Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus (Divisi Neuroimunologi)

SINDROMA GUILLAIN BARRE TIPE AMSAN


DENGAN KECURIGAAN
IMMUNE THROMBOCYTOPENIA (ITP)

Penyaji :
dr. Wilasari Novantina

Pembimbing :
dr. Andika Okparasta, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan penyebab utama dari paralisis


generalisata akut, dengan insiden sebesar 0,75 sampai 2 kasus per 100.000
populasi pertahun. SGB sering berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.1,3
Penyebab pasti belum diketahui, namun penyakit ini biasanya muncul
beberapa hari atau beberapa minggu setelah infeksi saluran nafas atau saluran
pencernaan. Pada beberapa kasus yang jarang, GBS muncul setelah tindakan
pembedahan, infeksi selain infeksi saluran dan dan saluran cerna atau imunisasi.
Peneliti percaya bahwa infeksi virus atau bakteri dapat menyebabkan perubahan
pada sistem imun yang bereaksi terhadap saraf tepi. Myelin dan akson tidak
dikenali sebagai jaringan tubuh dan dianggap sebagai target respon imun.2
Sindroma Guillain-Barre memiliki banyak variasi, salah satunya Acute
Motor and Sensory Axonal Nueropathy (AMSAN), AMSAN dianggap sebagai
varian langka, dan biasanya gambaran klinis yang lebih berat dan pemulihan lebih
lambat dibanding bentuk SGB lainnya. AMSAN sering di hubungkan infeksi
Campylobacteri jejuni sebelumnya. AMSAN ditandai dengan kelemahan distal
yang terjadi secara akut, hilangnya refleks tendon dan gejala sensorik.4
Tidak seperti penyakit autoimun lainnya, SGB biasanya terjadi pada
pasien tanpa adanya penyakit autoimun lain yang menyertainya. GBS dan
Immune Trombocytopenia (ITP) sendiri merupakan penyakit yang jarang,
masing-masing memiliki prevalensi sekitar 5 kasus per 100.000 pasien per tahun.
Meski kondisi autoimun sering muncul secara bersamaan, dan ITP sering muncul
dengan disertai penyakit autoimun lain, namun GBS dengan penyerta ITP
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.5
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki usia 24 tahun
dengan sindroma guillain barre tipe AMSAN yang mengalami kelemahan

2
keempat ekstremitas yang terjadi secara perlahan-lahan disertai keterlibatan
nervus kranialis dan dalam perjalanan penyakitnya penderita mengalami
trombositopeni. Kasus ini diangkat karena merupakan kasus yang sangat jarang
terjadi dan diharapkan melalui laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan
tentang penatalaksanaan dan komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seperti ini.

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. DP
Umur : 24 Tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Jl. Pelawaran, Kab. Muara Enim
Agama : Islam
MRS Tanggal : 13 Februari 2018

2.2 Anamnesa
Pasien dirawat di bagian saraf RSMH akibat kelemahan pada kedua
lengan dan tungkai yang terjadi secara perlahan-lahan.
10 hari SMRS penderita awalnya mengalami kesemutan pada kedua
telapak kaki lalu menjalar ke kedua telapak tangan. 4 hari SMRS kedua tungkai
mulai mengalami kelemahan namun penderita masih dapat beraktivitas. 3 hari
SMRS kelemahan semakin berat dan menjalar keatas sehingga penderita juga
mengalami kelemahan pada kedua lengan. 1 hari SMRS penderita mengalami
sesak nafas dan kesulitan menelan. Penderita tidak dapat mengerutkan dahi pada
kedua sisi wajah dan tidak dapat menutup kedua matanya dengan sempurna.
Keluhan bicara pelo tidak ada, kejang tidak ada.
Riwayat demam 2 minggu yang lalu disertai diare, riayat batuk pilek 2
minggu terakhir tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat nyeri pada leher
tidak ada. Riwayat nyeri pada pinggang tidak ada. Riwayat kelemahan pada tubuh
setelah beraktivitas tidak ada. Riwayat kelemahan pada tubuh yang semakin
memberat pada siang hari tidak ada.
Penyakit ini dialami untuk pertama kalinya.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
a.Status generalisata
GCS :E4M6V5
TD :130/80 mmHg
N :80 x/mnt
RR :26 x/mnt,
T :36,7oC
Spo2 :98%

Status Neurologi
Nervus craniales :
NI : Normosmia
N II : VOD 6/6 , VOS 6/6, papil edema/atrofi : -/-
N.III : Pupil bulat isokor reflek cahaya +/+,diameter 3mm/3mm
N. III,IV,VI : Tidak ada kelainan
N. V : Motorik  Tidak dapat menggigit pada kedua sisi.
Sensorik  Opthalmika, Maksilla dan Mandibula normal
Refleks kornea (+)
N. VII : Lipatan dahi kedua sisi datar. Plicanasolabialis kanan kiri
datar, sudut mulut kanan kiri tertinggal. lagoftalmus +/+
N. VIII : Nystagmus tidak ada, tes suara bisikan kanan dan kiri sama.
N. IX dan X : Uvula terdorong ke kiri, arcus faring tidak simetris , reflek
muntah menurun, gangguan menelan ada, suara serak/
suara sengau tidak ada. Refleks occulocardiac (+), Refleks
sinus caroticus (+)
N. XII : Deviasi lidah tidak ada , disartria tidak ada, fasikulasi
tidak ada, atrofi tidak ada

5
-Fungsi motorik :
Fungsi Lka Lki Tka Tki
motorik
Gerakan K K K K
Kekuatan 3 3 2 2
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓
Klonus - -
Refleks ↓ ↓ ↓ ↓
fisiologis
Refleks - - - -
patologis

-Fungsi sensorik : hipestesi pola sarung tangan kaos kaki


-Fungsi luhur : tidak ada kelainan
-Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan
-Gejala rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)
Cheeck sign (-)
Brudzinski I/II (-)
Lasseque Kerniq dalam batas normal.
-Gerakan abnormal : Tidak ada
-Gait dan keseimbangan : belum dapat dinilai.

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Laboratorium
Hb : 14,7 gr/dl
Leukosit : 5.100/mm3
Diff count : 0/0/73/22/5
Trombosit : 244.000/mm3
Hematokrit : 42 vol %
Ureum : 30 mg/dl
Creatinin : 0,53/mm3
Na : 138 mEq/L
K : 4,0 mEql/L
Cl : 101 mmol/L

6
Ca : 9,4 mg/L
Sgot : 22
Sgpt : 27

EKG : Hr 80 x/menit, reguler, irama sinus, gelombang pqrs normal, kesan


normal

Hughes score:
Skor Kecacatan Sindroma Guillain-Barre
0 Sehat
1 Gejala minimal dan mampu berlari
2 Mampu berjalan 10 meter tanpa bantuan, tidak mampu
berlari
3 Mampu berjalan 10 meter dengan bantuan
4 Hanya dapat berbaring atau menggunakan kursi roda
5 Memerlukan ventilasi bantuan beberapa jam dalam setiap
hari
6 Meninggal

7
2.5 Diagnosis
DK : Tetraparese flaksid
Parese N V motorik bilateral
Parese N VII bilateral tipe perifer
Hpestesi pola sarung tangan kaos kaki
Disfagia
DT : Radiks
DE : Sindroma Guillain Barre
DD : - Susp Myelitis tranversa akut
- Susp Myasthenia gravis ( autoimun )
- Susp. Paralysis Hipokalemia

2.6 Tatalaksana awal


Farmakologis
- IVFD NaCl gtt XX/menit
- Mecobalamin 3x1tab (po)
- Inj Omeprazole 1x 40 mg (iv)

Non farmakologis
- 02 3-4 LPM ( nasal kanul)
- Pasang NGT
- Diet 1800 kkal (via NGT)
- Lumbal pungsi
- Laboratorium DR,DK,Elektrolit
- ENMG

2.7 PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

8
FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Tanda vital Status neurologis Diagnosa Tata Laksana
13/02/2018 Kelemahan pada Kesadaran : E4M6V5 Nn. Cranialis : DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
-16/02/18 TD : 130/90 mmHg N.III : Pupil bulat isokor reflek cahaya +/+,diameter - Parese N V motorik bilateral
kedua lengan dan - Inj Omeprazole 1x40 mg (iv)
HR : 75 x/mnt 3mm/3mm
tungkai RR : 18 x/mnt -Parese N VII bilateral tipe - Mecobalamin 3x500mg(po)
NV : Motorik : Tidak dapat menggigit pada kedua
Temp : 3,4 0C perifer
- Rencana lumbal pungsi
sisi - Hpestesi pola sarung tangan
- Follow up hasil ENMG
N.V1 :Kerutan dahi kanan kiri tidak ada kaos kaki
- Disfagia - Diet cair 1800 kkal
Lagopthalmus +/+, Plicanasolabialis
kiri dan kanan datar DT: Radiks
DE: Sindroma Guillain Barre
N. VIII : Nystagmus rotatoar tidak ada
DD : - Myelitis tranversa akut
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
- Susp Myasthenia gravis
faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Susp Paralysis Hipokalemia
N. XII : Deviasi lidah tidak ada, Disartria tidak ada,
Atrofi tidak ada, fasikulasi tidak ada
Fungsi motorik :
Fungsi motorik Lka Lki Tka Tki
Gerakan K K K K
Kekuatan 3 3 2 2
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓
Klonus - -
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓ ↓
Refleks patologis - - - -

