Oleh :
Niken Ayu Kusumawardani (6120018010)
Pembimbing:
dr. Yunus, Sp. OT
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Based Discussion dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Bedah Orthopaedi RSI Jemursari Surabaya Fakultas Kedokteran Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Yunus, Sp. OT
selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Bedah Orthopaedi
serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8
ABSES PERIANAL ........................................................................................... 8
3.1. Anatomi .................................................................................................. 8
3.2. Definisi ................................................................................................. 11
3.3. Etiologi ................................................................................................. 11
3.4. Patofisiologi .......................................................................................... 13
3.5. Klasifikasi ............................................................................................. 16
3.6. Gejala Klinis ......................................................................................... 17
3.7. Diagnosis Abses Perianal ..................................................................... 19
3.8. Penatalaksanaan .................................................................................... 20
3.9. Prognosis .............................................................................................. 29
BAB IV RESUME ................................................................................................ 31
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada lengan atas kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSI Jemursari dengan keluhan nyeri pada lengan atas
kanan sejak 2 minggu SMRS. Pasien merasakan lengannya semakin nyeri disertai
membengkak. Awalnya, 1 bulan SMRS pasien jatuh terpeleset di kamar mandi
dengan kondisi lengan atas kanan menumpu badannya. Saat jatuh, pasien masih
sadar penuh dan inget kejadiannya, serta kepala tidak terbentur, pusing (–), mual (–),
atau muntah (–). Setelah jatuh tidak langsung dibawa ke RS, tetapi dibawa alternatif
selama 2 mingguan setalah kejadian. Oleh karena tidak menunjukkan proses
penyembuhan, akhirnya dibawa ke RS, disarankan untuk melakukan Foto X–Ray,
dan ditemukan adanya patah tulang, kemudian direncanakan untuk operasi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
2
Penderita belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Hipertensi (–), DM
(–), Maag (–), Alergi obat tetapi tidak tahu nama obatnya.
Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal.
Riwayat Pengobatan : sebelumnya pernah dibawa ke sangkal putung.
3
Perkusi : batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung kiri ICS 5
MCL kiri.
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (–), gallop (–)
Abdomen :
Inspeksi : Flat, tidak ada operasi, tidak ada massa.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (–), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema pitting –/–.
Status Lokalis :
Pada regio humerus dextra 1/3 medial didapatkan :
L : deformitas (+), edema (+), hiperemis (+)
F : hangat (+), krepitasi (+)
M : ROM terbatas karena nyeri
4
MCHC 31,7 % 32 – 36
RDW-CV 12,4 % 11,5 – 14,5
Trombosit 313 Ribu/uL 150 – 440
MPV 8,087 fL 7,2 – 11,1
Fungsi Ginjal
BUN 13,5 mg/dL 10 – 20
Kreatinin 0,93 mg/dL 0,62 – 1,10
Hemostasis
PPT 14,8 Detik 11,8 – 15,1
APTT 26,1 Detik 25,0 – 38,4
Imunoserologi
HBsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Rapid Pre OP Non Reaktif Non Reaktif
5
selama 30 menit 2x
sehari
KU : lemah - Infus RL lifeline
GCS 456 - Inj. Santagesik 3x1g IV
- Fistula
Post OP Fistulectomy TD 140/80 mmHg - Tab Metronidazole
Perianal Post
- Tidak ada keluhan Nadi 78x/mnt 3x500mgPO
12 Sept Fistulectomy
- BAB 1x pagi ini RR 20x/menit - Tab Amlodipin 10 mg
2019 - HHD
- BAK dbn T 36,3◦C 1–0–0
- DM–ND V
SpO2 99% - Rendam duduk KP
- Hiperkalemia
GDA 124 mg/dL 0,9% selama 30 menit
GDP 90 mg/dL 2x sehari
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
7
depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan.
Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi
medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan
menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat
nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada
permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis (Tortora GJ, 2009).
