Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Henry A. W, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM
Disusun oleh:
A.Deza Farista
1102011001
Brenda Karina
1102010052
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah swt atas selesainya referat yang berjudul
Limfoma maligna orbita. Juga kepada dr. Agah Gadjali, Sp. M, dr. Gartati Ismail, Sp. M, dr. Henry
A. Wibowo, Sp. M, dr. Hermansyah, Sp. M, dan dr. Mustafa K. Shahab, Sp. M, selaku dosen
pembimbing, kami ucapkan terimakasih banyak atas bimbingannya selama kepaniteraan kami di
Bagian Ilmu Penyakit Mata RS Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam referat ini kami akan mencoba membahas mengenai Limfoma maligna
orbita. Semoga pembahasan kami ini dapat membantu membuka wawasan dan pengetahuan
bagi mahasiswa klinik atupun dokter umum mengenai Limfoma maligna pada mata.
Penulis,
Jakarta, 11 Juni 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Lebih
dari
20%
kasus
tumor
orbita
disebabkan
oleh
gangguan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI MATA
ORBITA
Rongga orbita
Orbita digambarkan sebagai piramid berdinding empat yang berkonvergensi
ke arah belakang.Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan
dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medial membentuk
sudut 45 derajat.
Tulang-tulang pembentuk orbita :
Os. Frontal
Os. Spenoidal
Os. Zygomaticus
Os. Palatinum
Os. Maxila
Os. Ethmoidales
Os. Lakrimalis
bawah, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial.Dasar orbita yang tipis
mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata sehingga menimbulkan
'fraktur blow-out' dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris.Infeksi pada
sinus ethmoidalis dan sphenoid dapat mengikis dinding medialnya yang setipis
kertas (lamina papyracea) dan mengenai orbita. Defek pada atapnya (misal :
neurofibromatosis) dapat berakibat timbulnya pulsasi pada bola mata yang berasal
dari otak.
Dinding Orbita:
1. Atap orbita : terdiri dari facies orbitalis osis frontalis. Di bagian anterior
lateral atas, terdapat fosa lakrimalis yang berisi kelenjar lakrimal. Di
posterior atap, terdapat ala parva osis sphenoid yang mengandung kanalis
optikus.
2. Dinding lateral : dipisahkan dari bagian atap oleh fisura ortalis superior
yang memisahkan ala parva dan ala magna osis sphenoidalis. Bagian
anterior dinding lateral dibentuk oleh facies orbitalis osis zygomatici
(malar), merupakan bagian terkuat orbita.
3. Dasar orbita : dipisahkan dari dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior.
Bagian dasar yang luas terbentuk dari pars orbitalis osis maksilaris
(merupakan tempat yang paling sering terjadinya fraktur). Processus
orbitalis osis platini membentuk daerah segitiga kecil pada dasar posterior.
Apeks Orbita merupakan tempat masuknya semua saraf dan pembuluh darah
ke mata serta merupakan tempat asal semua otot ekstraokuler kecuali obliquus
inferior.
1.
trabekularis => berjalan di bagian lateral fisura (di luar anulus Zinn)
Ramus superior dan inferior nervus okulomotorius, nervus abducens
dan nasosiliaris => berjalan di bagian medial fisura (di dalam anulus
Zinn)
Vena ophthalmika
superior
sering
bergabung
dengan
vena
Perdarahan
atas.
Arteri Siliaris Posterior Longa dan Brevis (cabang muskularis ke
berbagai otot orbita)
Longa => perdarahi korpus siliare dan beranastomose dengan
ACPL (Artery Cyliaris Posterior Longus) + ACA (Artery Cyliaris Anterior) => di
pangkal iris membentuk sirkulus arteriosus mayor.
Bola Mata
Bola mata dewasa normal hampir mendekati bulat dengan diameter
anteroposterior sekita 24,5 mm. Pada saat bayi, panjangnya 16,5 mm.
