolarisasi.
Influks ion natrium dan kalsium dan influks pasif air ke dalam sel sehingga
menyebabkan sel mengalami edema sitotoksik.
Oklusi vascular akut menghasilkan area iskemik sesuai area teritori
vaskularisasi dari pembuluh darah yang mengalami oklusi. Aliran darah lokal
terbatas pada aliran residual di sumber arteri utama ditambah suplai vascular
kolateral, jika ada. Area otak dengan cerebral blood flow (CBF) kurang dari
10mL/100g jaringan/menit disebut sebagai inti infark (ischemic core). Neuron-
neuron pada area ini dianggap mati dalam hitungan menit sejak onset stroke. Area
otak yang mengalami penurunan minimal CBF < 25 mL/ 100 g jaringan/ menit
disebut sebagai penumbra iskemik (ischemic penumbra). Neuron-neuron pada area
10

penumbra iskemik dapat tepat bertahan hidup untuk beberapa jam karena prefusi
yang minimal.
Pada level seluler, neuron yang iskemik menjadi terdepolarisasi karena
penurunan ATP dan kegagalan sistem transport ion pada membran sel. Gangguan
metabolisme seluler akibat stroke juga mengganggu pompa ion Na-K pada
membrane, menyebabkan peningkatan ion Na+ intraseluler yang kemudian akan
menyebabkan peningkatan kadar air intraseluler. Pembengkakan sel ini disebut
sebagai edema sitotoksik dan dapat terjadi sangat cepat sejak terjadinya iskemik
jaringan otak. Iskemik cerebral juga mengganggu fungsi normal perpindahan ion
Na-Ca pada plasma membran. Proses influks kalsium menyebabkan terjadinya
pelepasan neurotransmitter, meliputi glutamat yang kemudian mengaktifkan N-
metil-D-aspartat (NMDA) dan reseptor eksitatorik lainnya pada neuron.
Influks ion-ion positif ini menyebabkan neuron terdepolarisasi, dan influks
kalsium lebih lanjut terus berlangsung, semakin banyak pelepasan neurotransmitter
glutamat, dan proses awal jejas iskemik berlangsung. Influk masif dan kontinu ion
Ca2+ ke dalam sel akan mengaktifkan berbagai enzim degradative, yang
menyebabkan proses destruksi membrane sel dan struktur esensial neuron lainnya.
Radikal bebas, asam arakidonat, nitrit oksida juga dihasilkan oleh proses ini dan
menyebabkan kerusakan neuron lebih lanjut.
11

Gambar 6. Cascade iskemik pada sel neuron setelah terjadi stroke.12

Iskemik juga secara langsung menyebabkan disfungsi vaskularisasi cerebral


dengan kerusakan bloodbrain barrier (BBB) dalam kurun waktu 4-6 jam setelah
infark. Setelah kerusakan BBB, protein dan air mengisi spatium extraseluler dan
menyebabkan edema vasogenik. Proses ini akan memperparah kondisi edema
cerebral dan efek desak ruang (space-occupying lesion) dengan puncak pada hari
ke3 hingga 5, dan umumnya akan terjadi perbaikan beberapa minggu karena proses
resorbsi air dan protein. Dalam hitungan jam hingga hari setelah stroke, terbentuk
sitokin memperparah proses inflamasi dan gangguan mikrosirkulatori. Akhirnya,
neuron-neuron pada area penumbra iskemik juga akan terlibat ikut dalam proses
jejas progresif ini, bergabung dengan inti infark (ischemic core), biasanya dalam
durasi jam setelah onset stroke.
Infark menyebabkan kematian neuroglia astrosit, dan juga sel glia lainnya
seperti oligodendrosit dan mikroglia. Area dengan jaringan infark kemudian akan
12

mengalami nekrosis liquefaksi dan akan ditelan dan dibuang oleh makrofag,
menyebabkan proses hilangnya volume parenkimal. Area dengan cairan mirip
liquor cerebro-spinal (LCS) yang berbatas tegas dengan densitas rendah, hasil dari
perubahan kistik dan ensefalomalasia juga dapat ditemukan. Perubahan patologis
kronis ini dapat dilihat dalam kurun waktu pekan hingga bulan setelah terjadi infark
jaringan cerebral.
Infark luas dari hemispherum cerebri ataupin cerebelli yang disertai
penurunan kesadaran progresif sangat sering diakibatkan oleh edema cerebri
massif. Sejumlah besar pasien stroke iskemik akut, namun dengan kondisi
gangguan elektrolit terutama kondisi dehidrasi dan peningkatan osmolalitas plasma
secara langsung memperburuk kondisi otak, disamping memperburuk kondisi
fungsi ginjal. Edema cerebri dan peningkatan tekanan intracranial sering
dihubungkan dengan oklusi arteri besar.
Pasien dengan infark luas cerebrum umumnya memiliki prognosis yang
buruk. Sekitar 40% pasien dengan total anterior cerebral infarction (TACI)
syndrome mengalami penurunan status neurologis dalam minggu pertama, dan
setengahnya meninggal selama bulan pertama. Prognosis yang buruk jelas
diakibatkan oleh volume jaringan otak yang rusak. Penurunan kesadaran dan status
neurologis awal sering dikarenakan proses edema pada jaringan infark. Edema
menyebabkan efek space occupying lesion dengan distorsi midline shift dan
peningkatan tekanan intracranial. Proses patologis semacam itu menyebabkan
herniasi transtentorial, dan berlanjut menjadi kerusakan otak dan kematian.
Tatalaksana konvensional pada pasien edema cerebri post stroke bertujuan
mengurangi edema dan tekanan intracranial menggunakan hiperventilasi, mannitol,
atau diuretic. Namun, ketika otak membengkak dan terjadi penurunan kesadaran
dan hasil radiologi menunjukan mass effect lesion, fatalitas kasus menjadi semakin
tinggi sekalipun pasien sudah memperoleh tatalaksana intensif terapi
medikamentosa. Oleh karena itu craniectomi dekompresif bisa dilakukan untuk
mencegah herniasi transtentorial dan kematian pada pasien kelompok usia < 60
tahun dengan penurunan status neurologis dalam 48 jam setelah stroke iskemik
dengan area iskemik cukup luas. Operasi craniectomi dekompresif (Gambar 7)
13

bertujuan untuk menciptakan ruang untuk mengakomodasi peningkatan volume


akibat edema cerebri. Prosedur ini dilakukan dengan cara membuka porsi cranium
dan duramater, atau dengan membuang jaringan otak yang sudah non-viabel atau
non-esensial.

Gambar 7. (a) Efek desak massa lesi supratentorial yang membesar (edema
cerebri) akan menyebabkan pergeseran jaringan otak dalam compartment
intracranial yang menyebabkan, 1: herniasi cingulate/ subfalcine, 2: herniasi
uncal, 3: herniasi central, 4: herniasi tonsillar, coma dan mati batang otak
umumnya disebabkan oleh mekanisme herniasi no.2,3,4 (b) Kiri: Efek desak
massa (midline shift) akibat efek desak massa atau space occupying lesion;
Kanan: Setelah operasi decompressive craniectomy.11

Infark Lakunar10,11
Infark lacunar umumnya terjadi akibat oklusi cabang perforans (deep branch)
MCA (misal: arteri lenticulostraita) yang mevaskularisasi teritori area basal ganglia
meliputi putamen, nucleus caudatus, crus posterior capsula interna dan thalamus.
Istilah lacunar berarti ‘lake’ atau danau, hal tersebut bisa dijelaskan saat terjadi
oklusi arteri perforans akan menyebabkan kerusakan iskemik jaringan otak yang
akan tampak sebagai kantung berisi cairan atau kista, dan terlihat seperti ‘lake’ pada
mikroskop (Gambar 10). Stroke lacunar umumnya terjadi karena proses hyaline
arteriolosclerosis yaitu keadaan ketika dinding arteriol perforans terisi oleh protein.
Proses ini bisa terjadi karena hipertensi kronis dan diabetes, sehingga menyebabkan
penebalan dinding arteriol dan penyempitam diameter lumen arteriol.12,17
14

Gambar 8. Proses atherosklerosis melibatkan arteri otak ukuran sedang-besar.


Hipertensi menimbulkan patologi pada arteri kecil penetrating. Arteriolosklerosis
berkembang progresif pada arteri kecil ini. Hialin dan material fibrinoid
menebalkan dinding dan menyumbat lumen (hyaline arteriosclerosis). Lacunae
(lubang) kecil, bundar dan dalam terbentuk di parenkim otak umumnya ditemukan
di otak saat otopsi.11

Banyak kasus infark lacunar tidak dikenali secara klinis, melainkan


terdekteksi secara kebetulan melalui pencitraan CT-scan atau otopsi. Akan teteapi,
pada kasus lain, infark lacunar menimbulkan sindroma klinis yang khas. Stroke
lacunar terjadi dalam durasi jam hingga hari. Nyeri kepala umumnya tidak ada atau
minimal dan kesadaran compos mentis. Faktor risiko hipertensi, diabetes atau
15

penyakit kardiovaskular dapat ditemukan ataupun tidak. Prognosis stroke lacunar


umumnya baik, tapi rekurensi stroke lacunar sangat sering.

Kardioemboli11,15
Stroke emboli bisa terjadi ketika produk pembekuan darah (blood clot)
terlepas dari sisi proksimal kemudian terbawa aliran darah dan akhirnya
menyumbat pembuluh darah sisi distal seperti arteri, arteriol, kapiler atau pembuluh
darah dengan diameter kecil. Pembekuan darah (blood clot) biasanya berasal dari
plak atherosklerotik, namun juga dapat berasal dari jantung (embolus kardiogenik).
Embolus yang berasal dari jantung (kardioemboli) terbentuk akibat aliran darah
yang relative statis atau stagnan, akibat atrial fibrilasi (paling sering, peningkatan
risiko stroke hingga 2-7 kali lipat dan 17 kali lipat apabila disertai kondisi kelainan
katup jantung) atau infark miokard. Jika blood clot terbentuk pada atrium atau
ventrikel sinistra maka akan terbawa aliran darah ke arah aorta dan kemudian akan
langsung menuju arteri cerebral. Tatalaksana meliputi antikoagulan, obat anti
aritmia dronedarone (400 mg per oral 2 kali sehari) juga dapat menurunkan risiko
stroke emboli. Apabila blood clot terbentuk pada vena tekanan rendah atau atrium
dan ventrikel dekstra maka akan terbawa ke arteri pulmonal dan menyebabkan
emboli pulmonal, tidak menutup kemungkinan menyebabkan stroke emboli apabila
ditemukan kondisi penyakit jantung bawaan dengan pirai (shunting) kanan ke kiri
(paradoxical embolus), misalnya atrial septal defect (ASD) atau patent formane
ovale (Gambar 11). Terapi antiplatelet adalah sama efektifnya dengan penutupan
(closure) perkutaneus untuk mencegah stroke rekurens pada pasien dengan patent
foramen ovale. Sindrom takikardi-bradikardi (sick sinus syndrome) juga berkaitan
dengan kejadian stroke kardioemboli. Sementara itu, kelainan ritme jantung lainnya
lebih menyebabkan kondisi pancerebral hipoperfusi atau sinkop.
16

Gambar 9. Patofisiologi emboli jantung.12

2.2.2 Etiologi16,17
Etiologi stroke iskemik disebabkan oleh peristiwa trombotik atau
emboli yang menyebabkan penurunan aliran darah ke otak. Dalam peristiwa
trombotik, aliran darah ke otak terhambat di dalam pembuluh darah karena
disfungsi di dalam pembuluh itu sendiri, biasanya sekunder untuk penyakit
aterosklerotik, diseksi arteri, displasia fibromuskular, atau kondisi inflamasi.
Dalam peristiwa emboli, debris dari tempat lain di tubuh menghalangi aliran
darah melalui pembuluh yang terkena. Etiologi stroke mempengaruhi
prognosis dan hasil.