8
Tampilan Posterior Humerus
Berikut ini merupakan tabel tentang saraf dan otot yang menggerakkan humerus:
OTOT ORIGO INSERTIO AKSI PERSARAFAN
Otot – Otot Aksial Yang menggerakkan Humerus
Aduksi dan merotasi
Clavicula, medial lengan pada
sternum, Tuberculum sendi bahu; kepala
Nervus
cartilago majus & sisi clavicula
M. pectoralis pectoralis
costalis II–VI, lateral sulcus memfleksikan lengan
Major medialis dan
terkadang intertubercularis dan kepala sternocostal
lateralis
cartilago dari humerus mengekstensikan
costalis I–VII lengan yang fleksi tadi
ke arah truncus
Spina T7–L5,
vertebrae
Ekstensi, aduksi, dan
lumbales, crista
Sulcus merotasi medial lengan
M. latissimus sacralis dan Nervus
intertubercularis pada sendi bahu;
dorsi crista iliaca, thoracodorsalis
dari humerus menarik lengan ke arah
costa IV inferior
inferior dan posterior
melalui fascia
thoracolumbalis
Otot – Otot Scapula Yang Menggerakkan Humerus
9
Serat lateral
Extremitas mengabduksi lengan
acromialis dari pada sendi bahu; serat
clavicula, anterior memfleksikan
Tuberositas
acromion dari dan merotasi medial
M. deltoideus deltoidea dari Nervus axillaris
scapula (serat lengan pada sendi
humerus
lateral), dan bahu, serat posterior
spina scapulae mengekstensikan dan
(serat posterior) merotasi lateral lengan
pada sendi bahu.
Fossa Tuberculum
M. Merotasi medial Nervus
subscapularis minus dari
subscapularis lengan pada sendi bahu subscapularis
dari scapula humerus
Membantu M.
Fossa Tuberculuum
M. deltoideus Nervus
supraspinata majus dari
supraspinatus mengabduksi pada subscapularis
dari scapula humerus
sendi bahu
Fossa Tuberculum
Merotasi lateral lengan Nervus
M. infraspinatus infraspinata dari majus dari
pada sendi bahu suprascapularis
scapula humerus
Mengekstensikan
Sisi medial lengan pada sendi bahu
Angulus inferior Nervus
M. teres major sulcus dan membantu aduksi
dari scapula subscapularis
intertubercularis dan rotasi medial
lengan pada sendi bahu
Margo lateralis Tuberculum Merotasi lateral dan
M. teres minor inferior dari majus dari ekstensi lengan pada Nervus axillaris
scapula humerus sendi bahu
Processus Pertengahan sisi Memfleksikan dan
M. Nervus
coracoideus dari medial dari aduksi lengan pada
coracobrachialis musculocutaneus
scapula corpus humeri sendi bahu
10
Tampilan Anterior Saraf di Sekitar Humerus
11
Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang melingkari
periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera akibat
patah tulang humerus bagian tengah. Secara klinis, pada cedera nervus radialis didapati
ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu
melakukan fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam (Rasjad, 2010).
12
Vaskularisasi Di Tulang Humerus
3.2.2. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan
Trauma dapat bersifat (Rasjad, 2007) :
1. Langsung
13
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa (Rasjad, 2007):
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian
tulang
3.2.3. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus
dari seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7%
kasus dari seluruh fraktur (Emedicine, 2012). Sedangkan kejadian fraktur distal
humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari seluruh fraktur. Walaupun
berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan yang paling jarang
terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus, terutama pada wanitu tua
dengan osteoporosis (Aaron N, 2011).
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan
umur rata–rata 64,5 tahun, merupakan fraktur ketiga yang paling sering terjadi
setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih sering
pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata–rata 54,8 tahun (Emedicine,
2012).
14
3.2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma
Association (OTA)
Tipe A : Fraktur sederhana (simple fracture)
A1 : spiral (.1 pada 1/3 proksimal, .2 pada 1/3 tengah, .3 pada 1/3 distal)
A2 : oblik (>30°)
A3 : transversa (<30°)
15
Tipe C : Fraktur Kompleks (Complex Fracture)
C1 : Spiral
C2 : Segmental
C3 : Ireguler
16
I
MINIMAL DISPLACEMENT
II
ANATOMICAL NECK
III
SURGICALL NECK
IV
GREATER TUBEROSITY
LESSER TUBEROSITY
ARTICULAR SURFACE
VI
FRACTURE DISLOCATION
A
17
1. One – part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis
fraktur
2. Two – part fracture :
anatomic neck
surgical neck
Tuberculum mayor
Tuberculum minor
3. Three – part fracture :
Surgical neck dengan tuberkulum mayor
Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four – part fracture
5. Fracture – dislocation
6. Articular surface fracture
18
3. Fraktur Distal Humerus
Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya sekitar 2% untuk
semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur
humerus (Egol, 2010).
