Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

FESS

Disusun Oleh:
Mayya Fiqi Kamala 1102015129
Xshena Thanyea 1102015161
Yunni Anggraini 1102016231
Bazlina Zahra 1102016043
Nadya Safira 1102016151
Tifany Lazuardian Amiga 1102016216
Natasya Kriswandhany 1102015161

Pembimbing:
dr. Ritria Sitalaksmi, M.Biomed, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT


BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 22 NOVEMBER – 11 DESEMBER 2021
PENDAHULUAN

Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Gejala lokal berupa
obstruksi nasi, nasal discharge, nyeri kepala, nyeri wajah serta gangguan penghidu. Gejala
sistemik berupa malaise dan demam. Penatalaksanaan pada rinosinusitis kronis berupa
pemberian medikamentosa baik dekongestan, kortikosteroid sistemik maupun disertai dengan
tindakan operatif. Umumnya tindakan operatif dilakukan bila terdapat kegagalan terapi
medikamentosa.2
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah suatu tindakan bedah invasif
minimal yang dilakukan pada bagian dalam hidung dan sinus paranasalis dengan alat
endoskopi sehingga mengakibatkan terjadinya perlukaan mukosa pada hidung. FESS
bertujuan untuk menghilangkan mukosa inflamasi dan untuk mengembalikan ventilasi dan
drainase rongga sinus. FESS merupakan prosedur risiko rendah yang efektif untuk
rinosinusitis kronis.1
Prosedur bedah sinus endoskopik fungsional (FESS) dilakukan di bawah anestesi topikal
dengan sedasi dan seiring teknik bedah saat ini telah memungkinkan ahli bedah menjadi jauh
lebih agresif dengan tingkat reseksi mereka sehingga dapat juga dilakukan dengan anestesi
umum. Jika dilakukan dengan anestesi lokal, pasien akan sadar dan mampu memberi sinyal
segala jenis rasa sakit atau ketidaknyamanan, memperingatkan dan memungkinkan ahli
bedah untuk meminimalkan trauma dan komplikasi. Anestesi umum memiliki keuntungan
pada FESS yaitu bidang bedah tidak bergerak, perlindungan jalan napas yang efektif,
analgesia yang memadai, kenyamanan pasien. Saat ini, anestesi lokal masih dianggap cocok
untuk prosedur minor pada pasien tertentu, tetapi anestesi umum lebih disukai untuk sebagian
besar kasus untuk memenuhi kebutuhan bedah yang lebih aman.3

TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI FESS
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah prosedur risiko rendah yang
efektif untuk rinosinusitis kronis. FESS merupakan suatu tindakan bedah invasif
minimal yang dilakukan pada bagian dalam hidung dan sinus paranasalis dengan alat
endoskopi sehingga mengakibatkan terjadinya perlukaan mukosa pada hidung. FESS
bertujuan untuk menghilangkan mukosa inflamasi dan untuk mengembalikan ventilasi
dan drainase rongga sinus.1

INDIKASI FESS
Indikasi absolut tindakan FESS adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang
luas, rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif
tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren
simptomatik yang tidak respon dengan terapi medikamentosa. Selain itu ada beberapa
indikasi lain yaitu Sinusitis kronis yang refrakter terhadap perawatan medis, sinusitis
berulang,polip hidung,polip antrokoanal, mukokel sinus, eksisi tumor yang dipilih,
penutupan kebocoran cairan serebrospinal (CSF), dekompresi orbital (misalnya,
oftalmopati Graves), dekompresi saraf optik, dakriosistorinostomi (DCR), perbaikan
atresia choanal, pengangkatan benda asing, kontrol epistaksis.4,5

KONTRA INDIKASI FESS


Ada beberapa kontraindikasi dari FESS yaitu perdarahan, terbentuknya sinekia,
trauma orbital, diplopia, hematoma orbital, kebutaan, kebocoran CSF, cedera otak,
cedera ductus nasolakrimalis/epifora.5

JENIS ANESTESI FESS


 Anestesi Lokal atau Umum
Prosedur bedah sinus endoskopik fungsional (FESS) awalnya dilakukan di
bawah anestesi topikal dengan sedasi. Dengan cara ini, pasien akan sadar dan
mampu memberi sinyal segala jenis rasa sakit atau ketidaknyamanan,
memperingatkan dan memungkinkan ahli bedah untuk meminimalkan trauma
dan komplikasi. Saat ini, evolusi teknik bedah telah memungkinkan ahli bedah
menjadi jauh lebih agresif dengan tingkat reseksi mereka.3
Anestesi umum memiliki keuntungan pada FESS yaitu:
• Bidang bedah tidak bergerak
• Perlindungan jalan napas yang efektif
• Analgesia yang memadai
• Kenyamanan pasien.
Saat ini, anestesi lokal masih dianggap cocok untuk prosedur minor pada
pasien tertentu, tetapi anestesi umum lebih disukai untuk sebagian besar kasus
untuk memenuhi kebutuhan bedah yang lebih aman.3

II. ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. 6,7
- Hidung Bagian Luar6,7
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yang paling atas kubah tulang
yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge)
2) batang hidung (dorsum nasi)
3) puncak hidung (hip)
4) ala nasi
5) kolumela
6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubanghidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1) tulang hidung (os nasal)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilagonasalis lateralis inferior(ala mayor)
3) tepi anterior kartilago septum

- Hidung Bagian Dalam6,7


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.6,7

Gambar 1. Anatomi Hidung


Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina
perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka
inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat muara
duktus nasolakrimalis. 6,7
Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang
dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan
dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior,
sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area
olfaktorius. Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri
etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem
vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran
infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksila nervus trigeminus. 6,7

Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.
Sinusparanasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus
paranasal, empat buah pada masing -masing sisi hidung sinus frontalis kanan
dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila,
yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis
kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing. 6,7

Gambar 2. Sinus Paranasal

Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok


sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur
semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus
frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur
yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang
akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus. 6,7
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar ke
dua, gigi molar pertama dan ke dua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses supuratif di sekitar gigi
tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila membawa mukus
dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila
dilayani oleh cabang a. maksila interna yaitu a. infraorbita, a. sfenopalatina cabang
nasal lateral, a. palatina descendens, a. alveolar superior anterior dan posterior.
Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan
cabang alveolar superior n. Infraorbital. 6,7
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid
anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal. Perdarahan
dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena
dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang
supratrokhlear dan supraorita n. V1. 6,7
Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke infundibulum
di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke meatus superior.
Cabang nasal a. sfenopalatina dan a. etmoid anterior dan posterior, cabang a.
oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya
menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2
dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1. 6,7
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu
pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu
n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di
posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis
superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh
cabang a. sfenopalatina dan a. etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh
cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7

III. INSTRUMEN
 ALAT UNTUK ANESTESI8 :
 Stetoskop, Laringoskop
 Endotracheal Tube (ETT) ukuran (4) (4.5) (5)
 Mesin Ventilator
 Sungkup ukuran 2
 Ambu bag Jackson rees 0,5 L
 Oropharyngeal Airway
 Plester / Tape
 Mandrin / Stillete
 Spuit 10 cc
 Suction

 PERSIAPAN OBAT8 :
 Fentanyl 100 mcg/2ml
 Propofol 10 mg
 Rocuronium 50 mg
 Piralen 1 amp
 Tranex 1 amp
 Catapres 50 mg
 Dexamethasone 10 mg
 Toramine 30 mg
 Tramadol 100 mg
 Isoflurane 70 cc
 Sulfas Atropin 0,5 mg
 Transamin 500 mg
 Prostigmin 1 mg

 ALAT UNTUK BEDAH8


Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan intrumen operasi yang
sesuai. Peralatan endoskopi yang digunakan sebagai berikut:
 Teleskop 4 mm
 Light source
 Cable light
 Sistem kamera
 Monitor
 Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8 mm, Luer lock)
 Suction lurus
 Suction bengkok
 Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)
 Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps cutting
straight)
 Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps)
 Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal
Forceps cutting upturned)
 Cunam Backbitting
 Ostium seeker
 Trokar sinus maksila
 J Curette
 Kuhn Curette
 Girrafe Fcps dbl act jaws 3mm
 Girrafe Fcps dbl act jaws 3mm
 Stammberger Punch