2.2.3 Hubungan Vaskularisasi Otak dan Gejala Klinis Pasien11


Infark dalam distribusi arteri cerebral yang berbeda sering menghasilkan
sindrom klinis yang khas, yang dapat memfasilitasi diagnosis topis dan
etiologi dan menentukan pilihan tatalaksana dan terapi stroke iskemik.
17

Anterior Cerebral Artery (ACA)


ACA memvaskularisasi kortek cerebri sisi parasagittal, yang meliputi
porsi area fungsional motorik dan sensorik kontralateral sisi tubuh. Terdapat
pusat mikturisi dan inhibisi kandung kemih. Stroke ACA menyebabkan
parese kontralateral dan defisit somatosensorik yang secara khusus
melibatkan tungkai. Terdapat pula abulia (apati), syndrome diskoneksi seperti
Alien Hand (aktivitas motorik involunter kompleks), afasia ekspressif
transkortikal (seperti afasia Wernicke namun fungsi repetisi masih normal),
dan inkontinensia urin.

Middle Cerebral Artery (MCA)


MCA memvaskularisasi hampir sebagian luas area hemispherum
cerebri dan struktur subkortikal profunda. Cabang kortikal meliputi Divisi
superior yang memvaskularisasi fungsi motorik dan sensorik wajah, tangan
dan lengan, dan area fungsi bahasa ekspresif atau motorik (Broca) pada
hemisphere yang dominan, kortek visual terkait visus macular, dan area
fungsi bahasa reseptif atau sensorik (Wernicke) pada hemisphere yang
dominan. Cabang lenticulostriata keluar dari sisi paling proksimal MCA dan
memvaskularisasi basal ganglia dan jaras descendens motorik ke wajah,
palmar, lengan dan tungkai sebagaimana jaras tersebut turun melewati genu
dan crus posterior capsula interna. Karena luasnya teritori neurovaskularisasi
MCA, tergantung pada lokasi oklusi, beberapa defisit neurologis dapat terjadi
pada stroke iskemik MCA:
a. Stroke divisi superior, menyebabkan hemiparese kontralateral yang
mengenai wajah, palmar, lengan (tanpa defisit motorik pada
tungkai), dan defisit somatosensorik kontralateral pada area
distribusi yang sama dengan defisit motorik, namun tidak ditemukan
defisit lapang pandang hemianopia homonym. Jika stroke MCA
mengenai hemisphere dominan, dimana terdapat area bahasa
motorik Broca, maka akan ditemukan gangguan fungsi bahasa yaitu
afasia motorik (afasia Broca).
18

b. Stroke divisi inferior, menyebabkan hemianopia homonym


kontralateral yang sangat padat pada sisi inferior lapang pandang,
gangguan fungsi sensorik kortikal (misal graphesthesia dan
stereognosis) pada sisi kontralateral tubuh, gangguan fungsi spatial
(misal: anosognosia [unawareness of deficit], neglect pada sisi
kontralateral tungkai dan sisi kontralateral ruang eksternal, dressing
apraxia, dan konstruksional apraksia). Jika hemisphere dominan
yang mengalami stroke, dapat terjadi gangguan bahasa yaitu Afasia
sensorik (afasia Wernicke), sebaliknya apabila terjadi pada
hemisphere non-dominan maka dapat terjadi penurunan kesadaran
akut.
c. Oklusi pada bifucartio atau trifucartio MCA, menyebabkan
kombinasi gejala defisit dari stroke divisi superior dan inferior,
meliputi hemiparese kontralateral dan defisit hemisensorik yang
secara dominan melibatkan wajah dan lengan daripada tungkai,
hemianopia homonym, dan apabila hemisphere dominan yang
mengalami stroke maka akan menyebabkan afasia global
(kombinasi afasia Broca dan Wernicke).
d. Oklusi batang MCA, terjadi pada letak proksimal awal percabangan
arteri lenticulostriata, menghasilkan sindroma klinis yang mirip
dengan oklusi trifucartio.

Arteri carotis interna


Arteri carotis interna berasal dari bifucartio arteri carotis communis di
daerah leher. Kearah distal, arteri carotis interna bercabang menjadi ACA,
MCA, arteri opthalmica, dan arteri choroidal anterior. Oklusi arteri carotis
interna bisa saja asimptomatik atau menyebabkan stroke dengan derajat
keparahan tinggi, tergantung pada kemampuan kompensasi sirkulasi
kolateral. Oklusi simptomatik menyebabkan sindroma yang mirip dengan
oklusi MCA (hemiparese kontralateral, defisit hemisensorik, dan hemianopia
19

homonym, dan jika mengenai hemisphere dominan menyebabkan afasia.


Anopia monocular juga umumnya terjadi.

Posterior Cerebral Artery (PCA)


Sepasang PCA muncul dari ujung paling distal arteri basilaris dan
memvaskularisasi lobus occipitalis, lobus temporalis sisi medial, corpus
callosum posterior, thalamus dan mesencephalon sisi rostral. Emboli pada
arteri basilaris cenderung tersumbat pada apex dan segmentasi arteri basilaris
sehingga dapat menyebabkan infark PCA yang asimetrik dan patchy. Oklusi
PCA menyebabkan hemianopia homonym yang mengenai lapang pandang
kontralateral tanpa defisit area visus macular (hemianopia homonymous
contralateral with macular sparing) karena area macular terselamatkan oleh
percabangan perforans MCA ke kortek occipitalis. Sebaliknya defisit lapang
pandang akibat oklusi MCA yang disebabkan oklusi PCA menyebabkan
defisit lapang pandang lebih padat pada sisi superior.
Dengan oklusi yang dekat awal PCA setinggi level mesencephalon,
abnormalitas ocular dapat terjadi seperti palsy gaze vertikal, parese N.III,
ophthalmoplegia internuclear (INO) akibat lesi pada fasiculus longitudinalis
medial, dan deviasi mata vertical skew. Keterlibatan lesi pada lobus
occipitalis hemisphere dominan dapat menyebabkan afasia anomic (kesulitan
dalam menamai objek), alexia tanpa agraphia (ketidakmampuan membaca
tanpa keterbatasan menulis), atau agnosia visual. Yang terakhir ialah
ketidakmampuan identifikasi objek yang terletak pada sisi kiri lapang
pandang, disebabkan oleh lesi corpus callosum yang memutus korteks visual
dextra dari area bahasa di hemisphere sinistra. Oklusi PCA bilateral dapat
menyebabkan anopia kortikal (cortical blindness), gangguan memori
(keterlibatan lobus temporalis), ketidakmampuan mengenali wajah familiar
(prosopagnosia).
20

Sistem Arteri Vertebro-Basilar


Arteri basilaris muncul dari persatuan sepasang arteri vertebralis dan
berlanjut sepanjang sisi central batang otak dan berakhir setinggi level
mesencephalon, dimana arteri ini bercabang dua menjadi PCA dekstra dan
sinistra. Percabangan arteri basilaris mensuplai lobus occipitalis dan
temporalis medial, thalamus medial, crus posterior capsula interna, batang
otak dan cerebellum. Sindroma klinis stroke arteri vertebra-basilaris meliputi:
a. Oklusi thrombosis arteri basilaris atau arteri vertebralis bilateral.
Umumnya memiliki prognosis yang sangat buruk. Kondisi ini
menyebabkan tanda dan gejala batang otak bilateral dan disfungsi
cerebellum akibat oklusi cara arteri multiple. Oklusi temporer salah satu
atau bilateral dari arteri vertebralis dapat terjadi akibat dari perputaran
kepala pada pasien dengan spondylosis servikal, sehingga
menyebabkan disfungsi batang otak transien. Stenosis atau oklusi arteri
subclavian sebelum bercabang sebagai arteri vertebralis dapat
menyebabkan subclavian steal syndrome, dimana darah mengalir
melewati dariarteri vertebralis ke arteri subclavian sisi distal dengan
aktivitas lengan ipsilateral. Sindrom ini bukanlah prediktif dari stroke
sistem vertebrobasilar. Thrombosis arteri basilar umumnya mengenai
sisi proksimal arteri basilar yang mensuplai pons. Keterlibatan pons
dorsal (tegmentum) menyebabkan palsy N.VI unilateral atau bilateral,
gangguan gerak horizontal mata, tetapi nystagmus vertical dan ocular
bobbing bisa terjadi juga. Pupil mengalami konstriksi karena
keterlibatan jaras descendens simpatetik pupillodilator, tetapi masih
reaktif terhadap cahaya. Hemiplegia atau quadriplegia umumnya
muncul, dan koma sangat sering terjadi. Pemeriksaan otak dengan CT-
scan atau MRI dapat membedakan oklusi arteri basilaris dan hemoragik
pons.
b. Infark ventral pons atau basis pontis (Locked-in syndrome). Pada
beberapa pasien mengalami infark infark ventral pons tanpa infark
tegmentum. Kondisi ini menyebabkan pasien tetap sadar namun
21

