Anda di halaman 1dari 26

Clinical Science Session

SINUSITIS DENGAN KOMPLIKASI ORBITA

Oleh : Ira Camelia Fitri Richard Santosa Lorensia Fitra Dwita 07120143 0810313176 0810313205

Preseptor : dr. Effy Huriyati, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN BEDAH KEPALA DAN LEHER RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Sinusitis Dengan Komplikasi Orbita . Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok RSUP DR M Djamil Padang. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Effy Huriyati SpTHT-KL sebagai preseptor yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang Sinusitis Dengan Komplikasi Orbita terutama bagi penulis sendiri dan bagi rekan-rekan sejawat lainnya.

Padang, Maret 2012

Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.. 1.2 Batasan Masalah. 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metode Penulisan... BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi .. 2.2 Anatomi Sinus Paranasal.... 2.3 Epidemiologi ..... 2.4 Etiologi... 2.5 Patogenesis . 2.6 Manifestasi Klinis 2.7 Diagnosis. 2.8 Penatalaksanaan.. 2.9 Prognosis... BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan. DAFTAR PUSTAKA. i ii iii iv 1 1 2 2 2 3 3 3 10 10 11 13 14 17 18 19 19 20

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Tulang-tulang Pembentuk dinding Lateral Hidung Meatus pada dinding Lateral Hidung . Struktur di balik Konka .. Aliran Sekresi Sinus . . Anatomi Sinus Paranasal .... Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping). . Kompleks Osteomeatal .. Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita . Selulitis Preorbita .. . Selulitis Orbita.. . .... Abses Preorbita .. . .. Contoh Pemeriksaan CT-Scan pada Sinusitis . Nasal Endoskopi .. . 4 5 5 6 6 8 9 12 14 14 14 16 16

DAFTAR TABEL Tabel 1. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi ... 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG Sinusitis menjadi masalah kesehatan yang penting hampir di semua Negara dan angka prevalensinya makin meningkat tiap tahunnya. Sinusitis paling sering dijumpai dan termasuk 10 penyakit termahal, karena membutuhkan biaya pengobatan cukup besar. Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis1. Gejala-gejala sinusitis ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada wajah, ingus purulent, gangguan penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik lainnya. Komplikasi akibat sinusitis sangat bervariasi, baik lokal, intraorbital maupun intrakranial. Komplikasi intrakranial berupa abses serebri, empiema subdural, meningitis dan osteomielitis. Komplikasi pada orbita berupa edema, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbital, dan thrombosis sinus kavernosus.2 Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena keistimewaan anatominya. Komplikasi ke orbital terjadi disebabkan secara anatomi sinus ethmoidalis, maksila, dan frontal berhubungan dengan rongga orbita mata. Gejalanya bervariasi dari tanda-tanda inflamasi, proptosis, kehilangan motilitas okuler dan kebutaan. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita ini adalah penyakit yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Sebelum munculnya terapi antibiotik, prevalensi komplikasi orbita pasca rinosinusitis cukup tinggi sekitar 17-19 % dan prevalensi kebutaan sekitar 20-33%. Saat ini setelah terapi antibiotic diperkenalkan, sekuel tersebut mencapai sekitar 5 % dari kasus. 3 Sejak dipublikasikan pertama kali oleh Hubert pada tahun 1973 hingga saat ini, banyak perbedaan konsepsi dan kebingungan ditemukan mengenai manifestasi klinis dan korelasinya dengan komplikasi. Salah satu perbedaan yang dimaksud adalah mengenai apakah trombosis sinus