Bola Mata
Konjungtiva
Merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus :
ini
memungkinkan
bola
mata
bergerak
dan
Konjungtiva fornik
Perdarahan konjungtiva versal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis.Persarafannya berasal dari cabang pertama N. V.
Sklera
Sklera merupakan 5/6 bagian dinding bola mata berupa jaringan kuat yang
berwarna putih.Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh lapisan tipis jaringan
elastik halus yang disebut episklera.
aktivitas simpatik.
Korpus Siliare : Korpus siliare dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi
untuk produksi akuos humor. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat
longitudinal, sirkuler, radial. Fungsi serat sirkuler adalah untuk mengerutkan
dan relaksasi serat Zonula yang berorigo di lembah di antara prosesus siliaris.
Koroid : merupakan segmen posterior dari uvea, di antara retina dan sklera.
Tersusun dari 2 lapis pembuluh darah
Lensa
Lensa merupakan struktur bikonveks, avaskuler, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna.Lensa Kristalin => saat neonatal bentuknya hampir bulat
dengan konsentrasi cair.Daya akomodasinya sangat kuat.Lensa kristalin ini tumbuh
seumur hidup di ekuator lensa sehingga semakin tua lensanya semakin padat dan
daya akomodasinya turun.
Saat dewasa, bentuknya cembung ganda, permukaan anterior lebih flat dibanding
posterior. Diameter 9 mmm, tebal 4,5-6 mm. Warnanya bening keabuan, transparan,
avaskuler. Daya refraksinya +16 dioptri, indeks bias 1,337.
Konsistensinya 65% air dan 35% protein (kristalin). Kandungan kalsium lensa lebih
banyak dari pada jaringan tubuh lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam
bentuk teroksidasi maupun tereduksi.Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah.
Menggantung pada korpus siliare melalui Zonula Zinii. Di anteriornya terdapat
akuos humor dan di posteriornya terdapat vitreus humor.
Aquaeus Humor
besarnya 45'. COA berisi cairan Akuos humor yang dihasilkan corpus siliaris.
Garis Schwalbe merupakan tanda dari berakhirnya kornea.Jalinan trabekula
terdapat di atas kanalis Schlemm.
Retina
Retina merupakan jaringan saraf tipis yang semi transparan, membentang dari papil
saraf optic ke depan sampai Oraserata. Tebalnya 0,1 mm, dan semakin tebal pada
bagian posterior. Pada retina terdapat :
Foveola => bagian paling tengah dari Fovea. Seluruhnya berupa sel Cone/
Sel kerucut (sel foto reseptor) dan semakin ke perifer digantikan oleh sel
Rod.
Vitreus
Korpus vitreus mengisi 2/3 bagian isi bola mata dan mempertahankan bentuknya
selalu bulat.Konsistensinya 99% air dan berbentuk gel.
ADNEKSA MATA
Alis Mata
Alis mata merupakan lipatan kulit menebal yang ditutupi rambut. Lipatan kulit ini
ditunjang oleh serat otot di bawahnya. Glabela merupakan prominentia tanpa
rambut di antara alis.
Palpebra
Palpebra merupakan modifikasi lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi
bola mata bagian anterior. Struktur palpebra :
Lapisan Kulit => lapisan kulit luar, berbeda dengan kulit pada bagian tubuh
lain karena lebih longgar, tipis, dan elastik. Terdapat sedikit folikel rambut
Tepian Palpebra :
1.
Tepian Anterior
Bulu mata
Glandula Zeis => modifikasi kelenjar sebasea kecil yang bermuara ke
dalam folikel rambut pada dasar bulu mata.
Aparatus Lakrimalis
Aparatus Lakrimalis
Terdiri dari glandula lakrimalis > duktus sekretori > menyebar di permukaan
mata > masuk ke punctum superior atau inferior > menuju kanalis superior atau
inferior > menyatu di kanalis komunis > sakus lakrimalis > duktus lakrimalis >
bermuara pada meatus inferior dari rongga nasal.