Fungsi sensorik :Hipestesi pola sarung tangan kaos kaki


Fungsi luhur :Tidak ada kelainan
Fungsi vegetatif :Tidak ada kelainan
GRM :Tidak ada
Gerakan abnormal : Tidak ada
Gait dan keseimbangan : Belum dapat dinilai

ENMG : Sesuai dengan gambaran

9
Poliradikuloneuropati motorik sensorik (sesuai
dengan SGB tipe AMSAN)

Follow Up
Tanggal Keluhan Tanda vital Status neurologis Diagnosa Tatalaksana

16/02/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 120/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
- IVFD Nacl gtt XX/menit
DK : - Tetraparese flaksid
tungkai HR : 80x/i - Plasmapharesis I
RR : 18x/i
faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Parese N V motorik bilateral
Temp : 37,4 0C -Parese N VII bilateral tipe - Inj Omeprazole 1x40 mg (iv)
Spo2 :98% Fungsi motorik : perifer - Mecobalamin 3x500mg(po)
- Hpestesi pola sarung tangan - Diet cair 1800 kkal
Fungsi motorik Lka Lki Tka Tki
kaos kaki
Gerakan K K K K - Fisioterapi
- Disfagia
Kekuatan 3 3 3 3 - FU hasil kultur darah dan urine
DT: Radiks
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Klonus - - AMSAN
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓ ↓
Refleks patologis - - - -

Fungsi sensorik : hipestesi pola sarung tangan kaos kaki


St. Neurologis lain : dalam batas normal

Hasil Lumbal Pungsi:


Warna :kemerahan,agak keruh,tidak berbau
Berat jernih : 1.010
Bekuan : Negatif
PH : 9,0
Leukosit : 6,0 sel /µl
PMN : 50%
MN : 50%

10
Sel blast : Tidak ditemukan
Nonne : Negatif
Pandy : Positif
Protein : 168,1 mg/dl
LDH : 36 U/L
Glukosa : 91,2 mg/dL
Kloida : 119 mEq/L

25/02/ 2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 130/90 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
- IVFD Nacl gtt XX/menit
tungkai HR :84x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri DK : - Tetraparese flaksid
- Plasmapharesis IV
RR : 20x/i - Parese N V motorik bilateral
Temp : 36,1 0C Fungsi motorik : - Inj Omeprazole 1x40 mg (iv)
-Parese N VII bilateral tipe
Spo2 :98% - Mecobalamin 3x500mg(po)
perifer
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki
Gerakan K K K K - Hipestesi pola sarung tangan - Diet cair 1800 kkal
Kekuatan 4(+) 4(+) 3 3 kaos kaki - Fisioterapi
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ - Disfagia
Klonus - - - Observasi tanda-tanda perdarahan
DT: Radiks
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓ - Cek DR, IgG dan IgM Dengue, Ig G dan Ig M
↓ DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Salmonella
Refleks patologis - - - AMSAN
- D+ : Trombositopeni -Konsultasi ke bagian Penyakit Dalam
Trombositopeni
Fungsi sensorik : hipestesi pola sarung tangan kaos kaki
- Saran : Tromboforesis 1 unit
Laboratorium
Hb : 14,1 gr/dl
Leukosit : 4.940/mm3
Diff count : 0/0/91/5/4
Trombosit : 54.000/mm3
Hematokrit : 42 vol %
Ureum : 39 mg/dl
Creatinin : 0,39/mm3
Na : 141 mEq/L
K : 3,5 mEql/L

11
Cl : 106 mmol/L
Ca : 8,0 mg/L
Sgot : 24
Sgpt : 114
Kultur Darah : Steril
Kultur Urine : Eschericia coli

Follow Up
Tanggal Keluhan Tanda vital Status neurologis Diagnosa Tatalaksana

27/02/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 120/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
- IVFD Nacl gtt XX/menit
tungkai, HR :80x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri DK : - Tetraparese flaksid
- Inj Metil prednisolon 4x250 mg (1)
perdarahan (-) RR : 20x/i -Parese N V motorik
Temp : 36,0 0C Fungsi motorik : - Inj Omeprazole 1x40 mg (iv)
bilateral
Spo2 :99% - Mecobalamin 3x500mg(po)
-Parese N VII bilateral tipe
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki
Gerakan K K K K perifer - Diet cair 1800 kkal
Kekuatan 4(+) 4(+) 3 3 -Hipestesi pola sarung - Fisioterapi
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ tangan kaos kaki
Klonus - - - Observasi tanda-tanda perdarahan
- Disfagia
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓ ↓
Refleks patologis - - - - DT: Radiks
DE: Sindroma Guillain Barre tipe
AMSAN
D+ : Trombositopeni

12
28/02/2018 - Kelemahan pada
kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 130/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
- Parese N V motorik
tungkai HR :85x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Plasmapharesis V
RR : 19x/i bilateral
Temp : 36,0 0C Fungsi motorik : -Parese N VII bilateral tipe - Inj Metil prednisolon 4x250 mg (2)
Spo2 :99% perifer - Inj Omeprazole 1x40 mg (iv)
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki - Hipestesi pola sarung
Gerakan K K K K - Mecobalamin 3x500mg(po)
Kekuatan 4(+) 4(+) 3 3 tangan kaos kaki - Diet cair 1800 kkal
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ - Disfagia
Klonus - - - R/ Tranfusi Trombosit 1 Unit (menunggu donor)
DT: Radiks
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓ ↓ - Fisioterapi
Refleks patologis - - - DE: Sindroma Guillain Barre tipe
AMSAN - Observasi tanda-tanda perdarahan
Hasil Lab
D+ : Trombositopeni ec susp ITP
Trombosit : 41.000/uL
Dengue IgM : Negatif
Dengue Ig G : Positif
S. Typhi O : 1/80
S. Typhi AO : Negatif
S. Typhi BO : 1/80
S. Typhi CO : 1/80
S. Typhi H : Negatif
S. Typhi AH : 1/80
S. Typhi BH : Negatif
S. Typhi CH : 1/160

Follow Up

13
Tanggal Keluhan Tanda vital Status neurologis Diagnosa Tatalaksana

03/03/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 110/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
- Parese N V motorik bilateral
tungkai HR :78x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Inj Metil prednisolon 4x250 mg (5)
RR : 18x/i -Parese N VII bilateral tipe
Temp : 36,3 0C Fungsi motorik : perifer - Inj Omeprazole 1x20 mg (iv)
Spo2 :99% - Hipestesi pola sarung tangan - Mecobalamin 3x500mg(po)
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki kaos kaki
Gerakan K K K K - Diet cair 1800 kkal
Kekuatan 4(+) 4(+) 3 3 - Disfagia -R/ Tranfusi Trombosit 1 Unit (menunggu
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DT: Radiks
Klonus - - DE: Sindroma Guillain Barre tipe donor)
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓
↓ AMSAN - Fisioterapi
Refleks patologis - - - D+ : Trombositopeni ec susp ITP - Observasi tanda-tanda perdarahan
-

04/03/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 110/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
- Parese N V motorik bilateral
tungkai HR :80x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Inj Metil prednisolon 3x250 mg (1)
RR : 20x/i -Parese N VII bilateral tipe
Temp : 36,1 0C Fungsi motorik : perifer - Inj Omeprazole 1x20 mg (iv)
Spo2 :99% - Hipestesi pola sarung tangan - Mecobalamin 3x500mg(po)
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki kaos kaki
Gerakan K K K K - Diet cair 1800 kkal
Kekuatan 4(+) 4(+) 4 4 - Disfagia - R/ Tranfusi Trombosit 1 Unit (menunggu donor)
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DT: Radiks
Klonus - - - Fisioterapi
DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓
↓ AMSAN
Refleks patologis - - - D+ : Trombositopeni ec susp ITP
-

14
Follow Up
Tanggal Keluhan Tanda vital Status neurologis Diagnosa Tatalaksana

07/03/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 110/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
- Parese N V motorik bilateral
tungkai HR :80x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Inj Metil prednisolon 2x250 mg (1)
RR : 20x/i -Parese N VII bilateral tipe
Temp : 36,1 0C Fungsi motorik : perifer - Omeprazole 1x40 mg (iv)
Spo2 :99% - Hipestesi pola sarung tangan - Mecobalamin 3x500mg(po)
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki kaos kaki
Gerakan K K K K - R/ tranfusi trombosit--> batal
Kekuatan 4(+) 4(+) 4 4 - Disfagia - Diet cair 1800 kkal
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DT: Radiks
Klonus - - - Fisioterapi
DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓
↓ AMSAN
Refleks patologis - - - D+ : Trombositopeni ec susp ITP
-

