Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

PERSIAPAN ANESTESI PADA CLOSED FRAKTUR


OS CLAVICULA DEXTRA 1/3 MEDIAL OBLIQUE

Disusun oleh:
Aisyah Sri Delima, S.Ked 04054822022129

Pembimbing:
dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
PERSIAPAN ANESTESI PADA CLOSED FRAKTUR OS
CLAVICULA DEXTRA 1/3 MEDIAL OBLIQUE

Oleh:
Aisyah Sri Delima, S.Ked 04054822022129

Pembimbing:
dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 11 Oktober – 27 Oktoberr 2021.

Palembang, Oktober 2021

dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus berjudul
“Persiapan Anestesi pada Closed Fraktur Os Clavicula Dextra 1/3 Medial
Oblique”. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini,
terutama kepada yang terhormat dr. Ferriansyah Gunawan, Sp.An atas
bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam pembuatan laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan. Hal ini didasarkan atas keterbatasan dan kekurangan
yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran
sebagai bahan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini
dapat memberikan manfaat baik bagi semua pihak.

Palembang, Oktober 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL .....................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN ..................................................................................... 2
BAB III ANALISIS KASUS................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur clavicula adalah terputusnya hubungan tulang clavicula yang


disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan terputus atau
tertarik keluar (outstretched hand) karena trauma berlanjut dari pergelangan tangan
sampai clavicula. Fraktur clavicula merupakan cidera yang umum terjadi di
masyarakat, sekitar 4-10% dari jumlah fraktur yang terjadi pada orang dewasa, dan
35-40% dari jumlah seluruh fraktur yang terjadi di daerah bahu. Insiden kejadian
fraktur tulang clavicula pada tahun 2017 di RSUP Sanglah Denpasar antara 30
sampai 60 kasus per 100.000 populasi dengan perbandingan laki-laki lebih banyak
dari perempuan, penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan jenis fraktur
clavicula terbanyak adalah fraktur tertutup. Pada pasien yang dicurigai fraktur perlu
dilakukan penanganan segera dengan mengimobilisasi bagian fraktur. Salah satu
metode immobilisasi fraktur adalah Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).1
Untuk melakukan tindakan operatif, diperlukan tindakan anestesi terlebih
dahulu, dimana pemeriksaan dan persiapan yang memadai diperlukan sebelum
dilakukan tindakan anestesi. Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri
dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Persiapan anestesi perlu dirancang mulai
dari preoperatif, intra operatif dan pasca operatif. Setiap tindakan anestesia baik
anestesia umum maupun regional memerlukan evaluasi pra anestesia yang bertujuan
untuk menilai kondisi pasien, menentukan status fisik dan risiko, menentukan teknik
anestesia yang akan dilakukan, memperoleh persetujuan tindakan anestesia
(informed consent) dan persiapan tindakan anestesi.2
Maka dari itu, pada laporan kasus ini akan ditelaah dan dijelaskan secara lebih
lanjut mengenai persiapan anestesi yang dilakukan pada pasien.

1
1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DH
No RM : 0001225142
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Palembang
Pendidikan : SLTA
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 10 Oktober 2021 pukul 12.30 WIB

B. ANAMNESIS (Alloanamnesis dan autoanamnesis tanggal 11 Oktober 2021)


Keluhan Utama
Nyeri dan sulit menggerakkan lengan kanan.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 1 hari SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien terjatuh
dari motor dengan kecepatan sedang, mekanisme tabrakan dengan direct trauma bahu
kanan terbentur stang motor. Pasien menggunakan helm. Pasien mengaku langsung
dibawa ke bone setter (dukun patah tulang) untuk tatalaksana awal. Pingsan (-), nyeri
kepala (-), kelemahan anggota gerak (-). Keluhan pasien tidak membaik sehingga
pasien dibawa ke IGD RSUP Dr. Mohammad Hoesin untuk penanganan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat diabetes mellitus disangkal

2
Riwayat Penyakit Keluarga
• Riwayat diabetes mellitus disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat asma/alergi disangkal

Riwayat Pekerjaan dan Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang karyawan swasta. Kesan ekonomi menengah ke atas.

Riwayat Pengobatan
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat ke bone setter (dukun patah tulang) ada

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.

Riwayat AMPLE
• Allergies : Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
• Medication : Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan
• Past medical
surgical history : Sebelumnya pasien tidak dirawat di RS dan dilakukan
operasi.
• Last meal : Pasien berpuasa 8 jam sebelum operasi
• Event : Nyeri dan sulit menggerakkan lengan kanan

3
C. PEMERIKSAAN FISIK (tangal 11 Oktober 2021)
a. Status Generalis

Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5


Tanda Vital : TD 110/70 mmHg
Pernapasan : 21 x/menit

Suhu : 36,5oC
Nadi : 65x/menit
SpO2 : 99%
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 60 kg

IMT : 24,9 kg/m2 (Normoweight)

NRS :5

b. Kepala
Bentuk : normal, tidak ada kelainan
Ukuran : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : cuping hidung (-)
Telinga : tidak ada kelainan, sekret (-)
Bibir : sianosis (-), kering (-)
Gigi dan Gusi : tidak ada kelainan, perdarahan gusi (-)

c. Leher
Inspeksi : simetris
Palpasi : tidak teraba pembesaran KGB, tidak teraba massa, kaku kuduk (-)
Gerakan : tidak terdapat kekauan leher

4
d. Thorax
Bentuk : simetris, tak tampak bercak kelainan kulit
Paru-paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : pelebaran sela iga (-), stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas-batas jantung normal
Auskultasi : BJ I & II (+) normal, reguler, murmur (-)

e. Abdomen
Inspeksi : datar, skar operasi (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), ascites (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)

f. Ekstremitas
Inspeksi : tak tampak bercak kelainan kulit, ptekie (-), purpura (-)
Palpasi : akral hangat, CRT < 2 detik