quadriplegi (awake and alert, but mute and quadriplegic) yang disebut
Locked-in Syndrome. Pada kondisi ini pasien masih mampu membuka-
tutup dan menggerakan mata sesuai perintah. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) pasien locked-in syndrome menunjukan
hasil normal, sehingga dapat dibedakan dengan kondisi koma lainnya.
Prognosis umumnya tergantung luas lesi batang otak, mortalitas
locked-in syndrome umumnya karena pneumonia dengan tingkat
mortalitas sebesar 70% dengan kausa vascular dan 40% dengan kausa
non-vaskular.
c. Emboli apex arteri basilaris (Top of the basilar syndrome). Kondisi ini
dapat menyebabkan gangguan aliran darah pada jaras ascendens
formation reticularis di mesencephalon dan thalamus, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran akut. Palsy N.III unilateral atau
bilateral sangat khas. Hemiplegia atau quadriplegia dengan respons
motorik dekortikasi (fleksi) atau deserebrasi (ekstensi) adalah sebagai
akibat dari lesi pedunculus cerebri (crus cerebri) di mesencephalon.
Sindroma ini disebut juga sebagai Top of the basilar syndrome (Rostral
brainstem infarction), dan defisit neurologis yang dihasilkan sindroma
ini sangat mirip dengan kasus space-occupying lesion dengan
komplikasi herniasi uncus. Emboli dengan ukuran kecil dapat
menyumbat arteri sisi rostral batang otak secara transien yang
kemudian terfragmentasi dan menuju salah satu atau kedua arteri
cerebral. Pada kondisi ini struktur mesencephalon, thalamus, lobus
temporalis dan lobus occipitalis dapat mengalami infark, dengan
manifestasi klinis berupa abnormalitas visus (hemianopia homonym,
cortical blindness), visuomotor (gangguan konvergensi, paralisis gaze
upward atau downward, diplopia) dan penurunan kesadaran. Respons
pupil yang melambat (sluggish pupillary response) juga dapat memberi
informasi topis lesi mesencephalon.
d. Oklusi arteri auditori interna. Arteri ini merupakan percabangan arteri
basilaris setelah AICA atau bisa juga merupakan cabang dari AICA itu
22

sendiri. Arteri ini mensuplai nervus vestibulocochlearis (N.VIII), dan


menyebabkan vertigo tipe central vestibular dan tuli sensorineural
unilateral. Vertigo itu sendiri umumnya disertai nystagmus dengan arah
fase cepat (saccade) menjauhi (kontralateral) terhadap sisi yang
mengalami lesi.
e. Oklusi PICA (Wallenberg Syndrome atau Lateral Medullary
Infarction). Sesuai dengan namanya, sindrom ini terjadi ketika oklusi
pada proksimal arteri vertebralis atau PICA itu sendiri. Manifestasi
klinis bervariasi dan tergantung luas infark pada medulla oblongata
(Gambar 10).

Gambar 10. Struktur anatomis berupa tractus dan nuclei pada medulla oblongata
yang terdampak pada oklusi PICA.11

f. Infark Cerebellar. Cerebellum divaskularisasi oleh PICA, AICA, dan


SCA dengan area teritori vaskularisasi masing-masing (Gambar 13).
Struktur pedunculus cerebelli superior, media dan inferior juga secara
berurutan divaskularisasi oleh SCA, AICA dan PICA. Manifestasi
klinis dari infark cerebellar meliputi ataksia ekstrimitas ipsilateral,
lateropulsi (jatuh cenderung ke arah sisi lesi) dan hipotonia. Oklusi
23

PICA, AICA dan SCA pada kasus klinis stroke iskemik akut sangat
mudah diketahui dari munculnya tanda gejala disfungsi batang otak.
Infark batang otak atau kompresi dari edema cerebelli dapat
menyebabkan koma dan kematian. Diagnosis berdasarkan CT-scan
atau MRI, yang dapat membedakan antara infark dan hemoragik dan
harus dilakukan segera. Kompresi batang otak adalah indikasi mutlak
operasi dekompresi dan reseksi jaringan infark, karena dapat
menyelamatkan nyawa pasien.

Gambar 11. Teritori vaskular cerebellum.11

g. Infark mesencephalon paramedian (Benedikt Syndrome). Disebabkan


oleh oklusi cabang penetrating paramedian dari arteri basilaris atau
PCA, sehingga menyebabkan lesi serabut N.III dan nucleus rubber (red
nucleus) (Gambar 14). Sindrom Benedikt meliputi parese ipsilateral
N.III (palsy M.rectus medialis, pupil midriasis [fixed dilated pupil], dan
24

ataksia ekstrimitas superior kontralateral. Tanda defisit cerebellum


muncul sebagai akibat adanya jaras menyilang dari cerebellum pada
pedunculus cerebellaris superior. rebellum divaskularisasi oleh PICA,
AICA, dan SCA dengan area teritori vaskularisasi masing-masing
(Gambar 13). Struktur pedunculus cerebelli superior, media dan inferior
juga secara berurutan divaskularisasi oleh SCA, AICA dan PICA.
Manifestasi klinis dari infark cerebellar meliputi ataksia ekstrimitas
ipsilateral, lateropulsi (jatuh cenderung ke arah sisi lesi) dan hipotonia.
Oklusi PICA, AICA dan SCA pada kasus klinis stroke iskemik akut
sangat mudah diketahui dari munculnya tanda gejala disfungsi batang
otak. Infark batang otak atau kompresi dari edema cerebelli dapat
menyebabkan koma dan kematian. Diagnosis berdasarkan CT-scan
atau MRI, yang dapat membedakan antara infark dan hemoragik dan
harus dilakukan segera. Kompresi batang otak adalah indikasi mutlak
operasi dekompresi dan reseksi jaringan infark, karena dapat
menyelamatkan nyawa pasien.

Gambar 12. Struktur anatomis berupa tractus dan nuclei pada mesencephalon
yang terdampak pada Benedikt Syndrome.11
25

2.2.4 Tatalaksana
Stroke merupakan suatu kejadian yang berkembang dengan sangat cepat,
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas perlu dilakukan intervensi secara
cepat.
a. Tatalaksana umum:
1) Jalan napas dan pernapasan: Bantuan jalan napas dan ventilasi sebaiknya
diberikan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar
2) Suplementasi oksigen hanya diberikan pada pasien hipoksik
3) Sirkulasi (tekanan darah/TD): Target dan monitor TD bergantung jenis
stroke, atasi hipovolemia/hipotensi.
4) Pilihan terapi hipertensi pada stroke:
• labetalol 10-20 mg IV dalam 1-2 menit, terapi boleh diulang sekali
• nicardipine 5 mg/jam IV, ditirasi 2,5 mg/jam tiap 5-15 menit
maksimal 15 mg/jam
5) Suhu tubuh: hipertermia (>38oC) harus dicari tahu penyebabnya dan
diterapi.
6) Tingkat keparahan stroke yang diukur menggunakan National Institutes
of Health Stroke Scale (NHSS).
7) CT scan non-kontras dilakukan secepatnya, <20 menit dari kedatangan
di IGD.
8) Gula darah sewaktu (GDS): pasien hiperglikemia harus diterapi dengan
target 140-180 mg/dL, pasien hipoglikemia (GDS <60 mg/dL) harus segera
diterapi dengan target 80-110 mg/dL.
9) Nutrisi enteral harus diinisiasi dalam 7 hari pertama setelah awitan stroke.
pasien dengan disfagia dapat diberikan nutrisi melalui NGT.
b. Tatalaksana spesifik:
1) Hipertensi
Pasien yang mengalami peningkatan TD dan tidak ada kontraindikasi
terapi fibrinolitik, harus dipertahankan pada tekanan darah sistol <185
26

mmHg dan Tekanan darah diastole <110 mmHg sebelum terapi


fibrinolitik dan <180/105 mmHg dalam 24 jam setelah terapi
fibrinolitik. Jika TD tidak berhasil diturunkan menjadi <180/110, terapi
fibrinolitik juga tidak boleh diberikan. Selanjutnya monitor TD tiap 15
menit selama 2 jam pertama. Obat yang direkomendasikan: golongan
beta bloker, ACE inhibitor, dan antagonis.
2) Trombolisis intravena: alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset <6 jam.
3) Terapi endovascular: trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan
oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial
4) Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)
5) Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral).
6) Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet: aspirin, clopidogrel, cilostazol
atau antikoagulan: warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
7) Neroprotektor (citicholin, piracetam)
8) Perawatan di Unit Stroke
9) Neurorestorasi / Neurorehabilitasi
10) Terapi intevensi
Terapi intervensi yang dapat dilalukan seperti, Carotid
Endartersctomy (CEA), Carotid Artery Stenting (CAS), Stenting
pembuluh darah intracranial, ketiga hal ini dapat dilakukan sesuai
indikasi yang ditemukan pada pasien stroke iskemik.
Trombomekanis adalah terapi intervensi stroke secara endovascular
dengan mengambil thrombus secara langsung dari pembuluh darah
yang tersumbat. Alat yang disarankan di panduan American Stroke
Association (ASA) adalah stent retriever. Selain itu meskipun
sebaliknya terapi ini diinisiasi dalam 6 jam dari awitan gejala stroke,
tromboektomi mekanis dapat dilakukan dan memiliki efikasi tinggi
hinga 24 jam sejak awitan gejala pertama.
11) Rehabilitasi
27

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45


tahun, maka paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh
mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi,
‘terapi wicara’ dan psikoterapi. Rehabilitasi segera dimulai begitu
tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan penderita stabil.

2.2.5 Trombolisis Intravena18,19,20


Tujuan terapi pada stroke iskemik akut adalah untuk mempertahankan
jaringan di daerah di mana perfusi menurun tetapi cukup untuk menghindari infark.
Jaringan di daerah oligemia ini dipertahankan dengan mengembalikan aliran darah
ke daerah yang terganggu dan meningkatkan aliran kolateral. Memulihkan aliran
darah dapat meminimalkan efek iskemia hanya jika dilakukan dengan cepat. Salah
satu tekniknya adalah dengan trombolisis intravena Pertimbangan lain adalah agen
neuroprotektif tetapi sejauh ini tidak ada yang terbukti meningkatkan hasil klinis. 18
Penatalaksanaan stroke iskemik telah berkembang pesat dengan
ditemukannya teknik revaskularisasi tissue plasminogen activator (tPA) intravena
dan kateterisasi intraarterial. Terapi trombolitik akan mengurangi kecatatan sedang
hingga berat, sampai 30%. Namun, hanya sedikit pasien stroke yang bisa mendapat
terapi ini, karena adanya kriteria keamanan (inklusi dan eksklusi) yang ketat.