IV. PERSIAPAN PRE OPERATIF ANESTESI


PRE OPERASI
- Evaluasi Pre Operatif9,10
Evaluasi terlebih dahulu status presen termasuk riwayat medis sebelum melakukan
pembedahan, informed consent anamnesis, pemeriksaan generalis dengan
pemantauan khusus untuk gangguan pada jalan nafas sebelum dilakukan rencana
anestesi pada operasi di daerah leher. Beberapa evaluasi praoperatif yang dapat
dilakukan, meliputi9,10:
1. Penilaian status pasien, yaitu penilaian kesadaran, frekuensi nafas, tekanan
darah, nadi, suhu tubuh, berat, dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/indeks massa tubuh. 9,10
2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
lain sesuai dengan indikasi, meliputi pemeriksaan status:
 Pemeriksaan fisik9,10
1. Psikis: melihat dari suasana hati pasien, seperti gelisah, takut, atau
kesakitan.
2. Saraf (otak, medulla spinalis, dan saraf tepi): kehilangan kesadaran,
kejang, paralisis, tremor atau gerakan involunter lainnya.
3. Kardiovaskuler: evaluasi apakah terdapat gangguan pada jantung, seperti
murmur jantung, nyeri dada atau rasa tidak nyaman, palpitasi, dispnea,
ortopnea, nocturnal paroksimal, edema, riwayat hasil pemeriksaan jantung
elektrokardiografi.
4. Respirasi:batuk,dahak(warna,kuantitas),hemoptisis,dispnea, mengi,
pleuritis, riwayat melakukan X-Ray. Evaluasi gangguan suara seperti suara
serak, stridor, dan hemoptisis. Masalah umum pada laring dan faring,
seperti sakit tenggorokan, adanya benda asing, tidur apnea, suara stridor.
Pemeriksaan faring, dan laring dapat dilakukan dengan menggunakan
endoskopi. Pada leher dilakukan pemeriksaan fisik dengan melihat apakah
ditemukan nodul tiroid, massa, kekakuan pada leher, dan lakukan evaluasi
struktur anatomi permukaan leher yang normal, seperti arteri karotis,
kelenjar tiroid, kelenjar saliva, struktur laring. Lakukan juga evaluasi
khusus terhadap jalan nafas, apakah anatomi saluran nafas abnormal,
struktur jalan nafas terdistorsi, aspirasi benda asing pada tubuh, trauma
pada saluran aerodigestif, papillomas, trakea stenosis, tumor, dan disfungsi
pita suara.
5. Hemodinamik: tanda-tanda vital.
6. Penyakit darah: anemia, mudah memar atau perdarahan, dan memiliki
riwayat transfusi darah sebelumnya.
7. Kulit: ruam, benjolan, luka, gatal-gatal, perubahan warna, perubahan
rambut atau kuku.
8. Gastrointestinal: dapat melakukan evaluasi dengan melihat apakah
kesulitan menelan, nyeri ulu hati, nafsu makan, mual, buang air besar
(warna dan ukuran tinja), perubahan kebiasaan buang air besar, perdarahan
rektum atau tinja berwarna hitam, wasir, sembelit, diare, sakit perut,
intoleransi makanan, penyakit kuning, hati atau masalah kandung empedu.
9. Hepato-bilier
10. Urogenital, dan saluran kencing: frekuensi buang air kecil, poliuria,
nokturia, urgensi, rasa terbakar atau nyeri saat buang air kecil, hematuria,
haid, infeksi saluran kencing, batu ginjal, dan inkontinensia. Genital pada
laki-laki: hernia, keluarnya cairan atau luka pada penis, nyeri testis atau
massa, riwayat penyakit menular seksual, riwayat perawatan sebelumnya,
kebiasaan seksual, dan apakah terpapar infeksi HIV. Sedangkan genital
pada perempuan dapat mengevaluasi dengan melihat usia saat haid
pertama (keteraturan, frekuensi, dan durasi periode haid), jumlah
perdarahan saat perdarahan antara periode atau setelah hubungan seksual,
haid terakhir, dismenore, apabila pasien berusia tua dapat ditambah dengan
melihat usia menopause, dan gejala menopause, perdarahaan saat menuju
menopause.
11. Metabolik, dan endokrin: masalah tiroid, intoleransi panas atau dingin,
keringat berlebihan, rasa haus yang berlebihan atau kelaparan, poliuria.
12. Muskuloskeletal: nyeri atau kaku pada otot dan sendi, artritis, asam urat,
adanya pembengkakan, kemerahan, tenderness, kelemahan atau
terbatasnya gerakan, termasuk waktu gejala muncul (misalnya, gejala
muncul saat pagi atau malam), durasi gejala, dan memiliki riwayat trauma.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk operasi
kecil, dan sedang. Hal-hal yang dapat diperiksa, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium lengkap, meliputi: fungsi hati, fungsi ginjal,
analisis gas darah, elektrolit, hematologi, dan faal hemostasis lengkap,
sesuai dengan indikasi.
2. Pemeriksaan radiologi: foto thoraks, dan yang lainnya sesuai indikasi

PERSIAPAN PRE OPERASI


Persiapan pada pasien rawat jalan di poliklinik dan di rumah9,10:
a. Persiapan psikis: berikan penjelasan pada pasien, dan keluarganya supaya
mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga
dengan demikian diharapkan pasien dan keluarganya bias tenang. 
Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan9,10: 
a. Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, minuman keras, dan obat-
obatan tertentu minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak
evaluasi pertama kali di poliklinik. 
b. Melepas segala macam aksesoris. 
c. Tidak menggunakan kosmetik 
d. Lakukan puasa sebelum pembedahan 

PERSIAPAN KHUSUS
Pasien yang menjalani pembedahan pada daerah leher memiliki masalah lain
yang dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas, misal ukuran dan lokasi tumor.
Pasien dengan tumor faringolaringeal sering terdapat residu sisa- sisa makanan pada
laringoskopi yang dapat mengganggu visual. Pada umumnya pasien dengan kanker
pada daerah kepala dan leher dapat menyebabkan kontraktur yang dihasilkan dari
pengobatan sebelumnya, terdapat kecacatan eksternal yang jelas dan memiliki
gerakan yang terbatas, seperti ekstensi leher terbatas. Kekakuan, dan distorsi pada
jaringan orofaringeal dapat mengganggu ventilasi sungkup muka. Pasien dengan
pembedahan pada daerah leher harus memperhatikan jalan nafas dengan melakukan
pemeriksaan jalan nafas diantaranya penilaian gerakan leher di semua bagian
(terutama antlanto-aksial fleksi, dan ekstensi), estimasi jarak tiromental, dan tingkat
mallampati.Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal, dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi, diantaranya9,10: 
Ø  Mallampati gradasi I : tampak adanya pilar faring, uvula, dan palatum molle. 
Ø  Mallampati gradasi II : tampak adanya uvula, dan palatum molle. 
Ø  Mallampati gradasi III: hanya tampak palatum molle. 
Ø  Mallampati gradasi IV: tidak tampak adanya pilar faring, uvula, dan palatum
molle. 
Klasifikasi Status Fisik Anestesia9,10
 ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
 ASA 2 : pasien penyakit bedah  disertai penyakit sistemik ringan sampai sedang
 ASA 3 : pasien penyakit bedah  disertai penyakit sistemik berat yang disebabkan
karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
 ASA 4 : pasien penyakit bedah  disertai penyakit sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya
 ASA 5 : pasien penyakit bedah  disertai penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi atau tidak dalam 24 jam akan meninggal.
Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) Pasien diterima oleh
petugas khusus kamar persiapan. 9,10
Ø  Di kamar persiapan dilakukan: 
Ø  Evaluasi ulang status pasien, dan catatan medik pasien serta perlengkapan
lainnya. Konsultasi di tempat apabila diperlukan.
Ø  Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi. 
Ø  Memberi premedikasi.
Ø  Memasang infus. 