Pemeriksaan Fisik Spesifik


Regio klavikula kanan dan shoulder joint dextra
• Look : deformitas (+), skin tenting (-)
• Feel : krepitasi (+), sensory distal (+), numbness (-)
• Move : shoulder joint flexion/extension limited due for pain
elbow flexion/extesion limited (+)
wrist flexion/extension limited (+)
finger flexion/extension limited (+)

5
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium (10 Oktober 2021)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 12.5 11.4 – 15.0 g/dL
RBC 4.43 4 – 5.7 x 106 /mm3
WBC 8.46 4.73 – 10.89 x 103 /mm3
Hematokrit 38 35 – 45 %
PLT 332 189 – 436 x 103/ mL
RDW-CV 12.90 11-15 %
Ginjal
Ureum 21 16.6 – 48.5 mg/dL
Kreatinin 0.66 0.5 – 0.9 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) 143 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3.9 3.5 – 5.5 mEq/L
Faal Hemostatis
PT + INR (satuan detik)
Kontrol 14.70
Pasien 14.9 12 – 18 detik
INR 1.11
APTT (satuan detik)
Kontrol 31.1
Pasien 29.7 27 – 42 detik
Kimia Klinik
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Sewaktu 104 < 200 mg/dL

6
Pemeriksaan Swab Antigen COVID-19
Tabel 2. Pemeriksaan Swab Antigen COVID-19 (10 Oktober 2021)

Pemeriksaan Hasil Rujukan


Mikrobiologi
Swab Antigen Negatif Negatif
COVID-19

E. PEMERIKSAAN EKG DAN RADIOLOGI


Pemeriksaan EKG (Tanggal 10 Oktober 2021)

Pada pemeriksaan EKG didapatkan:


Sinus rhythm normal.

Gambar 1. Pemeriksaan EKG.


Pemeriksaan Rontgen Thorax PA (10 Oktober 2021)

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Thorax PA.

7
Pada pemeriksaan Thorax PA didapatkan:
Shoulder kanan: Fracture obliq medial clavicula kanan, non aligment, belum tampak
calus.

F. DIAGNOSIS
Closed Fraktur Os Clavicula Dextra 1/3 Medial Oblique.

G. RENCANA TINDAKAN
Open reduction and internal fixation (ORIF).

H. PERSIAPAN PRE-OPERATIF
Persiapan di Bangsal
• Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar mengerti
perihal rencana anestesi dan pembedahan.
• Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit,
asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal.
Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian keadaan umum dan fisik, serta
menilai masalah anestesi yang akan dialami juga harus dilakukan.
Pemeriksaan tambahan yang rutin dilakukan adalah darah lengkap dan faal
hemostatis.
• Diinformasikan kepada pasien untuk berpuasa, susu formula atau makanan
padat diperbolehkan 6-8 jam sebelum tindakan operatif.
• Persiapan lain yang bersifat khusus pra-anestesia seperti transfusi, dan lain
sebagainya sesuai tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien.
• Membuat surat persetujuan tindakan medik

Persiapan di Ruang Persiapan Bedah Sentral

• Evaluasi ulang status pasien sekarang dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya
• Observasi tanda-tanda vital
• Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator diatur sesuai
tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway.
Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade
8
yang sesuai harus dipersiapkan. Obat-obatan, tube trakea, stylet yang sesuai
juga merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk
resusitasi, obat-obat emergensi juga harus dipersiapkan. Karena permukaan
tubuh anak lebih besar daripada dewasa, sehingga cenderung untuk terjadi
hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu harus disesuaikan, dan alat
pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga suhu pasien.

Persiapan di Ruang Operasi


• Meja operasi dan instrument yang diperlukan
• Mesin anestesi dan sistem alirannya
• Alat-alat (STATICS) dan obat-obat resusitasi (adrenalin, atropine)
• Obat-obat anestesi yang diperlukan sesuai jenis tindakan anestesi yang akan
dilakukan
• Alat pantau tanda-tanda vital
• Kartu catatan medik anesthesia
• Selimut penghangat khusus bagi pasien bayi dan orang tua

Persiapan Diri di Ruang Operasi


• Memakai seragam OK, headcape (penutup kepala), masker N95,
handscoen (sarung tangan bedah karet steril sekali pakai), face shield,
hazmat, dan sepatu boots / sandal ruang operasi / sandal crocs (APD level
3).

I. TINDAKAN ANESTESI
Pra-Anestesi (12 Oktober 2021 14.00 WIB)
Tanggal Tindakan : 12 Oktober 2021 pukul 14.00 WIB
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 60 kg
IMT : 24,97 kg/m2 (Normoweight)

Riwayat Operasi : Tidak ada


Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Pengobatan : Tidak ada

9
Sistem Organ
Penyakit Kardiovaskular : Tidak ada
Penyakit Respirasi : Tidak ada
Penyakit Neurologis : Tidak ada
Diabetes Mellitus : Tidak ada
Kelainan Darah : Tidak ada
Masalah Tiroid : Tidak ada
Masalah Ginjal/Buli : Tidak ada
Masalah Infeksi : Tidak ada
Masalah Gastro-Intestinal : Tidak ada
Kelainan Mobilitas : Tidak ada
Masalah Hati dan Empedu : Tidak ada
Masalah Mata : Tidak ada
Masalah Kulit : Tidak ada
Kanker/Kemoterapi : Tidak ada
Kelainan Psikiatri : Tidak ada
Riwayat Anestesi : Tidak ada
Interaksi Obat-Obatan : Tidak ada

Psikologis dan Kultural


Psikologis : Tenang
Kultural : Tidak ada

Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36.8oC
Nadi : 86x/menit
SpO2 : 99%