a. Sejarah Trombolitik
Sejarah trombolitik dimulai pada tahun 1933 ketika Tillet dan Garner di Johns
Hopkins Medical School menemukan bahwa filtrasi kaldu kultur Streptokokus grup
A betahemolitikus dapat melarutkan gumpalan darah, kemudian dinamai
streptokinase. Pada tahun 1958 streptokinase pertama kali digunakan pada pasien
infark miokard akut dan telah mengubah fokus terapi pada infark miokard akut.
Pada tahun 1980-an dikembangkan tissue plasminogen activator (tPA), agen
trombolitk yang ditemukan secara alami pada sel endotelial vaskular yang terlibat
dalam keseimbangan antara trombolisis dan trombogenesis. Pada tempat trombus,
ikatan antara tPA dan plasminogen pada permukaan fibrin menginduksi perubahan
kimia yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin kemudian memecah
28

thrombus menjadi produk degradasi fibrin sebagai aksi dari protease plasmin dalam
melarutkan thrombus.
Pemberian tPA intravena diajukan pada tahun 1996 oleh National Institute of
Neurological Disorders and Stroke (NINDS) dengan indikasi pemberian dalam 3
jam sejak timbul gejala jika tidak ada perdarahan otak dan kriteria eksklusi lainnya
berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan pada NINDS trial 1 dan NINDS trial
2.
Pada NINDS trial pertama, 291 pasien dengan stroke iskemik akut ditentukan
secara acak, dalam 3 jam setelah onset stroke mendapatkan alteplase atau plasebo
intravena. Hasil primary end point adalah pemulihan neurologis dalam 24 jam,
diindikasikan sebagai perbaikan fungsi neurologis paling sedikit 4 poin berdasarkan
skor National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). Pada penelitian ini tidak
ada perbedaan bermakna antara pasien yang menerima tPA dibandingkan plasebo.
Pada NINDS trial kedua yang melibatkan 333 pasien stroke iskemik akut dengan
primary end point adalah pemulihan fungsi neurologis setelah 3 bulan. Pasien yang
diterapi dengan tPA intravena memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
placebo.
Tiga trial lainnya menunjukkan tidak ada perbedaan antara pemberian tPA
dan plasebo. Penelitian tersebut termasuk European Cooperative Acute Stroke
Study (ECASS I), ECASS II, dan Alteplase Thrombolysis for Acute
Neurointerventional Therapy in Ischemic Stroke (ATLANTIS). Penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian NINDS dalam beberapa aspek penting, di antaranya
pasien dengan onset hingga 6 jam sejak timbul gejala stroke dan hanya 14% pasien
yang diterapi dalam 3 jam; berbeda dengan NINDS yang hamper semua pasiennya
mendapat terapi dalam 3 jam pertama dan 48% dalam 90 menit. Studi ECASS III
yang melibatkan 821 pasien memperlihatkan bahwa pasien yang diterapi dengan
tPA 3-4,5 jam setelah onset stroke memiliki keluaran yang lebih baik setelah 90
hari dibandingkan pemberian plasebo. Namun, Food and Drug Administration
(FDA) hanya menyetujui penggunaan tPA tidak lebih dari 3 jam sejak onset gejala.
AHA/ASA merekomendasikan alteplase intravena (IV) untuk pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan memiliki onset gejala atau baseline terakhir yang
29

diketahui dalam waktu 3 jam. Alteplase IV adalah 0,9 mg/kg, dengan dosis
maksimum 90 mg. 10% pertama dari dosis diberikan selama menit pertama sebagai
bolus, dan sisa dosis diberikan selama 60 menit berikutnya. Waktu telah
diperpanjang menjadi 4,5 jam untuk kandidat terpilih. Kriteria inklusi pemberian
alteplase adalah adanya deficit neurologis dengan onset dalam 3 jam sebelum
pengobatan, dan usia 18 tahun atau lebih.
Untuk pasien yang datang antara 3 dan 4,5 jam sejak timbulnya gejala,
manfaat dan risiko pengobatan harus dipertimbangkan. Kriteria eksklusi relatif
tambahan untuk kategori pasien ini termasuk usia lebih dari 80 tahun, NIHSS lebih
besar dari 25, penggunaan antikoagulan oral, dan riwayat diabetes dan stroke
iskemik sebelumnya.

b. Mekanisme Kerja Obat Trombolitik


Gambar berikut menggambarkan mekanisme fibrinolitik untuk tPA. Derivat
tPA adalah obat trombolitik yang paling umum digunakan, terutama untuk
sumbatan/bekuan pembuluh darah coroner dan serebral, karena selektivitas
relatifnya untuk mengaktifkan plasminogen yang terikat fibrin. Aktivator
plasminogen jaringan menghasilkan lisis bekuan melalui urutan berikut:
1. tPA mengikat fibrin pada permukaan bekuan
2. Mengaktifkan plasminogen yang terikat fibrin
3. Plasmin dipecah dari plasminogen yang terikat dengan fibrin
4. Molekul fibrin dipecah oleh plasmin dan terjadi fibrinolisis
Plasmin adalah protease yang mampu memecah molekul fibrin, sehingga
melarutkan bekuan. Namun, penting untuk dicatat bahwa plasmin juga memecah
protein sirkulasi lainnya, termasuk fibrinogen. Tetapi karena spesifisitas fibrin
relatif dari tPA, disolusi bekuan terjadi dengan pemecahan fibrinogen yang lebih
sedikit daripada yang terjadi pada streptokinase dan urokinase. Meskipun tPA
relatif selektif untuk plasminogen yang terikat bekuan, tPA masih mengaktifkan
plasminogen yang bersirkulasi sehingga melepaskan plasmin, yang dapat
menyebabkan pemecahan fibrinogen yang bersirkulasi dan menyebabkan keadaan
fibrinolitik sistemik yang tidak diinginkan. Biasanya, α2 -antiplasmin
30

yang bersirkulasi menonaktifkan plasmin, tetapi dosis terapeutik tPA


menyebabkan pembentukan plasmin yang cukup untuk mengatasi konsentrasi
sirkulasi yang terbatas α2-antiplasmin. Singkatnya, meskipun tPA relatif selektif
untuk fibrin terkait bekuan, dapat menghasilkan keadaan litik sistemik dan
perdarahan yang tidak diinginkan.
Penting untuk dicatat bahwa kemanjuran obat trombolitik tergantung pada
usia bekuan darah. Gumpalan yang lebih tua memiliki lebih banyak ikatan silang
fibrin dan lebih padat; oleh karena itu, gumpalan yang lebih tua lebih sulit larut.
Untuk mengobati infark miokard akut, obat trombolitik idealnya harus diberikan
dalam 2 jam pertama. Di luar waktu itu, kemanjuran berkurang dan dosis yang lebih
tinggi umumnya diperlukan untuk mencapai lisis yang diinginkan.

Gambar 13. Mekanisme fibrinolitik untuk tissue plasminogen activators (tPA)

c. Obat Trombolitik (tPA) lainnya24


Golongan obat trombolitik tPA lainnya selain dari alteplase yang sering
digunakan, yang dapat digunakan pada kasus infark miokard akut, stroke
iskemik, dan emboli paru, adalah sebagai berikut :
1. Tenecteplase
Tenecteplase adalah tissue plasminogen activator lain, yang telah
terbukti memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk fibrin dan waktu paruh
yang lebih lama daripada alteplase. Dalam satu penelitian, tenecteplase
tampaknya memiliki profil efikasi dan keamanan yang serupa pada
31

stroke ringan tetapi tidak menunjukkan keunggulan bila dibandingkan


dengan alteplase. Tenecteplase banyak digunakan pada pasien koroner
akut dan memiliki tingkat perdarahan sistemik yang lebih rendah
daripada alteplase. Pada 2012-2015 tiga studi fase II diterbitkan yang
membandingkan alteplase dosis standar (0,9 mg/kg) dengan dosis
variabel tenecteplase (0,1, 0,25, dan 0,4 mg/kg) untuk troke iskemik akut,
dengan hasil netral. Pedoman manajemen stroke akut AHA/ASA 2019
memberikan panduan berikut untuk penggunaan tenecteplase:
“Tenecteplase yang diberikan sebagai bolus intravena tunggal 0,4 mg/kg
belum terbukti lebih unggul atau lebih rendah daripada alteplase tetapi
dapat dipertimbangkan sebagai alternatif alteplase pada pasien dengan
gangguan neurologis ringan dan tidak ada oklusi intrakranial utama”.
Seperti yang dibahas, dosis optimal tenecteplase masih belum diketahui
karena dosisnya bervariasi, tetapi kebanyakan pasien menerima dosis
tertinggi (0,1 mg/kg dalam 6,8%, 0,25 mg/kg dalam 24,6%, dan 0,4
mg/kg dalam 68,6%).
2. Retaplase (Retavase®)
adalah aktivator plasminogen tipe jaringan rekombinan generasi
kedua yang tampaknya bekerja lebih cepat dan memiliki risiko
perdarahan yang lebih rendah daripada agen alteplase generasi pertama.
Karena reteplase tidak mengikat fibrin sekuat tPA asli, reteplase dapat
berdifusi lebih bebas melalui bekuan daripada mengikat hanya ke
permukaan seperti yang dilakukan tPA. Pada konsentrasi tinggi,
reteplase tidak bersaing dengan plasminogen untuk tempat pengikatan
fibrin, memungkinkan plasminogen di tempat bekuan diubah menjadi
plasmin pelarut bekuan. Karakteristik ini membantu menjelaskan
reteplase bekerja lebih cepat dibandingkan alteplase.
32

Tabel 1. Kriteria inklusi dan eksklusi penggunaan tPA intravena pada stroke iskemik akut

a. Tahap Pemberian Trombolisis Intravena18


1) Seleksi pasien dan penilaian kelayakan kandidat trombolisis sesuai
kriteria inklusi dan eksklusi trombolisis.
2) Pemantauan tekanan darah secara ketat
Pemantauan tekanan darah secara ketat merupakan langkah penting
dilakukan sebelum dan selama 24 jam pertama pemberian trombolisis.
Tekanan darah harus sama dengan atau di bawah 185mmHg sistolik dan
110mg diastolic sebelum memulai terapi. Pasien dengan tekanan darah
di atas batas tersebut harus diterapi dengan labetalol atau nicardipine
(drip nikardipin 5mg/jam, titasi dinaikkan 2,5mg/jam dengan interval 5-
15 menit. Apabila tekanan darah tidak turun juga, jangan diberikan
trombolisis
3) Pemberian alteplase intravena
33

Alteplase IV adalah 0,9 mg/kg, dengan dosis maksimum 90 mg.