kavernosus juga diklasifikasikan sebagai komplikasi orbital atau komplikasi intrakranial. Dari sisi klinis juga sulit untuk membedakan abses dan phlegmon dari hasil Computerized Tommography Scan.4 Dengan demikian banyak hal mengenai sinusitis dengan komplikasi orbita yang masih menjadi masalah saat ini. Ditambah lagi komplikasi sinusitis ke orbita menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa karena diikuti secara kolektif oleh semua komplikasi intracranial, maka harus diperlakukan sebagai darurat medis dan diobati secara agresif. Oleh sebab itu, diagnosis dini dan intervensi bedah agresif dalam hubungannya dengan antibiotik spektrum luas merupakan kunci keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk menulis referat mengenai sinusitis dengan komplikasi orbita. 1.2 Batasan Penulisan Penulisan referat ini dibatasi mengenai sinusitis dengan komplikas orbita, mencakup definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan tata laksana. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah membahas sinusitis dengan komplikas orbita mencakup definisi, anatomi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tata laksana. 1.4 Metode Penulisan Metode penulisan referat ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari berbagai literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik seharihari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Menurut American Academy of Otolaryngology Head & Neck Surger 1996, istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan: (1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung, (2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan (3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.5 Sinusitis dapat dibedakan menjadi dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Penyebab terjadinya sinusitis akut dan kronis pun berbeda. Untuk sinusitis akut itu biasanya terjadi karena rhinitis akut, faringitis, tonsilitis akut dan lain-lain. Gangguan drainase, perubahan mukosa, dan pengobatan merupakan penyebab terjadinya sinusitis kronis 5 2.2 Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (atrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. 6 Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan. Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan ketiga atau menjelang bulan keempat dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan.7

Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konkha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti dengan pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah. 7 Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 1.

Gambar .1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung 8 (1. Nasal; 2. Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal; 7.Konka superior (etmoid); 8. Konka media (etmoid); 9. Konka inferior;10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng pterigoid media; 13.Hamulus pterigoid media)

Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-tulang nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila dan prosesus palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior, dan media. Konka inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen.7 Masing-masing struktur ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung 8

Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus. Jika konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoid seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian superior terdiri dari sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori dan lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus frontal. Aspek posterosuperior dari dinding lateral nasal merupakan dinding anterior dari sinus sfenoid yang terletak di bawah sela tursika dan sinus kavernosa.7

Gambar 3. Struktur di balik konka 8

Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior menuju meatus media, sinus etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju meatus media. Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior. 7

Gambar 4. Aliran sekresi sinus 8

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 6.

Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasal 9

a. Sinus Maksila 10

Terbentuk pada usia fetus 3-4 bulan yang terbentuk dari prosesus maksilaris arkus I. Sinus maksila berbentuk piramid, dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina. Dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.

Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa, saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 cc.

Sinus maksilaris berhubungan dengan : Kavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. Gigi, dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus. Duktus nasolakrimalis, terdapat di dinding kavum nasi.

b. Sinus Etmoid 10

Terbentuk pada fetus usia 4 bulan . Saat lahir berupa 2-3 sellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 sellulae, dindingnya tipis. Bentuk sinus etmoid seperti piramid berongga-rongga seperti sarang tawon, terletak di dalam massa bagian lateral os etmoid yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.

Sinus etmoidalis berhubungan dengan : Fosa kranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina kribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah kranial (meningitis, ensefalitis dsb). Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papirasea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematom. Nervus Optikus. Nervus, arteri dan vena etmoidalis anterior dan posterior. Sinus ini dapat terbentuk atau tidak, tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis. Volume pada orang dewasa 7cc. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media). Berhubungan dengan :

c. Sinus Frontalis 10

Fosa kranii anterior, dibatasi oleh tulang kompakta. Orbita, dibatasi oleh tulang kompakta. Dibatasi oleh periosteum, kulit, tulang diploik.

d. Sinus Sfenoidalis 10

Terbentuk pada fetus usia bulan ke-3. Terletak pada korpus, alas dan prosesus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa 7 cc. Berhubungan dengan : Sinus kavernosus pada dasar kavum kranii. Glandula pituitari, kiasma n.optikum. Traktus olfaktorius. Arteri basillaris batang otak

Gambar 6. Anatomi Sinus Paranasal (tampak samping) 9

Fungsi sinus paranasal adalah : 6 Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning).

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara. Penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Membantu keseimbangan kepala. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Membantu produksi mukus Resonansi suara.