Hasil Lab (7/3/2018)


Laboratorium
Hb : 13,7 gr/dl
Leukosit : 4.800/mm3
Diff count : 0/0/83/12/5
Trombosit : 238.000/mm3
Hematokrit : 41 vol %

08/03/2018 - Kelemahan pada


kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 110/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit
- Parese N V motorik bilateral
tungkai HR :80x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Inj Metil prednisolon 2x250 mg (2)
RR : 20x/i -Parese N VII bilateral tipe
Temp : 36,1 0C Fungsi motorik : perifer - Omeprazole 1x40 mg (iv)
Spo2 :99% - Hipestesi pola sarung tangan - Mecobalamin 3x500mg(po)
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki kaos kaki
Gerakan K K K K - R/ tranfusi trombosit--> batal
Kekuatan 4(+) 4(+) 4 4 - Disfagia - Diet cair 1800 kkal
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DT: Radiks
Klonus - - - Fisioterapi
DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓
↓ AMSAN
Refleks patologis - - - D+ : Trombositopeni ec susp ITP
-

15
11/03/2018 - Kelemahan pada
kedua lengan dan
Kesadaran : E4M6V5
TD : 120/80 mmHg
Nn. Cranialis :
N. IX X : Disfonia tidak ada, sengau tidak ada, arcus
DK : - Tetraparese flaksid - IVFD Nacl gtt XX/menit--> aff
- Parese N V motorik bilateral
tungkai HR :75x/i faring tidak simetris, uvula terdorong ke kiri - Omeprazole 1x20 mg (po)
RR : 20x/i -Parese N VII bilateral tipe
Temp :36,1 0C Fungsi motorik : perifer - Mecobalamin 3x500 mg (po)
Spo2 :99% - Hipestesi pola sarung tangan - Fisioterapi
Fungsi motorikLka Lki Tka Tki kaos kaki
Gerakan K K K K - Rawat jalan
Kekuatan 4(+) 4(+) 4 4 - Disfagia
Tonus ↓ ↓ ↓ ↓ DT: Radiks
Klonus - - DE: Sindroma Guillain Barre tipe
Refleks fisiologis ↓ ↓ ↓
↓ AMSAN
Refleks patologis - - - D+ : Trombositopeni (perbaikan)
-

16
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut. SGB terjadi akibat gangguan autoimun di
mana sistem kekebalan tubuh menyerang bagian dari saraf perifer. Gejala awal
pada penyakit ini sering bermula pada gangguan sensorik ringan pada
ekstremitas bawah diikuti oleh kelemahan yang menyebar sampai ekstremitas
atas. Gejala-gejala ini dapat meningkat sampai otot-otot pernapasan sehingga
SGB merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang neurologi.1,2
Sindroma Guillain-Barre (SGB) atau yang dikenal dengan Acute
Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut
sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu
penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama
mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi.2
Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris
tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang
juga muka. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat
naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan karakteristik adanya
kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik.
Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan motorik.2

3.2 Epidemiologi
Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara
dan melaporkan angka kejadian serupa tahunan, yaitu antara 0,84 dan
1.91/100.000. Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan rasio laki-laki dan
perempuan adalah 1,7:1 untuk semua usia. SGB sering sekali berhubungan
dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan
17
infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal2
Sekitar 20% penderita berakhir dengan gagal nafas. Di negara barat
gambaran yang sering muncul adalah subakut paralisis asending. Berhubungan
dengan parestesis distal dan kehilangan refleks tendon dalam. Progresifitas
berakhir pada minggu ke 4, dan keadaan biasanya tenang sebelum terjadi
perbaikan secara lambat. Pada tahun 1859, Landry menjelaskan 10 kasus dengan
karakteristik paralisis asendens dan perubahan sensasi sensorik. Angka kematian
rata-rata adalah 2-6%, yang secara umum disebabkan akibat komplikasi dari
ventilasi, henti jantung, emboli paru, sepsis, bronkospasme, pneumotoraks, dan
ARDS. Lebih dari 75 % penderita mengalami perbaikan sempurna atau hampir
sempurna tanpa defisit neurologi atau hanya kelelahan dan kelemahan distal
yang minimal. Sedangkan sebagian penderita yang lain, membutuhkan bantuan
ventilasi akibat dari kelemahan bagian distal yang berat. Sekitar 15 % penderita
berakhir dengan gejala sisa berupa defisit neurologi.7
Subtipe SGB yaitu AMAN dan AMSAN lebih sering ditemukan pada
pasien dengan infeksi C.jejuni8

3.3 Etiologi
a. Infeksi sebelumnya5,6,9
Lebih kurang 70% pasien menunjukkan gejala infeksi lebih kurang 3-4
minggu sebelum terjadinya gejala-gejala SGB. Sebuah studi di Jepang
menunjukkan gejala yang paling sering mendahului SGB adalah demam, batuk,
nyeri tenggorok, sekret nasal berlebih dan diare. Pada studi SGB kebanyakan,
infeksi yang paling sering mendahului adalah infeksi saluran pernafasan atas dan
saluran cerna, meskipun terdapat laporan mengenai infeksi jenis lainnya.
Penyebab infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah C.jejuni. Penyebab
lainnya adalah sitomegalovirus, Epstein-Barr virus, Mycoplasma pneumoniae
dan Haemophilus influenza.

18
b. Vaksinasi dan kejadian lainnya.6
Banyak dilaporkan kejadian SGB yang terjadi secara cepat setelah
diadakan vaksinasi, operasi dan kejadian lainnya. Tetapi hubungan spesifik yang
mendasarinya masih menjadi perdebatan. Beberapa studi di beberapa negara
memberikan hasil yang berbeda terhadap angka kejadian SGB setelah dilakukan
vaksinasi. Terdapat peningkatan kejadian SGB yang minimal setelah pemberian
vaksinasi flu babi di Amerika Serikat pada tahun 1976. Vaksin influenza lainnya
belum dilaporkan adanya peningkatan kejadian SGB yang serupa. Laporan
terakhir dari Amerika Serikat menunjukkan bukan hanya vaksin influenza tetapi
juga vaksin hepatitis yang dihubungkan dengan kejadian SGB. Terdapat juga
studi yang tidak dipublikasi yang menunjukkan SGB yang relaps setelah
pemberian vaksin tetanus. Di sebuah studi yang melibatkan 200 orang di Inggris,
tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat vaksinasi dan
angka kejadian SGB.

3.4 Patofisiologi
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, tindakan operasi, trauma atau
faktor lain yang mencetuskan terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
mielin dan akson yang terjadi pada SGB ini adalah melalui mekanisme
imunologi10,11,12
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi
2. Adanya autoantibody yang ditemukan pada sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Pada penderita SGB dapat ditemukan hilangnya atau melambatnya
hantaran serabut saraf. Gangguan hantaran saraf ini disebabkan kerusakan myelin
dari akson yang terjadi pada saraf perifer (akar serabut spinal), yang dapat juga

19
mengenai saraf kranial yang diakibatkan reaksi imunologis yang diperantarai sel
(cell mediated immunity). Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T
memegang peranan penting disamping makrofag. Sebelum respon imunitas
seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T melalui
makrofag. Makrofag akan memfagosit antigen tersebut lalu dikenalkan pada
limfosit T melalui Antigen Presenting Cell. Saat limfosit dikerahkan untuk
menyerang infeksi tersebut, limfosit tersebut juga akan berikatan dengan
gangliosid saraf tepi (yang sudah tampak serupa dengan antigen) tadi, yang
berujung pada terjadinya cedera autoimun9,12,13
Brostoff dan kawan-kawan mengemukakan bahwa antigen pada reaksi ini
adalah protein dasar P2 yang hanya ditemukan pada myelin pada saraf tepi. Tetapi
dari bukti penemuan terakhir tidak ditemukan reaksi antigen antibodi yang
dominan pada penyakit SGB. Berbagai penelitian pada hewan percobaan dengan
menggunakan serum penderita SGB menunjukkan reaksi imunologis tertentu.
Tetapi bagaimana terjadinya reaksi awal pada manusia belum diketahui.

