Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Sumbatan hidung merupakan salah satu masalah yang paling sering


dikeluhkan pasien ketika berobat ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah
gejala bukan diagnosis, banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat
menyebabkan sumbatan hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat berasal dari
struktur maupun sistemik. Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan,
trauma, dan gangguan congenital. Yang disebabkan sistemik terkait dengan
perubahan fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa
hidung tersumbat.1
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan
semakin lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia
sampai anosmia. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan
terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair.1,2
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari
pembengkakan mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi
belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih
belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan
tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.1,2,3

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung1,2,4,5


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung.
2.1.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian–bagiannya dari atas ke
bawah :
 Pangkal hidung (bridge)
 Dorsum nasi
 Puncak hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.

Gambar 2.1 Bagian-bagian Pembentuk Hidung Luar1,2


3

Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh:
 Superior : os frontal, os nasal, os maksila
 Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel. Bagian ini diperdarahi oleh:
a. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A>
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
c. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
2.1.2 Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
 Posterior : berhubungan dengan nasofaring
 Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
 Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian
ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
 Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra
dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit,
jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri
dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna =
kolumela.
4

 Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid,


konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Gambar 2.2 Septum Nasi1,2


Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri.
Persarafan anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.
Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh
serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina
kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.
5

Gambar 2.3 Konka Nasalis3


2.1.3 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.
6

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
2.2 Fisiologi Hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas etinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.
Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
7

 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.


4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.3 Polip Nasi
2.3.1 Definisi1,2
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat, lunak
karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama
dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, suram dan
lebih kenyal (polip fibrosa).
8

Gambar 2.4 Polip Nasi3,4


Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel an
dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh
ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%. Polip nasi
dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi
biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai
empat kali lebih sering terjadi pada pria.3
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika
Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan
di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%.3 Frekuensi kejadian polip nasi
meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar
50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan
perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan
polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic
fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk
menderita polip.2,3
9

Prevalensi alergi pada pasien polip nasi dilaporkan bervariasi antara 10-
64%. Kern et al menemukan polip nasi pada pasien dengan alergi sebesar 25,6%
dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9%. Settipane dan Chaffe melaporkan
55% dari 211 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Keith et al melaporkan
52% dari 87 pasien memiliki tes kulit positif. Bertolak belakang dengan penelitian
di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih sering terdapat pada pasien polip
nasi, dilaporkan beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda.
Seperti penelitian Grigoreas et al di Yunani tahun 1990-1998 menemukan polip
nasi lebih banyak ditemukan pada pasien non alrergi dibandingkan dengan pasien
alergi (10,8% vs 2,1%). Pada penelitian ini 37,5% dari 160 pasien polip nasi
memiliki tes kulit positif. Pada penelitian Drake Lee et al dijumpai 44% dari 200
pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Pada penelitian Small et al dijumpai
47% dari19 pasien polip nasi memiliki hasil tes kulit positif.4,5
Polip nasi banyak dijumpai pada ruang transisi antara hidung dan sinus.
Kami menemui 75% polip nasi berdekatan pada resesus etmoidalis. Banyak polip
nasi yang unilatral (63%), dan polip nasi bilateral dijumpai 37% pada kadaver.4,5
2.3.3 Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi
dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan
adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung
oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang
(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh
darah.1,2,6
10

Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak.
Pada anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain:6,7
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
2.3.4 Patogenesis
Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah
dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan
predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang
dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis
kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997;
Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).7,8
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari adanya
epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang
menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps (King 1998).
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang
sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang
lemah akan terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan
berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media.
Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001).7,8
11

