Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Disusun Oleh:
Anggit Anggarda Paramitha 1102018186

Pembimbing:
Dr. ivan Riyanto Widjaja Sp. A(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KOJA JAKARTA UTARA
PERIODE 8 Agustus – 15 Oktober 2022
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pada anak, proses pertumbuhan dan perkembangan sangatlah penting.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya,
salah satunya yaitu epilepsi. Epilepsi adalah gangguan neurologis paling sering
pada anak, dengan insidensi tertinggi pada tahun pertama kahidupan. Prevalensi
epilepsi di negara berkembang sebesar 61-124/100.000 anak per tahun. Namun,
kejadian misdiagnosis epilepsi terjadi pada sekitar 25% anak termasuk di
Indonesia sendiri1. Hal ini dikarenakan diagnosis epilepsi tidak selalu mudah,
terdapat banyak diagnosis banding terhadap suatu kejang, baik epilepsi maupun
bukan epilepsi. Banyak juga penderita epilepsi yang tidak mengunjungi pusat
kesehatan. Padahal, komorbiditas pada epilepsi sangat mengganggu tumbuh
kembang anak, seperti gangguan intelektual, gangguan belajar, dan kurangnya
perhatian serta hiperaktivitas2. Penderita epilepsi ini sebagian akan mengalami
status epileptikus. Empat puluh persen anak penderita epilepsi mengalami status
epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi mengalami
status epileptikus sebagai gejala pertama epilepsi. Saat ini Obat Anti Epilepsi
(OAE) menjadi pilihan utama dalam terapinya dan terbukti dengan epilepsi yang
terkontrol1.

I.2 Laporan Kasus


IDENTITAS PASIEN
Inisial Pasien : An. RA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 7 tahun 6 bulan
Tanggal Lahir : 2 Maret 2015
Pendidikan : Belum sekolah lagi (terakhir TK)
Agama : Islam
Alamat : Jl.Malaka II, Rt 12 Rw 05
Ruang : Bangsal

1
Tanggal masuk : 13/08/2022

DATA ORANG TUA


Nama Ayah : Tn.F
Umur : 31 th
Suku Bangsa : Batak
Alamat : Jl.Malaka II, Rt 12 Rw 05
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Islam

Nama Ibu : Ny.B


Umur : 28 th
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jl.Malaka II, Rt 12 Rw 05
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Islam

A. ANAMNESIS
Diambil dari alloanamnesis tanggal 16/08/2022 pukul 14.30
a. Keluhan Utama
Kejang sejak 1 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan kejang sejak 1
hari SMRS (sabtu siang). Kejang sudah 5 kali di rumah, dan 1 kali di IGD.
Kejang pada seluruh tubuh dengan badan kaku, mata mendelik ke atas, dan
tidak sadar. Durasi setiap kejang sekitar 5-10 detik. Setelah kejang pasien
langsung tertidur, 10 menit kemudian bangun dan sadar sebentar lalu
kejang kembali. Setelah kejang ke lima, bibir pasien miring ke kiri, lemas,
dan bengong. Tidak ada gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
kesulitan menelan, kesulitan bernapas atau sesak. Sebelum kejang tidak ada

2
demam, aura, mual, muntah, sakit kepala, ataupun nyeri perut. BAB dan
BAK normal.
Umur 3 tahun kejang pertama kali setelah pasien jatuh dengan
kepala bagian belakang terbentur lantai, tidak disertai demam, muntah,
berdarah, ataupun pingsan. Durasi kejang sekitar 25 menit, kaku pada
seluruh badan, mata mendelik ke atas, dan tidak sadar saat kejang. Setelah
kejang berhenti, pasien langsung tidur lalu bangun dan sadar 4 jam
kemudian. Saat sadar pasien dapat diajak bicara, setelah itu tidur lagi.
Setelah itu, kejang selalu berulang tiga sampai enam kali setiap bulan
dengan pola yang sama. Enam bulan terakhir, sebelum kejang pasien sering
mengeluh pusing dan pandangan kabur. Biasanya pasien kejang setelah
bermain hp terlalu lama. Pasien sering tidur larut malam. Pasien juga sering
terjatuh, tangan sering bergetar, dan jalan sempoyongan.
Kejang setelah diare akut disangkal oleh ibu pasien. Kejang yang
didahului riwayat tuberkulosis dan demam berdarah disangkal. Riwayat
hipertensi dan diabetes disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
ginjal. Selama ini pasien belum pernah diperiksakan ke dokter dan tidak
pernah diberikan obat kejang.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat kejang sejak usia 3 tahun
- Riwayat trauma kepala usia 3 tahun
Kejang
Sepsis - Meningoensefalitis - -
demam
Tuberkulosis - Pneumonia - Alergi -
Asma - Rhinitis alergi - Gastritis -
Diare akut - Diare kronis - Amoebiasis -
Disentri - Difteri - Polio -
Tifus abdominalis - DHF - PJB -
Cacar air - Campak - ISK -
Batuk rejan - Tetanus - Keselakaan -
Demam rematik - Penyakit jantung - Operasi -