3.5 Gejala klinis


Gejala khas dari SGB akan timbul 2-4 minggu setelah mengalami infeksi
saluran napas atau saluran cerna. Lebih dari setengah pasien akan mengeluhkan
nyeri dan rasa tidak nyaman pada pinggul,paha, dan punggung dan gejala ini
sering disalahartikan sebagai nyeri punggung bawah (LBP) atau kelainan
ortopedi lainnya.15,16,17
Awalnya dapat berupa parestesi pada jari-jari dan kelemahan otot
proksimal maupun distal dari ekstremitas inferior. Progresifitas penyakit dari
beberapa hari sampai beberapa minggu, rata-rata 12 hari dan 98% penderita
mengalami gejala yang lengkap selama 4 minggu.15,17
Kemudian penderita akan memasuki fase menetap tanpa perubahan gejala
yang selanjutnya diikuti perbaikan gejala beberapa hari kemudian. Rata-rata
perbaikan klinis terjadi 28 sampai 200 hari. Gejala dan tanda klinis yang dapat
ditemukan :
1. Gejala motorik

20
a. Kelemahan tungkai simetris yang dimulai dari kelemahan
proksimal ekstremitas inferior. Kelemahan akan berkembang
secara simetris setelah beberapa jam atau hari dan menyerang ke
trunkus, interkostal, leher, dan otot-otot bulbaris.
b. Kelumpuhan saraf kranial ( III-VII, IX-XII ). Penderita dapat
mengalami kelemahan otot muka seperti bell palsy, disfagi,
disartria, ophtalmoplegi, dan gangguan pupil. Kelumpuhan saraf
kranial terjadi pada lebih dari setengah kasus SGB, terkadang
secara bilateral saat bersamaan.
2. Gejala sensorik
a. Kesemutan atau rasa terbakar secara umum mulai dirasakan pada
ujung jari kaki dan secara progresif akan naik ke atas tapi biasanya
tidak melebihi pergelangan tangan atau kaki. Rasa getar dan posisi
sudah mulai berkurang pada akhir minggu ke satu
3. Gejala otonom
a. Gejala kardiovaskuler berupa takikardi (paling sering), bradikardi
(jarang), disritmia, fluktuasi tekanan darah yang besar, dan
hipotensi postural.
b. Retensi urin dan konstipasi terjadi pada 15% pasien tetapi hanya
membutuhkan kateter beberapa hari
c. hipersalivasi, anhidrosis dan pupil tonik.

3.6 Klasifikasi14,17,18
SGB memiliki klasifikasi/varian sebagai berikut :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Subtipe AIDP ini adalah jenis yang paling umum ditemukan. Biasanya
diawali dengan infeksi bakteri atau virus. Hampir 40% dari seluruh pasien dengan
AIDP ditemukan serologi yang positif untuk C.jejuni 20. Pemeriksaan
elektrofisiologis yang khas ditemukan pada AIDP adalah kecepatan hantar saraf
yang melambat, latensi distal yang memanjang, serta latensi F-wave yang
memanjang.

21
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Ini adalah subtipe yang gejalanya murni motorik dan lebih sering
ditemukan pada kelompok anak-anak. Hampir 70% pasien menunjukkan serologi
positif untuk C.jejuni. Sepertiga kasus pada subtipe ini dapat menunjukkan tanda
hiperrefleks yang mekanismenya belum diketahui, tapi diperkirakan disfungsi dari
sistem inhibisi oleh interneuron di medula spinalis yang menyebabkan hal ini.
Hiperrefleks ini dihubungkan dengan ditemukannya antibodi anti-GM11. AMAN
ditandai dengan kelemahan yang berkembang dengan cepat, sering menyebabkan
gagal nafas, namun penyembuhan yang cepat pula. Pemeriksaan elektrofisiologis
yang khas adalah tidak ditemukannya kelainan pada kecepatan hantar saraf
sensorik, tetapi berkurangnya sampai menghilangnya kecepatan hantar saraf
motorik.
3. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Pada subtipe ini terjadi demyelinisasi pada serabut saraf motorik dan
sensorik dan lebih sering ditemukan pada kelompok dewasa. AMSAN ini sering
menyebabkan atrofi otot dan prognosis yang buruk20. Pemeriksaan
elektrofisiologis yang khas yang dapat ditemukan adalah saraf motorik yang tidak
bisa dieksitasi, berkurangnya atau hilangnya respon saraf sensorik dan fibrilasi
yang menyebar dan luas dalam waktu 2-3 minggu. Hal yang juga perlu dilakukan
adalah pemeriksaan amplitudo CMAP secara serial. Kerusakan aksonal akan
ditandai dengan menurunnya amplitudo CMAP secara progresif.
4. Miller-Fisher Syndrome (MFS)
MFS adalah varian yang jarang dari SGB dan akan muncul dengan triad
klasik yaitu ataksia, arefleksia dan optalmoplegia19. Onset akut optalmoplegia
eksternal adalah ciri khas dari MFS. Ataksia yang ditemukan tidak proporsional
terhadap derajat kerusakan saraf sensorik. Pasien dapat juga mengalami
kelemahan ringan pada ekstremitas, ptosis dan parese otot-otot bulbar.
Penyembuhan terjadi dalam waktu 1-3 bulan. Pemeriksaan elektrofisiologis yang
khas dapat ditemukan berkurangnya sampai hilangnya potensial aksi saraf
sensorik serta hilangnya H-reflex pada nervus tibialis.
5. Acute Panautonomic Neuropathy

22
Acute Panautonomic Neuropathy adalah subtipe yang paling jarang
ditemukan dan melibatkan sistem parasimpatis dan sistem simpatis 20. Keterlibatan
kardiovaskular misalnya hipotensi postural, takikardia hipertensi dan disritmia
umum terjadi. Disritmia adalah penyebab kematian utama pada pasien dengan
subtipe ini. Penyembuhan terjadi secara lambat dan sering tidak sempurna.

3.7 Diagnosis
Diagnosis SGB didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan likuor
serebrospinalis, dan pemeriksaan elektrodiagnostik. Kriteria diagnosa yang umum
dipakai adalah dari National Institute of Neurological and Communicative
Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1. Gejala yang diperlukan untuk diagnosis
- Kelemahan yang progresif pada kedua lengan dan tungkai
- Arefleksia
2. Gejala yang mendukung diagnosis
- Progresifitas gejala dalam beberapa hari dan maksimal 4 minggu
- Kelemahan lengan dan tungkai yang relatif simetris
- Gejala sensorik yang ringan
- Keterlibatan nervus kranialis, terutama kelemahan bilateral otot-
otot wajah
- Pemulihan dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya progresifitas
penyakit
- Disfungsi otonom
- Tidak ditemukannya demam saat onset penyakit
3. Hal yang menyingkirkan diagnosis
- Diagnosis botulismus, myastenia gravis, poliomyelitis, neuropati
toksik
- Abnormalitas dari metabolisme porfirin
- Infeksi difteria yang terjadi baru-baru ini
- Sindroma sensorik murni, tanpa kelemahan
4. Kriteria laboratorium

23
- Peningkatan protein pada likuor serebrospinalis dengan jumlah sel
<10/mm
5. Kriteria elektrofisiologis
- Penurunan KHS pada dua atau lebih saraf motorik < 80% batas
bawah normal jika amplitudo >80% batas bawah normal ATAU
<70% batas bawah normal jika amplitudo <80% batas bawah
normal
- Latensi distal memanjang pada 2 atau lebih saraf motorik > 125%
batas atas normal jika amplitudo >80% batas bawah normal ATAU
>150% batas atas normal jika amplitudo <80% batas bawah normal
- Hilangnya atau memanjangnya F-wave pada 2 atau lebih saraf
motorik >120% batas atas normal jika amplitudo >80% batas
bawah normal ATAU >150% batas atas normal jika amplitudo
<80% batas bawah normal
- Bila terjadi abnormalitas pada konduksi atau dispersi temporal
(penurunan amplitudo >20%, atau perubahan durasi antara
proksimal dan distal >25%) pada 1 atau lebih saraf motorik

6. Pemeriksaan penunjang11,17
Diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pemeriksaan
LCS dan elektrodiagnostik.
Pungsi lumbal dan analisa cairan serebrospinal akan didapatkan
peningkatan protein tanpa diikuti peningkatan jumlah sel (disosiasi sito
albumin). Pada 10% penderita, protein cairan serebrospinal normal dari awal
hingga akhir penyakit. Peningkatan protein liquor mungkin tidak ditemukan
sampai 1-2 minggu setelah timbulnya kelemahan dan mencapai normalnya pada
4-6minggu. Peningkatan yang tinggi tidak memiliki kepentingan klinis ataupun
prognostik.
Pemeriksaan MRI adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik.
Pada MRI dapat didapatkan gambaran enhancement akar saraf spinal dan saraf
anterior serta akar saraf kaudaequina.