Pasokan darah dari aparat lakrimal berasal dari arteria lakrimalis
PERSYARAFAN MATA
Nervus Optikus
Nervus opticus merupakan kumpulan dari 1 juta serat saraf. Terdapat beberapa
bagian:
Terdapat papil saraf optik berwarna merah muda dengan diameter 1,5 mm,
berbatas tegas, tempat keluar masuk arteri dan vena sentralis retina. Terdapat
cekungan (cup) normal dibanding papil (disc) dengan C/D = 0,3.
Kiasma Optikus
Kiasma dibentuk dari pertemuan kedua nervi optici dan merupakan tempat
penyilangan serat-serat nasal ke tractus optikus. Kiasma menerima perdarahan dari
circulus Willis.
limfoma orbita ini sekitar usia 60 tahun. Berdasarkan penelitian di Amerika, penyakit
ini memiliki presentase 24% dari semua kasus tumor orbita.
2. STADIUM PENYAKIT
Penentuan stadium kanker sangat penting karena akan menentukan terapi apa
yang akan diberikan dan kemungkinan remisi dan prognosisnya. Biopsi diperlukan
untuk mengelompokkan stadium limfoma. Workup sistemik yaitu darah rutin
lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar, pemeriksaan darah tepi, biopsi sum-sum tulang,
rontgen thoraks, CT scan orbita, thoraks, dan abdomen.
Berdasarkan sistem stadium Ann-Arbor, limfoma yang terbatas di orbita
disebut sebagai stadium I, keterlibatan struktur sekitar (sinus paranasal, tonsil, dan
hidung) menjadikannya stadium II.Stadium III adalah penyakit nodal abdominal
dibawah diafragma dan stadium IV merujuk pada keterlibatan yang tersebar dari satu
atau lebih lokasi ekstranodal (hepar, sum-sum tulang atau sistem saraf pusat) dan E
digunakan ketika terdapat perluasan ekstranodal lokal (cth.IE, IIE, IIIE dan IVE).
Tanda A adalah untuk tidak adanya gejala dan tanda B untuk demam (temperatur
lebih tinggi dari 380 C, keringat malam, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir. Mayoritas pasien (85%-90%)
dengan limfoma orbita datang dengan penyakit terlokalisir (stadium I) & keterlibatan
nodal dilaporkan pada sekitar 5% pasien. Pada berbagaiseri kasus, 10% hingga 15%
pasien menderita penyakit yang telah mengalami penyebaran (stadium IV) pada
presentasi awal, termasuk keterlibatan sum-sum tulang pada sekitar 5% pasien.
3. KLASIFIKASI
Terdapat berbagai klasifikasi limfoma, diantaranya menurut Rappaport yang
telah dimodifikasi tahun 1978. Kemudian klasikasi Working Formulation yang dibuat
oleh National Cancer Institute pada tahun 1982, yang mengelompokan limfoma
menurut riwayat alami, respon pengobatan dan angka harapan hidup. Dan menurut
Lukes-Collins 1974 secara histology yang dikaitkan dengan adanya sel-B, sel-T,
histiositik, dan selU (undefined)
4. FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor telah dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya
limfoma, tetapi masih belum jelas peran apa yang dilakukannya dalam perkembangan
limfoma sebenarnya. Faktor resiko tersebut adalah sebagai berikut :
etiologi
HIV
Penyakit autoimu
Penggunaan terapi imunosupresif (sering digunakan setelah
transplantasi organ)
Penyakit imunodefisiensi herediter (ataxia telangiectasia)
5. MANIFESTASI KLINIS
Limfoma orbita yang paling sering terjadi akibat LNH dan mengenai usia 50
70 tahun. Limfoma orbita biasanya menyerang satu mata dan predileksinya di
kelenjar lakrimal. Pasien yang menderita limfoma orbita mengalami nyeri proptosis,
penurunan letak bola mata, edema kelopak mata, teraba massa orbita, dan ptosis.
Massa terletak di superior dan anterior rongga orbita.