Mekanisme cedera dapat terjadi karena trauma langsung atau tidak
langsung. Trauma langsung contohnya apabila terjatuh atau terpeleset dengan
posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur
atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi
tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa
terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua (Egol, 2010).
Gejala klinisnya adalah pada daerah siku dapat terlihat bengkak,
kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku
lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri
tekan, krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas normal (Thompson, 2010)
a) Suprakondiler Fraktur
Merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah siku, dan
sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang
mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini
dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran
posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada
bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang
terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal
melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan
dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen
distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.(11)
Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya
terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi
pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pemeriksaan klinis didapati siku
yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan
pada foto rontgen didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen
distal yang terdislokasi ke posterior.(11)
19
Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku
mengalami pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur
tulang abnormal. Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan
harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan
vaskularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara cepat dapat terjadi: "Acute
Volksman Ischaemic" dengan tanda–tanda: pulseless; pale; pain; paresa;
paralysis (Noffsinger, 2012).
Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu
jari dan jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan
sensorik pada bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati
ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari.
Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf
medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari
lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada
cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati
ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi.
1) Pada Dewasa
Fraktur Suprakondilus Extension Type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada
tangan yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen
distal terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi)
terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai
jaringan lunak bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n.
medianus. Periosteum posterior utuh, sedangkan periosteum anterior
ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan
(Noffsinger, 2012).
Fraktur Suprakondilus Flexion Type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma
langsung pada sendi siku pada distal humeri.(11)
2) Pada Anak
Angka kejadiannya sekitar 55%–75% dari semua fraktur siku.
Insidensi puncaknya pada usia 5–8 tahun. 98% dari fraktur suprakondiler
20
pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi. Gejala klinisnya
adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat digerakkan. Dapat
ditemukan Pucker Sign, cekungan dari kulit pada bagian anterior akibat
penetrasi dari fragmen proximal ke muskulus brakhialis. Pada anak,
fraktur suprakondiler dapat diklasifikasikan menurut Gartland.
Klasifikasi Gartland (Egol, 2010) :
Tipe I : tidak ada pergeseran
Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai
angulasi atau rotasi
Tipe III : pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
b) Transkondiler Fraktur
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik (Egol, 2010).
c) Interkondiler Fraktur
Pada dewasa, jenis fraktur ini yang paling sering diantara tipe fraktur
humerus distal yang lain (Egol, 2010).
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen
kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
d) Kondiler Fraktur
1) Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius & ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen
2) Pada Anak
Lateral Condyler Physeal Fractures(9)
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari
seluruh fraktur distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak
berusia 6 tahun.
21
Klasifikasi Milch :
Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui
celah kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter-
harris tipe IV. Siku stabil dikarenakan troklea intak.
Tipe II : garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul
pada fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh
karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I : fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
Medial Condyler Physeal Fractures (Egol, 2010).
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini
timbul pada fraktur salter-harris tipe II.
Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe VI.
Klasifikasi kilfoyle :
Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan
otot fleksor
3.2.5. DIAGNOSIS
3.2.5.1 ANAMNESIS (Reksoprodjo, 2009)
a) Auto Anamnesis
Dicatat tanggal saat melakukan anamnesis dari dan oleh siapa.
Ditanyakan persoalan: mengapa datang, untuk apa dan kapan dikeluhkan;
penderita bercerita tentang keluhan sejak awal dan apa yang dirasakan sebagai
ketidakberesan; bagian apa dari anggotanya/lokalisasi perlu dipertegas sebab ada
pengertian yang berbeda misalnya “… sakit di tangan ….”, yang dimaksud
22
tangan oleh orang awam adalah anggota gerak atas dan karenanya tanyakan
bagian mana yang dimaksud, mungkin saja lengan bawahnya.