V. TEKNIK FESS DAN ANESTESI PADA FESS


1. TEKNIK FESS
Endoskopi hidung dilakukan dengan kemiringan scope 0 atau 30 derajat.
Kemudian, dinding nasal lateral dekat uncinatus dan turbinat media 
diinfiltrasi dengan lidokain 1% dan epinefrin 1:100.000 menggunakan spuit 3
ml dan jarum 27 gauge. Setelah itu, kapas tampon yang telah direndam
oxymetazoline ditempatkan di meatus media (beberapa ahli bedah lebih
memilih larutan kokain 4%). Sisi yang akan dioperasi lebih dahulu biasanya
sisi yang lebih banyak penyakitnya atau sisi yang lebih terbuka jika terdapat
deviasi septum ke satu sisi.11
a. Eksisi konka bulosa
Konka bulosa di dalam konka media kadang-kadang dapat muncul; eksisi sel
ini merupakan langkah pertama untuk mendapatkan akses yang lebih baik ke
dinding lateral nasal. Sayatan di bagian anterior turbinat media dilakukan
dengan menggunakan pisau lengkung yang tajam, dan bagian lateral turbinat
dihilangkan. 11
b. Uncinektomi
Turbinat media diarahkan ke medial dengan lembut menggunakan elevator
Freer untuk mengakses procesus uncinatus. Uncinektomi dapat dilakukan
secara retrograde di mana uncinatus diidentifikasi dan diarahkan ke medial
dari lamina papyracea menggunakan probe jenis ball tip. Sebuah backbiter
digunakan untuk memotong uncinatus inferior untuk menghindari cedera pada
dinding orbita bagian medial. Forsep Blakesley digunakan untuk mengambil
dan menghapus tepi bebas dari uncinatus. Sisa dari prosesus uncinatus
dihilangkan dengan menggunakan instrumen aligator atau debrider sampai
ostium rahang atas terlihat. Pendekatan lain untuk uncinektomi adalah dengan
melakukan sayatan pada prosesus uncinatus menggunakan pisau lengkung atau
ujung tajam elevator Freer. 11
c. Antrostomi maksilaris
Ostium sinus maksilaris dapat terlihat berbentuk elips di bagian bawah
infundibulum  setelah uncinatus dikeluarkan. Sinus maksilaris dilihat dengan
menggunakan probe jenis ball tip dan paling baik divisualisasikan dengan
kemiringan scope 30 atau 45 derajat. Setelah letaknya dipastikan, ostium
diperbesar menggunakan forsep, puncher, dan debrider. Ostium diperbesar ke
arah posterior dan inferior untuk menghindari cedera pada orbita superior dan
duktus nasolakrimalis di anterior. 11
d. Etmoidektomi
Etmoidektomi dapat dilakukan dengan menggunakan kemiringan scope 0 atau
30 derajat. Sel yang pertama kali ditemui di sinus ethmoid adalah bulla
ethmoid. Sel besar ini ditembus medial dan inferior menggunakan debrider,
kuret, atau forsep, atau dapat dikeluarkan secara retrograde dari ruang
retrobullar. Lamina papyracea diidentifikasi untuk mempertahankan
mukosanya. Diseksi harus dilakukan ke posterior sampai lamela basal terlihat
dan ditembus. Sel-sel ethmoid posterior yang terdapat di posterior lamella
basal dibuka antara turbinat media dan superior ke arah medial sedangkan
lamina papyracea ke arah lateral. Setelah dasar tengkorak diidentifikasi secara
posterior dari muka sphenoid, kemudian diseksi sel ethmoid dilanjutkan dari
posterior ke anterior, septa dihilangkan ketika diseksi bergerak maju. Probe
dengan kemiringan 45 derajat dapat digunakan saat membedah sel superior.
Hal yang sangat penting untuk diidentifikasi sebelum dilakukan diseksi
superior yaitu adanya celah pada lamina payracea, arteri ethmoid, dan dasar
tengkorak dengan penglihatan secara langsung (atau dengan navigasi, jika
digunakan). Selain itu, penting untuk tidak membedah ke arah medial
padaperlekatan superior dari turbinat media untuk menghindari penetrasi fovea
ethmoidalis. 11
e. Sfenoidotomi
Ostium sfenoid dapat diidentifikasi dengan baik secara transnasal ke arah
turbinat media atau transethmoidal lateral ke arah turbinat media. Secara
transethmoid, ostium sfenoid terlihat pada bagian infero-medial dari ethmoid
posterior. Bagian inferior dari turbinat superior kadang-kadang diangkat untuk
mendapatkan visualisasi yang lebih baik dari spheno-ethmoidal dan ostium
sfenoid. Ostium diidentifikasi dengan menggeser probe secara perlahan di
sepanjang permukaan sphenoid. Probe akan meluncur ke ostium jika telah
tercapai. Setelah diidentifikasi, ostium diperbesar ke arah inferior
menggunakan instrumen atau kuret Kerrison. Sfenoidotomi kemudian dapat
diperlebar dengan debrider. 11
f. Sinusotomi frontal
Sinus frontal adalah sinus terakhir yang harus ditangani untuk mencegah
perdarahan dari area reses frontal yang dapat menghalangi visualisasi. Sinus
ini juga memiliki anatomi yang kompleks; oleh karena itu, navigasi sangat
membantu saat mendekati reses frontal. Kemiringan probe yang digunakan
untuk visualisasi yang lebih baik saat membedah yaitu 45 atau 70 derajat.
Dinding posterior sel agger nasi menghalangi aliran keluar dari sinus frontal.
Bagian tersebut dibedah dengan hati-hati untuk menghilangkan obstruksi.
Seperti disebutkan di bagian anatomi, uncinatus dapat memiliki perlekatan
superior yang bervariasi. Ketika prosesus uncinatus menempel pada konka
media, sinus frontal mengalir ke infundibulum; oleh karena itu, bagian
superior dari uncinatus harus dihilangkan untuk mendapatkan akses ke reses
frontal. Sebuah probe frontal membantu mengidentifikasi reses frontal,
kemudian kuret melengkung digunakan untuk menghilangkan septa,
membedah sel frontal, dan memperlebar reses frontal. 11
Dari semua langkah di atas, menyisakan sebagian mukosa dapat
mengurangi risiko jaringan parut pasca operasi dan osteogenesis. Lampiran
vertikal dan horizontal pada turbinat media harus dipertahankan untuk
menghindari destabilisasi turbin. Dalam kasus destabilisasi, ada risiko tinggi
terjadinya lateralisasi turbinat yang dapat menyebabkan jaringan parut dan
obstruksi drainase sinus. Untuk menghindari lateralisasi, bagian anterior
turbinat dapat diangkat, kemudian penjahitan turbinat pada septum dapat
dilakukan, atau nasal packing dapat ditempatkan di meatus media. Pilihan ini
akan membantu menjaga turbin pada posisi medial. Pada akhir prosedur,
setiap sekat tulang yang tersisa diangkat, dan stabilisasi hemostasis. 11