6. DIAGNOSIS
Gejala dan gambaran klinis dari penyakit mata akibat LNH ini sangat tidak
jelas, sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis pasti dari limfoma orbita ditegakkan dengan menggunakan CT Scan
dan/atau MRI. Limfoma orbita menunjukkan pembesaran struktur orbita. Pada CT
Scan, limfoma terlihat sebagai gambaran massa yang homogen, disertai peningkatan
kontras, dan terlihat bayangan seperti soft putty. MRI menunjukkan gambaran lesi
hipointens. Pada pemeriksaan lebih lanjut, ahli onkologi dan radiologi menggunakan
gallium yang biasa digunakan untuk melihat aktifitas sel tumor setelah pengobatan.
Biopsi lesi merupakan salah satu pemeriksaan yang esensial untuk menegakkan
diagnosis dan juga dapat menentukan grade dari limfoma.Biopsi dilakukan
tergantung bagian lesi, biopsi dapat dilakukan langsung pada lesi konjungtiva dan
palpebra.Orbiotomi dibutuhkan untuk lesi yang teradapat di kelenjar lakrimal atau
bagian posterior orbita.
Pencitraan
USG scan-B dapat memperlihatkan adanya massa intaokular, CT scan dan MRI
memiliki sensitifitas yang rendah untuk limfoma intraokular dan tidak dapat
membedakan uveitis atau melanoma okular. Evaluasi pasien dengan limfoma orbita
melibatkan pencitraan neuroradiologi dengan resolosi tinggi dengan kontras untuk
melihat lesi.
CT scan dan MRI dimungkinkan untuk menegakan diagnosis limfoma orbita.
Kedua pemeriksaan ini dianggap lebih mungkin dilakukan daripada USG scan-B. CT
scan orbita lebih sensitif dalam menegakkan diagnosis limfoma orbita maupun
adneksa. Pada CT scan orbita, limfoma orbita dapat dilihat secara jelas, lobular atau
nodul, massa homogen.
Kelainan pada kelenjar lakrimal dapat terjadi pada lobus orbitas maupun
palpebra. Kantong air mata dan otot ekstraokular bisa terlibat dalam proses penyakit
ini. Gambaran bergaris-garis (streaky) tampak pada pemeriksaan penunjang, akibat
adanya infiltrasi iregular mikrofasial pada daerah retrobulbar, kalsifikasi jarang
terlihat. Lesi heterogen mengindikasikan terjadinya limfoma high grade. Lesi
bilateral mungkin terjadi pada penyakit sistemik.
7. DIAGNOSIS BANDING
Limfoma konjungtiva seharusnya didiagnosis banding dengan konjungtivitis
kronik.Tanda dan gejala yang menetap dari konjungtivitis yang tidak membaik
dengan standar pengobatan, sebaiknya dibiopsi untuk menentukan diagnosis lebih
lanjut.
dilakukan dengan cytarabine atau methotrexate intrathecal. Pada pasien usia lanjut
diberikan kombinasi imunoterapi rituximab (antibodi anti-CD20 monoklonal) dengan
kemoterapi siklofosfamid, adriamycin, vincristine dan prednisolon (R-CHOP)
EKSISI BEDAH DAN KEBIJAKAN OBSERVASI. Dapat terdiri dari eksisi
komplittumor, terutama pada kasus tumor kelenjar lakrimal, dimana lesi berkapsul
dapat diambil seluruhnya. Beberapa publikasi telah melaporkan total 80 pasien tanpa
terapi pelengkap, dan khususnya tanpa radioterapi, dilakukan setelah eksisi bedah.
Beberapa studi ini menunjukkan bahwa rekurensi lokal terjadi lebih sering setelah
eksisi bedah simpel daripada setelah radioterapi. Data tersebut menunjukkan bahwa
investigasi lanjut diperlukan untuk mengevaluasi kebijakan observasi setelah eksisi
bedah total komplit dari limfoma.