2.3.5 Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi,
terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip.1,8
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1,2,8 Bila proses terus berlanjut, mukosa
yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga
hidung dengan membentuk tangkai.1,2
2.3.6 Manifestasi Klinis
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang menetap dengan
derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran polip. Umumnya,
penderita juuga mengeluh rinore cair dan post nasal drip. Anosmia atau hiposmia
dengan gangguan pengecapan juga merupakan gejala polip nasi. Rinoskopi
anterior dan posterior dapat menunjukkan massa polipoid yang berwarna keabuan
pucat yang dapt berjumlah satu atau multipel dan paling sering muncul dari
meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Massa tersebut terdiri dari jaringan ikat
longgar, sel inflamasi, dan beberapa kapiler serta kelenjar dan ditutupi oleh epitel
torak berlapis semu bersilia (ciliated pseudostratified collumner epithelium) dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. Penelitian menunjukkan bahwa eosinofil
merupakan sel-sel inflamasi yang paling sering ditemukan pada polip nasi. IL-5
yang menyebabkan eosinofil bertahan lama sehingga berdasarkan histokimia polip
nasi dapat dibedakan dengan rinosinusitis.6,7,8
12

Polip nasi hampir selalu ditemukan bilateral dan jika ditemukan unilateral
diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan kemungkinan
keganasan. Polip nasi tidak sensitif terhadap sentuhan dan jarang berdarah.6,7,8

Gambar 2.5 Polip Nasi2,4


2.3.7 Gambaran Histopatologi
A. Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung
banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena
banyak mengandung jaringan epitel.1,2
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di
meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang
tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana.
Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
anterokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid.1,2
13

B. Mikroskopis
Secara mikroskipos tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan mukosa
hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan
kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel
karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.1,2 Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip
dikelompokkan menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.1,2
2.3.8 Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi dalah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai rasa sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post
nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup.1,8,9
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip dengan asma. Selain itu, harus
ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan.1,8,9
2. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan. 1,8,9
14

Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis
kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak
terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 1,8,9
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK,
CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan
pada kompleks osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan
pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,8,9
2.3.9 Klasifikasi1,10
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund (1997), yaitu:
 Stadium 0: Tidak ada polip, atau polip masih beradadalam sinus
 Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus media
 Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung
 Stadium 3: Polip yang masif
2.3.10 Diferensial Diagnosis9,10
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-cirinya sebagai
berikut :
 Tidak bertangkai
 Sukar digerakkan
 Nyeri bila ditekan dengan pinset
 Mudah berdarah
 Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
15

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan


polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena
bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang
berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya.8
Diagnosa banding lainnya adalah angiofibroma nasofaring juvenile. Etiologi
dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan nasal tumor ini
mempunyai tempat perleketan spesifik di dinding posterolateral atap rongga
hidung. Dari anamnesis diperoleh keluhan adanya sumbatan pada hidung dan
epistaksis berulang yang massif. Terjadi obstruksi hidnung sehingga timbul
rhinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba eustachius
menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya
perluasan tumor ke intracranial.9
Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi posterior terlihat adanya tumor
yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
diliputi oleh selaput lender keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan
tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologic
konvensional akan terlihat gambaran klasik sebagai tanda Holman Miller yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang.9,10
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan tampak perluasan
tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Angiofibroma nasofaring juvenile banyak
terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki. 9,10 Diagnosis banding lainnya adalah
keganasan pada hidung. Etiologi belum diketahui, diduga adanya zat-zat kimia
seperti nikel, debu, kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain.10
16

2.3.11 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian
kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik
memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid
intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.1,2,10
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid:4,10
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,
kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc,
tiap 5-7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk
rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn
kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih
aman.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masih dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional) atau FESS.1,4,6,10
2.3.12 Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.8,10
17

Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa


dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.8,10
2.3.13 Kompetensi Dokter Umum11
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2013, penyakit polip
nasi termasuk dalam level 2, yaitu mendiagnosis dan merujuk. Lulusan dokter
diharapkan mampu membuat diagnose klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga diharapkan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan.
18