Kompleks Osteo-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus ethmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, terdiri dari infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang processus uncinatus, resesus frontalis, bula ethmoid, dan sel-sel ethmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.6

Gambar 7. Kompleks Osteo-Meatal 9

2.3 Epidemiologi Frekuensi komplikasi orbita dari infeksi sinus berkisar dari 0,5% sampai 3,9%, namun kejadian abses orbital atau periorbital sangat bervariasi dari 0% sampai 25%. Sebuah studi yang jauh lebih besar dari Hospital for Sick Children di Toronto (6770 pasien) melaporkan bahwa 159 diantaranya telah mengalami komplikasi pada orbita (2,3%); dan 17 (10,7%) diantaranya

mengalami pembentukan abses. Di antara 158 pasien yang dirawat di Children's Hospital National Medical Center dengan preseptal atau orbital selulitis, 20,8% diantaranya telah mengalami pembentukan abses orbital atau periorbital. Di antara kasus-kasus dengan komplikasi orbital pada penyakit sinus lainnya, insiden pembentukan abses bervariasi dari 6,25% sampai 20% hingga 78,6%. 11 Saat antibiotik sudah tersedia, 1,9% pasien dengan selulitis orbital dapat berkembang menjadi meningitis, meskipun pengobatan yang tepat adalah dengan antibiotik sistemik. Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien menjadi buta.11 Selulitis orbita adalah penyakit yang terutama menyerang anak-anak dan remaja dengan distribusi usia berkisar antara 0-15 tahun. Dalam suatu kasus dilaporkan, penyakit sinus menjadi faktor predisposisi yang paling umum. Pada kelompok anak, 91% pasien dengan pemeriksaan radiologis dikonfirmasi dengan penyakit sinus, umumnya pada sinus ethmoid dan sinus maksilaris. Sinusitis ethmoidal telah dibuktikan sebagai sumber infeksi mulai dari 43% menjadi 75% pasien dalam berbagai kasus, tetapi biasanya datang dengan infeksi rahang atas pada sisi yang sama.Infeksi sinus frontal juga telah sering diidentifikasi terutama di kasus dengan subjek penelitian terdiri dari sejumlah besar remaja dan orang dewasa. 11 2.4 Etiologi Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari sinusitis primernya. Mikroorganisme tersebut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, S. aureus dan Peptostreptococcus spp.) 12 2.5 Patogenesis Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan, karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Hal ini lebih ditekankan pada anak-anak, karena anak-anak mempunyai tulang septa dan dinding sinus yang lebih tipis, porositas tulang yang lebih besar, garis sutura yang terbuka dan pembuluh darah foramen yang lebar. Orbita dipisahkan dari sinus ethmoid bakteri anaerob (Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium dan

dan sinus maksila oleh lempeng tulang tipis ( lamina papiracea ) saja, sehingga infeksi dapat menyebar langsung oleh penetrasi dari tuang tipis tersebut. 13 Infeksi juga dapat meluas secara langsung dengan melintasi foramen etmoidalis anterior dan posterior, karena sistem pembuluh vena pada mata tidak mempunyai katup maka vena yang melebar serta komunikasi limfatik antara sinus dan struktur sekitarnya memungkinkan aliran dua arah yang dapat menyebabkan tromboflebitis dan penyebaran infeksi. 13 Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah menurut tingkat keparahannya, yaitu 14 1. Udem inflamasi dan selulitis preseptal Udem terjadi karena adanya tekanan inflamasi pada pembuluh darah etmoid yang menyebabkan infeksi sehingga terjadi obstruksi vena. Pasien umumnya datang dengan tanda dan gejala sinusitis yang berhubungan dengan udem dan eritema pada kelopak mata. 2. Selulitis orbita Terjadi peradangan dan selulitis dari isi orbita dengan berbagai tingkat proptosis, kemosis dan atau gangguan visual yang tergantung dari beratnya komplikasi. Keterlibatan orbita menyebabkan udem difus dan infiltrasi bakteri pada jaringan adipose tetapi belum terjadi abses 3. Abses subperiosteal Terjadi abses yang dapat menyebabkan keterbatasan gerakan dari bola mata. Selama infeksi hanya terbatas di subperiosteal, maka tidak ada gangguan penglihatan yang terjadi. Pernglihatan umumnya normal pada stadium awal namun dapat menjadi terganggu. 4. Abses orbita Terjadi akumulasi pus dalam jaringan lunak orbita di belakang bola mata. Abses berkembang karena terjadi perluasan infeksi ke lemak orbita yang berhubungan dengan proses inflamasi, purulensi dan nekrosis lemak. Gangguan visual dapat terjadi karena tingginya tekanan dalam orbita yang menyebabkan okusi arteri retina atau neuritis optic. 5. Thrombosis sinus kavernosus Terjadi akibat perluasan dari infeksi orbita yang kemungkinan terjadi karena tidak adanya katup pada pembuluh darah orbita yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Tahap ini adalah tahap komplikasi yang mengancam jiwa yang ditandai dengan adanya ptosis, nyeri orbital, gangguan