3
rematik
Glomerulonefritis Sindroma nefrotik
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien memiliki riwayat kejang dua kali saat berumur dua tahun,
tidak disertai demam, tidak pernah diperiksakan ke dokter dan tidak pernah
diobati.
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi Tidak
Asma Tidak
Tuberkulosis Tidak
Hipertensi Tidak
Diabetes Tidak

e. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan
Perawatan antenatal Selama hamil kontrol ke bidan
setiap bulan
Penyakit kehamilan Tidak ada

Kelahiran
Rumah Sakit
Tempat kelahiran
Dokter
Penolong persalinan
Normal pervaginam
Penyulit/kelainan: tidak ada
Cara persalinan
komplikasi, penyakit, ataupun
penyulit saat melahirkan
Masa gestasi Cukup bulan (37 minggu)
Berat Badan Lahir: 2700 gram
Panjang Badan lahir: 48 cm
Lingkar kepala: Ibu tidak ingat
Langsung menangis
Pucat/Biru/Kuning/Kejang: Tidak ada
Keadaan bayi Nilai APGAR:
-anak langsung menangis saat
dilahirkan
-warna kemerahan saat dilahirkan
-bergerak aktif saat dilahirkan
Kelainan bawaan: Tidak ada

4
f. Riwayat Perkembangan
- Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
- Psikomotor
- Tengkurap : 4 bulan
- Duduk : 7 bulan
- Berdiri : 10 bulan
- Berjalan : 12 bulan
- Berbicara : 12 bulan
- Membaca dan menulis : Belum
- Gangguan perkembangan mental/emosi : Tidak ada

g. Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)


BCG 1 bln
DPT 2 bln 3 bln 4 bln
Polio 0 bln 2 bln 3 bln 4 bln
Campak 9 bln
Hepatitis B 0 bln 2 bln 3 bln 4 bln
Hib 2 bln 3 bln 4 bln
PCV 2 bln 4 bln 6 bln
Rotavirus 2 bln 4 bln
Influenza 6 bln
JE 9 bln
Varisela 12 bln 15 bln
Hepatitis A 12 bln 15 bln
Tifoid 12 bln
*Imunisasi dasar pemerintah lengkap, belum booster

h. Riwayat Personal Sosial


Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Rumah pasien berada di
lingkungan padat penduduk. Sumber air bersih dari pam, toilet milik
sendiri. Makanan keseharian berupa nasi dengan berbagai lauk yaitu ayam,
tahu, tempe, dan sayuran.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 16/08/2022 pukul 14.30 WIB di Rawat Inap Anak

5
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS E4V5M6)
Tanda vital :
Frekuensi nadi : 92 x/menit, kuat angkat, teratur, seirama dengan
keempat ekstremitas
Tekanan darah : 119/80 mmHg
Sat.O2 : 98% dalam udara ruangan
Frekuensi napas : 22x/menit, irama teratur
Suhu tubuh : 36,8°C
Data Antropometri
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 117 cm
Lingkar kepala : 51 cm
Lingkar lengan atas : 15 cm
IMT : 14,6 kg/m2
Kurva CDC
- BB/U = 20/24 x 100% = 83,3%  baik
- TB/U = 117/124 x 100% = 94,3%  normal
- BB/TB = 20/21 x 100% = 95,2% normal
- IMT/U = 20/(1172) = 14,6  gizi baik
Kesan : Gizi baik perawakan normal

6
7
8
9
10
Lingkar kepala normocephal
Pemeriksaan Sistematis
Kepala
- Bentuk : Bentuk bulat, tidak ada benjolan/lesi, LK 51 cm
- Ekspresi Wajah : Normal, simetris, tidak ada bagian tertinggal
- Rambut : Hitam, halus, merata tipis, tidak mudah rontok

Mata
- Kelopak : Tidak ptosis, tidak edema, tidak ada bekas luka
- Konjungtiva : Tidak anemis
- Sklera : Tidak ikterik
- Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
- Sekret : Tidak ada

Telinga
- Bentuk : simetris kanan kiri
- Tuli : Tidak

11
- Selaput Pendengaran : Tidak dinilai
- Lubang : Lapang, sumbatan (-)
- Serumen : Tidak ada
- Pendarahan : Tidak ada
- Cairan : Tidak ada

Hidung
- Bentuk : normal, lesi (-), benjolan (-)
- Napas cuping hidung : Tidak ada NCH
- Sekret : Tidak ada
- Pendarahan : Tidak ada
- Cairan : Tidak ada

Mulut
- Bibir : kering
- Tonsil : T1 – T1(fossa tonsilaris)
- Faring : Tidak hiperemis, tidak edem dan tidak bergranul
- Uvula : Tidak hiperemis, ditengah
- Lidah : Tidak ada bercak putih/luka

Leher
- Tonsil : T1-T1, tidak hiperemis
- KGB : Tidak membesar (leher, ketiak)