10
Evaluasi Jalan Napas dengan Kriteria “LEMON”
L (Look externally) : Gigi lengkap, tidak ada trauma wajah
E (Evaluate 3 – 3 – 2 rule): Buka mulut 3 jari
Jarak thyroid-mental 3 jari
Jarak thyroid-hyoid 2 jari
M (Malampati score) :I
O (Obstruction, obesity) : Tidak ada
N (Neck deformity) : Tidak ada

Evaluasi Jalan Napas dengan Kriteria “OBESE”


O (Overweight: IMT >26 kg/m2) : Tidak ada, IMT 24,9 kg/m2 (Normoweight)
B (Beard) : Tidak ada
E (Elderly: usia >55 tahun) : Tidak (usia 36 tahun)
S (Snoring) : Tidak ada
E (Edentulous) : Tidak ada

Diagnosis : Close fraktur os clavicula dextra 1/3 medial


oblique.
Tindakan : Open reduction and internal fixation (ORIF)
Status Fisik : ASA I
Rencana Anestesi : GA (General Anesthesia) Intubasi Napas Kendali

J. PEMELIHARAAN DAN MONITORING


Evaluasi Pre Induksi
Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70mmHg
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,3oC
Nadi : 86x/menit
SpO2 : 99%
Status Fisik : ASA I
Premedikasi : Tidak diberikan

11
Tindakan Anestesi
Teknik Anestesi : GA (General Anesthesia) Intubasi
Napas Kendali
Induksi : Fentanyl 200 mcg
Propofol 150 mg
Atracurium Besilate 20 mg
Sevoflurane 2 vol %
Teknik : Semi closed

Pengaturan Napas : Controlled


Monitoring : EKG Lead, SpO2, NIBP, urine catheter

Keadaan Selama Operasi


Posisi : Supinasi
Ventilasi : Single lumen ETT cuff no. 7.0 dengan balon

Cairan
Total Asupan Cairan
Kristaloid : Ringer Laktat 500 cc
Koloid :-
Darah :-
Total Keluar Cairan
Perdarahan : ± 50 cc
Urine : ± 50 cc

Monitoring Anestesi Intraoperatif


Tindakan operasi dimulai pukul 14.00 WIB dan selesai pukul 15.30 WIB.

12
Tabel 3. Monitoring Anestesi Intraoperatif
Udara Keterangan
Waktu TD HR RR SpO2 O2 Air Volatile
(WIB) (mmHg) (x/m) (x/m) (%) (L/m) (L/m) (Vol%)
• Persiapan
pasien
Induksi:
• Fentanyl 200 mcg
• Propofol 150mg
• Atracurium
14.00 110/70 86 20 99 8 - -
Besilate 20 mg
• Sevoflurane 2 vol
%
Intubasi:
• ETT 7.0 cuff
• RL 500 cc
Operasi dimulai

14.15 100/70 80 17 99 2 2 2

14.30 100/60 75 17 99 2 2 2
14.45 100/60 75 17 99 2 2 2
15.00 90/60 70 18 99 2 2 2
15.15 100/70 80 18 99 2 2 2
• Operasi selesai,
pasien dilakukan
15.30 110/80 80 18 99 2 2 2 ekstubasi.
• Pasien pindah
ke recovery room

K. PEMULIHAN DAN POST ANESTESI


Sebelum transfer/kamar operasi (12 Oktober 2021 15.30 WIB)
Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5
Tekanan Darah : 110/80mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 18x/menit
SpO2 : 99%
Skala Nyeri : NRS 4

13
Tabel 4. Pemulihan dan Post Anestesi
TD Nadi RR SpO2 Aldrete Skala Nyeri
Pukul
(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%) Score (NRS)
15.30 110/80 80 18 99 7 4
15.45 120/70 82 18 99 8 3
16.00 120/70 82 18 99 8 2
16.15 120/80 80 20 99 8 2
16.30 120/80 82 20 99 9 2

Keadaan Keluar Recovery Room (12 Oktober 2021 16.30 WIB)


Pasien pindah ke bangsal pukul 16.30 WIB
Kesadaran : Compos mentis GCS E4M6V5
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 82x/menit, regular dan adekuat
Pernapasan : Spontan, 20x/menit
SpO2 : 99%
Skala Nyeri : NRS 2

L. MANAJEMEN PASCA OPERATIF


Instruksi Post OP dan Pasca Anastesi:
1. Observasi TTV selama pasien berada di Recovery Room
2. Observasi TTV 24 jam selama pasien berada di bangsal
3. Mobilisasi bertahap
4. Makan dan minum setelah pasien sadar penuh
5. Observasi skor nyeri NRS. Target nyeri NRS 0-1.
6. Post OP analgetik berupa ketorolac 30 mg IV