24
Pemeriksaan ENMG dilakukan untuk menilai hantaran saraf pada
penderita SGB. Pemanjangan waktu dan hilangnya gelombang F merupakan
tanda demyelinisasi akar saraf. Abnormalitas hantaran saraf adalah indikator
diagnostik yang handal dan dapat ditemukan pada fase awal perjalanan penyakit
SGB. Bahkan dengan hasil EMG yang khas, kita dapat mengabaikan hasil LCS.
Hal yang paling sering ditemukan pada EMG adalah penurunan amplitudo,
perlambatan kecepatan konduksi dan blok konduksi pada saraf motorik. H
refleks hampir selalu melambat atau tidak ada.
Pada pemeriksaan fungsi hati, kelainan ditemukan pada kurang dari 10%
pasien yang mungkin menunjukkan infeksi hepatitis yang baru-baru ini banyak
atau sering terjadi.

3.8 Diagnosis banding


Diagnosis banding yang dapat dipikirkan untuk SGB antara lain :
1. Myelopati akut (myelitis transversa, kompresi spinal, infark spinal)
Pada myelopati akut dapat dijumpai hiperrefleksia, respon plantar
ekstensor, riwayat trauma, tidak didapatnya riwayat infeksi
sebelumnya.11,19 Temuan elektrofisiologis yang normal.
2. Miastenia gravis
Pada penyakit miastenia gravis ditemukan kelemahan yang miastenik
artinya kontraksi otot pertama-tama normal, tetapi kontraksi berikutnya
semakin lemah dan berakhir dengan kelumpuhan. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Tidak dijumpai kelainan sensorik. Tidak dijumpai riwayat infeksi
sebelumnya. Kelemahan bersifat desenden. Likuor serebrospinalis yang
normal. Terdapat penurunan CMAP yang abnormal pada studi stimulasi
saraf repetitif yang lambat. 20
3. Hipokalemia
Gejala klinis hipokalemi berupa kelumpuhan keempat ekstremitas yang
bersifat flaksid, umunya bersamaan (tidak ditemukan ascending

25
paralysis). Tidak terdapat gangguan sensorik serta timbul berkala. Likuor
serebrospinalis normal.
4. Botulismus
Lebih sering ditemukan pada bayi daripada dewasa. Biasanya transmisi
melalui makanan, luka, atau jarum suntik. Gejala yang muncul berupa
diplopia, optalmoplegia, ptosis, pandangan kabur, disfagia, disartria,
retensio urin, serta konstipasi21. Kelemahan terjadi secara desenden.
Likuor serebrospinalis normal. Terdapat penurunan CMAP yang
abnormal pada studi stimulasi saraf repetitif yang lambat dan fasilitasi
CMAP abnormal pada studi stimulasi saraf repetitif yang cepat.
5. Poliomyelitis
Terjadi pada daerah endemis. Gejala dimulai dengan demam, nyeri
tenggorok, mual, muntah, nyeri kepala, kelemahan flaksid yang terjadi
secara akut, disertai myalgia dan fasikulasi19. Pada likuor serebrospinalis
ditemukan pleositosis. Pada elektrodiagnostik ditemukan lower motor
neuronopathy.

3.9 Tatalaksana
Bahkan di negara maju sekalipun, sebanyak 5% dari total pasien SGB
mengalami sepsis, emboli paru atau henti jantung yang sulit dijelaskan
(kemungkinan berhubungan dengan disfungsi otonom) yang berujung pada
kematian. Oleh karena itu, penanganan pada SGB ini memerlukan deteksi dini
akan timbulnya komplikasi tersebut. Idealnya, seluruh pasien harus dirawat inap
di rumah sakit sampai tidak ditemukannya lagi progresifitas gejala klinis yang
ada.22
Tatalaksana pada SGB meliputi dua hal yaitu terapi suportif dan terapi
spesifik. Terapi suportif dinilai merupakan yang terpenting dari penatalaksanaan
terhadap SGB. Adapaun terapi tersebut adalah5 :

1. Terapi Suportif
a. Manajemen ancaman gagal nafas dan terganggunya jalan nafas30,31,32

26
- 20-30% pasien SGB akan mengalami gagal nafas yang
memerlukan ventilasi mekanik.
- Gejala-gejala dari onset hingga minggu pertama yang merupakan
prediktor terjadinya gagal nafas yang memerlukan penggunaan
ventilator mekanik adalah : kelemahan otot-otot wajah,
ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk mengangkat
kepala dari bantal dan gambaran atelektasis pada rontgen dada.
- Kapasitas vital ≤ 20mL/kgBB, tekanan inspirasi maksimal ≤ 30
cmH2O atau tekanan ekspirasi maksimal ≤ 40 cmH2O adalah
tanda-tanda objektif ancaman gagal nafas.
- Komplikasi penggunaan ventilator yang harus diawasi dengan
ketat adalah pneumoni, trakeo-bronkitis, emboli paru atau
bakteremia.
- Durasi rerata penggunaan ventilasi mekanik pada pasien SGB
adalah 2-6 minggu. Trakeostomi bisa dipertimbangkan setelah
pemakaian ventilator mekanik lebih dari 2 minggu yang tidak
menunjukkan perbaikan signifikan pada tes fungsi pulmo dan
kekuatan. Percutaneous dilatational tracheostomy lebih dianjurkan
karena mengurangi resiko ekstubasi yang tidak disengaja dan
alasan kosmetik yang lebih baik.
- Jika didapatkan perbaikan pada tes fungsi pulmo dan kekuatan,
dianjurkan untuk menunggu 1 minggu lagi sebelum pasien
dilepaskan dari ventilator mekanik.
b. Manajemen disfungsi sistem saraf otonom30
- Disfungsi otonom akut hampir selalu dijumpai pada sebagian besar
pasien SGB dan merupakan salah satu penyebab kematian
tersering. Hiperaktifitas simpatis dan hipoaktifitas parasimpatis
merupakan pola ketidaksembangan otonom yang paling sering
ditemukan.
- Komplikasi yang sering muncul adalah gangguan jantung dan
hemodinamik (manifestasi sebagai hipertensi, hipotensi postural

27
dan takikardia) berikutnya adalah disotonomi fungsi defekasi dan
miksi. Pemantauan gejala-gejala ini harus terus dilakukan sampai
terdapat perbaikan secara klinis atau sudah mulai dilepaskan dari
ventilator mekanik.
- Gangguan pada tekanan darah dan denyut jantung jangan selalu
dipikirkan sebagai gangguan sekunder akibat disfungsi sistem saraf
otonom bila gangguan tersebut menetap dalam waktu yang lama
atau pada pasien SGB ringan.
- Takikardia yang terjadi biasanya dalam rentang 100-120 denyut
per menit dan tidak memiliki makna klinis yang berarti. Tapi hal
ini merupakan pertanda disritmia jantung yang sewaktu-waktu bisa
menjadi bradikardia berat, blok jantung dan asistol. Penanganan
keadaan ini adalah resusitasi dan penempatan alat pacu jantung bila
perlu.
- Hipertensi muncul pada sepertiga pasien SGB secara paroksismal,
hanya sesekali menetap. Perubahan tekanan derah bisa sedemikian
ekstrim sehingga bisa terjadi hipotensi bahkan kematian mendadak.
Jika hipertensi yang dialami berat dan menetap, maka gunakanlah
anti-hipertensi yang dapat dititrasi. Untuk mencegah hipotensi
postural ataupun episodik, volume intravaskular harus
dipertahankan serta awasi pemakaian obat-obatan yang dapat
menurunkan tekanan darah (diuretik, antihipertensi)
- Retensio urin muncul pada sepertiga pasien SGB. Gangguan ini
muncul akibat disfungsi nervus parasimpatis sakrum dan saraf
motorik pudendal dan ditangani dengan pemasangan kateter urin
yang steril.
- Gangguan motilitas gastrointestinal terjadi pada 15% pasien
dengan SGB berat. Ileus saluran cerna atas yang terjadi bisa
memberikan gejala distensi abdomen, nyeri dan kram. Ileus saluran
cerna bawah bisa memberikan gejala konstipasi. Ileus ini bersifat
sementara tapi kadang-kadang dapat bertahan hingga beberapa

28
minggu. Gangguan motilitas ini ditangani dengan pemberian
nutrisi parenteral sebagai pengganti nutrisi enteral, suction berkala
pada selang nasogastric, pemberian eritromisin atau neostigmin.
Hindari penggunaan opioid untuk mengurangi beratnya gangguan
motilitas ini.
- Rehabilitasi diperlukan untuk mencegah komplikasi sekunder oleh
kelemahan dan imobilisasi (contohnya DVT, ulkus dekubitus,
hipotensi postural), gangguan sensoris (kompresi, neuropati),
disotonomi (distensi kandung kemih yang berlebihan), gangguan
fungsi paru (pneumoni, hipoksia), penurunan berat badan (ulkus
dekubitus, neuropati kompresi).
- Profilaksis dengan menggunakan stocking kompresi dan low
molecular weight heparin (LMWH) mengurangi insidensi
trombosis vena dalam secara signifikan.
2. Terapi Spesifik
a. Terapi Imunoglobulin
Meskipun terapi imunoglobulin telah dikenal penggunaannya selama lebih
dari 25 tahun pada penyakit-penyakit autoimun, mekanisme kerjanya dalam
menimbulkan perbaikan-perbaikan klinis tetap belum diketahui secara pasti. Tidak
terdapat rekomendasi untuk pemberian IVIg pada pasien SGB dengan gejala
minimal (skor kecacatan SGB ≤ 2) atau MFS.