Toraks
Paru-paru
- Inspeksi : Bentuk normal, pernafasan thorakoabdominal,
gerakan dada simetris saat statis dan dinamis, tidak ada retraksi sela iga,
tidak ada massa, lesi ataupun luka
- Palpasi : Tidak teraba retraksi sela iga, tidak ada nyeri tekan,
tidak ada massa, tidak ada bagian yang tertinggal.
- Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

12
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), tidak ada rhonki ataupun
wheezing

Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Rata, tidak ada benjolan, luka, ataupun bekas operasi
- Auskultasi : Bising usus tidak meningkat
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak ditemukan massa,
organomegali (-)
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abomen

Anus dan rectum : tidak dilakukan


Genitalia : tidak dilakukan
Anggota gerak : akral hangat, CRT < 2 detik, deformitas (-)
Kulit : sawo matang, lembab, lesi(-), bekas luka(-), ruam(-)

Pemeriksaan Neurologis
Saraf Kranial
- N.I : Tidak dilakukan
- N.II : Pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung+tidak (+/+)
- N.III : Gerakan bola mata baik
- N.IV : Gerakan bola mata baik
- N.V : Sensibilitas wajah baik
- N.VI : Gerakan bola mata baik
- N.VII : Bisa menutup mata, bisa meperlihatkan gigi
- N.VIII : Tidak dilakukan

13
- N.IX : Tidak dilakukan (pengecapan 1/3 post+sekresi parotis)
- N.X : Baik (berbicara jelas dan bisa menelan)
- N.XII : Baik (gerakan leher)
- N.XII : Baik, tidak ada lateralisasi (gerakan lidah)
Motorik : 5/5/5/5
Sensorik : Raba (baik), nyeri (baik), suhu (tidak dilakukan)
Rangsang meningeal: Kaku kuduk (-), brudzinski I II (-), kernig sign (-),
laseq sign (-)
Refleks fisiologis : biceps (+/+), triceps (+/+), knee-patella (+/+), achilles
(+/+)
Refleks Patologis : babinski (-), chadox (-), hofman tromner (-)
Tes koordinasi : Tidak dilakukan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 13/08/2022
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 11.8 11.5 – 14.5 g/dL
Hematokrit 37.1 33 – 43 %
Eritrosit 5.82 4.00 – 5.30 juta/µL
Leukosit 14.67 4.00 – 12.00 x103/µL
Trombosit 520 163 – 337 x103/µL
MCV 64 76 – 90 fL
MCH 20 25 – 31 g/dL
MCHC 32 32 – 36 g/dL
RDW 17.8 11.5 – 15.0 %
Hitung Jenis
Basofil 0.3 0.2 – 1.2 %
Eosinofil 0.0 0.8 – 7.0 %
Neutrofil 87.9 34.0 – 67.9 %
Limfosit 8.2 21.8 – 53.1 %
Monosit 3.6 5.3 – 12.2 %
NLR & ALC
NLR 10.72
ALC 1203
Kimia Klinik
GDS 91 60 – 100 mg/dL
Natrium 147 135 – 147 mmol/L

14
Kalium 4.94 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida 104 96 – 108 mmol/L
Serologi
CRP Kuantitatif 0.26 mg/dL

D. RESUME
An. RA usia 7 tahun 6 bulan datang ke IGD dengan keluhan kejang sejak
1 hari SMRS. Frekuensi kejang 5 kali di rumah, 1 kali di IGD, durasi 5-10
detik, kaku pada seluruh badan, mata mendelik, tidak sadar saat kejang. Setelah
kejang pasien sadar, bibir miring ke kiri, lemas, dan bengong. Kejang tidak
didahului demam, aura, mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Pertama
kali kejang saat usia 3 tahun setelah jatuh, pola kejang sama dengan durasi 25
menit. Setelah itu pasien selalu kejang setiap bulan. Biasanya kejang setelah
bermain hp terlalu lama, pasien sering tidur larut malam. Pasien sering terjatuh,
tangan tremor, dan sempoyongan. Ibu pasien memiliki riwayat kejang dua kali
saat usia 2 tahun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dan
pemeriksaan secara general dalam batas normal, antropometri gizi baik
perawakan normal, dan pemeriksaan neurologis tidak ada kelainan. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan eritrosit, leukositosis, dan
trombositosis, serta peningkatan RDW. Hitung jenis eosinofil menurun,
neutrofil meningkat, limfosit menurun, dan monosit menurun.

E. DIAGNOSA KERJA
Epilepsi
Dasar diagnosis yang mendukung : adanya lebih dari dua episode kejang tanpa
provokasi dengan interval 24 jam

F. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
- Memberikan edukasi kepada orangtua mengenai penyakit epilepsi dan
prognosis, dan pengobatan dari penyakit tersebut. Selain itu, dilakukan
edukasi mengenai hal yang perlu dilakukan ketika penyakit kambuh.