berat ketajaman visual dan hilangnya penglihatan pada mata yang kontralateral. Persentase terjadinya kebutaan dan kematian mencapai 20 persen.

Gambar 8 Klasifikasi Komplikasi Sinusitis pada Orbita 1

Pada tahun 1937, Hubert merupakan orang pertama yang mengklasifikasikan sejumlah komplikasi orbital sinusitis menjadi lima kelompok (Kathmandu Universitas), klasifikasi ini disempurnakan oleh Smith dan Spencer. Klasifikasi terbaru diperkenalkan oleh Chandler pada tahun 1970 dan diterima dengan baik sampai hari ini. 12 Namun klasifikasi Chandler tidak mempertimbangkan karakteristik anatomi orbita dan tidak sesuai lagi setelah adanya pengembangan CT-Scan. Penelitian yang dilakukan oleh Antonio Augusto Velasco e Cruz dkk mengusulkan sebuah klasifikasi baru yang lebih objektif untuk memandu dokter dalam menetapkan garis batas untuk setiap kasus3. I. Selulitis Orbita II. Abses Subperiosteal III. Abses Orbita Pada klasifikasi Chandler, thrombosis sinus cavernosus jelas bukan bentuk dari komplikasi orbita, karena thrombosis sinus cavernosus merupakan komplikasi intrakranial. Pada edema inflamasi dan preseptal selulitis secara tekstual ditegaskan hanya terjadi inflamasi dalam sinus, hal ini membingungkan dengan inflamasi lainnya yang bukan disebabkan oleh sinusitis.3

2.6 Manifestasi Klinis Komplikasi Orbital yang disebabkan oleh sinusitis ditemui lebih sering di sisi kanan dibandingkan sisi kiri. Gejala yang paling umum ditemukan pertama kali adalah edema dan eritema diikuti dengan proptosis , rinorea purulent, kehilangan motilitas okuler dan diplopia serta gejala konstitusional seperti demam dan sakit kepala.12 Tabel 1. Manifestasi klinis yang terjadi sesuai dengan komplikasi 12
Grup 1 Udem inflamasi dan selulitis preseptal (periorbita) Grup 2 Selulitis Orbita Grup 3 Abses Subperiosteal Grup 4 Abses Orbita Grup 5 Trombosis Sinus Cavernosus

Karena drainase vena terbatas Pembengkakan kelopak mata akibat edema inflamasi tidak nyeri tekan Pembengkakan kelopak mata Edema dan peradangan tanpa dengan tanda-tanda proptosis pembentukan abses dan mobilitas meta berkurang serta chemosis Pus terkumpul di ruang antara Ditandai edema dan proptosis tulang dan periosteum Pus terkumpul di dalam ruang orbita yang lebih lanjut Proptosis semakin memburuk, opthalmoplegia dengan kehilangan penglihatan Demam, sakit kepala, opthalmoplegia, kehilangan penglihatan, kelumpuhan saraf kranial