Skor Kecacatan Sindroma Guillain-Barre


0 Sehat
1 Gejala minimal dan mampu berlari
2 Mampu berjalan 10 meter tanpa bantuan, tidak
mampu berlari
3 Mampu berjalan 10 meter dengan bantuan
4 Hanya dapat berbaring atau menggunakan kursi roda
5 Memerlukan ventilasi bantuan beberapa jam dalam

29
setiap hari
6 Meninggal

Imunoglobulin intravena (expert consensus) : IVIg direkomendasikan


untuk terapi SGB 0,4 gr/kgBB/tiap hari untuk 5 hari berturut-turut. Terdapat
bukti dalam skala kecil bahwa dosis pertama yang tidak memberikan respon
dapat dilanjutkan dengan dosis kedua, tetapi hal ini masih memerlukan
pembuktian dalam skala yang lebih besar.
Pada beberapa penelitian pemberian IVIg menimbulkan reaksi alergi,
reaksi yang paling banyak ditimbulkan adalah demam, rash dan dermatitis.
Dari sebuah penelitian retrospektif dengan mengambil data selama 10
tahun mengenai efek samping yng membahayakan dari pemakaian IVIg yang
dilakukan di Filipina, dilaporkan 11 pasien (30,6%) mengalami demam, diikuti
dengan adanya ruam 8 pasien (22,2%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
IVIg pada pasien dengan SGB tentu saja tidak sepenuhnya aman.
b. Plasmafaresis (PE)
Plasmafaresis (PE) adalah terapi yang paling pertama ditemukan yang
efektif dalam mempercepat penyembuhan pasien SGB6. PE masih memiliki
efektifitas yang baik jika diberikan 4 minggu setelah onset, tetapi dapat
diberikan dalam 2 minggu setelah onset5,6. Rejimen yang biasa diberikan adalah
5 kali pergantian plasma yang dilakukan dalam rentang waktu 2 minggu. PE
memiliki efektifitas yang sama dengan IVIg5,6,12.
Mekanisme kerja PE adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi,
kompleks imun, protein monoklonal dan toksin6. Mekanisme ini diyakini
mengurangi kerusakan pada saraf dan mempercepat pemulihan secara klinis.
Prosedur PE dimulai dengan mengeluarkan darah vena ke dalam kantung yang
berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang
diinginkan, aliran darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar
aliran pada vena tetap terbuka. Darah dalam kantung disentrifugasi lalu plasmanya
dibuang dan komponen lain dikembalikan ke pasien6. Cairan yang digunakan
untuk pengganti plasma dapat berupa fresh frozen plasma, albumin, koloid,
30
ataupun derivat plasma lain. Kerugian dari prosedur PE adalah komplikasi yang
berupa sepsis, yang diyakini terjadi akibat menurunnya kadar imunoglobulin. Jika
pengganti plasma yang digunakan adalah fresh frozen plasma (FFP), maka
terdapat resiko penularan penyakit infeksi seperti hepatitis dan HIV5,6.
Plasmafaresis (PE) dan imunoglobulin intravena (IVIg) yang sudah
terbukti efektif terhadap kasus SGB. Kedua terapi ini mengurangi produksi
antibodi dan kompleks imun. Shahar dan Koski et al mengemukakan bahwa
plasmafaresis dan imunoglobulin intravena mempersingkat masa pemulihan
hingga 50% dengan keunggulan pada IVIg karena efek samping yang lebih sedikit
dan jalur pemberian yang lebih mudah. Namun kombinasi dari keduanya tidak
mempercepat masa pemulihan dan tidak juga memperbaiki keluaran klinis.
Plasma 200-250 ml/kgBB diganti dalam 4-5 kali regimen dalam jangka waktu 7-
10 hari dengan menggunakan continous flow machine. Cairan yang dipakai adalah
garam fisiologis dan albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif tidak
dianjurkan. PE merupakan modalitas terapi yang aman dan ditoleransi dengan
baik pada senter-senter yang sudah terlatih.
c. Terapi steroid
Kortikosteroid pernah diyakini merupakan suatu terapi yang efektif
terhadap pasien SGB akibat mekanisme kerjanya terhadap inflamasi yang
diperantarai imun.Tetapi dalam kenyataannya, kortikosteroid (metilprednisolon
500mg/hari selama 5 hari) baik diberikan secara tunggal ataupun kombinasi tidak
menunjukkan perbedaaan keluaran klinis. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak
lagi memiliki tempat pada penatalaksanaan kasus SGB5,6. Menurut Winer JB dan
Hughes RA et al, berdasarkan bukti-bukti klinis yang memadai, kortikosteroid
tidak efektif sebagai monoterapi, baik dalam mempercepat pemulihan ataupun
keluaran jangka panjang. Bahkan ada penelitian skala kecil yang menunjukkan
kortikosteroid menunda pemulihan SGB. Hughes RA et al juga mengemukakan
bukti yang cukup bahwa metilprednisolon intravena sebagai monoterapi tidak
memberikan hasil signifikan. Tetapi jika diberikan sebagai terapi kombinasi
bersama imunoglobulin intravena bisa mempercepat masa pemulihan tetapi tidak
memberikan efek terhadap keluaran klinis jangka panjang.

31
d. Beta interferon dan mikofenolat mofetil.
Tidak memberikan hasil signifikan, pada penelitian RCT skala kecil dan
pilot study.

3.10 Immune Thrombocytopenia (ITP)23

Immune thrombocytopenia (ITP) merupakan tipe dari thrombocytphenic


purpura yang didefinisikan sebagai rendahnya kadar trombosit dengan aktifitas
sumsum tulang yang normal tanpa adanya penyebab lain. ITP merupakan
penyakit autoimun dimana terdapat antibodi antiplatelat yang dapat dideteksi pada
permukaan platelat. ITP dicurigai bila pada pemeriksaan darah rutin didapatkan
kadar trombosit yang rendah. Meski demikian diagnosis ITP dibuat berdasarkan
eksklusi penyebab trombositopenia lainnya, hingga pada beberapa kasus
memerlukan biopsi sumsum tulang.

Kadar trombosit normal adalah 150.000 - 450.000 per mikroliter darah,


trombositopenia adalah bila kadar trombosit berada dibawah kadar normal.
Meskipun demikian tidak ada batasan angka tersendiri untuk menyatakan suatu
ITP. Insiden ITP sebesar 50-100 kasus baru/1000.000 pasien pertahun, dan
setengahnya merupakan anak-anak. Adanya gen yang berhubungan dengan
autoimun dan polimorfisme diidentifikasi sebagai faktor predisposisi ITP.

Diagnosis ITP merupakan hasil dari proses eksklusi penyebab lainnya.


Pertama kali harus dipastikan tidak terdapat abnormalitas lain pada darah selain
trombositopenia, dan tidak ada klinis lain selain perdarahan. Kemudian penyebab
sekunder trombositopenia seperti leukimia, penggunaan obat (quinin, heparin),
SLE, sirosis hepatis, HIV, Hepatitis C, kongenital, antiphospolipid sindrom,
defisiensi faktor von Willebrand dan lain-lain harus disingkirkan. 

Meskipun destruksi trombosit terjadi di lien, namun splenomegali


biasanya tidak ditemukan. Waktu perdarahan biasanya memanjang pada pasien
ITP. Namun demikian, berdasarkan guideline American Society of Hematology
practice, pemanjangan aktu perdarahan tidak digunakan dalam penegakan

32
diagnosis sehingga waktu perdarahan yang normal tidak menyigkirkan adanya
kemungkinan gangguan platelate.

Pemeriksaan sumsum tulang diindikasikan pada pasien berusia diatas 60


tahun atau pasien yang tidak respon terhadap terapi. Pada pemeriksaan sumsum
tulang bisa didpatkan peningkatan produksi megakariosit yang dapat membantu
penegakan diagnosis. Analisa terhadap antibodi anti-platelate masih menjadi
perdebatan, karena terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai
apakah spesifisitas tes tersebut sebesar 80% cukup untuk menjadi dasar diagnosis.