15
- Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
 Tetap tenang, biarkan kejang berhenti sendiri
 Catat lama kejang
 Hindari penderita dari trauma (baringkan penderita di lantai, jauhkan
benda-benda berbahaya, tempatkan sesuatu yang lembut di bawah
kepala)
 Longgarkan segala sesuatu yang mellingkari leher (kerah baju, dasi)
serta periksa identitas pasien
 Jangan menahan gerakan-gerakan pasien
 Jangan letakkan apapun di mulut penderita
 Perlahan miringkan pasien pada saat serangan kejang berhenti untuk
mengalirkan ludah dan cairan mulut keluar dan jaga jalan nafas tetap
bersih.
 Setelah serangan, ajak bicara penderita, jangan tinggalkan sebelum
kesadarannya pulih. Penderita mungkin memerlukan tidur atau
istirahat.
 Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit
atau lebih
- Rencana Elektroensefalografi (EEG)

Medikamentosa
- IVFD Dextrose 5% ¼ NS + KCl 1000 cc/24 jam
- Cefotaxime 3 x 500 mg IV
- Bila kejang  Bolus fenobarbital 200 mg, dilanjutkan 2x35 mg IV

G. PROGNOSIS
- Ad Vitam : bonam
- Ad fungsionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam

16
FOLLOW UP

Time S O A P
16/8/22 • Batuk berdahak (+), KU : tampak sakit EPILEPSI - Asering
tidak napsu makan ringan 1000cc/hari
(+), demam (-), kejang Kesadaran : CM - Paracetamol
(-), diare (-), mual(-), TTV : HR 71x/mnt syr 3x7,5 ml
muntah (-) RR : 23x/mnt - Vestein 2x5
S : 36,5 oC ml
TD: 109/95 - Fenobarbital
(-)mata cekung, (-) bibir
oral 2x50mg.
kering, kencing 3-4 x
Bila kejang
berikan
fenobarbital
inj 2x30mg

18/8/22 • (+) bab 1x KU : tampak sakit EPILEPSI - Asering


• Demam (-), kejang (-), ringan 1000cc/hari
muntah (-), mual (-) Kesadaran : CM - Paracetamol
• (-)Tanda dehidrasi TTV : HR 110x/mnt, syr 3x7,5 ml
• Makan mulai mau RR : 24x/mnt, - Vestein 2x5
(biscuit) & minum S : 37,3 oC ml
TD 96/87 - Fenobarbital
biasa
• Bak biasa dan banyak oral 2x50mg.
Bila kejang
berikan
fenobarbital
inj 2x30mg

19/8/22 • BAB (+), batuk KU : Lemas, EPILEPSI - Pulang


berdahak (+), muntah Kesadaran: CM
(-), demam (-), kejang TTV : HR 110x/mnt,
(-), keluhan lainnya RR : 24x/mnt,
• Makan & minum S : 36,8 oC
seperti biasa sebelum TD 98/80
sakit
• BAK lancar

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi
sekumpulan neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu
atau beberapa fungsi otang yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik,
sensorik, psikis), negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara),
atau gabungan keduanya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi
(first unprovoked seizure) adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun
gangguan metabolik akut yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di
antara kejang. Epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal
berulang tanpa provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang
jelas1.

II.2 Epidemiologi
Epilepsi adalah gangguan neurologis paling sering pada anak. Insidensi
epilepsi bervariasi antara negara maju dan negara berkembang. Di negara bagian
barat, kasus baru per tahun diperkirakan sekitar 33,3-82/100.000 kasus3,
sedangkan di negara berkembang sekitar 61-124/100.000 kasus1. Insidensi paling
tinggi terjadi pada tahun pertama kehidupan, yaitu 102/100.000 kasus per tahun,
seperti pada rentang usia 1 hingga 12 tahun. Sedangkan pada usia 11-17 tahun,
insidensi sekitar 21-24/100.000 kasus. Diperkirakan bahwa anak yang Sistem
Saraf Pusat (SSP) nya belum matang lebih rentan terhadap kejang. Dan
berdasarkan jenis kelamin, insiden lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan3.

II.3 Klasifikasi4
a. Tipe Kejang
Kejang diklasifikasikan menjadi onset fokal, onset general, dan onset yang
tidak diketahui. Klasifikasi ini mungkin menjadi tingkat maksimum yang