10% pertama dari dosis diberikan selama menit pertama sebagai bolus,
dan sisa dosis diberikan selama 60 menit berikutnya.
4) Pemantauan pasca trombolisis
Pemantauan deficit neurologis menggunakan NIHSS pada 15menit
selama 1 jam pertama saat pemberian trombolisis. Hindari pemasangan
kateter atau NGT selama 24 jam pertama pasca trombolisis, kecuali
sangat diperlukan.

b. Manajemen perdarahan selama dan setelah trombolisis18


Komplikasi utama dari terapi trombolitik adalah perdarahan. Perdarahan
intrakranial dapat timbul pada 7% - 8% pasien. Pasien stroke berat lebih mungkin
mengalami komplikasi perdarahan, tapi tidak ada bukti bahwa grup ini tidak
mendapat manfaat dari trombolitik intravena. Pasien usia lebih tua tidak mengalami
peningkatan risiko perdarahan, walaupun hasil keluaran lebih buruk dan mortalitas
lebih tinggi. Di samping usia dan skor NIHSS, faktor risiko perdarahan intrakranial
termasuk hipodensitas pada Computed Tomography (CT) scan, kenaikan kadar
gula darah, dan oklusi persisten arteri proksimal setelah 2 jam pemberian tPA
intravena. Perdarahan sistemik dilaporkan terjadi 0,4% sampai 1,5% pasien.
Rekomendasi penatalaksanaan perdarahan intrakranial atau sistemik setelah
terapi trombolitik dengan pemberian kriopresipitat dan trombosit walaupun bukti
yang ada saat ini masih kurang. Komplikasi lain termasuk angioedema wajah pada
1% sampai 5% pasien. Pada kebanyakan kasus, gejala tersebut ringan dan cepat
membaik, namun dapat membahayakan jika angioedema yang terjadi menutupi
jalan napas. Jika ada kecurigaan angioedema, hentikan IV alteplase. Berikan
metilprednisolon, difenhidramin, dan ranitidin atau famotidin. Epinefrin dapat
dipertimbangkan jika terapi sebelumnya tidak mengurangi tanda dan gejala.
Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan
perdarahan intracranial :
1) Hentikan trombolisis segera
2) CTscan kepala non kontras CITO
34

3) Konsultasi bedah saraf langsung


4) Pemeriksaan laboratorium darah CITO: Darah lengkatp, INR, aPTT, PTT
dan fibrinogen.
5) Jika perdarahan terjadi, berikan cryoprecipitate 10 unit untuk
meningkatkan fibrinogen di atas 2,0gr/liter dan cek ulang tiap 2 jam
6) Ulangi pemeriksaan PTT, INR, dan fibrinogen setiap 6 jam dalam 24jam
pertama.
7) Transfuse PRC sesuai indikasi

c. Manajemen angioedema selama dan setelah trombolisis18


1) Hentikan infus rtPA
2) Lakukan penilaian fungsi pernapasan , nilai saturasi oksigen.
3) Jika kemungkinan terdapat obstruksi pernafasan , persiapkan untuk
diintubasi.
4) Berikan IV Deladryl 10mg
5) Jika tidak didapatkan perbaikan , berikan IV metilprednisolon 100mg IV
6) Terakhir dapat diberikan IV epinefrin 0,1% 3cc.

2.3 Neurorestorasi pasca stroke25


Secara umum pengobatan stroke iskemik akut dibedakan menjadi
pengobatan yang ditujukan pada sistem vaskuler, meliputi upaya rekanalisasi,
pencegahan pembentukan trombus, dan pembentukan sistem kolateral, serta
pengobatan yang ditujukan pada jaringan saraf, meliputi upaya neuroproteksi untuk
membatasi ukuran infark dan neurorestorasi untuk meningkatkan aktivitas
pembentukan neuron baru (neurogenesis), vaskulerisasi baru (angiogenesis), dan
pembentukan hubungan antar neuron baru (sinaptogenesis). Penemuan terbaru
mendapatkan fakta bahwa proses neuroregenerasi dan neuroplastisitas susunan
saraf pusat manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan.
Dalam sejarahnya tentang neurorestorasi, seorang ahli neuroanatomi asal
Spanyol yang memenangkan hadiah Nobel, Santiago Ramon y Cajal,
35

mengemukakan teori Dogma Sentral yang menyatakan bahwa sistem saraf pusat
manusia dewasa adalah sesuatu yang permanen dan tidak dapat diubah. Neuron
yang mengalami kematian, tidak dapat beregenerasi. Dogma Sentral sangat
mempengaruhi pengembangan terapi stroke dengan prinsip neuroproteksi untuk
mencegah perluasan ukuran infark. Terobosan terbaik saat ini adalah terapi
trombolisis menggunakan rtPA (recombinan tissue plasminogen activator) untuk
tujuan reperfusi pada fase stroke akut, sehingga mencegah kematian neuron secara
bermakna. Namun, karena jendela terapi yang sempit serta risiko cukup besar,
terapi ini hanya dapat diterapkan pada sekitar 1-2% penderita stroke iskemik akut.
Selanjutnya muncul penemuan bahwa jaringan otak tikus dewasa mampu
menghasilkan sel progenitor neuronal, terutama pada daerah subventricular zone
(SVZ) dan girus dentatus, hipokampus, telah mengubah paradigma lama Dogma
Sentral; proses regenerasi ternyata terus berlangsung sepanjang kehidupan hewan
tersebut. Reynolds dan Weiss mampu mengisolasi sel jaringan striatum tikus, dan
pemberian epidermal growth factor mampu meng induksi proliferasi sel tersebut
menjadi neuron dan astrosit, di mana neuron yang baru mampu menghasilkan
neurotransmitter sama seperti jaringan otak normal. Sel yang sama juga dapat
ditemukan pada jaringan otak manusia dewasa. Saat terjadi cedera otak, seperti
stroke, aktivitas neurogenesis akan meningkat secara bermakna, Dibuktikan dengan
peningkatan jumlah neuron imatur (neuroblast) pada daerah SVZ yang kemudian
mengalami migrasi menuju daerah iskemi penumbra, Selanjutnya akan mengalami
differensiasi menjadi neuron baru menggantikan neuron lama yang telah rusak.
Neuron baru yang terbentuk harus bersinaps dengan neuron lama di sekitarnya agar
dapat berfungsi baik. Aktivitas sinaptogenesis pada daerah iskemi penumbra
meningkat bermakna dibuktikan dengan peningkatan ekspresi protein sinaps,
sinaptophysin, dan growth associated protein-43 setelah serangan stroke iskemik
akut.
Daerah sistem saraf pusat yang paling aktif mengalami proses neurogenesis
adalah subgranular zone girus dentatus hipokampus, SVZ, dan bulbus olfaktori.
Lokasi tersebut juga turut berperan dalam proses neurogenesis selama masa
embryonal.
36

Meskipun aktivitas neurogenesis dikatakan menurun seiring dengan


penambahan usia, namun peningkatan aktivitas neurogenesis penderita pasca-
stroke pada usia lanjut tetap terjadi, terbukti dengan penemuan neuroblast di daerah
iskemik penumbra. Hal ini sesuai dengan penemuan pada penelitian preklinik
menggunakan hewan percobaan usia tua yang membuktikan adanya peningkatan
aktivitas neurogenesis pada usia lanjut. Nitric Oxide (NO) dan endothelial derived
relaxing factor dihasilkan oleh sel endotel pembuluh darah dan sel neuron.
Peningkatan ekspresi NO sintetase neuronal di daerah SVZ penting pada proses
neurogenesis baik selama fase embriogenesis maupun di luar fase tersebut.
NO merupakan aktivator kuat enzim soluble guanylate cyclase, enzim
pembentuk cyclicguanosine monophosphate (cGMP). Pemberian donor NO akan
meningkatkan kadar cGMP pada jaringan otak yang iskemik ataupun yang normal.
cGMP merupakan second messenger untuk mengaktifkan proses neurogenesis,
angiogenesis, dan sinaptogenensis. Kadar cGMP dapat ditingkatkan dengan cara
memberikan donor NO dan me ningkatkan produksi cGMP atau dengan
menghambat metabolisme cGMP menjadi GMP melalui pemberian inhibitor enzim
phosphodiesterase-5 (PDE-5). Meningkatkan cGMP tanpa mempengaruhi kadar
NO merupakan pilihan terbaik, karena penelitian pada hewan percobaan
membuktikan bahwa perubahan kadar NO akan memberikan hasil perbaikan output
stroke yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena NO merupakan vasodilator poten;
peningkatan mendadak akan berdampak vasodilatasi dan menurunkan perfusi ke
daerah penumbra, sehingga berpengaruh pada output stroke iskemik.
Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)-Akt merupakan faktor regulasi
penting dalam proses neurogenesis; untuk melanjutkan informasi ke sel progenitor
neuronal, ekspresi PI3K-Akt dapat ditingkatkan melalui pemberian agen
farmakologis. Aktivasi jalur tersebut juga mempengaruhi sejumlah fungsi seluler
lain, seperti kemampuan neuron untuk bertahan hidup, proliferasi, migrasi, dan
diferensiasi.
Pembentukan sistem pembuluh darah serebri terjadi melalui proses
angiogenesis, Proses ini akan mengalami penurunan dan akhirnya hilang pada
jaringan otak dewasa normal. Namun, proses ini dapat timbul kembali saat terdapat
37

kondisi patologis, seperti setelah serangan stroke. Pembuluh darah yang baru
terbentuk sifatnya sangat permeabel dan akan menjadi lebih impermeabel saat
proses pematangan. Kondisi pembuluh darah yang impermeable sesaat setelah
pembentukan dapat digunakan sebagai penanda adanya proses angiogenensis,
proses tersebut dapat dideteksi dengan teknik pencitraan noninvasif, seperti
magnetic resonance imaging (MRI).
Penambahan pembuluh darah ber langsung hingga 6 minggu pasca-awitan
stroke yang diikuti peningkatan CBF (cerebral blood flow) pada daerah penumbra,
kondisi ini berdampak positif pada proses neurogenesis dan sinaptogenesis.
Terdapat korelasi kuat antara jumlah pembuluh darah korteks serebri dengan
harapan hidup, pasien dengan pembuluh darah lebih padat memiliki harapan hidup
lebih baik, dan memiliki output fungsional yang lebih baik.
Kemampuan sistem saraf untuk senantiasa berubah dinamakan
neuroplastisitas, kondisi ini terlihat sangat nyata saat perkembangan sistem saraf.
Otak manusia dewasa juga memiliki sebagian kemampuan tersebut untuk
mempelajari ketrampilan baru, membentuk ingatan baru, dan sebagai respons
terhadap cedera otak; kemampuan ini terus berlangsung sepanjang kehidupan
manusia. Plastisitas sinaps dikaitkan dengan perbaikan fungsional setelah stroke.
Berbagai aktivitas neurorestorasi endogen ini tidak pernah optimal,
sehingga proses pemulihan cedera SSP juga tidak pernah sempurna. Berbagai
penyebab turut berperan, antara lain ekspresi gen yang dihasilkan oleh badan sel
untuk memicu proses neuroregenerasi tidak mampu menjangkau lokasi cedera yang
jauh dari badan sel. Selain itu, lingkungan mikro juga harus mendukung agar proses
neurorestorasi dapat berjalan baik; pada cedera SSP, kondisi ini sulit terjadi karena
astrosit dan mikroglia mengalami aktivasi saat terjadi cedera SSP dan sitokin infl
amasi yang dihasilkan akan menghambat proses neuro restorasi tersebut, degradasi
mielin dan akson juga memicu proses infl amasi, dan pembersihan debris tersebut
membutuhkan waktu lama. Oligodendrosit pada lokasi cedera juga menghasilkan
protein nogo yang menghambat proses neurogenesis.
38

Inhibitor Enzim PDE-5


Inhibitor PDE-5 yang paling banyak diteliti, baik secara klinis maupun pre-
klinis, adalah sildenafi l. Pada hewan percobaan tikus yang mendapat perlakuan,
seperti middle cerebral artery (MCA) stroke, pemberian sildenafi satu minggu
pasca-awitan akan menstimulasi proliferasi sel progenitor neuronal di daerah SVZ
dan girus dentatus, meningkatkan neovaskulerisasi dan kepadatan sinaps, serta
meningkatkan output fungsional stroke. Manfaat sildenafil dapat terlihat pada
berbagai kelompok hewan percobaan, baik usia muda maupun tua, jantan ataupun
betina. Fakta ini penting mengingat populasi yang paling berisiko terhadap
serangan stroke adalah kelompok usia lanjut. Sildenafil l dikaitkan dengan
peningkatan angiogenesis, peningkatan ekspresi PI3K/Akt, dan kadar VEGF
(vascular endothelial growth factor), serta menghambat sekresi Nogo-A dan myelin
associated glycoprotein (MAG) oleh oligodendrosit.