IMUNOTERAPI. Imunoterapi limfomaorbita termasuk IFN dan rituximab,
tetapi beberapa data telah dipublikasikan mengenai kedua modalitas ini. Blasi et al
melaporkan 5 pasien dengan limfoma konjungtiva yang diterapi dengan 1.500.000
IU IFN yang diinjeksi secara subkonjungtiva intralesi 3 kali seminggu selama 4
minggu. Respons komplit didapatkan pada semua pasien. Empat pasien tidak
memiliki tanda rekurensi lokal (rentang follow up 12-36 bulan) dan 1 pasien
mengalami rekurensi setelah 11 bulan dan progresi sistemik dari limfoma. Begitupun,
beberapa data telah dilaporkan pada pasien dengan OAL yang diterapi dengan
rituximab. Rituximab adalah antibodi anti-CD20 monoklonal yang telah digunakan
secara luas pada terapi NHL sel B, tunggal atau dalam kombinasi dengan kemoterapi.
Berbagai mekanisme efektor untuk rituximab telah dilaporkan : sitolisis tergantung
komplemen, sitotoksisitas dimediasi sel tergantung antibodi, induksi apoptosis sel B
yang dipicu mAb, inhibisi proliferasi sel, efek sinergestik dengan agen sitotoksik, dan
interferon. Rituximab dengan kombinasi kemoterapi memicu suatu manfaat yang
signifikan dibanding dengan kemoterapi saja dalam hal tingkat respons, survival
bebas progresi, dan survival keseluruhan pada pasien dengan limfoma sel B besar dan
folikular. Rituximab memicu respons keseluruhan dan komplit sebesar 70% dan
42%,masing-masing pada pasien dengan limfoma yang relaps.
9.
PROGNOSIS
Kematian dapat terjadi apabila limfoma telah menyerang sistemik. Ada atau
tidak adanya penyakit sistemik sebelumnya juga mempengaruhi prognosis dari
penyakit ini. Studi tentang limfoma adneksa, usia, jenis kelamin, dan lokasi anatomi
sistem imun seperti pada penyakit Epstein-Barr virus, Herpes simpleks atau akibat
penyakit toksoplasma gondii.
3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sering muncul pada limfoma intraokuler adalah :
Pengelihatan kabur/ buram
Floaters
Fotofobia
Sakit pada mata
infiltrat subretinal kuning yang terlihat sedikit kabur akibat vitreitis atasnya
4. DIAGNOSIS
Funduskopi
Pada pemeriksaan fundus terlihat kekeruhan pada vitreous, terdapat lesi
infiltrate subretinal aktif , multifokal, dan terlihat berwarna kuning. Epitel pigmen
retina terlihat atrofi dan fibrosis.
5. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding dari limfoma intraokuler adalah vitritis perbedaannya
hanya pada infeksi, inflamasi dan keganasannya.
6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan Limfoma intraokuler ditujukan untuk memberantas sel limfoma
okular dan mencegah menyebar ke SSP.
Tatalaksana yang direkomendasikan untuk penyakit ini adalah radioterapi,
apabila penyakit ini telah menyebar dapat ditatalaksana dengan kemoterapi.Radioterapi
merupakan modalitas utama untuk tindakan kuratif pada limfoma intraokuler primer.
Summary of Therapeutic Options for Initial and Recurrent Primary Intraocular Lymphoma (PIOL)
Treatment Options
Initial PIOL
Chemotherapy Alone:
Regimen
References
High-dose MTX
High-dose Ara-C
Multiagent regimens
No dosages provided
Thiotepa 250 mg/m2 daily 3, busulfan total of 10 mg/kg over 3 days, and
cyclophosphamide 60 mg/kg daily 2 followed by hematopoietic stem cell rescue
MTX (3.5 g/m2 5 cycles) and Ara-C (3 g/m2 2d for 2 cycles) followed by
carmustine 300 mg/m2, etoposide 100 mg/m2, cytarabine 200 mg/m2, and
melphalan 140 mg/m2 followed by autologous stem cell rescue
(PCNSL patients, 2 of whom had eye involvement)
Combined Regimens:
High-dose chemotherapy and
stem cell rescue
MTX = methotrexate
Ara-C = cytarabine
Included 2 patients with recurrent disease.
4 of 7 patients also received high-dose MTX (5 mg/m2).