18
memungkinkan untuk diagnosis pada kasus yang tidak ada akses ke EEG dan
tidak adanya video rekaman saat kejang berlangsung.
b. Tipe Epilepsi
- Epilepsi umum
Biasanya akan terdapat gambaran aktivitas gelombang lonjakan umum
pada EEG. Epilepsi jenis ini mungkin memiliki berbagai jenis kejang
termasuk absans, mioklonik, atonik, tonik, dan kejang tonik-klonik.
Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar klinis, didukung oleh pelepasan
EEG interiktal yang khas. Pada pasien dengan kejang tonik-klonik umum
dan EEG normal perlu adanya tanda tambahan untuk mendukung
diagnosis, seperti adanya sentakan mioklonik atau riwayat keluarga.
- Epilepsi fokal
Epilepsi fokal termasuk unifokal dan multifokal yang memperngaruhi satu
hemisfer. Jenis kejang yang dapat ditemui antara lain kejang sadar fokal,
kejang dengan gangguan kesadaran fokal, kejang motorik fokal, kejang
non-motorik fokal, dan kejang fokal tonik-klonik bilateral. EEG interiktal
biasanya menunjukkan pelepasan epileptiform lokal, tetapi diagnosis tetap
dibuat terutama berdasarkan temuan klinis.
- Kombinasi umum dan fokal
Ini merupakan kombinasi dari kejang umum dan kejang fokal. Diagnosis
dibuat berdasarkan klinis dan didukung oleh temuan EEG yaitu pada EEG
interiktal dapat menunjukkan gelombang lonjakan umum dan pelepasan
epileptiform fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak diperlukan untuk
diagnosis. Contoh: sindrom dravet dan sindrom lennox-gastaut
- Tidak diketahui
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa dokter tidak dapat
menentukan jenis epilepsi karena kurangnya informasi yang tersedia. Jika
jenis kejang tidak diketahui maka jenis epilepsi juga sulit untuk diketahui.
c. Sindrom Epilepsi
Sindrom epilepsi merupakan tingkat ketiga dari diagnosis epilepsi. Sindrom
epilepsi mengacu pada sekelompok tanda yang menggabungkan dari jenis
kejang, EEG, dan tanda pencitraan yang berhubungan satu sama lain. Hal ini

19
sering bergantung pada usia seperti usia saat onset dan remisi (jika ada),
pemicu kejang, variasi diurnal, dan terkadang prognosis. Sindrom epilepsi
juga memungkinkan komorbiditas seperti gangguan intelektual dan psikis.
Sindrom epilepsi dibagi menjadi idiopathic generalized epilepsies (childhood
absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy dan
generalized tonic–clonic seizures) dan self limited focal epilepsies (self-
limited epilepsy with controtemporal spikes, self limited occipital epilepsies
of childhood, serta self limited frontal lobe, temporal, and parietal lobe
epilepses).

Gambar 1. Klasifikasi Epilepsi

II.4 Etiologi1,4
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Berdasarkan klasifikasinya, etiologi
dapat dibagi menjadi:
1. Struktural
Etiologi struktural mengacu pada kelainan yang terlihat pada neuroimaging
struktural dimana penilaian klinis bersama dengan temuan pencitraan
mengarah pada kesimpulan bahwa kelainan pencitraan adalah kemungkinan
penyebab kejang pasien
2. Genetik

20
Konsep epilepsi genetik adalah bahwa hal tersebut terjadi akibat mutasi
genetik yang diketahui atau diduga dimana kejang merupakan gejala inti dari
gangguan tersebut. Dalam banyak kasus, gen yang mendasarinya belum
diketahui. Etiologi ini dapat didasarkan pada riwayat keluarga dari gangguan
autosomal dominan, dari penelitian pada populasi dengan sindrom yang sama,
dan temuan berbasis molekuler.
3. Infeksi
Etiologi yang paling umum adalah karena adanya infeksi, dimana infeksi
tersebut menyebabkan kejang sebagai gejala inti. Infeksi yang sering yaitu
neurocysticercosis, tuberkulosis, HIV, malaria serebral, subakut,
panensefalitis sklerosis, toksoplasmosis serebral, dan infeksi kongenital
seperti virus Zika dan cytomegalovirus.
4. Metabolik
Berbagai gangguan metabolisme dikaitkan dengan epilepsi. Penyakit
metabolik mengacu pada defek metabolik yang digambarkan dengan
manifestasi atau perubahan biokimia di seluruh tubuh. Dalam banyak kasus,
gangguan metabolisme akan memiliki cacat genetik.
5. Imun
Etiologi imun dimaksudkan sebagai adanya bukti peradangan sistem saraf
pusat yang dimediasi autoimun. Contohnya yaitu ensefalitis autoimun.
6. Tidak diketahui
Ini menunjukkan bahwa etiologi pasti dari epilepsi yang terjadi pada pasien
belum diketahui. Sejauh mana etiologi dapat ditemukan tergantung pada
sejauh mana pemeriksaan yang tersedia untuk pasien.

II.5 Patofisiologi
Secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh
otak. Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan
penurunan inhibisi. Kejang dapat terjadi karena imbalans eksitasi dan inhibisi.
Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf dan
hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi

21
pada sel saraf 8-11. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaps akan
berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik glutamat
(iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-Daspartate)
dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy5-methyl-isoxasole propionic acid
atau AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan
neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential
(EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan
menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat.
Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan menyebabkan masuknya
ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan meningkatkan muatan
negatif dalam neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan
pada potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP).
Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan membran postsinaptik.
Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan
elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan
mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi.
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar
neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal.
Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron
lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang
berlebihan dan bersifat berulang. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber
diotak yang dinamakan fokus epileptogenik, yang berasal dari sekelompok sel
neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan listrik yang berlebihan
sehingga mengalami hipersinkronisasi5.