Gambar 14. Skema mekanisme kerja nitric oxide dan PDE-5 inhibitor pada proses
neurorestorasi

Statin
Obat golongan statin seperti simvastatin dan atorvastatin, yang
diperkenalkan luas untuk pengobatan dislipidemia, akhir-akhir ini diketahui
39

memiliki efek pleiotropic untuk meningkatkan kadar cGMP dan NO neuronal, serta
mengaktivasi jalur PI3K/Akt dan menstimulasi sekresi sejumlah factor
angiogenesis. Saat ini, statin sedang dalam evaluasi uji klinis fase II untuk
pengobatan stroke sebagai neuroprotektor dan agen neurorestorasi.

Gambar 15. Efek statin pada angiogenesis

Erythropoetin (EPO)
Saat awitan stroke iskemik terjadi, area otak yang diperdarahi oleh
pembuluh darah akan kekurangan oksigen dan nutrisi sehingga sel otak terutama
neuron berada dalam risiko, neuron ini masih dapat berfungsi yang dikenal sebagai
penumbra. Hipoksia jaringan dan iskemik serebral mengaktivasi HIF-1α, yang
kemudian mengaktivasi transkripsi gen eritropoietin (EPO) dan Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF). Eritropoietin (EPO) merupakan peptida yang
juga memiliki efek non–hematopoiesis yaitu berperan mendorong neuroproteksi.
Eritropoietin (EPO) dikeluarkan dalam hitungan menit dari proses iskemik dan
mencapai puncak dalam 24 jam dari awitan stroke iskemik. Efek neuroproteksi dari
EPO yaitu sebagai anti apoptosis, anti oksidan, anti inflamasi, anti eksitoksisitas,
neurogenesis, angiogenesis dan neurotropik. Dengan kata lain bahwa EPO dapat
mengurangi derajat keparahan akibat oklusi pembuluh darah otak.
40

Task-specific Training
Latihan motorik pada pasien stroke hendaknya ditujukan pada gerakan
bertujuan, terutama untuk pemulihan fungsional. Latihan berbasis task-specific
merupakan prinsip utama rehabilitasi penderita stroke. Pendekatan ini dapat berupa
latihan motorik dasar harian, latihan gerakan lengan atas, gerakan tungkai bawah,
gerakan duduk berdiri, dan latihan jalan yang dikerjakan berulang, di mana latihan-
latihan ini dapat meningkatkan pemulihan pasca-stroke secara efektif. Pendekatan
latihan berulang yang bersifat task specific dapat memicu pembentukan sinaps baru
yang lebih permanen dan dikaitkan dengan reorganisasi kortikal. Lingkungan
selama proses rehabilitasi berlangsung juga memegang peranan penting.
Lingkungan yang dapat memberikan kesempatan lebih baik untuk aktivitas motorik
dan yang memberikan motivasi dinamakan enriched environment.

Constraint-induced Movement Therapy (CIMT)


Penderita stroke umumnya akan menggunakan anggota gerak yang sehat
untuk menggantikan peran anggota gerak yang lumpuh dalam melakukan aktivitas
harian, kondisi demikian akan membatasi pemulihan fungsional pasca-stroke.
CIMT merupakan strategi terapi berupa latihan berulang pada lengan yang lumpuh
dan membatasi penggunaan lengan yang tidak lumpuh. Hal ini penting untuk
merangsang aktivitas neuroplastisitas. Hasil pencitraan MRI membuktikan bahwa
ukuran representasi korteks tangan yang lumpuh meluas setelah terapi CIMT dan
substansia grisea korteks sensorimotor meningkat bilateral dibandingkan kelompok
kontrol.

Non-invasive Brain Stimulation (NIBS)


Repetitive transmagnetic stimulation (rTMS) dan transcranial direct
current stimulation (tDCS) merupakan teknik NIBS yang dapat mengubah
excitability korteks serebri dan meningkatkan neuroplastisitas, serta memperbaiki
fungsional motorik. Secara khusus, stimulasi magnetik transkranial (TMS) adalah
alat non-invasif yang telah digunakan untuk menyelidiki perubahan plastisitas otak
41

akibat stroke dan sebagai modalitas terapeutik untuk meningkatkan fungsi motorik
dengan aman.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Outcome Pasien Pasca Trombolisis


Terapi trombolitik IV adalah pengobatan standar untuk pasien dengan stroke
iskemik akut dalam onset 4,5 jam, dan memiliki rekomendasi Kelas 1A menurut
pedoman AHA/ASA saat ini. Namun, tidak semua pasien mendapat manfaat dari
terapi ini seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam dekade terakhir, telah
terjadi peningkatan fokus pada identifikasi factor predictor untuk keberhasilan
trombolitik dan identifikasi pasien yang berisiko mengalami komplikasi setelah
terapi rtPA. Pentingnya memiliki lebih banyak informasi mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil klinis sebelum dilakukan trombolisis IV akan
berkontribusi besar untuk memperoleh luaran klinis yang lebih baik. Metode
pengobatan endovaskular trombektomi mekanik dapat segera dipertimbangkan
untuk pasien yang diyakini atau diprediksi tidak mendapat manfaat dari terapi
trombolitik IV.
Ada beberapa prediktor outcome yang buruk setelah terapi rt-PA, misalnya,
waktu pengobatan yang lama, usia lanjut, skor NIHSS masuk yang tinggi, glukosa
darah tinggi, dan area hipodensitas dini pada neuroimaging. Parameter lain,
misalnya, tekanan darah tinggi dan stroke berat saat masuk, meningkatkan risiko
perdarahan intracranial.26

1. Usia
Batasan usia pemberian trombolisis IV umumnya di usia 80 tahun, namun hanya
sedikit data yang mendukung batasan ini. Berbagai penelitian menunjukkan pasien berusia
lebih tua masih mendapatkan efek dan tingkat keamanan yang sama. Emberson et al
melakukan meta-analisis dari 9 studi, yang termasuk 3391 pasien yang diberikan r-
TPA dan 3365 kontrol. Tingkat manfaat pada pasien yang lebih tua dari 80 yang
diberikan r-TPA antara 0 dan 3 jam sama dengan penderita dengan rentang usia 18-
80. Namun, pasien yang lebih tua dari 80 menunjukkan tingkat kematian yang lebih
42

tinggi dan hasil fungsional yang lebih buruk. Bhatnagar dan Lees dalam
penelitiannya juga mencapai kesimpulan yang sama dalam meta-analisis mereka
dari 13 studi. Selain itu, mereka menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara
kelompok usia untuk kemungkinan terjadi intracerebral haemorrhage, dan kematian
dalam waktu 3 sampai 6 bulan disebabkan imobilisasi dan infeksi. Penurunan dalam
plastisitas neuron, gangguan pada sirkulasi kolateral, kondisi komorbiditas sebelum
stroke, dan sejumlah besar penyakit komplikasi medis setelah stroke dianggap
berkontribusi peningkatan hasil fungsional yang buruk pada pasien lansia. 26

STROKE
ISKEMIK

TROMBOLISIS INTRAVENA

Faktor yang mempengaruhi outcome trombolisis :


1. Usia lanjut → buruk
2. Suhu tubuh tinggi → buruk
3. Diabetes dan sindrom metabolic → buruk
4. Peningkatan tekanan darah → buruk
5. MCA sign daerah proksimal → buruk
6. Stroke kardioemboli → baik
7. Skoring NIHSS ≤15 → baik
8. Kadar fibrinogen tinggi → buruk
9. Kadar FVIII-VWF tinggi → buruk
10. Leukosit (<8100/µL), neutrophil (<6800/µL) dan
neutrophil-lymphocyte ratio (<2,2) → baik
11. MPV tinggi → buruk

Outcome diukur setelah 90 hari onset dengan


menggunakan modified Rankin Scale (mRS)

Baik Buruk
mRS 0-1 mRS 2-6
43

Gambar 16. Diagram factor-faktor yang mempengaruhi outcome dari pasien stroke iskemik yang
mendapatkan trombolisis intravena

2. Suhu tubuh
Peningkatan suhu tubuh merupakan suatu faktor prognostik yang buruk pada
stroke, peningkatan suhu dihubungkan dengan ukuran infark yang lebih besar,
keluaran yang lebih buruk, angka kematian lebih tinggi pada hewan percobaan dan
pada studi klinis. Penurunan suhu pada hewan percobaan terlihat memiliki efek
neuroprotektif. Perburukan klinis dari iskemi akibat peningkatan suhu tubuh
dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme di penumbra,
meningkatnya permeabilitas sawar otak, akumulasi leukosit intravaskular,
pembentukan radikal bebas, perubahan awal dari daerah penumbra Iskemik
menjadi jaringan rusak yang permanen. Tidak terdapat data yang cukup mengenai
dampak peningkatan suhu tubuh terhadap keluaran dari trombolisis dengan
menggunakan rtPA. Pada penelitian invitro menunjukkan peningkatan suhu akan
meningkatkan ukuran dari infark, defisit neurologis dan mortalitas pada kasus
emboli arteri serebral media di hewan coba, mengurangi efek dari rtPA yang
diberikan pada hewan coba. Namun juga terdapat penelitian yang menyatakan
bahwa peningkatan suhu tubuh dapat meningkatkan respon dari trombolisis. Hal ini
dapat terjadi karena peningkatan reaksi akibat suhu yang berkorelasi dengan peningkatan
aktivitas enzimatik dari tromboIisis. 26

3. Diabetes dan Sindrom metabolic


Terdapat bukti yang menunjukkan sindrom metabolik dapat mengurangi efek
dari trombolisis IV. Perubahan biokimia dan molekuler pada sindrom metabolik
menunjukkan resistensi terhadap pemecahan bekuan darah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa diabetes mengurangi efektifitas dari trombolisis dan
meningkatkan risiko perdarahan intra serebral dan komplikasi lainnya. Sebagai
contoh, salah satu penelitian menunjukkan 18% pasien tanpa diabetes dan 70%
pasien dengan diabetes mengalami keadaan hiperglikemia selama trombolisis IV
44

hal ini merupakan prediktor dari tingkat kematian, pendarahan serebral dan
kecacatan yang berat. Hal ini didukung dengan penjelasan Diabetes mellitus (DM)
meningkat konsentrasi inhibitor aktivator plasminogen serum 1 dan menurunkan
proses fibrinolisis. Thoren et al juga menunjukkan hubungan antara glukosa darah
basal dan edema otak pada pasien trombolitik IV. Hal ini dapat dikatakan timbul
dari fakta bahwa glukosa tinggi dapat mengganggu fungsi sawar darah otak. 26

