Oleh:
Mega Gusti Ayu 1010313083
Rahmi Fitri 1210312116
Dian Pratiwi Burnama 1210313001
Tiara Ledita 1210313059
Preseptor:
dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH,FINASIM
2
resusitasi cairan dimulai sejak tahap awal, syok biasanya reversibel, dan setelah
masalah kebocoran plasma teratasi, pasien dapat sembuh dengan baik.
Rekomendasi dari WHO adalah pergantian volume inisial dengan cairan kristaloid
diikuti dengan plasma atau koloid pada pasien dengan syok. (6)
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta
adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Departemen
kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada
awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui
pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang
ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua
metode tersebut sampai sekarang belum memeperlihatkan hasil yang memuaskan.
Titik berat upaya pemberantasan vektor demam berdarah oleh masyarakat dengan
melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ). (2)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi
karena peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari
intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume
intravaskuler dan hipoksemia.
Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun,
antara hari ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma, seperti efusi cairan
serosa ke rongga pleura dan peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi
dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena,
preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi
disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. (1,2)
Pada fase awal sindrom syok dengue, fungsi organ vital dipertahankan
dari hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi,
vasokonstriksi, penguatan kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan
hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non esensial di kulit
yang menyebabkan sianosis, penurunan suhu permukaan tubuh dan
pemanjangan waktu pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu kulit dan
suhu tubuh yang >2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh.
Pada tahap sindrom syok dengue kompensasi, curah jantung dan tekanan
darah normal kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok
dengue, berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan
hemodinamik sudah berat, sudah terjadi dekompensasi.
Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam
syok yang ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi
cepat lemah, tekanan nadi ≤ 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien
masih dalam keadaan sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. (2)
4
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme
homeostasis. Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi
miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu,
dan terjadi iskemia jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan
ireversibel, terjadi kerusakan sel dan organ dan pasien akan meninggal dalam
12-24jam. (11)
Virus dengue
5
siang hari. Mereka beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal
manusia, dalam kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari sebelum timbul demam. (2)
6
2.5 EPIDEMIOLOGI (3,4,5,13)
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue
secara simultan atau berurutan ditularkan. Penyakit ini endemik di Asia
tropik, dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah
menyebabkan populasi Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini
infeksi dengan virus dengue dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi
kedua dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir
semua penderita dengan sindrom syok dengue mempunyai kenaikan sekunder
antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukkan infeksi sebelumnya
dengan virus yang terkait erat.
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa
itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan
yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit
ini menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari
35 tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita
maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah
ditemukan di seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100.00 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000
pendududuk pada akhir tahun 2005.
7
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu :
Pertumbuhan penduduk yang tinggi
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk
transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi
geografis setempat. Pola berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu panas (28-32oC) dengan kelembaban tinggi,
nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang
lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak
laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah dengue
8
tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara
September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.
9
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi
pleura, ascites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan
asidosis dan anoksia.
Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP,
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit
dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit
ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati
konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehingga ada penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi
perdarahan pada DBD akibat trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan memperberat syok yang terjadi.
Dampak metabolik lain yang terjadi pada infeksi virus dengue ialah
memposisikan tubuh host dalam kondisi hipermetabolik. Pada kondisi
hipermetabolik tubuh menuntut mitokondria untuk meningkatkan produksi
ATP. Dampak sampingnya ialah peningkatan produksi Reactive Oxygen
Species (ROS). ROS bersama sitokin proinflamatori menyebabkan penurunan
elastisitas otot polos kapiler, miokard dan berpengaruh pada sistem konduksi
10
jantung terutama pada sindrom syok dengue. Dapat dipahami bahwa syok
pada infeksi DBD dapat terjadi akibat perpindahan plasma, perdarahan,
kelumpuhan otot polos vaskuler, kelumpuhan miokard.9
a. Volume plasma10
Penyelidikan volume plasma pada kasus demam berdarah dengue dengan
menggunakan 131-Iodine labelled human albumin sebagai indikator
membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari
permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus
berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya
nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan bahwa syok terjadi akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak. Bukti
yang mendukung ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura, dan perikardium.
b. Trombositopenia
Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat
meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah
depresi fungsi megakariosit. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak
diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
perdarahan pada demam berdarah dengue 10
11
>100.000 Tidak ada risiko tinggi
50.000-100.000 Risiko trauma mayor
20.000-50.000 Risiko trauma minor
<20.000 Risiko perdarahan spontan
<10.000 Risiko perdarahan yang mengancam
nyawa
12
akan terpakai hingga terjadi juga defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat
menimbulkan perdarahan.