Gambar 9. Selulitis Periorbita 16

Gambar 10. Selulitis Orbita11

Gambar 11. Abses Periosteal12 2.7 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik. Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung, drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga. Beberapa gejala ditemukan spesifik pada anak anak seperti batuk dan iritasi. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua kriteria mayor atau satu mayor dan dua minor. 9. Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan mempelajari riwayat penyakit pasien, menanyakan tentang durasi dan faktor lain yang berhubungan dengan alergi lingkungan, pengobatan (termasuk penggunaan alat semprot dekongestan hidung yang tidak sesuai), trauma hidung, dan operasi hidung sebelumnya. Tindakan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik dengan seksama, termasuk endoskopi hidung. Melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, meliputi hidung eksternal dan internal. 9 Untuk mendiagnosis sinusitis dengan komplikas orbita juga dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan gejala-gejala pada tiap tahapan komplikasi sinusitis ke orbita. Pemeriksaan Penunjang

a. Transiluminasi Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan). 9 b. Rontgen sinus paranasalis Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa 9 Penebalan mukosa Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi ini memiliki kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus9 c. CT Scan CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi anatominya yang relevan untuk mendiagnosis komplikasi sinusitis ke orbita. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata. 9

Gambar 12. Contoh Pemeriksaan CT Scan pada Sinusitis17

d. Sinoscopy Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien. 9

Gambar 13. Nasal Endoskopi9 e. Pemeriksaan mikrobiologi Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat bila dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini. 9 Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. Legent F dkk (Prancis, 1994) menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influenza, Streptokokus pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994) menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Corynebacterium sp. 9 2.8 Penatalaksanaan 2.8.1 Medikamentosa Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal selulitis periorbital. Jika hal ini tidak dilakukan, infeksi dapat berkembang menjadi selulitis orbital dan abses. Hasil dari manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbital. Jika dicurigai adanya orbital selulitis atau abses, maka harus dikonsultasikan ke dokter mata. Diagnosis harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda. 18

Pasien dengan edema inflamasi kelopak mata ringan atau preseptal selulitis (grup 1) dapat diobati dengan antibiotik oral dan dekongestan. Yang paling efektif adalah Cefuroxime, amoksisilin klavulanat. Antibiotik parenteral diberikan pada komplikasi yang melibatkan postseptal (grup2-5). Antibiotik parenteral meliputi Ceftriaxone atau Cefotaxime ditambah cakupan untuk bakteri anaerob (penambahan Metronidazole atau Klindamisin). Antibiotik untuk methicillin-sensitif S. aureus serta bakteri aerob dan anaerob termasuk Cefoxitin, Carbapenems, dan kombinasi dari Penisilin (misalnya Tikarsilin) dan inhibitor beta-laktamase (misalnya Asam klavulanat). Metronidazol diberikan dalam kombinasi dengan agen efektif melawan aerobik atau fakultatif Streptokokus dan S. aureus. Glycopeptide (Vankomisin misalnya) harus diberikan dalam kasus dengan adanya atau dicurigai adanya Methicillin-resistant S. aureus (MRSA)18 2.8.2 Pembedahan Pembedahan diindikasikan pada keadaan seperti dibawah ini, yaitu: 19 Pasien grup III, IV, dan V (Klasifikasi Chandler) Stadium I dan II jika kondisi pasien memburuk dalam 24-48 jam setelah pengobatan antibiotik Ketajaman visual semakin memburuk Peningkatan level Proptosis dan oftalmoplegia Adanya abses yang tampak pada CT scan

Intervensi yang dilakukan berupa insisi atau drainase abses orbital, antrostomy intranasal, operasi sinus frontal dengan menggunakan trephine, dan ethmoidectomy. Deteksi dini komplikasi sinusitis dan penanganan yang segera dapat mencegah perburukan penyakit.5 2.9 Prognosis Diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat dapat menghasilkan angka survival rate 7075%. Namun gejala sisa permanen seperti kebutaan dan kelumpuhan saraf kranial lainnya
18.

umumnya terjadi pada penderita

Meskipun pengobatan agresif dilakukan dengan antibiotik dan

pembedahan drainase, abses orbital bisa dihancurkan. Dalam suatu kasus di mana hasil visualisasi akhir dilaporkan 7,1% sampai 23,6% pasien menjadi buta. 11

Perlu diingat bahwa angka kematian setelah thrombosis sinus kavernosus bisa mencapai 80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh, angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %, dimana gejala sisa thrombosis sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik. 7 .