2. TEKNIK ANESTESI PADA FESS


FESS awalnya dilakukan di bawah anestesi topikal dengan sedasi.
Dengan cara ini, pasien akan sadar dan mampu menandakan segala jenis rasa
sakit atau ketidaknyamanan, mengingatkan dan memungkinkan ahli bedah
untuk meminimalkan trauma dan komplikasi. Di masa sekarang, evolusi
teknik bedah telah memungkinkan ahli bedah menjadi jauh lebih agresif
dengan tingkat reseksi mereka. Anestesi umum lebih memungkinkan bidang
bedah tidak bergerak, perlindungan jalan napas yang efektif, analgesia yang
memadai, dan kenyamanan pasien. Saat ini, anestesi lokal masih dianggap
cocok untuk prosedur minor pada pasien tertentu, tetapi anestesi umum lebih
disukai untuk sebagian besar kasus yang lebih sulit. 12
FESS dilakukan dengan anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakeal di sebelah kiri sudut mulut untuk ahli bedah pengguna tangan
kanan yang berdiri di sisi kanan tempat tidur. Tabung dan filter endotrakeal
harus keluar dari jalan endoskopi atau instrumen. Pasien ditempatkan posisi
supine, baik datar atau sedikit fleksi hingga sudut 15 derajat, atau sedikit
diputar ke arah ahli bedah. Lumasi kornea, tutup mata dan tutupi dengan
perekat bening. Ahli anestesi harus mengoptimalkan bidang bedah dengan
menjaga pasien normotensif dengan detak jantung yang lambat. Pada suatu
studi lebih memilih Total intravenous anesthesia (TIVA). TIVA dicapai
dengan infus kontinu dari propofol dan opioid. Remifentanil dipilih karena
kemampuannya untuk menurunkan laju jantung (dan dengan demikian cardiac
output [CO]), dan waktu paruhnya sangat pendek. Manfaat yang didapatkan
dari TIVA adalah infus propofol menyebabkan penurunan perfusi serebral
sehingga penurunan tekanan perfusi ke rongga hidung melalui arteri
etmoidalis anterior dan posterior.12