3.11 Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT)24

Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) merupakan komplikasi yang


jarang dari penggunaan heparin. Berdasarkan patofisiologinya, HIT
diklasigikasikan menjadi 2 tpe. Tipe 1 yaitu trombositopenia singkat, yang
kembali ke kadar normal secara spontan meski pengguanaan heparin tidak
dihentikan. Tipe 2 yaitu trombositopenia yang lebih berat, berkaitan dengan
terbentuknya antibodi terhadap komplek heparin-platelat faktor 4. Komplek
antigen-antibodi tersebut menyebabkan aktivasi platelat dan trombosis luas yang
mengguankan trombosit dalam jumlah besar. Penggunaan trombosit dalam proses
ini mengakibatkan kadar trombosit menurun pada pemeriksaan hitung trombosit
darah. HIT merupakan diagnosis klinis. 4T score (Timing, degree of
Thrombocytopenia, Thrombosis, penyebab lain Thrombocytopenia) digunakan
dalam menentukan kecenderungan terjadinya HIT. Penatalaksanaannya yaitu
dengan menghentikan penggunaan heparin dan mengganti dengan penggunaan
antikoagulan non heparin.

33
34
BAB 4
ANALISA KASUS

Penderita laki-laki umur 24 tahun dirawat dibagian neurologi RSMH


dikarenakan kelemahan pada kedua lengan dan tungkai secara perlahan-lahan
sejak 10 hari SMRS yang diawali dengan rasa kesemutan pada kedua telapak
kaki lalu menjalar ke kedua telapak tangan, 6 hari kemudian kedua tungkai
mulai mengalami kelemahan, kelemahan semakin lama semakin berat dan
diikuti kelemahan pada kedua lengan. Penderita juga mengalami gangguan
menelan, dan sulit mengatupkan rahang, namun tidak terdapat pandangan ganda
ataupun gerakan bola mata yang tidak simetris. Gejala klinis pada pasien
tersebut menunjukkan gejala SGB dimana secara teori pada SGB kelemahan
yang bersifat ascending khas ditemukan pada penderita dengan SGB, namun
belum dapat disingkirkan kemungkinan diagnosa lainnya seperti paralisis
hipokalemia, myasthenia gravis dan mielitis akut. Pada penderita tidak
didapatkan adanya kelemahan yang bersifat fluktuatif yang mencurigakan ke
arah diagnosis myasthenia gravis, yaitu kelemahan otot hilang timbul yang
bertambah berat bila penderita beraktivitas dan menghilang apabila penderita
beristirahat yang terutama mengenai otot-otot kecil seperti kelopak mata
sehingga diagnosa myasthenia gravis dapat disingkirkan. Adanya gejala berupa
hipestesi pola sarung tangan dan kaos kaki menunjukkan adanya gambaran
kerusakan pada saraf sensorik berupa gejala polineuropati.
Terdapat riwayat menderita diare dalam 2 minggu terakhir. Hal ini sesuai
dengan teori pada studi SGB kebanyakan infeksi yang paling sering mendahului
SGB adalah infeksi saluran pernafasan dan saluran cerna. Suatu proses autoimun
dapat kita pikirkan karena pada penderita onsetnya subakut dan adanya riwayat
diare 2 minggu sebelumnya dan dari pemeriksaan klinis neurologis didapatkan
adanya tetraparese flaccid serta hipestesi pola sarung tangan dan kaos kaki yang
merupakan gejala saraf perifer menimbulkan kecurigaan ke arah suatu proses
autoimun pada penderita yaitu sindroma guillian barre tipe sindroma axonal

35
motorik sensorik akut neuropati. Tidak adanya riwayat nyeri pada tulang
belakang menyingkirkan kemungkinan adanya mielitis akut.
Mekanisme bagaimana infeksi dapat mencetuskan terjadinya demielinisasi
akut pada SGB belum dapat diketahui dengan pasti tetapi terdapat bukti-bukti
imunopatogenesa diantaranya didapatkan adanya antibodi akibat respon kekebalan
seluler terhadap agen infeksius pada saraf tepi, adanya autoantibodi yang
ditemukan pada sistem saraf tepi, dan didapatkan adanya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demielinisasi pada saraf tepi. Dalam sistem kekebalan seluler. makrofag akan
memfagosit antigen tersebut lalu dikenalkan pada Antigen Presenting Cell, saat
limfosit dikerahkan untuk menyerang infeksi tersebut, limfosit juga akan
berikatan dengan gangliosid saraf tepi (yang sudah tampak serupa dengan antigen
tersebut) dan berujung pada terjadinya suatu proses demielinisasi pada saraf tepi.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil pemeriksaan darah rutin,
darah kimia dan elektrolit dalam batas normal, serta hasil EKG tidak
menunjukkan adanya gelombang U dan T tall serta onset penyakit yang progresif
dan perlahan menyingkirkan diagnosa etiologi paralisis hipokalemia (hasil kalium
dalam batas normal). Pemeriksaan elektrofisiologis yang khas yang dapat pada
SGB tipe AMSAN ditemukan adalah melambatnya hantaran serabut saraf berupa
berkurangnya CMAP (Compound Motoric Action Potential ) dan SNAP
(Sensoric Nerve Action Potential ) dan ditemukan adanya penurunan KHS
(Konduksi Hantaran Saraf ), kerusakan aksonal akan ditandai dengan menurunnya
amplitudo CMAP secara progresif. Pada penderita ini didapatkan CMAP pada N.
Ulnaris, N.Medianus dan N. Peroneus tidak muncul serta SNAP N.Ulnaris dan
N.Medianus tidak muncul. Sesuai dengan gambaran axonal demielinating
polineuropati sensorik motorik (sesuai dengsn SGB tipe AMSAN)
Pada analisa cairan serebrospinal didapatkan hasil peningkatan protein
tanpa diikuti peningkatan jumlah sel (disosiasi sitoalbumin). Disosiasi albumin
terjadi karena perubahan sistem sawar antara darah-saraf-cairan serebrospinalis
serta kebocoran pembuluh darah spinal karena inflamasi yang mengakibatkan
albumin berpindah ke ruang subarahnoid tetapi sel darah merah tetap sehingga

36
kosentrasi protein meningkat tanpa di ikuti pleositosis (jumlah sel). Pada 10 %
penderita, protein cairan serebsrospinal normal dari awal hingga akhir penyakit.
Peningkatan protein liquor mungkin tidak ditemukan sampai 1-2 minggu setelah
timbulnya kelemahan dan mencapai normalnya pada 4-6 minggu. Peningkatan
yang tinggi tidak memiliki kepentingan klinis ataupun prognostik. Pada pasien ini
nilai selnya 6,0 sel /µl dengan protein yang meningkat 168,1 mg/dl, nilai
proteinnya meningkat yang menunjukkan adanya proses disosiasi sitoalbumin.
Dari anamnesa, pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan diagnosa etiologi dari penderita ini sindroma sindroma guillian barre
tipe sindroma axonal motorik sensorik acute neuropathy yang merupakan variant
dari sindroma guillain barre.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini bersifat suportif. Onset
kelemahan pada penderita ini lebih kurang 10 hari dan score kecacatan SGB nilai
4 sebenarnya merupakan indikasi pemberian IVIg. Namun dengan pertimbangan
efisiensi biaya, penderita ditatalaksana dengan Plasmapharesis (PE). Menurut
Guidline AAN (American Academy of Neurology) dan EFNS/PNS (European
Federation of Neurological Societies/Peripheral Nerve Society) yaitu Efektivitas
IVIg telah ditunjukkan pada pasien SGB tidak mampu berjalan tanpa bantuan
(skor cacat SGB 3 atau > 3) dan IVIg dapat diberikan pada SGB yang mulai pada
onset 2 minggu pertama dan plasmaparesis efektif diberikan pada SGB yang
mulai pada onset 4 minggu pertama. IVIG tidak direkomendasi pada pasien SGB
dengan gejala minimal (skor kecacatan SGB ≤ 2) atau MFS (Sindrom Miller
Fisher). Namun pada rekomendasi selanjutnya disebutkan bahwa PE
direkomendasikan pada pasien SGB yang tidak mampu berjalan tanpa bantuan
yang dimulai pada onset 2 minggu pertama (Level B, limited Class II). Bila PE
dimulai dalam 2 minggu setelah onset defisit neurologis, terdapat efek yang sama
pada pemberian PE dan IVIg (Level b, Class 1). Penderita ini mendapatkan PE
yang dilakukan sebanyak 5 kali dengan jarak 3-4 hari sekali. Imunoglobulin
intravena (IVIg) dan Plasmafaresis (PE) yang sudah terbukti efektif terhadap
kasus SGB, kedua terapi ini mengurangi produksi antibodi dan kompleks imun.
Keunggulan pada PE berkaitan dengan biaya yang lebih efisien, meski IVIg