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

14
BAB III
ANALISIS KASUS

Ny. DH, usia 36 tahun, datang ke IGD RSMH dengan keluhan nyeri dan sulit
menggerakkan lengan kanan sejak ± 1 hari SMRS. Diketahui pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas sejak ± 1 hari SMRS. Pasien terjatuh dari motor dengan kecepatan
sedang, mekanisme tabrakan dengan direct trauma bahu kanan terbentur stang motor.
Pasien menggunakan helm. Pasien mengaku langsung dibawa ke bone setter (dukun patah
tulang) untuk penanganan awal. Keluhan pasien tidak membaik sehingga pasien dibawa
ke IGD RSUP Dr. Mohammad Hoesin untuk penanganan lebih lanjut.
Ny. DH direncanakan untuk dilakukan operasi. Evaluasi pre-anestesi perlu
dilakukan untuk mengetahui status fisik pasien praoperatif, memilih jenis atau teknik
anestesia yang sesuai, memprediksi kemungkinan penyulit yang dapat terjadi selama
bedah atau pasca bedah, dan mempersiapkan obat untuk menanggulangi penyulit yang
diprediksi. Evaluasi pre-anestesi terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang serta harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala America
Society of Anaesthesiology (ASA). Pada anamnesis, terdapat lima poin penting untuk
ditanyakan kepada pasien, yaitu Allergies, Medications, Past Illness, Last Meal,
Event/Environment (AMPLE).3,4 Adapun sebelum masuk ke ruang operasi persiapan diri
yang perlu diperhatikan yaitu menggunakan alat pelindung diri level 3 yaitu headcape
(penutup kepala), masker N95, handscoen (sarung tangan bedah karet steril sekali pakai),
face shield, hazmat, dan sepatu boots / sandal ruang operasi / sandal crocs.
Pada pasien Ny. DH, riwayat alergi obat atau makanan disangkal, riwayat
konsumsi obat jangka panjang disangkal, pasien mengeluh nyeri dan sulit menggerakkan
lengan sebelah kanan dan pasien sebelumnya pergi ke bone setter (dukun patah tulang)
untuk penanganan awal namun keluhan tidak kunjung membaik sehingga pasien datang
ke IGD RSMH untuk direncanakan operasi dan pasien telah berpuasa sebelum dioperasi.
Setelah dilakukan anamnesis, selanjutnya untuk mendukung dan memastikan hasil
anamnesis maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengkonfirmasi dan
mendeteksi kemungkinan abnormalitas yang tidak didapatkan dari anamnesis.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien sehat seperti pada kasus meliputi pemeriksaan
tanda vital yang meliputi tekanan darah, denyut
15 jantung, laju pernapasan dan suhu, lalu
pemeriksaan jalan napas, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas yang dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, perkusi serta auskultasi. Pada pemeriksaan di regio shoulder joint/
clavicula dextra ditemukan deformitas (+), krepitasi (+), sensory distal (+), numbness (+),
dan keterbatasan ROM aktif dan pasif pada shoulder joint flexion/extension (+), elbow
flexion/extension (+), wrist flexion/extension (+), dan finger flexion/extension (+). Maka
dapat disimpulkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien tidak memiliki penyakit
sistemik atau gangguan fisiologik, organik maupun psikiatri sehingga pasien dapat
diklasifikasikan dalam kategori ASA I. Klasifikasi status fisik pasien berdasarkan ASA
dijelaskan pada tabel.3,5

Tabel 4. Klasifikasi Status Fisik Pasien berdasarkan ASA6

16
Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2021. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium, disimpulkan tidak ditemukan hasil pemeriksaan yang dapat
menyebabkan perdarahan ataupun penyulit pada saat dilakukan prosedur anestesi dan
operasi. Pada pemeriksaan EKG tanggal 10 Oktober 2021 didapatkan normal sinus
rhythm. Pada pemeriksaan radiologis foto thorax PA pada 10 Oktober 2021 didapatkan
kesan yang mendukung diagnosis berupa Closed Fraktur Os Clavicula Dextra 1/3 Medial
Oblique.
Pasien telah diinstruksikan untuk menjalani puasa selama 8 jam sebelum dilakukan
operasi. Sesuai pedoman American Society of Anaesthesiology, puasa cairan dilakukan
minimal dua jam pra operasi dan puasa makanan padat dilakukan enam jam pra operasi.
Tujuan dari puasa ini adalah untuk mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi isi lambung
yang lebih dikenal dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi terutama pada saat
induksi dan termasuk dalam persiapan sebelum anestesi.4,6
Evaluasi jalan napas juga wajib dilakukan pada pasien apabila ada rencana untuk
melakukan intubasi selama pasien sedang menjalani operasi. Ada beberapa cara dalam
mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan terjadinya kesulitan intubasi dan
2,3,7
laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON atau
17 MELON.
1. L (Look externally)
Evaluasi dengan melihat seluruh bagian wajah dan apakah terdapat hal-hal yang
dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma
pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.
2. E (Evaluate 3-3-2 rule)
Evaluasi dilakukan berdasarkan aturan 3-3-2 untuk menilai pembukaan mulut 3 jari
(mouth opening), jarak thyroid-mental 3 jari, dan jarak thyroid-hyoid 2 jari. Hal ini
dapat dilakukan pada pasien dengan jalan napas tanpa penyulit. Pengukuran
dilakukan dengan cara:
a) 3 – Pasien membuka mulut dan memasukkan 3 jari di antara gigi. Apabila dapat
mengakomodasi 3 jari, maka insersi laringoskop dan tuba endotrakeal akan
relatif menjadi lebih mudah.
b) 3 – Pengukuran jarak thyroid-mental 3 jari. Pengukuran dilakukan dengan
meletakkan 3 jari pada dasar mandibula, diantara dagu dan tulang hioid.
c) 2 – Penilaian jarak thyroid-hyoid 2 jari. Pengukuran dilakukan dengan
meletakkan 2 jari diantara kartilago tiroid dan tulang hioid.

Gambar 3. Evaluasi 3-3-2 Rule4

3. M (Mallampati score)
Mallampati merupakan penilaian ukuran lidah relatif terhadap rongga mulut. Derajat
Mallampati digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai visualisasi hipofaring.
Semakin tinggi derajat Mallampati, semakin sulit untuk melakukan intubasi.
Pemeriksaan Mallampati dilakukan dengan mata pemeriksa dan pasien berada pada
posisi yang sama tinggi, kepala pasien dalam posisi netral dan diminta membuka
mulut selebar mungkin dengan menjulurkan lidah tanpa suara.
18
Berikut adalah klasifikasi dari Mallampati score:
a) Kelas I : visualisasi palatum molle, fauces uvula, pilar anterior, dan posterior.
b) Kelas II : visualisasi palatum molle, fauces, dan uvula.
c) Kelas III : visualisasi palatum molle dan dasar uvula.
d) Kelas IV : palatum molle tidak terlihat.