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun
melalui kerusakan endotel pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem
hemostasis.
Faal anti trombosis mengimbangi proses koagulasi di atas dengan memacu :
1. Subsistem antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga
terjadi juga konsumsi dan defisisiensi faktor-faktor dalam sub sistem ini
(AT.III, prot C dan S) dan lain-lain
2. Subsistem fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi
hingga menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC, terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi
plastin (faktor VIII, fibrinogen dan lain-lain) yang dapat menyebabkan
perdarahan disertai juga dengan defisiensi AT III, prot C danS dan
plasminogen yang dapat menyebabkan trombosis. Jadi perdarahan dan
trombosis terjadi bersama-sama.
d. Sistem komplemen10
Penelitian sistem komplemen pada demam berdarah dengue
memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada
kasus yang disertai syok maupun tidak. Hasil penelitian radioisotop mendukung
pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi
sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang
mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepas histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,
pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
demam berdarah dengue ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat
dalam 24 jam, adanya kompleks imun yang bersirkulasi, dan adanya korelasi
antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.
13
Komplek virus - antibody
XII XIIa
plasmin Peningkatan
Permeabilitas
Fibrin FDP
Perdarahan Syok
14
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga dikeluhkan.
Sulit membedakan demam karena infeksi dengue dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan diagnosis demam dengue.
2. Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis, anak terlihat seakan telah
sehat, hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok.
Hari ke 3-7 adalah fase kritis, dimana kebocoran plasma bisa terjadi
kurang dari 24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak
mengalami kebocoran plasma akan membaik keadaannya, sedangkan
yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan
volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung
dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
15
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis,
keadaan umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.
Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie
merupakan tanda perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie
muncul pada hari pertama tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5
demam. Perdarahan lain seperti epistaksis, perdarahan gusi,
melena, dan hematemesis. Kadang terdapat juga hematuria.
Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit. Pembesaran
hepar bervariasi dari yang hanya teraba sampai 2-4 cm di bawah arkus
kosta.
Nyeri sendi
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang
disebabkan replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang.14
Pada kira-kira sepertiga kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari,
keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.
Syok
16
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh
mulai menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada
tahap awal syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah normal sistolik juga menyebabkan takikardi dan
vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada kulit
menyebabkan akral menjadi dingin dan lambatnya capillary reffill.
Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi
dan tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara.
Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut, pasien
menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Penurunan kesadarannya menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal
ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi
menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh
karena kolap sirkulasi.
Tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80
mmHg atau kurang
Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki,
tangan, dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini
disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan
peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis
17
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal
dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat pergantian cairan
yang memadai. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum
syok timbul. Nyeri abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita
sindrom syok dengue. Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar
terjadi perdarahan gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam,
biasanya mempunyai prognosis buruk.
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi
(masih dapat ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani
oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat pulih).
Fase I: kompensasi
Pada fase ini, fungsi-fungsi organ vital masih dapat dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan reflek simpatis, yaitu
meningkatnya resistensi sistemik dimana terjadi distribusi selektif aliran darah
dari organ perifer non vital ke organ vital seperti jantung, paru dan otak. Tekanan
darah sistolik tetap normal, sedangkan tekanan darah diastolik meningkat akibat
peninggian resistensi arteriol sistemik (tekanan nadi menyempit).
Untuk mencukupi curah jantung, jantung mengkompensasi secara temporer
dengan meningkatkan frekuensi jantung. Selain itu, terdapat peningkatan sekresi
vasopressin dan renin – angiotensin – aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal
untuk menahan natrium dan air dalam sirkulasi. Manifestasi klinis yang tampak
berupa takikardia, gaduh gelisah, kulit pucat dan dingin dengan pengisian kapiler
(capillary refilling) yang melambat > 2 detik.