Kemudian ditanyakan gejala suatu penyakit atau beberapa penyakit atau
beberapa penyakit yang serupa sebagai pembanding. Untuk dapat melakukan
anamnesis demikian perlu pengetahuan tentang penyakit. Ada beberapa hal yang
menyebabkan penderita datang untuk minta pertolongan:
1) Sakit/nyeri
Sifat dari sakit/nyeri:
- Lokasi setempat/meluas/menjalar
- Ada trauma riwayat trauma tau tidak
- Sejak kapan dan apa sudah mendapat pertolongan
- Bagaimana sifatnya: pegal/seperti ditusuk-tusuk/rasa panas/ditarik-tarik,
terus-menerus atau hanya waktu bergerak/istirahat dan seterusnya
- Apa yang memperberat/mengurangi nyeri
- Nyeri sepanjang waktu atau pada malam hari
- Apakah keluhan ini untuk pertama kali atau sering hilang timbul
2) Kelainan bentuk/pembengkokan
- Angulasi/rotasi/discrepancy (pemendekan/selisih panjang)
- Benjolan atau karena ada pembengkakan
3) Kekakuan/kelemahan
Kekakuan:
Pada umumnya mengenai persendian. Apakah hanya kaku, atau disertai
nyeri, sehingga pergerakan terganggu?
Kelemahan:
Apakah yang dimaksud instability atau kekakuan otot menurun / melemah
/ kelumpuhan
Dari hasil anamnesis baik secara aktif oleh penderita maupun pasif
(ditanya oleh pemeriksa; yang tentunya atas dasar pengetahuan mengenai gejala
penyakit) dipikirkan kemungkinan yang diderita oleh pasien, sehingga apa yang
didapat pada anamnesis dapat dicocokkan pada pemeriksaan fisik kemudian.
b) Allo Anamnesis
23
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang
menceritakan adalah orang lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan
anak kecil/bayi atau orang tua yang sudah mulai dementia atau penderita yang
tidak sadar/sakit jiwa; oleh karena itu perlu dicatat siapa yang memberikan allo
anamnesis, misalnya:
- allo anamnesis mengenai bayi tentunya dari ibu lebih cocok daripada ayahnya
- atau mungkin pada saat ini karena kesibukan orangtua, maka pembantu
rumah tangga dapat memberikan keterangan yang lebih baik
- juga pada kecelakaan mungkin saksi dengan pengantar dapat memberikan
keterangan yang lebih baik, terutama bila yang diantar tidak sadarkan diri.
24
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
2) Feel (palpasi)
Pada waktu mau meraba, terlebih dulu posisi penderita diperbaiki
agar dimulai dari posisi netral/posisi anatomi. Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik si pemeriksa maupun
si pasien, karena itu perlu selalu diperhatikan wajah si pasien atau
menanyakan perasaan si pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan, nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit
pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran tugkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3) Move (pergerakan terutama mengenai lingkup gerak)
Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan
menggerakkan anggota gerak dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pada anak periksalah bagian yang tidak sakit dulu, selaiam untuk
mendapatkan kooperasi anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk
mengetahui gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar kita dapat berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat
gerakan abnormal di daerah fraktur (kecuali pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari setiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dengan ukuran metrik.
Pencatatan ini penting untuk mengetahui apakah ada gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankilosis dan hal ini dapat disebabkan oleh faktor
intra artikuler atau ekstra artickuler.
25
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan
kerusakan tulang subkondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament
dan kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (penderita sendiri
disuruh menggerakkan) dan pasif (dilakukan oleh pemeriksa). Selain
pemeriksaan penting untuk mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting
untuk melihat kemajuan / kemunduran pengobatan. Selain diperiksa pada
posisi duduk dan berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri dan jalan. Jalan
perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena instability,
nyeri, discrepancy, fixed deformity.
Anggota gerak atas:
- Sendi bahu: merupakan sendi yang bergerak seperti bumi (global joint);
ada beberapa sendi yang mempengaruhi gerak sendi bahu yaitu: gerak
tulang belakang, gerak sendi sternoklavikula, gerak sendi
akromioklavikula, gerak sendi gleno humeral, gerak sendi scapula torakal
(floating joint).