Gambar 4. Mallampati score 4


4. O (Obstruction, obesity)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai
akibat adanya obstruksi pada jalan napas. Tiga tanda utama adanya obstruksi yaitu
muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau
obstruksi) dan adanya stridor.
5. N (Neck deformity)
Neck deformity dapat dinilai dengan meminta pasien untuk meletakkan dagu mereka
ke dada mereka dan kemudian rentangkan leher mereka sehingga mereka dapat
melihat ke arah plafon. Selanjutnya dilakukan penilaian apakah ada deformitas leher
yang menyebabkan berkurangnya range of movement (ROM) pada leher. Leher
normal dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika dilakukan intubasi.
Kemampuan ektensi leher dibawah 35° dihubungkan dengan kesulitan pengelolaan
jalan nafas.
Pada penilaian jalan napas Ny. DH, didapatkan gigi yang masih lengkap dan tidak
tampak adanya trauma pada wajah, pasien dapat membuka mulut 3 jari dan memiliki jarak
thyro-mental 3 jari. Didapatkan visualisasi palatum molle, fauces uvula, pilar anterior, dan
posterior sehingga Mallampati score Ny. DH yaitu 1. ROM leher baik,serta tidak ditemukan
kelainan dan gangguan pada jalan napas lainnya.

19
Selain menggunakan kriteria “LEMON”, evaluasi jalan napas pada pasien untuk
menghindari kemungkinan terjadi kesulitan ventilasi saat dilakukan intubasi adalah
dengan menggunakan kriteria “OBESE” atau Overweight, Beard, Elderly, Snoring,
Edentulous, yaitu:8

1. O (Overweight: BMI >26 kg/m2)


Menilai status fisik pasien dengan mengukur berat badan dan tinggi badan pasien
untuk mengetahui indeks massa tubuh (IMT) pasien. Jika pasien memiliki IMT > 26
kg/m2 maka pasien masuk kategori obesitas dan berisiko mengalami kesulitan
ventilasi saat dilakukanintubasi.
2. B (Beard)
Pada tahap ini, inspeksi wajah pasien, dinilai apakah ada risiko gangguan ventilasi
dari jenggot, kumis, dan sebagainya.
3. E (Elderly: usia > 55 tahun)
Usia pasien juga harus dipertimbangkan, pada usia > 55 tahun maka kemungkinan
risiko terjadi penyulit ventilasi lebih besar.
4. S (Snoring)
Menilai apakah ada suara napas berupa snoring atau ngorok pada pasien untuk
menghindari terjadinya sumbatan jalan napas yang akan mengganggu proses patensi
jalan napas.
5. E (Edentulous)
Menilai apakah gigi geligi pasien lengkap, diperhatikan apakah adagigi yang hilang
dan sebagainya. Bertujuan untuk melihat apakah jalan napas bersih dan tidak ada
sumbatan.

Penilaian kriteria “OBESE” bertujuan memprediksi kemungkinan terjadinya


penyulit ventilasi pada pasien. Jika ditemukan 2 kriteria positif maka kemungkinan tinggi
terjadinya difficult musk ventilation (DMV).9 Pada pasien ini tidak ditemukan adanya
faktor dari kriteria “OBESE” yang positif, sehingga kemungkinan kecil dapat terjadi
penyulit ventilasi.

Salah satu persiapan anestesi adalah memberikan dukungan psikis dengan


memberikan penjelasan sebelum melakukan prosedur kepada pasien. Apabila pasien
terlihat menunjukkan tanda-tanda cemas, takut, atau kurang tenang maka pasien dapat
20
diberikan premedikasi untuk mengurangi kecemasan pasien, sekaligus mengurangi
kebutuhan obat anestesi dan kejadian mual-muntah pasca operasi. Pramedikasi tidak
diberikan pada pasien ini karena pasien menunjukkan keadaan tenang, stabil, dan tidak
menunjukkan kecemasan saat masuk ke ruang operasi setelah mendapat penjelasan
terkait prosedur yang akan dilakukan.

Perangkat pemantauan harus dipasang sebelum induksi anestesi dan


penggunaannya dilanjutkan sampai pasien pulih dari efek anestesi. Istilah “standard ASA
monitors” sering digunakan untuk merujuk pada monitor fisiologis dasar yang telah
direkomendasikan oleh ASA. Monitor yang diterapkan pada pasien dapat dikenal dengan
istilah VOTC (Ventilation, Oxygenation, Temperature, Circulation).10
VOTC (Ventilation, Oxygenation, Temperature, Circulation):10
1. Ventilation: End-tidal carbon dioxide (ETCO2), konsentrasi O2 terinspirasi
2. Oxygenation: SpO2 dan inspirasi O2 (ventilator)
3. Temperature: Suhu pasien
4. Circulation: tekanan darah, nadi (HR), elektrokardiogram (EKG)

Pukul 14.00 WIB pasien masuk ruang operasi, dilakukan pemasangan monitor EKG,
tensimeter dan saturasi oksigen. Jenis anestesi yang dilakukan adalah anestesi umum atau
GA (general anesthesia) Intubasi Napas Kendali. Anestesi umum bertujuan untuk
menghilangkan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya respon rasa nyeri
(analgesia), hilangnya ingatan, hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks, serta
hilangnya kesadaran. Anestesi umum dapat dibagi menjadi tiga fase: induksi,
pemeliharaan dan emergence. Anestesi umum dilakukan dengan teknik anestesi intravena
total (TIVA), teknik inhalasi, atau kombinasi keduanya. Induksi merupakan rangkaian
proses transisi dari sadar penuh sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan
untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.3 Dikenal juga trias anestesi yaitu obat-obatan
anestesi yang diberikan sebelum melakukan operasi, terdiri dari 3 bagian yaitu analgesik
(obat penghilang rasa nyeri), hipnotik (obat tidur) dan muscle relaxan (obat pelumpuh
otot). Pada kasus, trias anestesi diberikan dan induksi dimulai menggunakan Analgesik
(Fentanyl 200 mcg), Hipnotik (Propofol 120 mg), dan Muscle Relaxan (Atracurium
Besilate 20 mg) serta Sevoflurane 2 vol%.