18
dengan asidosis. Asidosis akan bertambah berat dengan terbentuknya asam
karbonat intra selular akibat ketidakmampuan sirkulasi membuang CO2.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas otot jantung dan respons
terhadap katekolamin. Akibat lanjut asidosis akan menyebabkan terganggunya
mekanisme energy-dependent Na-K-pump di tingkat selular, akibatnya integritas
membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria akan memburuk yang
dapat berakhir dengan kerusakan sel. Lambatnya aliran darah dan kerusakan
reaksi rantai kinin serta sistem koagulasi dapat memperburuk keadaan syok
dengan timbulnya agregasi tombosit dan pembentukan trombus disertai tendensi
perdarahan.
Pada syok juga terjadi pelepasan mediator-vaskular antara lain histamin,
serotonin, sitokin (terutama TNF=tumor necrosis factor dan interleukin 1),
xanthin, oxydase yang dapat membentuk oksigen radikal serta PAF (platelets
agregating factor). Pelepasan mediator oleh makrofag merupakan adaptasi normal
pada awal keadaan stress atau injury, pada keadan syok yang berlanjut justru
dapat memperburuk keadaan karena terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan
permeabilitas kapiler dengan akibat volume intravaskular yang kembali ke
jantung (venous return) semakin berkuarang disertai timbulnya depresi miokard.
Manifestasi klinis yang dijumpai berupa takikardia yang bertambah,
tekanan darah mulai turun, perfusi perifer memburuk (kulit dingin dan mottled,
capillary refilling bertambah lama), oliguria dan asidosis (laju nafas bertambah
cepat dan dalam) dengan depresi susunan saraf pusat (penurunan kesadaran).
19
Akibat dari metabolisme anaerob, dapat terjadi penumpukan asam laktat, serta
metabolisme tidak mampu lagi menyediakan energi yang cukup untuk
mempertahankan homeostasis seluler, terjadi kerusakan pompa ionik dinding sel,
natrium masuk ke dalam sel, dan kalium keluar sel sehingga terjadi akumulasi
kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada akhirnya terjadi
banyak kerusakan sel organ-organ tubuh atau terjadi kegagalan organ multipel dan
renjatan yang ireversibel. Kematian akan terjadi walaupun sistem sirkulasi dapat
dipulihkan kembali. Manifestasi klinis berupa tekanan darah tidak terukur, nadi
tak teraba, penurunan kesadaran semakin dalam (sopor-koma), anuria dan tanda-
tanda kegagalan sistem organ lain.
20
Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila
terjadi syok hipovolemik maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah
melalui:
- Baroreseptor
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam
pembuluh darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah, rangsangan terhadap
baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke
pusat juga berkurang sehingga akan terjadi:
- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre
- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan,
ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan
baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.
- Kemoreseptor
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi
sympathetic discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada
reseptor-reseptor perifer .
- Reseptor humoral
21
isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH aleh hipofisis posterior juga
meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
- Retensi air dan garam oleh ginjal
Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh apparatus
jukstaglomerulus yang mengubah angiotensin menjadi angiotensin I. Angiotensin
I ini oleh angiotensin converting enzyme diubah menjadi angiotensin II yang
mempunyai sifat:
- Vasokonstriksi kuat
- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi
natrium di tubulus ginjal.
- Meningkatkan sekresi vasopressin.
WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus terpenuhi, yaitu:
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)
4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura,
ascites)
22
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD
grade I dan II dengan Demam dengue
23
Nilai hematokrit dipengaruhi oleh pergantian cairan atau
perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen,
protrombin seperti faktor V, VII, IX, X
g. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin
memanjang
h. Hipoproteinemia
i. Hiponatremia
j. SGOT/SGPT sedikit meningkat
k. Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen
terdapat pada syok yang berkepanjangan.
Radiologi
Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II
didapatkan efusi pleura, biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah
lateral dekubitus kanan. Ascites dan efusi pleura dapat di deteksi
dengan pemeriksaan USG.
Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai
dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan
serologis. Meskipun begitu, terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan pada uji HI ini (a) Uji HI sensitif tetapi tidak
spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus apa yang
menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama dalam tubuh
(sampai > 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi sero-
epidemiologi, (c) untuk diagnosis membutuhkan kenaikan titer
konvalesens 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (>
1280) baik pada serum akut atau konvalesens dianggap sebagai
24
positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue
infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji
diagnostik rutin, oleh karena cara pemeriksaan yang rumit dan
memerlukan tenaga yang berpengalaman. Berbeda dengan
antibodi HI, antibodi CF hanya bertahan beberapa tahun saja
(2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus
dengu. Uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plague
reduction Neutralization Test (PRNT) yang berdasarkan
adanya reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi neutralisasi
dideteksi hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan
lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai
secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia
yang diikuti oleh pembentukan IgM antidengue. IgM hanya
berada dalam waktu yang relatif singkat dan akan disusul
dengan pembentukan igG. Pada kira-kira hari ke 5
terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus.
Imunoserologi berupa IgM (merupakan penanda infeksi saat
ini) dan IgG (merupakan penanda infeksi masa lalu). IgM akan
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3
dan menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG
terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari ke-2
pada infeksi sekunder.
25
5. NS1-Ag tes
tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8
hari pertama yaitu antigen virus dengue yang disebut dengan
antigen NS1. Keuntungan mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk
mengetahui adanya infeksi dengue pada penderita tersebut
pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu terbentuknya
antibodi.
Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi
adanya infeksi virus dengue pada fase akut, dimana pada
berbagai penelitian menunjukkan bahwa NS1 lebih unggul
sensitivitasnya dibandingkan kultur virus dan pemeriksaan
PCR maupun antibodi IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas
antigen NS1 100% sama tingginya seperti pada gold standard
kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan glikoprotein tersekresi 48 kDa
yang tidak terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun
terakumulasi di dalam supernatan dan membran plasma sel
selama proses infeksi. NS1 merupakan gen esensial di dalam
sel yang terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor untuk
replikasi virus, yang terdapat bersama di dalam bentuk
replikasi RNA double-stranded (Mackenzie, 1996). Immune
recognition dari permukaan sel NS1 pada sel endotel
dihipotesiskan berperan dalam mekanisme kebocoran plasma
26
yang terjadi selama infeksi virus dengue yang berat. Sampai
saat ini, bagaimana NS1 berhubungan dengan membran
plasma, yang tidak berisi motif sekuens membrane-spanning
masih belum jelas.
NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe
sel epitelial dan sel mesensimal, juga menempel secara kurang
lekat terhadap berbagai sel darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes
untuk deteksi protein non struktur NS-1 Ag yang ada dalam
sirkulasi dan dapat mendeteksi ke empat serotipe.
Keunggulannya dapat mendeteksi virus lebih awal, mulai dari
hari ke-1 demam sampai demam hari ke-9 dan mempunyai
sensitivitas DEN-1 : 88,9%, DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%,
DEN-4 : 93,35%.
27
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih besar
dari 20% d iatas rata-rata, atau ditandai dengan hipoproteinemia)
Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG)
dengan enzym-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi
moniklonal, atau tes hemaglutinasi
Indikasi perawatan:
Takikardi
Capillary refill yang lebih lama dari normal (>2detik)
Dingin dan pucat
Perubahan status neurologik
Oliguria
Hematokrit mendadak tinggi
Tekanan nadi menyempit (<20 mmHg)
28
Hipotensi
29
cepat terdistribusi ke ruang
ekstraseluler
30
pembekuaan darah dengan cara menurunkan jumlah fibrinogen dan menggangu
fungsi trombosit.Tidak boleh diberikan pada DIC
31
Koreksi asidosis
Syok belum teratasi
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jam/Ht <40
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Syok teratasi
Infus stop tidak melebihi 48 jam tranfusi darah segar 10 ml/kgBB 10-
20ml/kgBB koloid
setelah syok teratasi diulang sesuai kebutuhan
Pertimbangkan
pemakaian inotropik Syok belum teratasi
dan koloid HES BM
100.000-300.000 D
32
Selanjutnya bolus larutan kristaloid ataupun koloid mungkin perlu
diberikan selama 24-48 jam berikutnya.
33
dan turunkan dosis seperti yang telah disebutkan diatas saat
keadaan pasien mulai membaik.
Bolus cairan mungkin perlu diberikan selama 24 jam ke depan.
Pasien dengan sindrom syok dengue harus dimonitor rutin hingga
tanda-tanda bahaya berkurang atau menghilang. Saat pemberian cairan, tanda
vital dan perfusi perifer harus dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien
terlepas dari keadaan syok, lalu monitor setiap 1-2 jam. Secara umum,
semakin tinggi tingkat cairan infus, pasien lebih sering harus dipantau dan
ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara memastikan
penggantian volume yang memadai.