Karena gerakan tersebut sukar diisolasi satu persatu, maka sebaiknya
gerakan diperiksa bersamaan kanan dan kiri; pemeriksa berdiri di belakang
pasien, kecuali untuk eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka
pemeriksa ada di samping pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon terhadap
humerus). Gerak pronasi dan supinasi adalah gerakan dari antebrachii dan
memiliki sumbu ulna; hal ini diperiksa pada posisi siku 90˚ untuk
menghindari gerak rotasi dari sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Pada dasarnya merupakan gerak dari radio karpalia dan posisi netral
adalah pada posisi pronasi, dimana jari tengah merupakan sumbu dari
antebrachii. Diperiksa gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar
deviasi.
- Jari tangan:
26
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai gerakan
aposisi terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan adduksi, ekstensi, dan
fleksi.
Jari-jari lainnya hamper sama, MCP (Meta Carpal Phalangeal Joint)
merupakan sendi pelana dan deviasi radier atau ulnar dicatat tersendiri,
sedangkan PIP (Proximal Inter Phalanx) dan DIP (Distal Inter Phalanx)
hanya diukur fleksi dan ekstensi.
27
Pemeriksaan laboratorium meliputi:
a) Pemeriksaan darah rutin untuk mengenai keadaan umum, infeksi akut/menahun
b) atas indikasi tertentu: diperlukan pemeriksaan kimia darah, reaksi imunologi,
fungsi hati/ginjal
c) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan sensitivity test
3.2.6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan secara umum (Purwadianto, 2000):
a) Bila terjadi trauma, dilakukan Primary Survey terlebih dahulu.
b) Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan
fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak
bagian atas untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat
tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam
jangka waktu sesingkat mungkin (Reksoprodjo, 2009).
a) Fraktur proksimal humeri
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang
cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu.
Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar
sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal
ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi
dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder
spica).
b) Fraktur shaft humeri
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi
dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose.
Bila kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U
slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
28
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. Hanging
cast terutama dipakai pada penderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen
distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera N.Radialis,
harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk
humerus disertai eksplorasi N. Radialis. Bila ditemukan N. Radialis putus
(neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro.
Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan
konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
c) Fraktur suprakondiler humeri
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose
umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai A.Radialis
mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan A.Radialis
teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips
spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan
otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips
dapat dipertahankan dalam waktu 3–6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku
diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi
dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis
patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal
ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
d) Fraktur transkondiler humeri
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal
atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi
reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.
e) Fraktur interkondiler humeri
Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan
immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan
sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi
29
reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan Plate–Screw (Reksoprodjo,
2009).
f) Fraktur kondilus lateral & medial humeri
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi
tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya
kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang
fiksasi interna dengan Plate–Screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan
debridement dan dilakukan fiksasi luar (Reksoprodjo, 2009).
3.2.7. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
a) Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
30
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur. (Arif Muttaqin, 2008 )
b) Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. ( Arif Muttaqin, 2008 ).
3.2.8. PENATALAKSANAAN
Rehabilitation Guidelines For Proximal Humerus Fracture – ORIF
(Crall, 2016)
PHASE I (1 – 3 WEEKS)
Begin physical therapy at 1 week post op, 2 x/week
Appointments
Follow up with MD 10-14 days post op.
