Anda di halaman 1dari 41

CASE BASED DISCUSSION

CLOSE FRACTURE HUMERUS DEXTRA

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Di Bagian Ilmu
Bedah Orthopaedi Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Niken Ayu Kusumawardani (6120018010)

Pembimbing:
dr. Yunus, Sp. OT

Departemen SMF Ilmu Bedah Orthopaedi


Fakultas Kedokteran
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Based Discussion dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Bedah Orthopaedi RSI Jemursari Surabaya Fakultas Kedokteran Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Yunus, Sp. OT
selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Bedah Orthopaedi
serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.

Surabaya, 16 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8
ABSES PERIANAL ........................................................................................... 8
3.1. Anatomi .................................................................................................. 8
3.2. Definisi ................................................................................................. 11
3.3. Etiologi ................................................................................................. 11
3.4. Patofisiologi .......................................................................................... 13
3.5. Klasifikasi ............................................................................................. 16
3.6. Gejala Klinis ......................................................................................... 17
3.7. Diagnosis Abses Perianal ..................................................................... 19
3.8. Penatalaksanaan .................................................................................... 20
3.9. Prognosis .............................................................................................. 29
BAB IV RESUME ................................................................................................ 31
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur berarti deformasi atau diskontinuitas dari tulang
oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang. Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis
fraktur (transversal, spiral, oblik, segmental, komunitif), lokasi (diafise, metafise,
epifise) dan integritas dari kulit serta jaringan lunak yang mengelilingi (terbuka atau
compound dan tertutup). Kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma yang disebabkan
oleh kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Trauma
yang dapat menyebabkan fraktur berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung.
Fraktur humerus adalah salah satu fraktur yang cukup sering terjadi. Insiden
terjadinya fraktur shaft humerus dlaah 4 % dari semua kejadian fraktur. Fraktur shaft
dapat terjadi pada sepertiga proksimal, tegah dan distal. Fraktur korpus humeri dapat
terjadi semua usia. Pada bayi, humerus sering mengalami fraktur pada waktu persalinan
sulit, atau cedera nonaccidental .Fraktur ini dapat menyembuh dengan cepat dengan
pembentukan kalus massif dan tidak perlu perawatan. Pada orang dewasa, fraktur pada
humerus tidak umum terjadi. Terdapat beberapa jenis fraktur, tetapi dapat dirawat
dengan cara yang sama. Jika perawatan dilakukan dengan baik, maka tidak akan
menimbulkan masalah.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Murtini
No. Rekam Medis : 329398
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 59 tahun (06/07/1960)
Alamat : Rungkut Lor III / 49 – E Surabaya
No. Telepon : 085731341772
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Waktu Masuk RS : 3 Oktober 2019
Waktu Pemeriksaan : 3 Oktober 2019
Tempat Pemeriksaan : Ruang Azzahra 2 202.1

2.2 ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Nyeri pada lengan atas kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSI Jemursari dengan keluhan nyeri pada lengan atas
kanan sejak 2 minggu SMRS. Pasien merasakan lengannya semakin nyeri disertai
membengkak. Awalnya, 1 bulan SMRS pasien jatuh terpeleset di kamar mandi
dengan kondisi lengan atas kanan menumpu badannya. Saat jatuh, pasien masih
sadar penuh dan inget kejadiannya, serta kepala tidak terbentur, pusing (–), mual (–),
atau muntah (–). Setelah jatuh tidak langsung dibawa ke RS, tetapi dibawa alternatif
selama 2 mingguan setalah kejadian. Oleh karena tidak menunjukkan proses
penyembuhan, akhirnya dibawa ke RS, disarankan untuk melakukan Foto X–Ray,
dan ditemukan adanya patah tulang, kemudian direncanakan untuk operasi.
 Riwayat Penyakit Dahulu :