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama pasien : Tn. EM

Umur : 16 tahun

Tanggal Lahir : 15 Maret 2001

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. G. Obos XXV No. 17

Tanggal Pemeriksaan : 03 Juni 2017

3.2 Anamnesis
 Keluhan utama:
Hidung tersumbat
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 1
tahun yang lalu. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan pada kedua hidung,
namun lebih berat pada hidung sebelah kanan dan bersifat hilang timbul. Pasien
mengaku keluhan hidung tersumbat ini sering disertai keluhan pusing, batuk, pilek
serta penciumannya berkurang. Pasien mengaku sering batuk kering dan pilek.
Gejala pilek dengan ingus yang agak kental, berwarna putih transparan, tidak
berbau dan tidak disertai cairan berwarna merah atau darah. Keluhan sering pilek
ini terutama dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya benjolan pada rongga hidung sebelah kanan yang
menyebabkan keluhan hidung tersumbat semakin memberat pada hidung sebelah
kanan. Pasien tidak tahu pasti kapan benjolan tersebut mulai muncul. Benjolan
tidak nyeri. Riwayat epistaksis disangkal pasien dan keluhan nyeri saat pasien
menunduk juga disangkal. Riwayat demam (-). Tidak ada keluhan mual ataupun
muntah.
19

 Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat Rinitis Alergika (+) sejak Juli 2011 dan sudah terdiagnosa Polip
Nasi Dextra sejak Mei 2016 oleh dokter Sp.THT. Riwayat DM, hipertensi,
serta asma disangkal oleh pasien.
 Riwayat penyakit keluarga/ sosial: (-)
 Riwayat pengobatan: Pasien pernah minum obat Efedrin (dekongestan),
Ambroxol (mukolitik), Cetrizin (anti histamin) dan Metylprednisolon
(kortikosteroid) sejak Mei Tahun 2016 saat kontrol ke RS.
 Riwayat alergi: Pasien mengaku memiliki riwayat alergi
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
 Tensi : 110/80 mmHg
 Nadi : 72 x/ menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
 Respirasi : 18 x/ menit
 Suhu : 36,80C
20

3.3.2 Status Lokalis

Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri


Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-) (-)

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),cone of light (+) perforasi (-),cone of light (+)
21

Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret mukoid (+) Hiperemis (+), sekret mukoid
(+)
Cavum nasi Bentuk (normal), hiperemia (+) Bentuk (normal), hiperemia (+)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+) cair, Mukosa hiperemis, krusta (-),
warna putih, berbau busuk (-), Massa (-)
tampak massa (+) warna putih
mengkilat, berbatas tegas, lunak,
diduga berjumlah satu buah
Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+) Edema (+), mukosa hiperemi (+)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-) (-)
Transluminasi Sinus Tidak dilakukan
22

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine kanan kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus Faringeus
23

3. 4 Pemeriksaan Penunjang

3.4.1 Pemeriksaan Darah

Parameter Nilai Nilai Normal

HGB 14,9 L : 11,5-16,5 g/dL

RBC 5,5 L : 4,0 – 5,0


[10^6/µL]

WBC 5,40 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]

Eosinofil 3 0-1 %

Basofil 0 0-1 %

Neutrofil 48 50-76 %

Limfosit 40 25-33 %

Monosit 5 3-8 %

HCT 42 L : 37-45 [%]

PLT 253 150-400 [10^3/ µL]

GDS 83 <160

Creatinin 1,0 0,6-1,1 mg/dL

Ureum 16 6-26 mg/dL

BT 4’00” 1-6 menit

CT 2’45” <15 Menit

3.4.2 Roentgen Thorax

 Paru corak normal, hillus normal, tidak tampak bercak infiltrat.


 Jantung CTR <50%, aorta normal trachea di tengah.
 Diafragma dan sinus baik
 Jaringan lunak dan tulang dada baik
Kesan : Jantung dan Paru normal.
24

3.4.2 Nasoendoskopi

Gambar 3.1 Polip Nasi Dextra

3.5 Diagnosis Kerja

Polip Nasi Dextra

3.5.1 Diagnosis Banding

 Hipertrofi konka
 Abses septum nasi
 Hematoma septum nasi
25

3.6 Rencana Terapi

 Rencana Tindakan Polipektomi senin (05/06/2017)