4. Peningkatan Tekanan Darah


Studi yang dilakukan oleh Gill dkk menunjukkan efek menguntungkan dari
tissue plasminogen activator (tPA) dapat terhambat pada pasien stroke iskemik akut
dengan timbulnya peningkatan tekanan darah akut.28 Pedoman American Heart
Association/American Stroke Association (AHA/ASA) saat ini merekomendasikan
ambang tekanan darah sistolik (SBP) yang ketat <185 mm Hg dan tekanan darah
diastolik (DBP) <110 mm Hg sebelum tPA intravena, serta selama dan dalam 24
jam setelahnya.29 Selanjutnya, pelanggaran protokol tekanan darah tersebut
menyebabkan peningkatan risiko perdarahan intrakranial simtomatik (sICH),
sementara peningkatan tekanan darah akut dapat mengurangi kemungkinan
rekanalisasi yang diinduksi tPA dan kemungkinan perbaikan luaran fungsional
pasien. Selain itu, pengurangan tekanan darah yang agresif selama jam-jam pertama
stroke iskemik akut dapat mengurangi viabilitas dari jaringan penumbra dan
mengakibatkan perluasan infark dan kerusakan neurologis lebih lanjut.
Di dalam sebuah penelitian metaanalisis tahun 2019 yang dilakukan oleh
Konark Malhotra dkk, ditemukan sekitar tiga perempat dari total pasien stroke
iskemik yang menjadi sampel penelitian (26 penelitian, terdiri dari 56.513),
mengalami peningkatan tekanan darah, baik sistol maupun diastole . Mekanisme
yang mendasarinya masih kurang dipahami, namun, hal ini berhubungan dengan
aktivasi dari jalur simpatis adreno-meduler dan perubahan autoregulasi serebral
dalam penumbra iskemik. Fluktuasi tekanan darah yang tinggi pada pasien yang
diobati dengan trombolisis intravena dapat memperburuk cedera reperfusi sawar
darah otak dan menyebabkan komplikasi perdarahan dan edema serebral. Selain itu,
daerah penumbra iskemik yang mengelilingi daerah inti infark lebih rentan terhadap
45

perubahan tekanan darah sistemik dan cedera reperfusi, yang berujung menjadi
predisposisi hasil fungsional yang buruk pada pasien stroke iskemik yang diobati
dengan trombolisis intravena. Tekanan darah sistol yang memiliki kemungkinan
hasil fungsional terbaik setelah 90 hari onset stroke adalah 141-150 mmHg. 27

5. Gambaran CT scan non kontras kepala


Seperti yang kita tahu, CT scan kepala non kontras digunakan sebagai metode
imaging yang pertama kali dilakukan pada periode hiperakut. Ditemukannya
gambaran hiperden arteri cerebral media (hyperdense middle cerebral artery sign,
HMCAS) pada CT scan kepala non kontras diterima sebagai bukti gambaran stroke
iskemik, dimana arteri cerebral tersumbat karena thrombus atau emboli. Ketika
temuan HMCAS dibandingkan dengan hasil angiografi serebral, ada tingkat
spesifisitas tinggi (95%), tetapi tingkat sensitivitas nya rendah (52%). Dengan tidak
adanya HMCAS, kemungkinan kongesti arteri adalah 50%. Li dan Davis
melaporkan dalam penelitiannya, 17,5% HMCAS yang terjadi di daerah proksimal
menyebabkan pemulihan neurologis yang buruk. 26

6. Jenis stroke iskemik


Penelitian yang dilakukan oleh The National Institute of Neurological
Disorders and Stroke menunjukkan bahwa terapi trombolitik IV memiliki efek
yang konsisten pada hasil fungsional dari semua jenis subtype stroke iskemik.
Namun, penelitian selanjutnya telah menunjukkan bahwa respon terhadap terapi r-
tPA mungkin berbeda menurut subtipe stroke iskemik. Trombus yang dihasilkan
karena sirkulasi darah yang lambat di rongga jantung lebih kaya akan fibrin, dan
trombus yang dihasilkan di bawah sirkulasi darah cepat pada lesi stenosis
aterosklerotik lebih kaya trombosit. Oleh karena itu, agen fibrinolitik seperti
aktivator plasminogen tipe jaringan dan urokinase dianggap menjadi lebih efektif
terhadap emboli yang berasal dari jantung. Apakah respons terhadap r-tPA IV
berbeda pada kardioemboli? Hasil studi tentang cardioembolic strokenya
kontradiktif. Terdapat beberapa penelitian yang melaporkan bahwa hasil
fungsional lebih buruk pada pasien dengan stroke kardioemboli dan memiliki risiko
46

transformasi hemoragik yang lebih tinggi. Namun di penelitian lainnya, pasien


dengan stroke kardioembolik , mengalami rekanalisasi arteri media cerebral
proksimal lebih cepat setelah diberikan trombolisis IV, dan pasien dalam kelompok
stroke kardioembolik secara fungsional lebih baik setelah jangka waktu 3 bulan.
Data ini menunjukkan bahwa stroke subtype cardioembolisms memiliki nilai
prediksi hasil yang baik. 26

7. Skoring NIHSS
NIHSS dapat digunakan sebagai prediksi perbaikan klinis pada pasien stroke
iskemik yang mendapat trombolitik IV. Rocha et al menyebutkan dalam
penelitiannya bahwa skor NIHSS yang tinggi sebelum pengobatan trombolisis IV,
memiliki luaran fungsional yang tidak bagus atau tidak dapat pulih secara dramatis
setelah trombolisis IV. Budimkic dkk menjelaskan bahwa NIHSS ≤15 adalah
prediktor prognosis yang sangat baik. 26

8. Peningkatan kadar fibrinogen


Studi yang dilakukan oleh Gosh dkk, dari 30 pasien yang dilibatkan dalam
studi, dari 10 pasien trombolisis, dua memiliki skor mRS 2 dan 3 memiliki
perdarahan pasca-trombolisis. Trombolisis secara signifikan mengurangi kejadian
hasil yang tidak menguntungkan, tetapi tidak secara signifikan mempengaruhi
kematian. Semua tingkat biomarker saat masuk secara signifikan lebih tinggi pada
pasien dengan stroke berat dan mereka yang kemudian memiliki hasil yang tidak
menguntungkan. Tingkat D-dimer meningkat secara signifikan dan tingkat
fibrinogen menurun secara signifikan setelah trombolisis. Tingkat mean arterial
blood pressure (MABP), dan fibrinogen yang lebih tinggi saat masuk diprediksi
secara signifikan lebih tinggi untuk muncul komplikasi hemoragik pasca
trombolisis.32
Studi yang dilakukan Gosh dkk terkait evaluasi percobaan alteplase-
tenecteplase untuk studi trombolisis stroke menunjukkan bahwa alteplase dikaitkan
dengan perpanjangan waktu protrombin, pengurangan fibrinogen dan plasminogen,
peningkatan produk degradasi fibrin dan tingkat d-dimer. Setelah stroke iskemik,
47

jaringan merespon dengan disfungsi mitokondria dan peningkatan produksi nitrat


oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan mempertahankan perfusi darah. Pada
gilirannya akan mengarah pada ledakan produksi radikal bebas dan pembentukan
peroksinitrit, yang secara ireversibel menghasilkan nitrat protein. Peningkatan
regulasi fibrinogen sebagai protein reaktif fase akut dan peningkatan permeabilitas
sawar darah otak selama stroke iskemik yang memungkinkan ekstravasasi protein
plasma yang berbeda ke dalam parenkim otak selanjutnya mempotensiasi
nitrotirosinasi fibrinogen. Pada tahap awal nitro-fibrinogen menunda pembentukan
bekuan, tetapi dalam jangka panjang berbahaya karena produksi bekuan yang
resisten terhadap fibrinolisis dan induksi kerusakan saraf. Oleh karena itu,
kemungkinan peningkatan kadar fibrinogen yang lebih tinggi menghasilkan lebih
banyak kerusakan seluler dan vaskular lokal, menghasilkan kemungkinan
perdarahan pasca-trombolisis yang lebih tinggi.28

9. Peningkatan kadar FVIII dan kadar antigen VWF


Selain itu ada pula penelitian yang menunjukkan peran faktor koagulasi VIII
(FVIII) dan faktor von Willebrand (VWF) dalam patofisiologi stroke iskemik akut.
FVIII distabilkan dalam sirkulasi oleh VWF, hubungan linier antara kadar FVIII
dan VWF telah dijelaskan. Kompleks FVIII-VWF memainkan peran penting dalam
propagasi pembentukan trombus karena memediasi perlekatan trombosit ke
subendotel yang rusak dan mendukung aktivasi kaskade koagulasi di lokasi
pertumbuhan trombus. Kadar FVIII/VWF plasma secara langsung berhubungan
dengan kecepatan dan keparahan pembentukan trombus arteri. Studi mengenai
hubungan faktor VIII dan VWF dengan outcome pada pasien stroke iskemik akut
yang mendapat terapi trombolisis dilakukan oleh Toth dkk. Studi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas FVIII dan kadar antigen VWF segera
setelah 24 jam pasca terapi terbukti memiliki nilai prognostik hasil fungsional yang
buruk.29

10. Kadar leukosit, neutrophil dan neutrophil-lymphocyte ratio


48

Malhotra dkk, 2018, menjelaskan bahwa kadar leukosit (<8100/µL),


neutrophil (<6800/µL) dan neutrophil-lymphocyte ratio (<2,2) merupakan faktor
predictor perbaikan pasien yang diobati dengan trombolisis setelah 90 hari onset.
Hal ini didasarkan dari patofisiologi stroke iskemik melibatkan jalur inflamasi yang
terdiri dari aktivasi sel endotel, gangguan sawar darah otak, akumulasi sitotoksik
dan radikal bebas, dan infiltrasi leukosit ke jaringan iskemik. Secara spesifik,
infiltrasi neutrofilik merupakan respon paling awal yang mempotensiasi cedera
iskemik serebral.
Pada tikus percobaan yang mengalami oklusi arteri serebral media,
menunjukkan peningkatan risiko perdarahan setelah trombolisis IV karena induksi
tingkat neutrofilia dan matriks metaloproteinase-9 (MMP-9). Selain itu, berbagai
penelitian pada manusia menunjukkan bahwa neutrofil memediasi pelepasan
MMP-9, yang selanjutnya menandakan peningkatan risiko sICH dan kematian pada
pasien stroke iskemik yang diobati dengan tPA intravena. Meskipun penelitian
tersebut menunjukkan hubungan yang signifikan dari jumlah leukosit dengan hasil
klinis setelah 3 bulan, tidak ada signifikansi yang diamati dengan sICH
kemungkinan karena adanya faktor perancu dalam penelitian ini, berupa factor
penyebab meningkatnya factor inflamasi seperti subtype stroke dan infeksi sistemik
tidak dimasukkan dalam kriteria pemilihan pasien.30