22
Gambar 2. Patofisiologi Epilepsi6

II.6 Diagnosis
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis.
a. Anamnesis7
1. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
- Sebelum bangkitan/ gejala prodomal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif dan lain- lain.
- Selama bangkitan/ iktal:
Apakah terdapat aura (gejala yang dirasakan pasien saat masih sadar
dan terjadi dalam hitungan detik sebelum pasien kehilangan
kesadarannya); Gejala yang dirasakan pada awal bangkitan; Bagaimana
pola atau bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan tubuh,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-
lain. (Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan gerakan
bangkitan atau merekam video saat bangkitan); Apakah terdapat lebih

23
dari satu pola bangkitan?; Apakah terdapat perubahan pola dari
bangkitan sebelumnya.
- Pasca bangkitan/ post- iktal.
Kesadaran pasca bangkitan apakah pasien tidak sadar atau terlihat
bingung ataupun langsung sadar.
2. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya: jenis,
dosis, jadwal minum, dan kepatuhan minum
3. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
4. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
5. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang.
6. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam.
7. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan
etiologi lain yang mungkin ada.

b. Pemeriksaan Fisik7
1. Status generalis, untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan
dengan epilepsi, misalnya: trauma kepala, tanda infeksi, kelainan
kongenital, dan tanda keganasan.
2. Pemeriksaan neurologis untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis
fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi.

c. Pemeriksaan Penunjang1
1. Elektroensefalografi (EEG)
Walaupun EEG secara rutin dilakukan pada dugaan epilepsi, namun
pemeriksaan ini bukanlah baku emas untuk menegakkan diagnosis
epilepsi.
Pada EEG diperhatikan frekuensi dan amplitudo gelombang irama dasar,
ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas epileptiform yang dapat
berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-ombak, tajam-ombak,
paku multipel, burst-suppression, dan hipsaritmia. Diperhatikan juga
lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada. Peran EEG pada epilepsi adalah
sebagai berikut:

24
- Membantu menentukan tipe kejang
- Menunjukkan lokalisasi fokus kejang bila ada
- Membantu menentukan sindrom epilepsi
- Pemantauan keberhasilan terapi
- Membantu menentukan apakah terapi OAE dapat dihentikan
2. Pencitraan
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak yang mungkin
menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang
menyertai. Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi,
memperkirakan prognosis, dan merencanakan tata laksana klinis yang
sesuai. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan pencitraan
pilihan.

II.7 Tata Laksana7


a. Tata laksana umum
1. Informasi bagi anak, orang tua, dan keluarga
Keluarga yang memiliki anak dengan epilepsi berhak mendapatkan
informasi yang jelas dan akurat tentang kondisi anak, jenis epilepsi,
rencana terapi, efek samping dan interaksi OAE, aktivitas yang
diperbolehkan serta pengaruh epilepsi dalam kehidupan sehari-hari
2. Informasi untuk sekolah
Stigma negatif dalam tenang kejang masih dikhawatirkan oleh orang tua.
Sebaiknya hal ini dibicarakan ke pihak sekolah mengenai kondisi dan
penanganan anak di sekolah. Edukasi dan konseling psikologis dapat
membantu kesiapan pihak sekolah, anak, dan orang tua
3. Manajemen risiko
- Keamanan
1) Mandi dengan shower berisiko lebih kecil dibandingkan mandi
berendam
2) Jauhkan dan amankan benda-benda yang berpotensi meninmbulkan
luka bakar (setrika, dispenser air panas, kompor)
3) Berenang tanpa pengawasan tidak dianjurkan

25
4) Anak dianjurkan tidak bersepeda sendiri terutama di jalan raya, dan
wajib memakai helm pelindung
5) Tempat bermain yang tinggi seperti ayunan, perosotan sebaiknya
beralaskan karet
6) Terdapat 5% anak epilepsi dipicu oleh cahaya berkedip-kedip
(flickering light). OAE dapat menghilangkan respon fotosensitif ini
- Risiko kematian pada epilepsi
Pasien epilepsi berisiko tinggi mengalami kematian dini. Sebagian
besar kematian pada anak epilepsi berkaitan dengan kelainan
neurologis berat. Definisi sudden unexpected death in epilepsy
(SUDEP) adalah kematian yang tiba-tiba, bukan disebabkan oleh
trauma, tenggelam, tanpa atau dengan bukti adanya kejang, tanpa
status epileptikus, dan pemeriksaan post-mortem tidak menunjukkan
adanya keracunan atau kelainan anatomi sebagai penyebab kematian.
Mekanisme kematian pada SUDEP belum dapat diterangkan.
4. Pencetus kejang
- Depribasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
- Demam
- Konsumsi alkohol
- Video game (pada jenis epilepsi fotosensitif)
- Pencetus spesifik pada reflex epilepsy

b. Tata laksana medikamentosa


Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom
epilepsi harus pasti. Respons individu terhadap OAE tergantung dari tipe
kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi setiap kali
kunjungan.