21
Fentanyl merupakan golongan agonis opioid yang memberikan efeknya melalui
ikatan dengan reseptor opioid. Obat ini mempengaruhi sistem fisiologis secara luas. Obat
ini menyebabkan perubahan fungsi saraf (analgesia, mempengaruhi mood dan perilaku),
fungsi pernapasan, (depresi pernapasan), kardiovaskular (menurunkan denyut jantung
dan dapat sedikit menurunkan tekanan darah), gastrointestinal dan neuroendokrin.
Fentanyl sangat larut lemak dan mudah menembus sawar darah–otak dengan waktu paruh
untuk mencapai kesetimbangan antara plasma dan cairan serebrospinalsekitar 5 menit.3
Propofol bekerja dengan memfasilitasi neurotransmisi penghambat yang
dimediasi oleh pengikatan reseptor GABA-A. Propofol hanya tersedia untuk pemberian
intravena pada induksi anestesi umum dan memiliki onset aksi yang cepat karena
memiliki waktu paruh distribusi yang sangat singkat (2-8 menit). Dosis induksi propofol
IV yaitu 1 – 2,5 mg/kgBB. Pemulihan dari propofol lebih cepat dibandingkan pemulihan
dari metoheksital, tiopental, ketamin, atau etomidat sehingga obat ini menjadi anestesi
yang baik untuk operasi rawat jalan. Propofol secara dose dependent menurunkan tekanan
darah lebih signifikan dibanding thiopental. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh
vasodilatasi pembuluh darah dan depresi minimal kontraksi miokard. Propofol
menghasilkan depresi pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan thiopental. Pasien
dengan propofol harus dimonitor untuk memastikan adekuasi oksigen dan ventilasi.3
Atracurium adalah neuromuscular blocker (obat pelumpuh golongan non-
depolarisasi), dengan penggunaan klinis utama sebagai bloker neuromuskular, yaitu
sebagai adjuvan pada anestesia pembedahan untuk menghasilkan relaksasi otot rangka,
khususnya pada dinding abdomen, sehingga berbagai manipulasi pembedahan dapat lebih
mudah dilakukan.3
Kelarutan sevoflurane dalam darah sedikit lebih besar dari desflurane. Peningkatan
kecepatan dalam konsentrasi anestesi alveolar membuat selvoflurane menjadi pilihan yang
baik untuk induksi inhalasi pada pasien anak dan dewasa. Nyatanya, induksi inhalasi dengan
4% sampi 8% sevoflurane dalam 50% campuran nitrous oxide dan oksigen dapat dicapai
dalam waktu 1 menit. Sevoflurane menekan kontraktilitas miokardial secara ringan, menekan
respirasi dan membalikkan bronkospase ke tingkat yang mirip dengan isoflurane.3

22
Gambar 5. Baki intubasi11

Manajemen jalan napas pada pasien ini dilakukan dengan prosedur intubasi
menggunakan Endotracheal tube (ETT) cuff no 7.0. Tindakan intubasi endotrakeal
selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan oksigen (O2) ke paru-
paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi yang mudah menguap. Persiapan untuk
intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan pasien. Alat yang perlu
disiapkan adalah “STATICS”.12

1. S (Scope)

a) Stetoskop
Stetoskop, merupakan alat auskultasi yang penting, terdiri dari dua earpieces dengan
sudut yang sama dengan saluran telinga, pipa karet, dan kepala dengan diafragma
(plastic disc) atau bell (hollow cup) (Gambar 5). Diafragma menonjolkan suara
frekuensi tinggi; bell mentransmisikan suara frekuensi rendah.
Pada pemasangan ETT, sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan
stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila terjadi intubasi
endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat suara nafas kanan berbeda dengan suara
nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan
jalan nafas terasa lebih berat. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastriumatau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop).

23
Earpieces

Bell

Head

Diaphragm

Tubing (kira-kira
panjangnya 14-16 inchi)

Gambar 6. Bagian – bagian stetoskop dan titik penilaian auskultasi pada ETT.3

b) Laringoskopi
Merupakan alat yang digunakan untuk menilai laring dan memfasilitasi intubasi
trakea. Terdiri dari bagian pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4
ukuran blade. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung
blade. Terdapat berbagai macam blade laringoskopi, namun yang umum digunakan
yaitu bilah macintosh (melengkung) dan miller (lurus).

Gambar 7. Blade laringoskopi.3

2. T (Tube)
Endotracheal tube (ETT) dipilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
> 5 tahun dengan balon. Pipa trakea terdiri dari katup (valve), pilot ballon, inflating
tube dan cuff. Ujung tabung berbentuk miring dengan lubang yang disebut Murphy
eye. Lubang ini bertujuan untuk ventilasi dan menurunkan risiko oklusi pada lubang
pipa bagian distal. Ujung lubang lainnya dilengkapi dengan adaptor 15 mm yang
terhubung ke resuscitation bag atau ventilator. Balon pada selang akan
24
dikembangkan dengan menyuntikkan udara ke dalam selang. Adapun pipa
endotrakeal pada anak tidak memiliki balon ini karena jalan napas anak di bawah 5
tahun terdapat penyempitan pada kartilago krikoid.
Terdapat dua tipe cuff yaitu high pressure (low volume) dan low pressure (high
volume). High pressure cuff berhubungan dengan iskemik pada mukosa trakea dan
tidak dianjurkan untuk intubasi dalam waktu lama. Low pressure cuff dapat
meningkatkan resiko kemungkinan nyeri tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan,
dan pemasangan yang sulit karena adanya floppy cuff. Balon tekanan rendah lebih
dipilih karena lebih jarang menyebabkan kerusakan mukosa. Penentuan ukuran ETT
yang benar yaitu berdasarkan usia dan berat badan pasien. Pada saat dilakukan
pemasangan, harus tersedia 3 ukuran yaitu, satu ukuran ETT yang lebih besar dan
lebih kecil dari ukuran yang seharusnya digunakan.