11. Kadar mean platelet volume (MPV)


Mean platelet volume adalah salah satu jenis pemeriksaan laboratorium
indeks trombosit dengan menggunakan alat hematology analizer, untuk melihat
viabilitas trombosit dari segi volume trombosit. Nilai rata-rata MPV pada orang
sehat adalah 7,2-11,7 fL. MPV yang tinggi menunjukkan ukuran trombosit yang
besar dan secara hemostatik lebih aktif, dengan kata lain beragregasi lebih hebat.
Semakin besar volume trombosit maka semakin banyak kandungan sitokin di
dalamnya. Mekanisme pasti dimana MPV dapat mempengaruhi hasil stroke tidak
diketahui dan beberapa mekanisme mungkin terlibat. MPV dikaitkan dengan
aktivitas trombosit, agregasi, pelepasan tromboksan B2, dan peningkatan ekspresi
molekul adhesi trombosit glikoprotein IIb/IIIa. Beberapa penelitian
49

mengungkapkan bahwa MPV tinggi dihasilkan dari kombinasi faktor risiko stroke
seperti penurunan kadar HDL, hipertensi, dan usia lanjut pasien. Ketika produksi
trombosit menurun akibat factor usia, trombosit muda menjadi lebih besar dan aktif,
dan nilai MPV meningkat. Peningkatan nilai MPV mengindikasikan peningkatan
diameter trombosit. Peningkatan MPV juga telah dilaporkan terkait dengan ras,
jenis kelamin, obesitas, merokok, dan kadar glukosa dan kreatinin.
Pada tahun 2019,di dalam penelitiannya, Jacek Staszewski dkk menjelaskan
bahwa MPV yang lebih besar memprediksi luaran klinis stroke yang buruk,
terutama pada kasus stroke yang lebih parah. Hasil ini mengkonfirmasi laporan
sebelumnya yang menunjukkan asosiasi antara MPV dan volume infark masuk
yang lebih besar pada CT scan otak. Trombosit mengekspresikan dan
mengeluarkan banyak zat yang merupakan mediator penting dari keadaan
protrombotik dan aterosklerosis. Trombosit yang lebih besar mengandung lebih
banyak zat trombotik (faktor trombosit 4, P-selectin, faktor pertumbuhan yang
diturunkan dari trombosit). Mereka dapat memperburuk pembentukan bekuan
melalui interaksi trombosit/fibrinogen dan mengatur reaksi inflamasi dan
permeabilitas endotel, yang dapat mempengaruhi luaran klinis stroke jangka
pendek dan jangka panjang.
Beberapa dari mediator proinflamasi yang terlibat dalam stroke iskemik
(misalnya, IL-6, IL-8, IL-1β, dan protein kemotaktik monosit 1) menginduksi
aktivasi platelet (dan dengan demikian, MPV) dan platelet-leukocyte agregasi, dan
mereka mempromosikan berbagai tanggapan yang mendukung koagulasi dan
trombosis. Interaksi ini penting untuk hemostasis dan fungsi sel endotel, dan
mereka telah disarankan sebagai faktor penting yang berkontribusi pada ruptur
plak, pembentukan trombus, dan prognosis buruk pada kasus stroke iskemik.
Meskipun penelitian tersebut menunjukkan hasil yang signifikan, namun
penelitian ini belum bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan MPV sebagai
factor predictor luaran klinis stroke iskemik yang mendapatkan trombolisis IV. Hal
ini dikarenakan penelitian tersbut memiliki beberapa kekurangan berupa tidak
adanya grup control, peneliti juga belum bisa menjelaskan mekanisme pasti dari
50

pengaruh MPV, dan penelitian ini hanya menganalisa luaran klinis jangka pendek
(24 jam post trombolisis).31
BAB III
KESIMPULAN

Terapi trombolitik (dengan recombinant tissue plasminogen activator)


adalah pengobatan yang efektif untuk stroke iskemik akut. Setelah FDA (Food and
Drug Administration) Amerika Serikat menyetujui penggunaan terapi trombolitik
intravena (IV) dengan r-tPA pada stroke iskemik, American Heart
Association/American Asosiasi Stroke (AHA/ASA) mengumumkan bahwa
trombolitik IV sangat efektif bila diberikan dalam waktu 3 jam dari timbulnya
gejala pada pasien yang memenuhi kriteria kelayakan dan tetap efektif hingga 4,5
jam. Adapun khasiat dari rt-PA tergantung dengan lokasi oklusi, suplai darah
kolateral, dan faktor spesifik thrombus seperti ukuran, komposisi, dan asal trombus;
namun, factor prediktor dari luaran klinis awal dan akhir serta prediktor perdarahan
intracranial pada pasien yang menerima rt-PA pada kasus stroke iskemik tidak
diketahui. Faktor predictor tersebut diharapkan dapat membantu memprediksi
kapan terapi rt-PA standar tidak akan mengarah pada keberhasilan rekanalisasi
arteri; dengan demikian, pengobatan yang lebih spesifik (yaitu, trombektomi
mekanik) dapat segera diusahakan.
Beberapa factor prediktor luaran klinis setelah terapi rt-PA, misalnya, waktu
pengobatan yang lama, usia lanjut, skor NIHSS masuk yang tinggi (derajat stroke),
glukosa darah tinggi (diabetes), dan area hipodensitas dini pada neuroimaging.
Parameter lain, misalnya, tekanan darah sistol yang tinggi, suhu tubuh. Serta dari
pemeriksaan laboratorium : peningkatan kadar fibrinogen, kadar factor VII, kadar
VWF, leukosit, neutrophil, neutrophil-limfosit ratio, dan mean platelet volume.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, et


al. 2016. Heart disease and stroke statistics-2016 update: a report from the
American Heart Association. Circulation (2016) 133:e38–360.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Utama Riskesdas. 2018
3. BPJS Kesehatan. Info BPJS Kesehatan Edisi 104.
4. Székely, E. G., Czuriga-Kovács, et al. 2018. Low factor XIII levels after
intravenous thrombolysis predict short-term mortality in ischemic stroke
patients. Scientific Reports, 8(1).
5. Fugate JE, Giraldo EA, Rabinstein AA. 2010. Thrombolysis for cerebral
ischemia. Front Neurol 1:139. doi:10.3389/fneur.2010.00139
6. Tsivgoulis G, Kargiotis O, Alexandrov AV. 2017. Intravenous thrombolysis
for acute ischemic stroke: a bridge between two centuries. Expert Rev
Neurother 17:819–37. doi:10.1080/14737175.2017.1347039
7. Lees KR, Emberson J, Blackwell L, et al. 2016. Effects of alteplase for acute
stroke on the distribution of functional outcomes: a pooled analysis of 9 trials.
Stroke 47:2373–9.
8. Menshawi K, Mohr JP, Gutierrez J. 2015. A Functional Perspective on the
Embryology and Anatomy of the Cerebral Blood Supply. J Stroke.;17(2):144-
158.
9. Karatas A, Coban G, Cinar C, Oran I, Uz A. 2015. Assessment of the Circle
of Willis with Cranial Tomography Angiography. Med Sci
Monit. 06;21:2647-52.
10. Netter, Frank H. 2014. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC.
11. Aminoff, M. J., 2015. Clinical Neurology 9th Edition. United States: McGraw
Hill Education.
12. Konan LM, Reddy V, Mesfin FB. Neuroanatomy, Cerebral Blood Supply.
[Updated 2021 Jul 31]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan.

52
53

13. Yu R, Lui F. Neuroanatomy, Brain Arteries. [Updated 2021 Oct 21]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.
14. Hui C, Tadi P, Patti L. Ischemic Stroke. [Updated 2021 Sep 29]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.
15. Khoshnam, S.E., Winlow, W., Farzaneh, M. et al. 2017. Pathogenic
mechanisms following ischemic stroke. Neurol Sci 38, 1167–1186.
16. Ntaios G. 2020. Embolic Stroke of Undetermined Source: JACC Review
Topic of the Week. J Am Coll Cardiol ;75(3):333-340.
17. Anindhita, T. dan Wiratman, W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta:
Departemen Neurologi FKUI.
18. Gofir, Abdul. 2020. Tatalaksana stroke dan penyakit vaskuler lain.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press
19. Powers WJ, Rabinstein AA, et al. American Heart Association Stroke
Council. 2018 Guidelines for the Early Management of Patients With Acute
Ischemic Stroke: A Guideline for Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke;49(3):e46-e110.
20. Phipps, M. S., & Cronin, C. A. 2020. Management of acute ischemic stroke.
BMJ, l6983.
21. Tadi P, Lui F. 2021. Acute Stroke. StatPearls Publishing; Treasure Island
(FL).
22. Bansal, S., Sangha, K. S., & Khatri, P. Drug treatment of acute ischemic
stroke. American Journal of Cardiovascular Drugs. 2013;13(1): 57-69..
23. Muhammad U. Baig; Jeffrey Bodle. Thrombolytic Therapy. 2021; Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557411/#!po=97.0588
24. Ganiswara, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi keenam. Bagian Farmakologi
FKUI. Jakarta. 2016.
25. Widjaja H., Putra IBK., Nuartha AABN., Neurorestorasi Pasca-stroke;
Harapan Baru Penderita Stroke. CDK-227 42(4). 2015;257-261.
54

26. Çetiner M, Aydin HE, Güler M, Canbaz Kabay S, Zorlu Y. Predictive factors
for functional outcomes after intravenous thrombolytic therapy in acute
ischemic stroke. Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis. 2018;24.
27. Malhotra, K., Ahmed, N., et al. 2019. Association of Elevated Blood Pressure
Levels with Outcomes in Acute Ischemic Stroke Patients Treated with
Intravenous Thrombolysis: A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal
of Stroke, 21(1), 78–90.
28. Gosh KC, Bhattacharya R, et al. 2018. Predictors of severity and outcome and
roles of intravenous thrombolysis and biomarkers in first ischemic stroke.
Neuroimmunol Neuroinflammation;5:38.
29. Tóth, N. K., Székely, et al. 2018. Elevated Factor VIII and von Willebrand
Factor Levels Predict Unfavorable Outcome in Stroke Patients Treated with
Intravenous Thrombolysis. Frontiers in Neurology, 8.
30. Malhotra, K., Goyal, N., et al. 2018. Differential leukocyte counts on
admission predict outcomes in patients with acute ischaemic stroke treated
with intravenous thrombolysis. European Journal of Neurology.
31. Staszewski J, Pogoda A, Data K, et al. 2019. The mean platelet volume on
admission predicts unfavorable stroke outcomes in patients treated with IV
thrombolysis. Clin Interv Aging. 2019;14:493-503.

Anda mungkin juga menyukai