2
Penderita belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Hipertensi (–), DM
(–), Maag (–), Alergi obat tetapi tidak tahu nama obatnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal.
 Riwayat Pengobatan : sebelumnya pernah dibawa ke sangkal putung.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Cukup
Keasadaran : Compos Mentis, 4 – 5 – 6
Vital Sign :
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 98x/menit reguler
Pernafasan : 20x/menit
Temperature : 37,40C
Keadaan gizi : Lebih
TB : 150 cm
BB : 50 kg
BMI : 22 (normal)
B. Status Generalisata
Kepala / Leher : A/I/C/D –/–/–/–, Pembesaran kelenjar getah bening (–), trakea letak
tengah, pembesaran kelenjar tiroid (–).
Thoraks : normochest, simetris, retraksi intercostal (–), pernafasan
thoracoabdominal (–), sela iga melebar (–)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada retraksi, pergerakan dada simetris.
Palpasi : pengembangan paru simetris, fremitus raba simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler/vesikuler, rhonki –/–, wheezing –/–
Cor :
Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba

3
Perkusi : batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung kiri ICS 5
MCL kiri.
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (–), gallop (–)
Abdomen :
Inspeksi : Flat, tidak ada operasi, tidak ada massa.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (–), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema pitting –/–.
Status Lokalis :
Pada regio humerus dextra 1/3 medial didapatkan :
L : deformitas (+), edema (+), hiperemis (+)
F : hangat (+), krepitasi (+)
M : ROM terbatas karena nyeri

2.4 DIAGNOSIS KERJA


Close Fracture 1/3 Medial Os Humerus Dextra

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap 3 Oktober 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah lengkap
Leukosit 10,04 Ribu/uL 3,80 – 10,6
Basophil 0,425 % 0–1
Neutrophil 65,30 % 39,3 – 73,7
Limfosit 28,130 % 25 – 40
Eosinophil 0,155 % 2–4
Monosit 5,992 % 2–8
Eritrosit 4,39 Juta/ uL 4,40 – 5,90
Haemoglobin 12,20 g/dL 13,2 – 17,3
Hematokrit 38,5 % 40 – 52
Indeks Eritrosit
MCV 87,7 fL 80 – 100
MCH 27,8 Pg 26,0 – 34,0

4
MCHC 31,7 % 32 – 36
RDW-CV 12,4 % 11,5 – 14,5
Trombosit 313 Ribu/uL 150 – 440
MPV 8,087 fL 7,2 – 11,1
Fungsi Ginjal
BUN 13,5 mg/dL 10 – 20
Kreatinin 0,93 mg/dL 0,62 – 1,10
Hemostasis
PPT 14,8 Detik 11,8 – 15,1
APTT 26,1 Detik 25,0 – 38,4
Imunoserologi
HBsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Rapid Pre OP Non Reaktif Non Reaktif

Diagnosis : Abses Perianal + HHD + DM–ND V + Hiperkalemia


Penatalaksanaan :
- Infus NaCl 0,9% 1500cc dalam 24 jam
- Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gram IV
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg IV
- Rencana insisi dan drainase
FOLLOW UP

Tanggal Subject Object Assesment Planning


KU : lemah ProOP Fistulectomy
- Benjolan pecah dan GCS 456 11/09/2019
- Abses
berdarah 2x, dirasakan TD 154/79 mmHg - Infus RL lifeline
Perianal
10 Sept setelah BAB, masih Nadi 77x/mnt - Inj. Ceftriaxon 2x1g IV
- HHD
2019 terasa sakit RR 20x/menit - Inj. Ketorolac 3x30mg
- DM–ND V
- Terasa nyeri saat BAK T 36,50C IV
- Hiperkalemia
- OFF kateter (+) SpO2 99% - Tab Amlodipin 10 mg
GDA 126 1–0–0
KU : lemah - Infus RL lifeline
Post OP Fistulectomy
GCS 456 - Fistula - Inj. Santagesik 3x1g IV
- Tidak ada keluhan
TD 150/80 mmHg Perianal Post - Tab Metronidazole
- BAK dbn
11 Sept Nadi 80x/mnt Fistulectomy 3x500mg PO
- Mual, muntah, pusing
2019 RR 20x/menit - HHD - Tab Amlodipin 10 mg
(–)
T 36,60C - DM–ND V 1–0–0
- OFF tampon post op
SpO2 99% - Hiperkalemia - Rendam duduk Kalium
saat malamnya
GDA 120 mg/dL Permanganat 0,9%