Gambar 8. Endotracheal tube3

Tabel 5. Ukuran Endotracheal Tube (ETT)13


Usia Ukuran (mm ID)
Preterm (>1000 g) 2.5
Preterm (1000-2500 g) 3.0
Baru lahir – 6 bulan 3.0 – 3.5
1-2 tahun 4.0 – 4.5
>2 tahun (usia + 16)/4
Perempuan dewasa 7.0 – 7.5
Laki-laki dewasa 7.5 – 9.0
ID = Internal Diameter

25
Penempatan endotracheal tube (ETT) yang tepat membutuhkan pemahaman
tentang jarak antara orofaring ke pita suara dan carina. Pada pasien yang sadar, refleks
muntah dapat ditimbulkan karena adanya rangsangan pada dinding faring posterior.

Gambar 9. Hitungan jarak untuk penempatan ETT yang tepat.13

Nasogastric tube (NGT) dipasang agar cairan lambung tidak menyebabkan


aspirasi apabila pasien batuk atau refleks muntah. Saat melakukan pemasangan NGT, jika
memungkinkan, dudukkan pasien dalam posisi tegak agar posisi leher dan perut menjadi
optimal, jika tidak memungkinkan pasien dalam posisi setengah tegak. Periksa lubang
hidung untuk melihat adakan deformitas/obstruksi untuk menentukan sisi terbaik untuk
insersi. Ukur selang dari pangkal hidung ke daun telinga kemudian ke tulang xiphoid dan
tandai dengan selotip, atau tandai panjang yang diukur dengan spidol.

3. A (Airways)
Sunkup (Face mask), penggunaan face mask dapat memfasilitasi pemberian oksigen
atau gas anestesi. Ukuran face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien dengan
syarat harus menutupi hidung, pipi dan dagu.14

26
Gambar 10. Face Mask14

Ada 2 teknik penggunaan face mask yaitu dengan satu tangan atau dua tangan. Pada
teknik satu tangan dapat menggunakan teknik "E-C" atau "Chin-lift".14

Gambar 11. Teknik Memegang face mask dengan Satu Tangan (Teknik “E-C”).3

Gambar 12. Teknik Memegang face mask dengan Satu Tangan (Teknik “E-C”).3

27
Pada situasi yang sulit, terkadang pemasangan face mask ke wajah membutuhkan dua
tangan dalam kondisi ini dibutuhkan satu orang lagi untuk memompa breathing bag atau
dapat menggunakan mesin ventilator.

Gambar 13. Teknik Memegang Face Mask dengan Dua Tangan.3

Bag-valve-mask (juga dikenal sebagai BVM atau Ambu bag) adalah perangkat genggam
yang dapat digunakan untuk ventilasi pasien yang tidak bernapas atau yang bernapas
tidak adekuat.

Gambar 14. Bagian ambu bag.15

Oropharingeal airway (OPA), dilakukan dengan dua tujuan yaitu, untuk membantu
mempertahankan jalan napas bebas dan mencegah tergigitnya ETT. Ukuran OPA
ditentukan dengan cara memperkirakan jarak dari tragus telinga ke sudut mulut atau
jarak dari gigi seri ke sudut rahang bawah. Pada gambar 13 terlihat beberapa ukuran
OPA pada orang dewasa, OPA berukuran kecil (80 mm/ Guedel no.3), sedang (90
mm/Guedel no.4), dan besar (100 mm/Guedel no.5).
28
Gambar 15. Oral Airway. Kiri ke kanan : Guedel no.5, Guedel no.4, Guedel no.3, Guedel
no.2, Guedel no.1.14

Nasopharyngeal airway (NPA), panjang NPA dapat diperkirakan dengan mengukur


jarak dari lubang hidung ke lubang telinga, kira-kira 2-4 cm lebih panjang daripada
OPA. Ukuran diameter luar NPA dengan satuan french (Fr) terdiri dari 24,28,30,32, dan
34. Rata-rata ukuran wanita dewasa yaitu 6 (24 Fr) dan laki-laki 7 (28 Fr).3,4,6

Gambar 16. Kiri ke Kanan: Ukuran Nasopharyngeal Airway: Ukuran 25 dan Ukuran 29
dengan Penghubung ETCO2 serta oxygen port, generic nasopharyngeal airways.3

4. T (Tape)
Merupakan plester untuk fiksasi pipa yang digunakan untuk intubasi pasien agar tidak
terdorong atau tercabut selama tindakan operasi.
5. I (Introducer)
Mandrin atau stilet merupakan stent logam atau plastik yang dapat dilenturkan ketika
melewati pipa endotrakeal, digunakan pada intubasi yang sulit.

29
Gambar 17. Stylet.13
Dapat juga berupa forcep magill yang digunakan untuk membantu memasang NGT
yang terpelintir. Desain forsep Magill sedemikian rupa sehingga ketika laring terbuka
dan tekanan diterapkan pada ujung distal, sebagian besar forsep tetap berada di luar
garis pandang di sisi kanan, sehingga meminimalkan hambatan pandangan glotis.
Ukuran panjang anak 17,2 cm dan panjang dewasa 21,5 cm.13

Gambar 18. Forcep Magill.13


6. C (Connector)
Merupakan penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
7. S (Suction)
Alat suction atau penghisap dibutuhkan untuk membersihkan jalan napas pada kondisi
yang tidak terduga seperti adanya sekresi, darah atau emesis.

Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan


menggunakan orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve selama kurang lebih
30 detik. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi
kepala dipertahankan dengantangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid
dan pita suara yangtampak keputihan berbentuk huruf V. ETT diambil dengan tangan
kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati
30
pitasuara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring
ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.3
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama.
Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di ETT. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang
terlalu dalam akan terdapat suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri. Jika ada
ventilasi ke satu sisi, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan
bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar
cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal
tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang
cukup.3,13

Selama tindakan, monitoring tanda-tanda vital dilakukan untuk menilai


hemodinamik pasien. Dalam kasus ini, hemodinamik intraoperatif relatif stabil dan tidak
ditemukan adanya penyulit. Pasien masuk ke recovery room pukul 15.30 WIB.
Hemodinamik pasca operatif relatif stabil dan tanpa adanya penyulit. Pemantauan post
operatif di antaranya bertujuan untuk mengurangi risiko yang dapat timbul dari
penggunaan anestesia selama operasi seperti obstruksi saluran napas bagian atas
(misalnya karena residu anestesi atau edema jalan napas atas), hypoxemia arterial,
hipoventilasi, hipotensi atau hipertensi, disritmia jantung, oliguria, penurunan suhu tubuh,
agitasi atau delirium, delayed awakening, mual dan muntah, serta nyeri.
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi dengan anestesi
umum maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery room.
Pada saat kedatangan pasien di recovery room, perhatian khusus diarahkan untuk
memantau oksigenasi, ventilasi (frekuensi pernapasan, patensi saluran napas), dan
sirkulasi (tekanan arterial sistemik, denyut jantung, elektrokardiogram).16
Sebelum memindahkan pasien dari recovery room ke ruangan lain atau ke bangsal,
ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Pada pasien dengan anestesi umum dapat
31
menggunakan skor Aldrete. Untuk dapat dikeluarkan dari ruang pulih diperlukan nilai ≥
9.

Tabel 6. Skor Aldrete3


Kriteria Dasar Kriteria Modifikasi Nilai
Warna
● Merah muda ● SpO2 > 92% pada room air 2
● Pucat dan dulsky ● SpO2 > 90% pada oksigen 1
● Sianosis ● SpO2 < 90% pada oksigen 0
Respirasi
● Dapat bernapas dalam ● Bernapas dalam dan batuk dengan 2
danbatuk bebas
● Napas dangkal tetapi adekuat ● Dispnea, dangkal, atau napas terbatas 1
● Apnea danobstruksi ● Apnea 0

Sirkulasi
● TD dalam 20% dari normal ● TD ± 20 mmHg dari normal 2
● TD dalam 20-50% dari normal ● TD ± 20-50 mmHg dari normal 1
● TD berdeviasi >50% dari ● TD lebih dari ± 50 mmHg dari normal 0
normal

Kesadaran
● Bangun, sadar, orientas normal ● Sadar penuh 2
● Bangun tapi kembali tidur ● Terbangun saat dipanggil 1
● Tidak ada respons ● Tidak ada respons 0

Aktivitas
● Semua ekstremitas ● Semua bergerak 2
bergerak ● Hanya dua yang bergerak 1
● Dua ekstremitas bergerak ● Tidak bergerak 0
● Tidak bergerak

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Sari, N.N., Asmara, A.G., Hamid, A.R. 2017. Gambaran Karakteristik Fraktur
Klavikula di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2013-2017.
Denpasar: hal 8.
2. Mangku G, Senopathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Jakarta:
Indeks; 2017.
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2018. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. In: Clinical Anesthesiology.
4. Hata TM, Hata JS. 2013. Preoperative patient assessment and management. In:
Clinical Anesthesia: Seventh Edition.
5. American Society of Anesthesiology. 2018. ASA Physical Status Classification
System. Dikutip dari https://www.asahq.org/standards-and-
guidelines/asaphysical-status-classification-system Pada tanggal 15 Oktober 2021.
6. Abebe, W. A., Rukewe, A., Bekele, N. A., Stoffel, M., Dichabeng, M. N., & Shifa,
J. Z. 2016. Preoperative fasting times in elective surgical patients at a referral
Hospital in Botswana. Journal, 23(1). Pan African Medical .
7. Birnbaumer DM. 2005. Airway Assessment Using “LEMON” Score Predicts
Difficult ED Intubation. Emerg Med J.
8. Tietze KJ. Physical Assessment Skills. In: Clinical Skills for Pharmacists. 2012.
9. Langeron, O., Masso, E., Huraux, C., Guggiari, M., Bianchi, A., Coriat P., & Riou,
B. 2009. Prediction of difficult mask ventilation. The Journal of the American
Society of Anesthesiologists, 92(5), 1229-1236.
10. Fallis A. (2013). Standards for Basic Anesthetic Monitoring. J Chem Inf Model.
11. Forkin KT, Nemergut EC. Miller’s Anesthesia, 8th Edition. Anesthesiology. 2016.
12. Tamjid Hossain SM, Ranjan Halder M, Aman A, Rahman T. Design Construction
and Performance Test of a Low-Cost Portable Mechanical Ventilator for
Respiratory Disorder. Int Conf Mech Ind Energy Eng. 2018.
13. Joynt, G. M., & Choi, G. Y. (2014). Airway management and acute airway
obstruction. In Oh’s Intensive Care Manual (pp. 341-353). Butterworth- Canadian
Journal of Anesthesia, 54(11), 957-958.

33
14. Robitaille A. Principles of Airway Management, 4th Edition: Brendan T. Finucane,
Ban C.H. Tsui, Albert Santora. Springer, 2010. ISBN: 978-0-387-09557-8. Princ
Airw Manag 4th Ed Brendan T Finucane, Ban CH Tsui, Albert Santora Springer,
2010 ISBN 978-0-387-.
15. Makama J. Uses and hazards of nasogastric tube in gastrointestinal diseases: An
update for clinicians. Ann Niger Med. 2010.
16. Rehatta, N. M., Hanindito, E., & Tantri, A. R. 2019. Anestesiologi dan Terapi
Intensif: Buku Teks KATI-PERDATIN. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

34

Anda mungkin juga menyukai