*
Included 1 patient with recurrent disease.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Limfoma. Dalam: Vaughan &
Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 209 and 259
2. SumantriR.PenyakitHodgkin.Dalam:
Buku
AjarIlmuPenyakitDalamJilidII.FKUI,2006:735-7.
3. Reksodiputro
AH,
Irawan
C.LimfomaNon-Hodgkin(LNH).Dalam:
Buku
AjarIlmuPenyakitDalamJilidII.FKUI,2006:728-34.
4. FreedmanAS, Nadler LM.Limfoma Maligna. Dalam:Harrison,Prinsip -prinsip Ilmu
Penyakit Dalam.Terj. Asdie AH.Jakarta:EGC.2000:1973-88.
5. Santoso M. Diagnostik Dan Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin. SMF Penyakit
Dalam RSUD Koja Departemen Penyakit Dalam FK UKRIDA. Jakarta. 2004
6. Nutting CM, Jenkins CD, Norton AJ, Cree I, Rose GE, Plowman PN. Primary Orbital
Lymphoma. The Hematol J 2002; 3: 14-6.
7. Knapp C, Vaidhyanath R, Brown L, Sampath R. Orbital Lymphoma. In: Surgical Atlas
of Orbital Diseases. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2008: p.
146-50
8. American Academy of Ophthalmology. Lymphoprolifertive Disorders. In: Orbits,
Eyelids, and Lacrimal System. San Francisco: American Academy of Ophthalmology.
2011: p. 79-85.
9. Stefanovic A, Lossos IS. Extranodal marginal zone lymphoma of the ocular adnexa.
Blood 2009; 114: 501-10.
10. Decaudin D, de Cremoux P, Salomon AV, Dendale R, Le Rouic LL. Ocular Adnexal
Lumphoma: A Review of Clinicopathologic Features and Treatment Options. Blood
2006; 108 :1451-60. Ansell S, Andjamesarmitage. Non-Hodgkin Lymphoma: Diagnosis
and Treatment. Mayo Clin Proc. 2005;80(8):1087-97.
11. Yadav BS, Sharma SC. Orbital Lymphoma: Role of radiation. Indian J Ophthalmol
2009
12. Rey PC, Perez EM, Gonzales F. Orbital Lymphomas. Presentation of Nine Cases. Arch
Soc Esp Oftalmol 2008; 83: 95-104.
13. Bhattacharyya PC, Bhattacharyya AK, Talukdar R. Primary Orbital Lymphoma. JAPI
2003; 51: 1116-8.
14. Eckardt AM, Lemound J, Rana M, Gellrich NC. Orbital Lymphoma: Diagnostic
Approach and Treatment Outcome. World J of Surgical Oncol 2013; 11: 73: 1-6.
15. Das S, Murthy R, Naik M, Honavar SG, Vemuganti G, Reddy VA. Orbital Lymphoma:
Clinical Profile and Treatment Outcomes. AIOC 2009 Proceedings. Orbit/ Plastic
Surgery Session-I. 403-5.
16.
Galieni P, Polito E, Leccisotti A, Marotta G, Lasi S, Bigazzi C, Bucalossi A, Frezza
G, Lauria F. Localized Orbital Lymphoma. Haematologica 1997; 82: 436-9.
17.
Priego G, Majus C, Climent F, Muntane A. Orbital Lymphoma: imaging features
and differential diagnosis. Insights Imaging 20012; 3: 337-44.
18.
De Cicco L, Cella L, Liuzzi R, Solla R, Farella A, Punzo G, Tranfa F, Strianese D,
Conson M, Bonavolonta G, Salvatore M, Pacelli R. Radiation Therapy in Primary
Orbital Lymphoma: A Single Institution Retrospective Analysis. Radiation Oncol 2009;
4: 60; 1-6.
19. BischofM,ZierhutD,Neuhof D etal.IndolentStage IENon- HodgkinsLymphomaof the
Orbit: Resultafter Primary radiotherapy.Ophthalmologica. 2007;221:34852.