5
selama 30 menit 2x
sehari
KU : lemah - Infus RL lifeline
GCS 456 - Inj. Santagesik 3x1g IV
- Fistula
Post OP Fistulectomy TD 140/80 mmHg - Tab Metronidazole
Perianal Post
- Tidak ada keluhan Nadi 78x/mnt 3x500mgPO
12 Sept Fistulectomy
- BAB 1x pagi ini RR 20x/menit - Tab Amlodipin 10 mg
2019 - HHD
- BAK dbn T 36,3◦C 1–0–0
- DM–ND V
SpO2 99% - Rendam duduk KP
- Hiperkalemia
GDA 124 mg/dL 0,9% selama 30 menit
GDP 90 mg/dL 2x sehari

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. ANATOMI HUMERUS dan JARINGAN SEKITARNYA


Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari ekstremitas
superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan skapula dan pada
bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang, ulna dan radius (Tortora GJ,
2009).
Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang
bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk articulatio gleno–
humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collum anatomicum yang terlihat
sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral
pada bagian distal dari collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda
tulang bagian paling lateral yang teraba pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan
tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis.
Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan humerus pada bagian distal dari
kedua tuberculum, dimana caput humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri.
Bagian tersebut dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian
ini (Tortora GJ, 2009).
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder pada
ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk segitiga hingga
akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di
pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut
sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon
musculus deltoideus (Tortora GJ, 2009).
Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian distal
dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada
sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu
depresi anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan
difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri,
bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima
processus coronoideus ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu

7
depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan.
Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi
medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan
menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat
nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada
permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis (Tortora GJ, 2009).

Tampilan Anterior Tulang Humerus

8
Tampilan Posterior Humerus
Berikut ini merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan humerus:
OTOT ORIGO INSERTIO AKSI PERSARAFAN
Otot – Otot Aksial Yang menggerakkan Humerus
Aduksi dan merotasi
Clavicula, medial lengan pada
sternum, Tuberculum sendi bahu; kepala
Nervus
cartilago majus & sisi clavicula
M. pectoralis pectoralis
costalis II–VI, lateral sulcus memfleksikan lengan
Major medialis dan
terkadang intertubercularis dan kepala sternocostal
lateralis
cartilago dari humerus mengekstensikan
costalis I–VII lengan yang fleksi tadi
ke arah truncus
Spina T7–L5,
vertebrae
Ekstensi, aduksi, dan
lumbales, crista
Sulcus merotasi medial lengan
M. latissimus sacralis dan Nervus
intertubercularis pada sendi bahu;
dorsi crista iliaca, thoracodorsalis
dari humerus menarik lengan ke arah
costa IV inferior
inferior dan posterior
melalui fascia
thoracolumbalis
Otot – Otot Scapula Yang Menggerakkan Humerus