26
Gambar 3. Obat Anti Epilepsi

Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap OAE lini
pertama atau lini kedua. Jika OAE lini pertama dan lini kedua masing-masing
gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain dalam
memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi patut
dipertimbangkan.
Efek samping OAE juga harus dipertimbangkan. Efek samping kronik
yaitu peningkatan berat badan, gangguan kognitif, hipertrofi gusi, gangguan
fungsi hati, leukopenia dan agranulositosis, dan asidosis metabolik. Selain itu,
OAE juga memiliki efek samping teratogenik, dimana janin berisiko
mengalami kelainan kongenital mayor sebesar 2%.
Penghentian OAE harus dipertimbangkan jika anak sudah bebas kejang
selama 2 tahun atau lebih. Secara keseluruhan, 60% sampai 70% anak
penyandang epilepsi yang telah bebas kejang 2 tahun atau lebih tidak akan
mengalami kejang kembali meskipun OAE dihentikan. Namun, 30% sampai
40% masih dapat kambuh dalam 2 tahun setelan bebas kejang.

27
c. Tata laksana non medikamentosa
1. Diet ketogenik. Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang
tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet ini dapat menurunkan
frekuensi kejang
2. Tindakan bedah. Pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus yang
tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat OAE kombinasi,
terdapat kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik
3. Stimulasi nervus vagus. Terapi ini dilaporkan efektif dalam mengurangi
frekuensi kejang pada epilepsi parsial dan epilepsi umum, serta sindrom
lennox-gastaut yang redrakter terhadap OAE

II.8 Prognosis
Bila seorang anak tanpa gangguan neurologis mengalami kejang tanpa
provokasi pertama kali, maka anak tersebut mempunyai risiko 24% untuk
mengalami kejang kedua pada tahun pertama, dan 45% untuk mengalami kejang
kedua dalam waktu 14 tahun kemudian. Jika anak tersebut memiliki gangguan
neurologis, maka risiko timbulnya kejang kedua dalam 1 tahun pertama lebih
besar, yaitu sampai 37%. Bila anak mengalami kejang tanpa provokasi kedua
dengan interval lebih dari 24 jam dari kejang pertama, maka risiko mengalami
kejang berikutnya meningkat hingga 70%1.
Secara keseluruhan, prognosis epilepsi pada anak lebih baik dibandingkan
epilepsi pada dewasa, terlebih bila terjadi pada anak tanpa gangguan neurologis
lain. Penanganan kejang lebih dini, usia awitan lebih muda, dan tidak adanya
kelainan di otak memberikan prognosis lebih baik. Sebaliknya, manifestasi status
epileptikus dan gambaran EEG abnormal menunjukkan prognosis lebih buruk1.

28
BAB III
ANALISA KASUS

Anamnesis
Epilepsi ditegakkan berdasarkan temuan klinis yaitu adanya (1) kejang
sebanyak 2 kali atau lebih yang tidak terprovokasi selama 24 jam atau lebih, atau
(2) kejang tidak terprovokasi atau refleks kejang sebanyak 1 kali dengan
kemungkinan kejang berulang setidaknya 60% atau lebih dalam 10 tahun, atau (3)
sindrom epilepsi.
Pada pasien : Terdapat kejang yang tidak terprovokasi sebanyak 5 kali dalam 24
jam. Pasien juga mengalami kejang berulang setiap bulan sejak usia 3 tahun. Dari
kriteria klinis tersebut, diagnosis epilepsi pada pasien sudah dapat ditegakkan.
Usia pasien 7 tahun 6 bulan dan tidak adanya demam yang menyertai juga
menyingkirkan kejang demam. Menurut AAP usia kejang demam adalah 6-60
bulan.
Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat disebabkan oleh kelainan struktural,
genetik, infeksi, metabolik, imun, dan tidak diketahui. Pada anak-anak, penyebab
kejang yang paling umum adalah genetik, cedera akibat gangguan perinatal, dan
malformasi perkembangan kortikal. Mencari faktor penyebab ialah bagian
terpenting dari diagnosis epilepsy menurut ILAE. Pada salah satu jurnal dikatakan
bahwa penyebab epilepsy pada anak 40% tidak diketahui.
Pada pasien : Etiologi pada pasien mungkin dikarenakan faktor genetik. Hal ini
berdasarkan riwayat keluarga yaitu pada ibu pasien pernah alami kejang sebanyak
2 kali saat berusia 2 tahun. Kejang yang dialami tanpa disertai demam. Selain itu,
pasien pertama kali kejang di usia 3 tahun setelah terjatuh dan kepalanya
membentur lantai. Hal ini dapat menjadi etiologi struktural akibat adanya trauma.
Namun, hal ini harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan penunjang. Pada pasien
juga tidak ada riwayat penyakit metabolik, imun, demam ataupun tanda infeksi
lainnya sebelum alami kejang, sehingga mungkin kejang pada pasien bukan
dikarenakan metabolik, imun, ataupun infeksi.
Pasien epilepsi sangat rentan mengalami kejang saat terdapat pencetus.
Faktor pencetus yang sering adalah devribasi tidur (tidur larut malam atau pola