VI. MANAJEMEN INTRA OPERASI


Penanganan intraoperatif merupakan suatu kesinambungan dari penanganan
preoperatif. Seperti halnya penanganan preoperatif, penanganan intraoperatif juga
bertujuan utama untuk menghindari terjadinya krisis hipertensi yang dapat
mengakibatkan perdarahan dan infark organorgan vital, gagal jantung kongestif,
disritmia jantung, dan bahkan kematian.
Pada operasi hidung dan nasal dapat dilakukan anestesi local dengan sedasi,
dimana nervus yang dapat diblok yaitu nervus ethmoidalis anterior dan
sphenopalatine dimana nervus tersbeut memberikan saraf sensorik pada septum
nasi dan dinding lateral. Keduanya dapat diblok dengan membungkus hidung
dengan kain kasa atau cotton-tipped yang dibasahi dengan anestesi local. Anestesi
topical harus dibiarkan setidaknya selama 10 menit sebelum instrumentasi dicoba.
Suplementasi dengan injeksi submucosa dengan local anestesi biasanya
diperlukan. Penggunaan larutan yang mengandung epinefrin atau kokain akan
mengecilkan mukosa hidung dan berpotensi menurunkan kehilangan darah
intraoperatif. Kokain intranasal (dosis maksimum, 3 mg/kg) diabsorpsi dengan
cepat, mencapai kadar puncak dalam 30 menit, dan mungkin berhubungan dengan
efek samping kardiovaskular.
Anestesi umum lebih sering disukai untuk operasi hidung karena rasa
ketidaknyamanan dan blok yang tidak lengkap yang mungkin disertai anestesi
topikal. Pertimbangan khusus selama dan setelah induksi termasuk menggunakan
jalan napas oral selama ventilasi masker wajah untuk mengurangi efek obstruksi
hidung, intubasi dengan tabung endotrakeal oral Mallinckrodt RAE (Ring-Adair-
Elwyn) yang diperkuat atau dibentuk sebelumnya dan menyelipkan lengan pasien,
dengan perlindungan jari, ke samping. Karena kedekatan bidang bedah, penting
untuk menutup mata pasien dengan plester untuk menghindari abrasi kornea. Satu
pengecualian untuk hal ini terjadi selama diseksi pada bedah sinus endoskopi,
ketika ahli bedah mungkin ingin memeriksa pergerakan mata secara berkala
karena kedekatan sinus dan orbit; meskipun demikian, mata harus tetap
terlindungi sampai ahli bedah siap untuk mengamatinya. NMB sering digunakan
karena potensi cedera neurologis atau oftalmik yang mungkin terjadi jika pasien
bergerak selama instrumentasi sinus.
Teknik untuk meminimalkan kehilangan darah saat intraoperatif yaitu
termasuk vasokonstriksi topikal dengan kokain atau anestesi lokal yang
mengandung epinefrin, mempertahankan sedikit posisi kepala, dan memberikan
derajat ringan hipotensi terkontrol. Posterior pharyngeal pack sering ditempatkan
untuk membatasi risiko aspirasi darah. Meskipun tindakan pencegahan ini, ahli
anestesi harus siap untuk kehilangan darah besar, terutama selama reseksi tumor
vaskular (misalnya, angiofibroma nasofaring juvenil). 13
Penting untuk menutup mata pasien untuk menghindari abrasi kornea.. Satu
pengecualian untuk hal ini terjadi selama diseksi pada bedah sinus endoskopi,
ketika ahli bedah mungkin ingin memeriksa pergerakan mata secara berkala
karena kedekatan sinus dan orbit, meskipun demikian, mata harus tetap
terlindungi sampai ahli bedah siap untuk mengamatinya. NMB sering digunakan
karena potensi cedera neurologis atau oftalmik yang mungkin terjadi jika pasien
bergerak selama instrumentasi sinus. 13
Batuk atau mengejan saat muncul dari anestesi dan ekstubasi harus dihindari,
karena kejadian ini akan meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan
perdarahan pasca operasi. Namun, strategi ekstubasi yang relatif dalam yang
umum dan tepat digunakan untuk mencapai tujuan ini juga dapat meningkatkan
risiko aspirasi.13

VII. KONTRA INDIKASI FESS


Kontraindikasi untuk FESS termasuk pasien yang memiliki kontraindikasi
untuk anestesi umum atau anestesi lokal. Juga, kontraindikasi untuk operasi
endoskopi murni termasuk lesi/patologi yang meluas ke langit-langit mulut,
kulit/jaringan lunak, lateral ke dalam atau di atas orbital, lateral sinus frontal, atau
keterlibatan intrakranial lanjut.14
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk anestesi umum selain pasien yang
menolak untuk dilakukan anestesi umum. Namun, ada banyak kontraindikasi
relatif. Kontraindikasi relatif termasuk pasien dengan kondisi medis yang tidak
dioptimalkan sebelum operasi elektif, pasien dengan kesulitan jalan napas, atau
komorbiditas signifikan lainnya (stenosis aorta parah, penyakit paru signifikan,
CHF, dll.), pasien yang masih dapat dilakukan dengan regional anestesi atau
teknik neuraksial, sehingga lebih menghindari manipulasi jalan napas dan
perubahan fisiologis yang terkait dengan anestesi umum. Pasien yang berencana
untuk menjalani anestesi umum harus menjalani evaluasi pra operasi oleh
penyedia anestesi. Evaluasi ini melibatkan tinjauan riwayat anestesi pasien
sebelumnya, komorbiditas medis, fungsi jantung/paru/ginjal, dan status
kehamilan/merokok. Kondisi medis pasien dimaksimalkan sebelum operasi jika
memungkinkan. Misalnya, pasien dengan angina tidak stabil harus menjalani
kateterisasi jantung atau bypass sebelum operasi elektif apapun. Meskipun bukan
merupakan kontraindikasi untuk anestesi umum, sangat penting untuk
menentukan apakah pasien memiliki riwayat pribadi, atau keluarga, hipertermia
maligna dan defisiensi pseudokolinesterase karena kondisi medis ini memerlukan
perencanaan lanjutan untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas pasien jika
memerlukan anestesi umum.14