9
Serat lateral
Extremitas mengabduksi lengan
acromialis dari pada sendi bahu; serat
clavicula, anterior memfleksikan
Tuberositas
acromion dari dan merotasi medial
M. deltoideus deltoidea dari Nervus axillaris
scapula (serat lengan pada sendi
humerus
lateral), dan bahu, serat posterior
spina scapulae mengekstensikan dan
(serat posterior) merotasi lateral lengan
pada sendi bahu.
Fossa Tuberculum
M. Merotasi medial Nervus
subscapularis minus dari
subscapularis lengan pada sendi bahu subscapularis
dari scapula humerus
Membantu M.
Fossa Tuberculuum
M. deltoideus Nervus
supraspinata majus dari
supraspinatus mengabduksi pada subscapularis
dari scapula humerus
sendi bahu
Fossa Tuberculum
Merotasi lateral lengan Nervus
M. infraspinatus infraspinata dari majus dari
pada sendi bahu suprascapularis
scapula humerus
Mengekstensikan
Sisi medial lengan pada sendi bahu
Angulus inferior Nervus
M. teres major sulcus dan membantu aduksi
dari scapula subscapularis
intertubercularis dan rotasi medial
lengan pada sendi bahu
Margo lateralis Tuberculum Merotasi lateral dan
M. teres minor inferior dari majus dari ekstensi lengan pada Nervus axillaris
scapula humerus sendi bahu
Processus Pertengahan sisi Memfleksikan dan
M. Nervus
coracoideus dari medial dari aduksi lengan pada
coracobrachialis musculocutaneus
scapula corpus humeri sendi bahu

10
Tampilan Anterior Saraf di Sekitar Humerus

Tampilan Lateral Saraf di Sekitar Humerus

11
Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang melingkari
periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera akibat
patah tulang humerus bagian tengah. Secara klinis, pada cedera nervus radialis didapati
ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu
melakukan fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam (Rasjad, 2010).

12
Vaskularisasi Di Tulang Humerus

3.2. FRAKTUR HUMERUS


3.2.1. DEFINISI
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus
(Rasjad, 2007).

3.2.2. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan
Trauma dapat bersifat (Rasjad, 2007) :
1. Langsung

13
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa (Rasjad, 2007):
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian
tulang

3.2.3. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus
dari seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7%
kasus dari seluruh fraktur (Emedicine, 2012). Sedangkan kejadian fraktur distal
humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari seluruh fraktur. Walaupun
berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan yang paling jarang
terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus, terutama pada wanitu tua
dengan osteoporosis (Aaron N, 2011).
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan
umur rata–rata 64,5 tahun, merupakan fraktur ketiga yang paling sering terjadi
setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih sering
pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata–rata 54,8 tahun (Emedicine,
2012).

14
3.2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma
Association (OTA)
 Tipe A : Fraktur sederhana (simple fracture)
 A1 : spiral (.1 pada 1/3 proksimal, .2 pada 1/3 tengah, .3 pada 1/3 distal)
 A2 : oblik (>30°)
 A3 : transversa (<30°)

 Tipe B : Fraktur Baji (Wedge Fracture)


 B1 : Spiral Wedge
 B2 : Bending Wedge
 B3 : Fragmented Wedge

15
 Tipe C : Fraktur Kompleks (Complex Fracture)
 C1 : Spiral
 C2 : Segmental
 C3 : Ireguler

Klasifikasi fraktur humerus berdasarkan arah pergeserannya dibagi menjadi 3 :


1. Fraktur Proximal Humerus
Fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yang lebih tua,
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high–energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinisnya adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat
digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan
pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.
Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang :
1. Caput / kepala humerus
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft

16
I

MINIMAL DISPLACEMENT

2-PART 3-PART 4-PART

II

ANATOMICAL NECK

III

SURGICALL NECK

IV

GREATER TUBEROSITY

LESSER TUBEROSITY

ARTICULAR SURFACE

VI

FRACTURE DISLOCATION
A

Klasifikasi fraktur humerus menurut Neer, antara lain:

17
1. One – part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis
fraktur
2. Two – part fracture :
 anatomic neck
 surgical neck
 Tuberculum mayor
 Tuberculum minor
3. Three – part fracture :
 Surgical neck dengan tuberkulum mayor
 Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four – part fracture
5. Fracture – dislocation
6. Articular surface fracture