 Pasang IV Line Catheter
 Pemberian obat 1 jam pre operasi : Cefotaxim 1g vial/ 12 jam/ IV/ ST (-)
dan Crome (Carbazochrome sodium sulfonate) 5mg/ ml/ IV
3.7 Prognosis
Ad Bonam
3.8 Laporan Operasi
 Diagnosa Pra Bedah : Polip Nasi Dextra
 Diagnosa Pasca Bedah : Polip Nasi Dexta
 Nama Prosedur : Polipektomi
 Jaringan dikirim ke PA : Tidak ada
 Komplikasi Operasi : Perdarahan
 Jumlah Perdarahan : 20 cc
 Laporan Operasi
- Pasien baring terlentang dengan bius GA, ventilasi dengan ET
- Desinfeksi lapangan operasi dengan Betadin (Povidon iodin 10%) dan
Alkohol 70%.
- Pasang duk steril.
- Pasang spekulum hidung, tampak massa bening di cavum nasi dextra dapat
digerakkan dan bertangkai.
- Dengan polip tang dan snar polip dilakukan ekstirpasi polip di cavum nasi
sampai kesan bersih.
- Kontrol perdarahan, pasang tampon efedrin.
- Pasang tampon permanen dengan betadin dan salep Chloramfenicol.
- Operasi selesai, perdarahan selama operasi kurang lebih 20 cc.
26

3.9 Follow Up Pasien


Tanggal 05 Juni 2017
S O A P

Pre operasi. Pasien KU : TSS, CM Polip nasi dextra Advis


masuk rawat inap
di ruang Edelweis TTV :  Rencana

TD : 120/80 Polipektomi
mmHg, N : 80x/m, (5/06/2017) di
Keluhan hidung RR : 18x/m, t : OK IBS.
tersumbat (+), 36,8o
nyeri hidung (-),  Pasang IV line
Kep: CA -/-, SI -/- Chateter disisi
Hidung : Massa kanan.
dalam rongga
 1 jam pre Op :
hidung kanan,
dapat digerakkan. Injeksi
Cefotaxim 1 gr/
Coll: >>KBG (-),
12 jam/ IV
Tho: Simetris, Injeksi
retraksi (-), Carbazochrome
P: Ves +/+, rh-/-, Na Sulfonate 1
whee -/- amp/ IV pelan-
pelan
C: S1-S2 tunggal,
reg, m(-), g(-)

Abd: datar, supel,


BU (+) n

Eks: AH, CRT


<2”, edema (-)/(-)
Follow Up Post Post Operasi  IVFD RL +
KU : TSS, CM
OP H0 Polipektomi H0 drip
Nyeri hidung (+), TTV : Carbazochrome
tampon terpasang Na Sulfonate
baik, perdarahan (- TD : 120/80 10 cc : D5% =
), hidung bengkak mmHg, N : 92x/m, 2:1  20 tpm
(-), sesak napas (- RR : 22x/m, t :  Inj : Cefotaxim
1 gr/ 12jam/ IV/
).
27

36,6o vial
 Inj : Asam
Kep: CA -/-, SI -/- Tranexamat
500 mg/ 8 jam/
Hidung : IV/ amp
Terpasang tampon  Inj : Ranitidin
di cavum nasi (D). 50 mg/ 12 jam/
IV/ amp
Coll: >>KBG (-),  Inj : Ketorolac
30 mg/ 8 jam/
Tho: Simetris, IV/ amp
retraksi (-),  Inj :
Dexametason
P: Ves +/+, rh-/-, 5mg/ 12 jam/
whee -/- IV/ amp
 Sadar baik,
C: S1-S2 tunggal,
boleh minum
reg, m(-), g(-)
sedikit-sedikit.
Abd: datar, supel,  Diit biasa.
BU (+) n