VIII. KOMPLIKASI FESS


Orbital berisiko mengalami komplikasi selama FESS karena: mengikuti
hubungan anatomi klinis yang penting dengan PNS (Para Nasal Sinus) dan dasar
tengkorak5:
1. Orbit adalah batas lateral daerah ethmoid.
2. LP (Lamina Papyracea) adalah tulang yang tipis dan mudah retak sehingga
mengakibatkan herniasi lemak, perdarahan intra-orbita dan kerusakan
EOM (Extraocular Muscles).
3. Cedera dasar tengkorak yaitu, komplikasi intrakranial dan kebocoran
cairan serebrospinal (CSF) biasanya hasil dari penetrasi cribriform dan
dura, sering menutup ke arteri ethmoid anterior.
4. Di posterior, ON (Optic Nerve) berisiko karena terletak pada bidang yang
lebih medial, dan lebih dekat ke dinding lateral ethmoid posterior dan
sinus sfenoid.
5. Duktus lakrimalis rentan terhadap kerusakan karena letaknya tepat anterior
dari prosesus uncinatus.
Keterlibatan orbital dalam operasi sinus endoskopik terjadi pada 0,5% 64
hingga 3% dari semua prosedur, dan mewakili 16% hingga 50% dari semua
komplikasi. Risiko paling umum yang dihadapi dalam endoskopi operasi sinus
termasuk perdarahan, infeksi, cedera pada mata dan adneksanya, kebocoran cairan
serebrospinal, anosmia, dll. Sebagian besar orbital komplikasi terjadi ketika ujung
pemotongan hisap yang luar biasa ini instrumen bertenaga secara tidak sengaja
salah arah ke orbit atau secara intrakranial. Banyak cedera orbital kecil yang
seharusnya sepele dengan instrumen konvensional berubah menjadi komplikasi
besar ketika power dissection atau suction digunakan. Jika operasi tidak
dihentikan pada tahap ini, kekuatan hisap di ujung instrumen dapat menarik
jaringan yang terbuka, dan kemudian terputus oleh pemotongan, dan rotasi
rahang. Ini dapat mencakup otot rektus medial dan ON juga. Secara keseluruhan
komplikasi orbital FESS dapat dibagi menjadi: komplikasi minor dan mayor.
Komplikasi kecil meliputi; ekimosis periorbital, emfisema orbital, diplopia
sementara, edema dan pembentukan lipogranuloma. Komplikasi utama meliputi;
Cedera otot ekstraokular, diplopia persisten, cedera duktus nasolakrimalis,
perdarahan orbital atau hematoma, benda asing orbital, cedera saraf optik,
kebutaan, abses subperiosteal, abses jaringan orbital, orbital selulitis, trombosis
sinus kavernosus, enophthalmos, cedera pada struktur vaskular dan saraf orbit,
dan orbital emfisema yang menyebabkan kebutaan. 5

IX. PERAWATAN PASCA OPERASI


Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pemulihan atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Recovery room merupakan batu
loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya. Untuk memindahkan pasien dari recovery room ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete
score dan Steward score, dimana cara Steward score diterapkan untuk pasien
anak-anak, dan Aldrete score untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan Bromage score.

Tabel 1. Aldrete scoring


Tabel 2. Steward  scoring

Tabel 3. Bromage scoring

Perawatan paska Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) sangat penting