2. Fraktur Shaft Humerus


Fraktur yang sering terjadi sekitar 60% kasus adalah fraktur
sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10%
sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung
maupun tidak langsung.
Gejala klinisnya adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan dapat terjadi
pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan neurovaskuler
penting dengan memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat
bengkak, pemeriksaan neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali
tanda–tanda dari sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat
krepitasi pada manipulasi lembut. Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus :
a. Fraktur terbuka atau tertutup
b. Lokasi : sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal
c. Derajat : dengan pergeseran atau tanpa pergeseran
d. Karakter : transversal, oblique, spiral, segmental, komunitif
e. Kondisi intrinsik dari tulang
f. Ekstensi artikular

18
3. Fraktur Distal Humerus
Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya sekitar 2% untuk
semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur
humerus (Egol, 2010).
Mekanisme cedera dapat terjadi karena trauma langsung atau tidak
langsung. Trauma langsung contohnya apabila terjatuh atau terpeleset dengan
posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur
atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi
tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa
terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua (Egol, 2010).
Gejala klinisnya adalah pada daerah siku dapat terlihat bengkak,
kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku
lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri
tekan, krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas normal (Thompson, 2010)
a) Suprakondiler Fraktur
Merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah siku, dan
sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang
mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini
dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran
posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada
bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang
terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal
melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan
dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen
distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.(11)
Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya
terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi
pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pemeriksaan klinis didapati siku
yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan
pada foto rontgen didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen
distal yang terdislokasi ke posterior.(11)

19
Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku
mengalami pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur
tulang abnormal. Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan
harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan
vaskularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara cepat dapat terjadi: "Acute
Volksman Ischaemic" dengan tanda–tanda: pulseless; pale; pain; paresa;
paralysis (Noffsinger, 2012).
Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu
jari dan jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan
sensorik pada bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati
ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari.
Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf
medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari
lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada
cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati
ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi.
1) Pada Dewasa
 Fraktur Suprakondilus Extension Type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada
tangan yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen
distal terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi)
terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai
jaringan lunak bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n.
medianus. Periosteum posterior utuh, sedangkan periosteum anterior
ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan
(Noffsinger, 2012).
 Fraktur Suprakondilus Flexion Type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma
langsung pada sendi siku pada distal humeri.(11)
2) Pada Anak
Angka kejadiannya sekitar 55%–75% dari semua fraktur siku.
Insidensi puncaknya pada usia 5–8 tahun. 98% dari fraktur suprakondiler

20
pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi. Gejala klinisnya
adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat digerakkan. Dapat
ditemukan Pucker Sign, cekungan dari kulit pada bagian anterior akibat
penetrasi dari fragmen proximal ke muskulus brakhialis. Pada anak,
fraktur suprakondiler dapat diklasifikasikan menurut Gartland.
Klasifikasi Gartland (Egol, 2010) :
Tipe I : tidak ada pergeseran
Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai
angulasi atau rotasi
Tipe III : pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
b) Transkondiler Fraktur
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik (Egol, 2010).
c) Interkondiler Fraktur
Pada dewasa, jenis fraktur ini yang paling sering diantara tipe fraktur
humerus distal yang lain (Egol, 2010).
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen
kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
d) Kondiler Fraktur
1) Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius & ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen
2) Pada Anak
 Lateral Condyler Physeal Fractures(9)
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari
seluruh fraktur distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak
berusia 6 tahun.

21
Klasifikasi Milch :
Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui
celah kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter-
harris tipe IV. Siku stabil dikarenakan troklea intak.
Tipe II : garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul
pada fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh
karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I : fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
 Medial Condyler Physeal Fractures (Egol, 2010).
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini
timbul pada fraktur salter-harris tipe II.
Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe VI.
Klasifikasi kilfoyle :
Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan
otot fleksor

3.2.5. DIAGNOSIS
3.2.5.1 ANAMNESIS (Reksoprodjo, 2009)
a) Auto Anamnesis
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa.
Ditanyakan persoalan: mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan;
penderita bercerita tentang keluhan sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai
ketidakberesan; bagian apa dari anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada
pengertian yang berbeda misalnya “… sakit di tangan ….”, yang dimaksud