Produksi urin harus dipantau juga. Kateter dipasang untuk
memudahkan menghitung produksi urin. Hematokrit harus dipantau sebelum
dan sesudah bolus cairan samapi keadaan pasien stabil, lalu setelah itu setiap
4-6 jam. Terkadang diperlukan juga pemeriksaan analisis gas darah, laktat,
karbondioksida/bikarbonat (setiap 30 menit sampai 1 jam hingga pasien
stabil, lalu diperiksa kembali sesuai kebutuhan), gula darah (sebelum dan
sesudah pemberian cairam,periksa kembali sesuai indikasi), dan pemeriksaan
fungsi organ lainnya (ginjal, hepar, koagulasi, dll).
34
Pencatatan sering terhadap tanda vital dan penentuan hematokrit penting
dalam mengevaluasi hasil pengobatan. Bila pasien menunjukkan tanda-tanda
syok, terapi cermat harus diberikan segera. Pasien kemudian harus di bawah
observasi cermat sampai ada ketentuan bahwa bahaya telah lewat. Tindakan
berikut harus dilakukan rutin pada situasi tersebut:
Nadi, tekanan darah dan pernapasan harus dicatat setiap 30 menit sampai
syok teratasi.11 Dinilai juga apakah terdapat pembesaran hati, tanda
ensefalopati.14
Kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit tiap 6 jam, minimal 12 jam.
Lembar periksa keseimbangan cairan harus dipertahankan, pencatatan tipe
cairan dan kecepatan serta volume pemberiannya untuk evaluasi
keadekuatan penggantian cairan.Frekuensi dan volume keluaran urin juga
harus dicatat, dan kateter urin mungkin diperlukan pada kasus syok sulit
teratasi.
Pada demam berdarah dengan syok dilakukan cross match darah untuk persiapan
tranfusi darah apabila diperlukan.11
35
Pemberian cairan intravena yang berlebihan dan atau yang
terlalu cepat
Salah penggunaan cairan. Dimana lebih memakai cairan
hipotonik daripada cairan isotonik.
Pemberian dosis cairan intravena yang kurang tepat pada
pasien dengan perdarahan masif yang tidak diketahui
Pemberian yang tidak tepat pada transfusi fresh frozen plasma,
trombosit konsentrat, dan kriopresipitat
Pemberian cairan intravena lanjutan setelah kebocoran plasma
telah membaik (24-48 jam setelah suhu kembali normal)
Keadaan komorbid
Berikan oksigen, lalu hentikan pemberian cairan secara intravena
karena selama masa penyembuhan cairan pada pleura dan rongga
peritoneum akan kembali ke intravaskuler.
Perdarahan (biasanya gastrointestinal)
Biasanya muncul pada fase penyembuhan. Pasien dengan
trombositopenia yang cukup rendah harus istirahat di tempat tidur dan
hindari dari trauma untuk mencegah perdarahan. Tidak semua pasien
mengalami perdarahan yang cukup banyak. Pemberian transfusi darah
harus dilakukan sesegera mungkin begitu diketahui atau terlihat
adanya tanda-tanda perdarahan yang masif. Pemberian transfusi darah
pun harus di monitor untuk menghindari kelebihan cairan pada pasien.
Jangan menunggu nilai hematokrit terlalu rendah untuk memutuskan
pemberian transfusi darah. Berikan 5-10 ml/kgBB PRC atau 10-20
ml/kgBB whole blood.
Hiperglikemia dan hipoglikemia
Hiponatremi, hipokalemi, hiperkalemi, ketidakseimbangan serum
kalsium
Asidosis metabolik
Disfungsi hepar, biasanya bisa akibat dari virus dengue hepatitis atau syok
DIC
36
Secara klinis, DIC sering kali menyertai proses penyakit sistemik yang berat,
tanda-tanda perdarahan sering terjadi pada bekas tusukan jarum yang
dimasukkan ke dalam pembuluh darah atau sayatan pembedahan. Di kulit
dapat ditemukan tanda petekie dan ekimosis. Nekrosis jaringan dapat terjadi
pada banyak organ dan terlihat tanda infark yang luas di kulit, di jaringan
subkutan atau ginjal.