37
memiliki efek samping yang lebih sedikit dan pemberian yang lebih mudah.
Setelah dilakukan PE gejala klinis pasien mulai membaik (pasien mulai bisa
berjalan sendiri tanpa bantuan dan tidak ada lagi kelemahan orofaring).
Pada perjalanan penyakit ini pasien mengalami trombositopenia dengan
kadar trombosit dibawah 50.000 tanpa disertai tanda-tanda perdarahan. Hal ini
sangat jarang terjadi dan harus dipikirkan adanya kemungkinan-kemungkinan
diagnosis penyerta, kadar hemoglobin dan leukosit yang normal menyingkirkan
kecurigaan diagnosis anemia maupun leukimia, pemeriksaan IgM dengue sebagai
infeksi yang paling sering menyebabkan trombositopenia juga negatif, hasil
tersebut menyingkirkan diagnosis infeksi dengue. Meski pemeriksaan terhadap
infeksi mycoplasma, Epstein-Barr virus, Cytomegalovirus (CMV), dan
Helicobacter pylori (HP) tidak dilakukan karena efisiensi biaya, namun tidak
adanya demam, splenomegali serta tanda-tanda infeksi lain pada pasien
menyingkirkan kecurigaan infeksi sebagai penyebab. Adanya kondisi SGB pada
pasien ini, memunculkan kecurigaan suatu proses autoimun yang menyebabkan
keadaan trombositopeni, meski jarang namun diagnosis Immune Trombocytopenia
(ITP) harus dipertimbangkan karena penyebab trombositopeni lainnya tidak
ditemukan. Meski demikian trombositopenia yang berhubungan dengan proses
autoimun juga dapat terjadi pada keadaan Heparin Induced Thrombocytopenia
(HIT), dimana terjadi proses autoimun berupa pembentukan antibodi terhadap
kompleks heparin-platelet factor 4. Adanya komplek antigen-antibodi ini
menyebabkan aktivasi platelat sehingga terjadi trombosis dan peningkatan
penggunaan platelat mengakibatkan kadarnya dalam darah akan menurun. Pada
pasien ini heparin digunakan dalam plasmapharesis sebagai flusher keteter dialisa.
Beberapa kasus melaporkan terjadinya trombositopenia pada pasien SGB yang
menerima tatalaksana plasmapharesis, namun dalam analisanya keadaan ini lebih
diduga karena penggunaan heparin subkutan dalam pencegahan Deep Vein
Thrombosis (DVT), dibandingkan akibat penggunaan heparin dalam PE.
Sedangkan PE sendiri justru digunakan pada HIT untuk mengeluarkan antibodi
heparin. Pada pasien ini skor probabiltas HIT adalah 3 menunjukkan probabilitas
HIT yang rendah. Atas dasar ini kemungkinan diagnosis ITP lebih besar sehingga

38
pasien kemudian ditatalaksana dengan steroid yaitu injeksi Metil Prednisolon 1
gram perhari selama 5 hari dilanjutkan dengan tapering off untuk mensupresi
sistem imun. Kadar trombosit membaik 10 hari kemudian dengan kadar normal
238.000/uL. Akhirnya penderita melanjutkan perawatan melalui rawat jalan
dengan perbaikan kekuatan otot ekstremitas atas 4 (+) dan ektremitas bawah 4.

39
BAB 5
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus laki-laki usia 24 tahun, berdasarkan temuan


klinis dan pemeriksaan penunjang, penderita didiagnosis dengan Sindrom Guillain
Barre, yang ditatalaksana dengan Plasmapharesis (PE). Dalam pejalanan
penyakitnya pasien mengalami trombositopeni yang diduga suatu
Trombocytopenia Immune (ITP).
Mekanisme penyebab ITP pada penderita SGB sampai saat ini belum
jelas, namun pada beberapa kasus yang dilaporkan sebelumnya, kasus ini
memiliki kesamaan dengan kasus lainnya yaitu adanya trombositopeni
kemungkinan akibat terjadinya cross reactivity terhadap platelat dan glikoprotein
neuron pasca infeksi yang menyebabkan demyelinasi dan destruksi platelat akibat
proses autoimun. Meski belum dapat ditegakkan secara pasti, namun tidak
ditemukannya penyebab lain dari trombositopeni merupakan dasar kecurigaan
terjadinya ITP pada pasien ini.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Joshi K, Patel M, Gupta R, Bajaj N. Guillain-Barre syndrome: a case


report. International Journal of Medical Science and Public Health.
2016;5(6):1295.

2. Cook S-C. Chapter-048 Guillain�Barr� syndrome. Key Clinical Topics


in Critical Care. 2014;:169–71.

3. A. J, A. B, R. C. A case of Guillain Barre syndrome. Pharm Pract.


1999;9(9):330-331. http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord%7B&%7Dfrom=export%7B&%7Did=L29489127.

4. Jo YS, Han SD, Choi JY, Kim IH, Kim YD, Na SJ. A case of acute motor
and sensory axonal neuropathy following hepatitis a infection. J Korean
Med Sci. 2013;28(12):1839-1841. doi:10.3346/jkms.2013.28.12.1839

5. Ward IM, Fewell AE, Ferraro DM, Morris MJ. Concurrent Acute Motor
and Sensory Axonal Neuropathy and Immune Thrombocytopenic Purpura.
Military Medicine 2013;178. doi:10.7205/milmed-d-12-00306.

6. Wijdicks EF, Henderson RD, McClelland RL. Emergency intubation for


respiratory failure in Guillain-Barre syndrome. Arch Neurol.
2003;60(7):947-948. doi:10.1001/archneur.60.7.947

7. Shahar E. Current therapeutic options in severe Guillain-Barre syndrome.


Clin Neuropharmacol. 2006;29(1):45-51. doi:00002826-200601000-00011
[pii]

8. Baxter DW. Principles of Neurology. Vol 127.; 1982.


doi:10.1097/00041327-199603000-00095

9. Koski CL, Patterson J V. Intravenous immunoglobulin use for neurologic


diseases. JInfusNurs. 2006;29(1533-1458 (Print)):S21-S28.
41
file://o/Referenzmanager/Immunglobulin.PDFs/Koski 2006.pdf.

10. Gorson KC, Ropper AH, Muriello MA, Blair R. Prospective evaluation of
MRI lumbosacral nerve root enhancement in acute Guillain-Barre
syndrome. Neurology. 1996;47(3):813-817. doi:10.1212/WNL.47.3.813

11. Adam RD V. Diseases of the peripheral nerve. In: Principles of


Neurology. ; 2009:1322-1331.

12. VISSER LH, VAN DER MECHE´ FGA VDP. Guillain- Barre´ syndrome
without sensory loss (acute motor neuropathy). In: Brain. ; 1995:118:841.

13. PERDOSSI. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis Dan Standar


Prosedur Operasional Neurologi.; 2006.

14. KOSKI CL, GRATZ E SJ. Clinical correlation with antiperipheral nerve
myelin antibodies in Guillain-Barre´ syndrome. AnnNeurol. In: ;
1986:19:573.

15. Snyder LA, Rismondo V MN. The Fisher Variant of Guillain-Barre


Syndrome (Fisher Syndrome). In: J Neuro-Opthalmol. ; 2009:312-324.

16. Pietrini V, Pavesi G AF. Miller Fisher Syndrome with positivity of anti-
GAD antibodies. In: Clin Neuro and Neurosurg. ; 2013:1479-1481.

17. Ito M, Odaka M, Koga M, Hirata K YN. Clinical features and treatment of
Fisher syndrome [in Japanese]. In: ; 2005:514–17.

18. Sejvar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW. Population Incidence of
Guillain-Barré Syndrome: A Systematic Review and Meta-Analysis.
Neuroepidemiology. 2011;36(2):123-133.
http://www.karger.com/DOI/10.1159/000324710.

19. Mitsui Y, Kusunoki S, Arimura K, et al. A multicentre prospective study of


Guillain-Barré Syndrome in Japan: A focus on the incidence of subtypes. J

42
Neurol Neurosurg Psychiatry. 2015;86(1):110-114. doi:10.1136/jnnp-
2013-306509

20. Kiran Panesar. Guillain-Barré Syndrome. In: US Pharm. ; 2014:35-38.

21. Scott A. Anthony, OD, FAAO, Matthew J. Thurtell, MBBS, and R. John
Leigh M. Miller Fisher Syndrome Mimicking Ocular Myasthenia Gravis.
Optom Vis Sci. 2012;89(12):e118–e123.

22. Hughes RAC, Brassington R, Gunn AA, van Doorn PA. Corticosteroids for
Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2016;2016(10).
doi:10.1002/14651858.CD001446.pub5

23. Deloughery TG. Immune Thrombocytopenia. Hemostasis and Thrombosis


2014:51–5. doi:10.1007/978-3-319-09312-3_11.

24. Limaye K, Ravilla R, Boye B, Sahaya K, Motwani P. Heparin-induced


Thrombocytopenia in Patients Receiving Plasma Exchange. The American
Journal of Medicine 2014;127. doi:10.1016/j.amjmed.2014.08.004.

43

Anda mungkin juga menyukai