dan berbeda setiap individu. Penggunaan tamponasi (nasal packing) dianjurkan
oleh beberapa peneliti. Jika memakai tampon harus diangkat antara 1-7 hari paska
operasi atau rata-rata 2-3 hari untuk hemostat. Biasanya 1 minggu paska operatif
mulai melakukan aspirasi sekresi luka dan melepaskan atau mengangkat krusta
dengan instrumen dibawah pandangan endoskopi dengan menggunakan teleskop. 
Sebaiknya tidak ada trauma baru yang terjadi selama melakukan prosedur ini. 
Operasi rongga hidung membutuhkan pembersihan sesudah pengangkatan
tampon, menggunakan cairan saline (NaCI 0,9%) untuk melembabkan bekuan
darah dan krusta-krusta akibat operasi. Semua pasien paska operatif endoskopi
dilakukan cuci hidung dan diberikan terapi medikamentosa dan follow up selama
minimal 3 bulan. Penilaian gejala klinis dan pemeriksaan endoskopi dilakukan
bervariasi dan berbeda setiap individu dan dinilai setiap 2 minggu, 1 bulan, 2
bulan dan 3 bulan paska operatif. Ada 2 situasi dimana dibutuhkan perawatan
paska operasi yang lebih panjang jika pembedahan pada resesus frontalis dan
ostium sinus frontal, misalnya terhalangi jaringan parut yang hebat oleh karena
operasi sebelumnya karena adanya massa.
Perawatan lokal terhadap mukosa termasuk debridemen krusta
dibawah anestesi lokal, juga untuk membuka sinekia jika mulai terbentuk dan
suctioning ostium yang baru (neo ostium). Edema mukosa hidung dan
pembentukan jaringan granulasi dapat diterapi dengan pemberian antibiotik dan
kortikosteroid. 

X. KESIMPULAN
Tindakan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu
tindakan bedah invasif minimal yang dilakukan pada bagian dalam hidung dan
sinus paranasalis dengan alat endoskopi pada pasien dengan rhinosinusitis kronis
yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa. FESS bertujuan untuk
menghilangkan mukosa inflamasi dan untuk mengembalikan ventilasi dan
drainase rongga sinus. Selain pada rhinosinusitis kronis FESS jug bisa di
indikasikan pada penyakit polip hidung,polip antrokoanal, mukokel sinus, eksisi
tumor yang dipilih, penutupan kebocoran CSF, dekompresi orbital, dekompresi
saraf optik, dakriosistorinostomi, perbaikan atresia choanal, pengangkatan benda
asing, dan kontrol epistaksis.
Jenis anestesi yang dapat dilakukan yaitu anestesi local dengan sedasi dan
anestesi umum. Saat ini anestesi lokal masih dianggap cocok untuk prosedur
minor pada pasien tertentu, tetapi anestesi umum lebih disukai untuk sebagian
besar kasus yang lebih sulit dan lebih memiliki keuntungan berupa
memungkinkan bidang bedah tidak bergerak, perlindungan jalan napas yang
efektif, analgesia yang memadai, dan kenyamanan pasien.
Sebelum dilakukannya tindakan FESS pentingnya untuk mengevaluasi pre
operatif untuk mengkaji, merencanakan, memenuhi kebutuhan pasien mengetahui
akibat tindakan anestesi serta mengantisipasi dan menanggulangi kesulitan yang
akan muncul. Manajemen intra operatif juga diperlukan untuk mengurangi resiko
perdarahan dan memantau fungsi vital pasien selama anestesi agar pembedahan
dapat berjalan lancar dan baik. Fase pasca operatif diperlukan untuk pemulihan
dan perawatan pasien pasca operasi agar mencegah dan mengatasi komplikasi
yang dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carlton, Daniel A.; Govindaraj, Satish (2016). Anesthesia for functional endoscopic
sinus surgery. Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery, (), 1–.
doi:10.1097/MOO.0000000000000322
2. Irfandi D, Ambriani D, Vitresia H. Penatalaksanaan Multirinosinusitis Kronis dengan
Komplikasi Abses Subperiosteal Sinistra. Jurnal Kesehatan Andalas. 2020;9(4):466-475
3. Virappa, P. 2015. Anesthetic Considerations in Functional Endoscopic Sinus Surgery.
10.5005/jp-journals-10003-1182. Anesthetic Considerations in Functional Endoscopic
Sinus Surgery. Department of Anesthesia, BYL Nair Hospital and TN Medical
College, Mumbai, Maharashtra, India.
4. Budiman, B. J., & Rosalinda, R. 2013. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi
Pada Rinosinusitis Kronis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
5. Al-Mujaini, A., Wali, U., & Alkhabori, M. 2009. Functional endoscopic sinus
surgery: indications and complications in the ophthalmic field. Oman medical journal,
24(2), 70. doi : https://dx.doi.org/10.5001%2Fomj.2009.18
6. Krouse, John H, Robert JS. 2006. Anatomy and physiology of paranasal sinuses.
Dalam: Itzhak Brook eds. Sinusitis from microbioology to management. New York:
Taylor and Francis Group LLC
7. 2. Ballenger, J.J. 2016. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher.
Tangerang: Binarupa Aksara.
8. HTA Indonesia_2006_Fuctional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 24/52
9. Bickley LS, Szilagyi PG. 2013. Bates Guide to Physical Examination and History
Taking. Edisi 11. Aptara, Inc.
10. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. PT Indeks;
2017.
11. Homsi MT, dan Gaffey MM. Sinus Endoscopic Surgery. Statpearls Publishing. 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563202/ diakses pada 8 Januari 2022.
12. Ubale PV. Anesthetic Considerations in Functional Endoscopic Sinus Surgery.
Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal, 2015; 7(1): 22-27.
13. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2018. Intraoperative Management . In :
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill,
2018.
14. Smith G, D'Cruz JR, Rondeau B, et al. General Anesthesia for Surgeons. [Updated
2021 Oct 12]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022

Anda mungkin juga menyukai