Rehabilitation Goals Protect repair
31
Minimize pain and swelling
Maintain ROM of surrounding joints
Prevent adhesive capsulitis
Minimize cardiovascular deconditioning
Sling at all times or per MD
No AROM, lifting, pushing, pulling x 6 weeks
Precautions No ER > 40 degrees or excessive shoulder EXT x 6
weeks
No supporting of body weight
PROM of shoulder:
- Flexion to 90 degrees
- ER to 30 degrees
- IR to tolerance (no behind back)
Suggested Therapeutic Scapular clocks :
Exercises - Elevation, depression, retraction, protraction
Pendulums (Codman’s)
Incision mobilization
Cervical, hand, wrist, elbow AROM – thumb to
shoulder, make fist
Cardiovascular Exercises Stationary bike in sling
Per X-ray evidence of healing
Progression Criteria
PROM flexion to 90 degrees, ER to 30 degrees
PHASE II (WEEKS 3 – 6)
Appointments Continue physical therapy 2 x/week
Regain PROM
Rehabilitation Goals Gentle functional use
No resistance
Sling and ROM limitations per MD
No IR/ER
Precautions No driving
No pushing, pulling, lifting
No cuff strengthening
PROM in scapular plane (no hand behind back IR)
AAROM:
- flexion to 90 degrees
Suggested Therapeutic - ER to 40 degrees
Exercises Pulleys
AROM of elbow, wrist and hand
Continue scapular isometrics and clocks
Grade I – II GH and scapular mobilizations
32
Cardiovascular conditioning in sling per MD
UBE no resistance
Cardiovascular Exercises
Stationary bike
Pool at week 3 for ROM maintaining MD ROM limits
Per X-ray evidence of healing
Progression Criteria
AAROM flexion to 90 degrees, ER to 40 degrees
PHASE III (WEEKS 6 – 12)
Continue physical therapy 2 x/week, may decrease to
Appointments
1 x week per PT discretion
(Phase III Continued)
Regain full PROM
Rehabilitation Goals
Sling use per MD based on x–ray evidence of healing
May begin driving
Precautions 20 # weight limit
No pushing or pulling
No overhead activity
Continue PROM/AAROM/AROM cervical, shoulder,
elbow, wrist and hand
Pec minor stretching to minimize scapular protraction
with flexion
Submaximal isometric RTC exercises at 6 week
Suggested Therapeutic
Progressive isotonic RTC exercises at 8 weeks, low
Exercises
weights, high reps
Grade III – IV GH and scapular mobilizations at 8
weeks
Posterior scapular stretching at 8 weeks if needed
General UE strengthening at 10 weeks
UBE with light resistance
Cardiovascular Exercises Stationary bike
Swimming per MD
Advance to work/sport specific conditioning once
Progression Criteria AROM is = bilateral and strength is 4+/5 in all
directions
PHASE IV (WEEKS 12+)
Appointments Continue physical therapy 1 x/week
Full ROM in all planes
Rehabilitation Goals
Transition to HEP
Per MD but generally no lifting, pushing or pulling
Precautions
precautions at this point
33
No overhead lifting until 4-6 months post op
AROM of cervical shoulder, elbow, wrist and hand
Suggested Therapeutic
emphasizing end ROM
Exercises
GH and scapular joint mobilizations as needed
Pec minor stretching
(Phase IV Continued)
Posterior capsule stretching
Suggested Therapeutic
Anterior deltoid strength and scapular stabilization
Exercises
General UE strengthening
Cardiovascular Exercises No restrictions
Progression Criteria DC to HEP
34
BAB IV
RESUME
35
BAB V
KESIMPULAN
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.
Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat
menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar
tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luas dan tingkat
kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya.
Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepat dan tepat
untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.
36
DAFTAR PUSTAKA
Crall, Timothy. 2016. Rehabilitation Guidelines For Proximal Humerus Fracture – ORIF.
Accessed: 19th October 2019. Avaible from:
https://www.mammothortho.com/pdf/proximal-humerus-fracture-orif-crall.pdf.
Rasjad, C., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, Bab 42; Sistem
Muskuloskeletal.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, Bab. 14;
Trauma.
Tortora G.J. & Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, Chapter 8; The Skeletal System: The
Appendicular Skeleton.
Tortora G.J. & Derrickson B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition.
New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular System.
Standring, S. 2008. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, Chapter 48; General
Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
Wang, E.D. & Hurst, L.C. 2006. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia: Elsevier,
Chapter 15; Elbow and Forearm.
Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview.
Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults. Accessed: 2nd
February 2012. Available from: http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415.
Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. 2010. Handbook Of Fractures. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins. p. 193–229; 604–614.
Thompson, J.C. 2010. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed. Philadelphia: Elsevier
Inc. p. 109–116.
Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at www.emedicine.com.
Accessed on 4thMarch 2012
Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher,
Bab 9; Orthopaedi.
Purwadianto A, Budi S. 2000. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, Bab 7;
Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.
37
38