BAB III PENUTUP

III.1

Kesimpulan Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-

hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Gejala-gejala sinusitis ditandai dengan hidung tersumbat, nyeri tekanan pada wajah, ingus purulent, gangguan penciuman, sakit kepala, demam dan gejala-gejala sistemik lainnya. Komplikasi ke orbita merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan karena keistimewaan anatominya. Mikroorganisme pathogen yang paling sering menyebabkan selulitis dan abses sama dengan yang terdapat pada sinusitis akut dan kronis, tergantung pada lamanya dan etiologi dari sinusitis primernya. Orbita rentan terhadap perpindahan infeksi dari sinus yang bersebelahan, karena dikelilingi oleh sinus-sinus pada ke tiga sisinya. Komplikasi orbita telah dikategorikan oleh Chandler menjadi lima tahap yang terpisah menurut tingkat keparahannya, yaitu udem inflamasi

dan selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan thrombosis sinus kavernosus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan utama, gejala-gejala, dan pemeriksaan fisik. Tanda-tanda dan gejala terdiri dari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi nyeri wajah dan nyeri tekan wajah, hidung tersumbat dan terasa penuh, keluar cairan dari hidung, drainase purulen dan berwarna dari hidung, hiposmia atau anosmia, dan demam (pada sinusitis akut). Kriteria minor termasuk sakit kepala, demam, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan nyeri, rasa tekan, dan rasa penuh pada telinga. Pengobatan medis harus kuat dan agresif dari tahap awal komplikasi orbita. Hasil dari manajemen medis sebagian besar tergantung pada durasi dan tahap keterlibatan orbita. Diagnosis harus cepat dan tindakan terapeutik harus dilakukan tanpa menunda.

DAFTAR PUSTAKA

1. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTAIndonesia. 2006. Hal 1-6 2. Neto LM, Mitsuda AV, Fava AS. Et. al. Acute Sinusitis in Children - A Retrospective Study of Orbital Complications. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2007; 73 (1) : 81-5 3. Cruz AA, Demarco RC, Valera FC. Et.al. Orbital Complication of Acute Rhinosinusitis- A new Classification. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2007; 73 (5) : 684-8 4. Voegels RL. Sinusitis Orbitary Complications Classification : Simple and Practical Answers. Brazilian Journal Otorhinolaryngology 2007 : 73 (5) ; 578 5. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3. 6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD [editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008 : h.145-149.

7. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53 8. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal Nerve. Maret 2012.Diunduh dari http://home.comcast.net/ 9. Becker DG. Sinusitis. Jurnal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003 ; 13 (3) ; 175194. 10. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505 11. Chaundry IA, Al-Rashed W, Arat Yo. The Hot Orbital : Orbital Cellulitis. Middle East Afr J Ophthalmol. 2012. 19(1): 3442. 12. Chavan SS. Et.al. Orbital Complication of Sinusitis-Case study. World Articles in Ear, Nose, Throat. November 2010. Vol 3-1 13. Bailey JB. Sinusitis: In TextBook of Head and Neck Surgery- Otolaryngology Volume I Ed 2.2006. p452 14. Zinreich Kennedy B. Orbital Complication: In TextBook Diagnosis and Management. 2001: p169-170 15. Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. Maret 2012. Diunduh dari www.merckmanuals.com 16. Goldbert C. Periorbital Selullitis. 20 Maret 2012. Diunduh dari www.meded.ucsd.edu.com 17. Elango S, Reddy TNK. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990 ; 31 ; 341-344. 18. Brook Itzhak. Microbiology and anti Microba Treatment of Orbital and Intracranial complications of Sinusitis in Children and their Management. International Journal of Pediatric Otorhinolaryology. 2009 (73).1183-6 19. Shah NJ. Complication of Sinusitis. Bombay Hospital Journal. 1999 Diseases of the Sinuses:

Anda mungkin juga menyukai