Ensefalopati, biasanya muncul sebelum onset kebocoran plasma
Ensefalopati adalah komplikasi yang jarang dari infeksi virus dengue dan
mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari perdarahan intrakranial, edema
serebri, hiponatremia, anoksia serebri, perdarahan mikrokapiler atau
pelepasan produk toksik.9
Pada umumnya ensefalopati terjadi pada DBD dengan komplikasi syok
yang berkepanjangan disertai perdarahan, namun dapat juga terjadi pada
DBD yang tanpa disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Hal ini mungkin pula disebabkan oleh thrombosis pembuluh
darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular menyeluruh.
Adapun perihal yang menyatakan bahwa ensefalopati dengue berhubungan
dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran menurun menjadi apatis atau somnolen
dan dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Pada DSS, keadaan syok harus
diatasi terlebih dahulu untuk melihat ada tidaknya kondisi ensefalopati.
Kelainan ginjal (akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut).
Kelainan ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal akibat kondisi
syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom hemolitik
uremikum yang jarang terjadi. Pada keadaan syok berat dapat ditemukan
nekrosis tubular akut yang ditandai dengan oligouria/anuria disertai
peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Oedem paru
Keadaan ini mungkin terjadi pada pemberian cairan yang berlebihan.
Pemberian cairan yang tidak dikurangi pada masa terjadinya reabsorpsi
37
cairan pada sekitar hari sakit ke 7 dapat menimbukan keadaan ini. Ditandai
dengan sesak napas, kelopak mata sembab, dan ditunjang dengan gambaran
oedem paru pada pemeriksaan radiologi toraks.
Co-infection dan infeksi nosokomial
2.12 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera
dan pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya
takikardi, takipneu, dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu
makan. (8)
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5%
menyebabkan kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok
dengue akan meningkatkan kematian hingga 40%. (7)
Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan
sindrom syok dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan. (1)
38
BAB 3
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. FK
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 988064
B. KELUHAN UTAMA
BAB hitam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, konsistensi encer,
Muntah darah (+) 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sekarang muntah
darah (-)
39
Lemah letih sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit
Nyeri pada sendi (+) sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit
G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan umum
Kesadaran : CMC
Pernapasan : 20 x/menit
40
Suhu : 37,5 oC
Kulit
Kulit warna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-), turgor kulit
Tidak ada pembesaran dan tidak ada nyeri tekan KGB pada daerah
Kepala
Normocephal
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
JVP 5-2 cm H2O, pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-), pembesaran
KGB (-)
Paru
41
- Inspeksi : normochest, simetris kiri dan kanan statis dan
dinamis
- Perkusi : sonor
Jantung
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari
Abdomen
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri
Perkusi : timpani
Punggung
Alat kelamin
42
Anggota gerak
H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
24 Agustus 2017
Leukosit : 17.600/mm3
Hematokrit : 17%
Trombosit : 35.000/mm3
o PT : 11,2 detik
o Ureum : 12 mg/dl
o Na/K/Cl : 136/2,4/106
Kesan:
rujukan, hipokalemia
kalium ↓
I. DIAGNOSA KERJA
43
Dengue shock syndrome
Hipokalemi ec GI loss
J. Diagnosis Banding
ITP
K. TINDAKAN PENGOBATAN
1. Istirahat / DL I
4. Paracetamol 4 x 500 mg
5. Bolus prosogan 2,5 ampul, lanjut drip prosogan 2,5 ampul dalam
44
BAB 4
DISKUSI
Telah dirawat di High Care Unit ilmu penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang seorang pasien perempuan usia 20 tahun pada tanggal 24 Agustus 2017
dengan BAB Hitam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis
pemeriksaan penunjang.
menderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) grade IV yang dikenal juga dengan
banyak, Muntah darah (+) 3 hari sebelum masuk rumah sakit, mual dan muntah
ada, dan nyeri sendi disertai badan lemah dan letih (+). Pada pemeriksaan fisik
juga bintik merah di kulit kaki (+), ditemukan takikardi, hipotensi dan suhu tubuh
Selanjutnya pasien juga dilakukan pemeriksaan anti dengue IgG dan IgM yang
merupakan pemeriksaan gold standard dari DHF dan pada pasien ini hasil IgG
dan IgM positif yang menandakan bahwa pasien mengalami infeksi dengue
sekunder. Pada infeksi sekunder kadar IgG dan IgM akan meningkat terutama IgG
akan meningkat dahulu mulai hari kedua, sedangkan IgM pada hari kelima.