29
tidur tidak normal), demam, konsumsi alkohol, video game (pada jenis epilepsi
fotosensitif), dan pencetus spesifik pada reflex epilepsy. 6) Terdapat 5% anak
epilepsi dipicu oleh cahaya berkedip-kedip (flickering light).
Pada pasien : Berdasarkan pengakuan ibu pasien, pasien seringkali bermain game
di hp dengan layar yang berkedap-kedip. Hal ini mungkin menjadi pencetus bagi
pasien karena fotosensitivitas yang dialami. Selain itu, pasien juga sering tidur
larut malam. Dengan kebiasaan tersebut, orang tua pasien harus diedukasi dengan
baik guna meminimalkan risiko terjadinya kejang kembali.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik & neurologis pada pasien epilepsi biasanya normal
tetapi kadang- kadang dapat memberikan petunjuk untuk penyebabnya pada
kejang fokal. Tanda fokal menunjukkan adanya lesi otak yang mendasarinya
seperti tangan dan wajah yang tidak simetris dapat menunjukkan atrofi serebral
terlokalisasi. Pemeriksaan fisik membantu dalam diagnosis sindrom epilepsi
spesifik yang menyebabkan temuan abnormal, seperti kelainan dermatologis
(misalnya, sindrom neurokutan seperti Sturge-Weber, tuberous sclerosis, dan lain-
lain).
Pada pasien : Keadaan umu, tanda vital, dan pemeriksaan generalis pasien tampak
dalam batas normal. Antropometri berdasarkan kurva CDC juga menunjukkan
keadaan gizi baik dengan perawakan normal. Pada pemeriksan neurologis
didapatkan refleks fisiologis positif, serta tidak ada tanda refleks patologis dan
rangsang meningeal yang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat peningkatan eritrosit, leukosit, trombosit, RDW, dan neutrofil pada
pasien. Hal ini dapat menjadi salah satu tanda adanya infeksi. Perlu diobservasi
lebih lanjut mengenai sumber infeksi yang mungkin terjadi, karena infeksi juga
dapat menjadi penyebab kejang pada pasien.
Tata Laksana
Obat Anti Epilepsi lini pertama sejauh ini masih menjadi pilihan utama
dalam terapi epilepsi. OAE yang termasuk dalam lini pertama yaitu fenobarbital,
fenitoin, asam valproat, dan karbamazepine. Sedangkan lini kedua yaitu
topiramat, levetiracetam, oxcarbazepine, dan lamotrigine.

30
Pada pasien : Diberikan lini pertama fenobarbital 200 mg, dilanjutkan 2x35 mg IV
bila kejang.
Fenobarbital bekerja pada reseptor GABA, dengan memperpanjang terbukanya
kanal clorida. Dosis 4-6mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis.
Efek samping dari fenobarbital yaitu ruam kulit, hiperaktifitas pada anak,
mengantuk, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kognitif.
Pada pasien tidak ditemukan efek samping tersebut.
Pasien juga diberikan cefotaxime 3x500 mg IV. Cefotaxime merupakan golongan
sefalosporin generasi ketiga untuk mengatasi kemungkinan infeksi yang terjadi
pada pasien. Antibiotik ini bekerja dengan cara berikatan dengan penicillin
binding protein melalui cincin beta laktam dan menghambat proses transpeptidase
dari dinding sel peptidoglikan bakteri.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Epilepsi pada Anak. Kementeri Kesehat
Republik Indones [Internet]. 2017;1–79. Available from:
https://www.idai.or.id/professional-resources/pedoman-konsensus/pedoma
n-nasional-pelayanan-kedokteran-tata-laksana-epilepsi-pada-anak
2. Fine A, Wirrell EC. Seizures in children. Pediatr Rev [Internet]. 2020;1–3.
Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32611798/
3. Minardi C, Minacapelli R, Valastro P, Vasile F, Pitino S, Pavone P, et al.
Epilepsy in children: From diagnosis to treatment with focus on
emergency. Journal of Clinical Medicine. 2019.
4. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L,
et al. ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE
Commission for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;
5. Vera R, Dewi M, Nursiah N. Sindrom Epilepsi Pada Anak. Maj Kedokt
Sriwij. 2014;46(1):72–6.
6. Pasumarthi K, Li C. Epilepsy Pathogenesis [Internet]. 2022 [cited 2022 Sep
10]. Available from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/Epilepsy-
Pathogenesis/
7. Perdossi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi.
2014.

32

Anda mungkin juga menyukai