22
tangan oleh orang awam adalah anggota gerak atas dan karenanya tanyakan
bagian mana yang dimaksud, mungkin saja lengan bawahnya.
Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau
beberapa penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan
anamnesis demikian perlu pengetahuan tentang penyakit. Ada beberapa hal yang
menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik,
terus-menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan
3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai
nyeri, sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah yang dimaksud instability atau kekakuan otot menurun / melemah
/ kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif
(ditanya oleh pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala
penyakit) dipikirkan kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang
didapat pada anamnesis dapat dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.

b) Allo Anamnesis

23
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang
menceritakan adalah orang lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan
anak kecil/bayi atau orang tua yang sudah mulai dementia atau penderita yang
tidak sadar/sakit jiwa; oleh karena itu perlu dicatat siapa yang memberikan allo
anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu
rumah tangga dapat memberikan keterangan yang lebih baik
- juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan
keterangan yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.

3.2.5.2 PEMERIKSAAN FISIK (Reksoprodjo, 2009)


Dibagi menjadi dua yaitu (1) pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan (2) pemeriksaan setempat (status lokalis).
a) Gambaran umum:
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan Umum (KU): baik/buruk, yang dicatat adalah tanda-tanda vital:
- Kesadaran penderita; apatis, sopor, koma, gelisah
- Kesakitan
- Tanda vital seperti tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu
2) Kemudian secara sistematik diperiksa dari kepala, leher, dada (toraks), perut
(abdomen: hepar, lien) kelenjar getah bening, serta kelamin
3) Ekstremitas atas dan bawah serta punggung (tulang belakang)
b) Pemeriksaan lokal:
Harus dipertimbangkan keadaan proksimal serta bagian distal dari
anggota terutama mengenai status neuro vaskuler. Pada pemeriksaan
orthopaedi/muskuloskeletal yang penting adalah:
1) Look (inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau terbuka

24
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
2) Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki
agar dimulai dari posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun
si pasien, karena itu perlu selalu diperhatikan wajah si pasien atau
menanyakan perasaan si pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit
pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3) Move (pergerakan terutama mengenai lingkup gerak)
Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan
menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selaiam untuk
mendapatkan kooperasi anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk
mengetahui gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar kita dapat berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat
gerakan abnormal di daerah fraktur (kecuali pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankilosis dan hal ini dapat disebabkan oleh faktor
intra artikuler atau ekstra artickuler.

25
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan
kerusakan tulang subkondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament
dan kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (penderita sendiri
disuruh menggerakkan) dan pasif (dilakukan oleh pemeriksa). Selain
pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting
untuk melihat kemajuan / kemunduran pengobatan. Selain diperiksa pada
posisi duduk dan berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri dan jalan. Jalan
perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena instability,
nyeri, discrepancy, fixed deformity.
Anggota gerak atas:
- Sendi bahu: merupakan sendi yang bergerak seperti bumi (global joint);
ada beberapa sendi yang mempengaruhi gerak sendi bahu yaitu: gerak
tulang belakang, gerak sendi sternoklavikula, gerak sendi
akromioklavikula, gerak sendi gleno humeral, gerak sendi scapula torakal
(floating joint).
Karena gerakan tersebut sukar diisolasi satu persatu, maka sebaiknya
gerakan diperiksa bersamaan kanan dan kiri; pemeriksa berdiri di belakang
pasien, kecuali untuk eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka
pemeriksa ada di samping pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon terhadap
humerus). Gerak pronasi dan supinasi adalah gerakan dari antebrachii dan
memiliki sumbu ulna; hal ini diperiksa pada posisi siku 90˚ untuk
menghindari gerak rotasi dari sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Pada dasarnya merupakan gerak dari radio karpalia dan posisi netral
adalah pada posisi pronasi, dimana jari tengah merupakan sumbu dari
antebrachii. Diperiksa gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar
deviasi.
- Jari tangan:

26
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai gerakan
aposisi terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan adduksi, ekstensi, dan
fleksi.
Jari-jari lainnya hamper sama, MCP (Meta Carpal Phalangeal Joint)
merupakan sendi pelana dan deviasi radier atau ulnar dicatat tersendiri,
sedangkan PIP (Proximal Inter Phalanx) dan DIP (Distal Inter Phalanx)
hanya diukur fleksi dan ekstensi.