Berdasarkan kriteria WHO diagnosis DHF dapat ditegakkan jika terdapat demam
45
tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari, adanya perdarahan spontan atau uji torniket
tergolong menderita DHF grade I jika terdapat demam dan gejala konstitusional,
uji torniket positif, DHF grade II apabila terdapat gejala seperti Grade 1 disertai
Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan lainnya), Grade III bila telah
terjadi kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg dengan tekanan Sistolik
normal, serta Grade IV bila terjadi syok mendalam, hipotensi atau tekanan darah
tidak terdeteksi. DHF Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue. Sedangkan
dan gejala DHF grade IV atau dikenal juga dengan Dengue Shock Syndrome.(5,6)
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien ini sesuai dengan
patogenesis terjadinya DSS, yaitu setelah pasien terinfeksi virus dengue, lalu
syok. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
titer tinggi antibodi IgG anti dengue.(3)Sistem aktivasi komplemen serta agregasi
46
Munculnya syok pada pasien ini sesuai dengan proses terjadinya syok pada
DHF yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu tubuh yang >2oC
Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Lalu buatlah akses vena dan ambil
contoh darah untuk analisa gas darah, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, golongan darah, dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl,
Ca, Mg, dan asam laktat. Lalu pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin,
urinalisis dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung setiap jam
47
berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna dan melakukan
dengan dosis 5-10 ml/kgBB/jam, habis dalam 1 jam. Lalu periksa tanda vital,
cappilary refill time, hematokrit, dan produksi urin. Jika keadaan pasien membaik,
waktu 1-2 jam. Lalu 3-5 ml/kgBB/jam dalam waktu 2-4 jam. 2-3 ml/kgBB/jam
dalam waktu 2-4 jam. Jika keadaan terus membaik, cairan dapat terus dikurangi.
Bila keadaan pasien tidak membaik, dimana tanda vital tetap tidak stabil, periksa
Bila hematokrit meningkat atau tetap tinggi (≥ 50%), berikan bolus kristaloid
kedua dengan dosis 10-20 ml/kgBB/jam dalam 1 jam. Bila setelah pemberian
cairan kedua ini ada perbaikan, kurangi dosis cairan kristaloid menjadi 7-10
ml/kgBB/jam dalam 1-2 jam, dan terus kurangi dosis seperti yang telah dijelaskan
di atas. Bila nilai hematokrit menurun dari nilai hematokrit awal (< 40% pada
anak dan wanita dewasa, < 45% pada pria dewasa), ini menunjukan adanya
48
saluran cerna serta membantu proses agregasi trombosit di saluran cerna. Pasien
DAFTAR PUSTAKA
49
4. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam
Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Vol. II. E/15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001. Hal
1134-1135
5. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever, Dengue Shock Syndrome In
The Context Of The Integrated Management Of Childhood Illness. 2005.
Hal 1-34
6. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and
Control. 2009. Hal 3-147
7. Wills Bridget. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. 2001.
Dengue buletin vol 25. Hal 50-55.
8. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor
Prediktor Syok Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan
Anak RS Dr. Sardjito. 2004. Hal 10-11.
9. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM.
2007.
10. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2005
11. Sungkar Saleha. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia. 2002.
12. Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_cit
ation/Dengue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_childr
en_
13. Fluid Solutions in Dengue Shock Syndrome. Didapat dari :
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200512083532317
14. Dengue Shock Syndrome. didapat dari :
http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=6628
15. Sri Rezeki H.H., Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Didapat dari :
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/dengue-shock-
syndrome.html
50
16. Dengue Fever, Dengue haemorrhagic fever, Dengue shock Syndrome.
Didapat dari :
http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm
17. Dengue Virus Fusion Pathway. Didapat dari :
http://www.microbiologybytes.com/blog/tag/dengue/ diunduh pada
tanggal 10 Juli 2012
18. Dengue Fever and Dengue haemorrhagic fever. Didapat dari :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
19. Dengue Haemorrhagic Fever. Didapat dari :
http://www.denguevirusnet.com/dengue-haemorrhagic-fever.html
51