Eks: AH, CRT


<2”, edema (-)/(-)
28

Tanggal 06 Juni 2017


S O A P

Post OP H1 KU : TSS, CM Post Op Advis


Polipektomi
TTV : Dextra H1  IVFD RL +
drip
Nyeri hidung (+), TD : 120/70 Carbazochrome
nyeri tekan sekitar mmHg, N : 86x/m, Na Sulfonate
hidung (+), RR : 22x/m, t : 10 cc : D5% =
perdarahan di 36,9o 2:1  20 tpm
lubang hidung (-  Inj : Cefotaxim
Kep: CA -/-, SI -/- 1 gr/ 12jam/ IV/
)/(-), gangguan
vial
penciuman (-), Hidung :  Inj : Asam
hidung bengkak (- Terpasang tampon Tranexamat
), demam (-), di cavum nasi (D). 500 mg/ 8 jam/
tampak sesak (-), IV/ amp
tampon terpasang Coll: >>KBG (-),  Inj : Ranitidin
baik. 50 mg/ 12 jam/
Tho: Simetris, IV/ amp
retraksi (-),  Inj : Ketorolac
30 mg/ 8 jam/
P: Ves +/+, rh-/-, IV/ amp
whee -/-
 Diit biasa.
C: S1-S2 tunggal,
reg, m(-), g(-)

Abd: datar, supel,


BU (+) n

Eks: AH, CRT


<2”, edema (-)/(-)

Hidung : Tampon Post Op  Rencana aff


Nyeri hidung
terpasang baik di Polipektomi tampon hidung
berkurang, (D)
perdarahan (-). cavum nasi (D), Dextra H1
darah (-)  Terapi lanjut
29

Tanggal 7 Juni 2017


S O A P

Post OP H2 KU : TSS, CM Post OP Advis


Polipektomi HII
TTV :  Asam
Tranexamat tab
Nyeri hidung (-), TD : 110/70 3x500 mg oral
nyeri tekan mmHg, N :  Metylprednisolon
sekitar hidung 78x/m, RR : 3x4 mg oral
(+), hidung 20x/m, t : 36,8o  Asam Mefenamat
bengkak (-), tab 3x500 mg oral
demam (-), sesak Kep: CA -/-, SI -  Bisa rawat jalan
(-), gangguan /-
penciuman (-), Hidung : Aff
perdarahan (-) tampon : darah (-
),

Coll: >>KBG (-),

Tho: Simetris,
retraksi (-),

P: Ves +/+, rh-/-,


whee -/-

C: S1-S2 tunggal,
reg, m(-), g(-)

Abd: datar, supel,


BU (+) n

Eks: AH, CRT


<2”, edema (-)/(-)
30

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan polip nasi dextra yang ditegakkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung
tersumbat serta riwayat pilek berulang sejak satu tahun yang lalu. Pilek disertai
pengeluaran sekret kental berwarna putih. Keluhan hidung tersumbat ini juga
disertai keluhan pusing yang sering dirasakan oleh pasien. Selain itu, pasien juga
mngeluhkan ada benjolan di rongga kedua hidung, namun keluhan mimisan
disangkal pasien. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada polip nasi memberikan
gejala berupa hidung terasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai
yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Di teori dijelaskan bahwa polip tumbuh dari meatus nasi medius yang
kadang-kadang dapat tumbuh ke belakang (polip antro-koana). Pada pasien ini
didapatkan adanya massa putih bertangkai seperti tetesan air (tear drop) pada
rongga hidung kanan tanpa keluhan mimisan, sehingga menunjang ke arah
diagnosis polip nasi.
Pasien telah diterapi dengan medikamentosa, tetapi pada follow up
selanjutnya tidak didapatkan pengurangan keluhan pada pasien. Hal ini
dikarenakan pasien datang dengan ukuran polip yang cukup besar sehingga
dipertimbangkan untuk tatalaksana operatif. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
bila polipektomi medikamentosa tidak berhasil atau sudah masuk ke grade 3 maka
dilakukan tindakan polipektomi operatif.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2011
2. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
2011
3. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-15
4. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media
Aesculapius FK-UI. 2011
5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia. 1989
6. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea &
Febiger 14th edition. Philadelphia. 1991
7. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics and
Clinical Risk Management 2012:4(2) 507–512
8. Polip Nasal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31926/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada 14 Juni 2017
9. Drake Lee AB. Nasal Polyps. In: Scott Brown’s Otolaryngology, Rhinology.
5th Ed Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR ests) Butterworths. London, 1987:
142-53
10. Darusman, Kianti Raisa. Referat: Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Trisaksi. 2002
11. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2013. Konsil Kedokteran Indonesia

Anda mungkin juga menyukai