3.2.5.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS (Reksoprodjo, 2009)


Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan
lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua:
a) Dua posisi proyeksi; dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior
dan lateral
b) Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proximal dan distal
sendi yang mengalami fraktur
c) Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua
anggota gerak terutama pada fraktur epifisis
d) Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua
daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu
dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang
e) Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid
foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya
10-14 hari kemudian.
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu
dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan
lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.

3.2.5.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Reksoprodjo, 2009)

27
Pemeriksaan laboratorium meliputi:
a) Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut/menahun
b) atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi,
fungsi hati/ginjal
c) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test

3.2.6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan secara umum (Purwadianto, 2000):
a) Bila terjadi trauma, dilakukan Primary Survey terlebih dahulu.
b) Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan
fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak
bagian atas untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat
tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam
jangka waktu sesingkat mungkin (Reksoprodjo, 2009).
a) Fraktur proksimal humeri
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang
cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu.
Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar
sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal
ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi
dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder
spica).
b) Fraktur shaft humeri
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi
dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose.
Bila kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U
slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.

28
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging
cast terutama dipakai pada penderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen
distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera N.Radialis,
harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk
humerus disertai eksplorasi N. Radialis. Bila ditemukan N. Radialis putus
(neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro.
Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan
konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
c) Fraktur suprakondiler humeri
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose
umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai A.Radialis
mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan A.Radialis
teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips
spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan
otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips
dapat dipertahankan dalam waktu 3–6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku
diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi
dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis
patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal
ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
d) Fraktur transkondiler humeri
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal
atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi
reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.
e) Fraktur interkondiler humeri
Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan
immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan
sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi

29
reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan Plate–Screw (Reksoprodjo,
2009).
f) Fraktur kondilus lateral & medial humeri
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi
tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya
kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang
fiksasi interna dengan Plate–Screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan
debridement dan dilakukan fiksasi luar (Reksoprodjo, 2009).

3.2.7. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
a) Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini

30
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur. (Arif Muttaqin, 2008 )
b) Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. ( Arif Muttaqin, 2008 ).

3.2.8. PENATALAKSANAAN
Rehabilitation Guidelines For Proximal Humerus Fracture – ORIF
(Crall, 2016)
PHASE I (1 – 3 WEEKS)
 Begin physical therapy at 1 week post op, 2 x/week
Appointments
 Follow up with MD 10-14 days post op.
Rehabilitation Goals  Protect repair

31
 Minimize pain and swelling
 Maintain ROM of surrounding joints
 Prevent adhesive capsulitis
 Minimize cardiovascular deconditioning
 Sling at all times or per MD
 No AROM, lifting, pushing, pulling x 6 weeks
Precautions  No ER > 40 degrees or excessive shoulder EXT x 6
weeks
 No supporting of body weight
 PROM of shoulder:
- Flexion to 90 degrees
- ER to 30 degrees
- IR to tolerance (no behind back)
Suggested Therapeutic  Scapular clocks :
Exercises - Elevation, depression, retraction, protraction
 Pendulums (Codman’s)
 Incision mobilization
 Cervical, hand, wrist, elbow AROM – thumb to
shoulder, make fist
Cardiovascular Exercises  Stationary bike in sling
 Per X-ray evidence of healing
Progression Criteria
 PROM flexion to 90 degrees, ER to 30 degrees
PHASE II (WEEKS 3 – 6)
Appointments  Continue physical therapy 2 x/week
 Regain PROM
Rehabilitation Goals  Gentle functional use
 No resistance
 Sling and ROM limitations per MD
 No IR/ER
Precautions  No driving
 No pushing, pulling, lifting
 No cuff strengthening
 PROM in scapular plane (no hand behind back IR)
 AAROM:
- flexion to 90 degrees
Suggested Therapeutic - ER to 40 degrees
Exercises  Pulleys
 AROM of elbow, wrist and hand
 Continue scapular isometrics and clocks
 Grade I – II GH and scapular mobilizations

32
 Cardiovascular conditioning in sling per MD
 UBE no resistance
Cardiovascular Exercises
 Stationary bike
 Pool at week 3 for ROM maintaining MD ROM limits
 Per X-ray evidence of healing
Progression Criteria
 AAROM flexion to 90 degrees, ER to 40 degrees
PHASE III (WEEKS 6 – 12)
 Continue physical therapy 2 x/week, may decrease to
Appointments
1 x week per PT discretion
(Phase III Continued)
 Regain full PROM
Rehabilitation Goals
 Sling use per MD based on x–ray evidence of healing
 May begin driving
Precautions  20 # weight limit
 No pushing or pulling
 No overhead activity
 Continue PROM/AAROM/AROM cervical, shoulder,
elbow, wrist and hand
 Pec minor stretching to minimize scapular protraction
with flexion
 Submaximal isometric RTC exercises at 6 week
Suggested Therapeutic
 Progressive isotonic RTC exercises at 8 weeks, low
Exercises
weights, high reps
 Grade III – IV GH and scapular mobilizations at 8
weeks
 Posterior scapular stretching at 8 weeks if needed
 General UE strengthening at 10 weeks
 UBE with light resistance
Cardiovascular Exercises  Stationary bike
 Swimming per MD
 Advance to work/sport specific conditioning once
Progression Criteria AROM is = bilateral and strength is 4+/5 in all
directions
PHASE IV (WEEKS 12+)
Appointments  Continue physical therapy 1 x/week
 Full ROM in all planes
Rehabilitation Goals
 Transition to HEP
 Per MD but generally no lifting, pushing or pulling
Precautions
precautions at this point

33
 No overhead lifting until 4-6 months post op
 AROM of cervical shoulder, elbow, wrist and hand
Suggested Therapeutic
emphasizing end ROM
Exercises
 GH and scapular joint mobilizations as needed
Pec minor stretching
(Phase IV Continued)
 Posterior capsule stretching
Suggested Therapeutic
 Anterior deltoid strength and scapular stabilization
Exercises
 General UE strengthening
Cardiovascular Exercises  No restrictions
Progression Criteria  DC to HEP

34
BAB IV
RESUME

35
BAB V
KESIMPULAN

Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.
Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat
menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar
tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luas dan tingkat
kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya.
Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepat dan tepat
untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.

36
DAFTAR PUSTAKA

Crall, Timothy. 2016. Rehabilitation Guidelines For Proximal Humerus Fracture – ORIF.
Accessed: 19th October 2019. Avaible from:
https://www.mammothortho.com/pdf/proximal-humerus-fracture-orif-crall.pdf.
Rasjad, C., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, Bab 42; Sistem
Muskuloskeletal.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, Bab. 14;
Trauma.
Tortora G.J. & Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, Chapter 8; The Skeletal System: The
Appendicular Skeleton.
Tortora G.J. & Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular System.
Standring, S. 2008. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, Chapter 48; General
Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
Wang, E.D. & Hurst, L.C. 2006. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia: Elsevier,
Chapter 15; Elbow and Forearm.
Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview.
Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults. Accessed: 2nd
February 2012. Available from: http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. 2010. Handbook Of Fractures. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins. p. 193–229; 604–614.
Thompson, J.C. 2010. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia: Elsevier
Inc. p. 109–116.
Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at www.emedicine.com.
Accessed on 4thMarch 2012
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher,
Bab 9; Orthopaedi.
Purwadianto A, Budi S. 2000. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, Bab 7;
Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.

37
38

Anda mungkin juga menyukai