Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program keselamatan pasien atau patient safety merupakan hal yang marak

dibicarakan dalam dunia medis belakangan ini.Pertemuan tahunan Joint Commission

International tahun 2005 telah menekankan mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang

aman. Kesalahan yang terjadi pada upaya pelayanan kesehatan adalah kesalahan dalam

mendiagnosis, kesalahan dalam menggunakan alat bantu penegakan diagnosis, kesalahan

dalam melakukan follow up, pengobatan yang salah atau kejadian yang tidak diharapkan

setelah pemberian pengobatan.

Permasalahan keselamatan pasien dapat terjadi karena penggunaan teknologi yang

tidak diimbangi kompetensi penggunanya, bertambahnya pemberi pelayanan kesehatan tanpa

mengindahkan komunikasi antar individu serta tingginya angka kesakitan serta kecelakaan,

perlunya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat yang menyebabkan stressor tersendiri

serta kelelahan yang dialami oleh para staf medis karena keterbatasan jumlah staf medis yang

tersedia. Salah satu budaya keselamatan pasien adalah mengkomunikasikan kesalahan,

melaporkan kesalahan dengan tetap berpegangan pada keselamatan pasien dan belajar dari

kesalahan dan mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik.Untuk

menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis yang proaktif

sebagai strategi pencegahan error.

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada

lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien

(pasien
2

safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan

peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,

keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran

lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup

rumah sakit, kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksankan di setiap

rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada

pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal

tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumah sakitan (Depkes, 2009 : 8).

Program keselamatan pasien wajib dilaksanakan di semua rumah sakit baik rumah

sakit negeri maupun rumah sakit swasta, pernyataan tersebut termjuat dalam Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 43 yang menyatakan :

1) Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.


2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan.
3) Rumah sakit melaporkan kegiatan kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh Menteri.
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk
mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana pada
ayait (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri (Depkes, 2009 : 17).

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, maksud keselamatan pasien merupakan

program yang utama dalam pelayanan kesehatan yang secara formal menjadi amanat yuridis

yang harus dijalankan oleh setiap rumah sakit sebagai salah satu fasilitas kesehatan.

Kegiatan pelayanan kesehatan atau pengobatan bagi masyarakat yang semakin maju

ternyata menumbuhkan kebutuhan hukum dalam berbagai urusan kesehatan.Pelayanan

kesehatan pada dasarnya merupakan hubungan antara pasien atau keluarganya dan

dokter/tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit.Masyarakat menganggap pelayanan

kesehatan pada khususnya pengobatan merupakan suatu theraupetic miracle (mujizat),


3

namun harus diingat bahwa tindakan medis itu mengandung suatu theraupetic risk.Ajaran

tentang risiko ini dimungkinkan menjadi risiko pasien, atau risiko dokter/rumah sakit atau

kedua belah pihak menanggung risiko (Poernomo, 2008 : 164).

Pada fase rumah sakit, Instalasi Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan

masuknya penderita gawat darurat.Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan

dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra

rumah sakit tercermin dari kemapuan dari kemampuan unit ini.Standarisasi Instalasi Gawat

Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan

akreditasi suatu rumah sakit.Penderita dari ruang Instalasi Gawat Darurat dapat dirujuk ke

unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan,

penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan Undang-Undang Kesehatan sudah jelas

mengatur bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit atau dokter yang

bekerja di rumah sakit dapat memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang dalam

keadaan gawat darurat. Hal ini sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang menentukan bahwa :

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun


swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
mencegah kecacatan terlebih dahulu.

Berdasarkan ketentuan diatas, maka pelayanan kesehatan di unit gawat darurat harus

mendahulukan kepentingan dan keselamatan pasien dalam hal mencegah terjadinya

kecacatan dan kematian pasien. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (1) huruf

c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, diperjelas lagi dengan :

Gawat Darurat adalah klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Memberikan pelayanan
gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanan (Depkes, 2009 :
2)
4

Dari dua (2) Pasal dalam Undang-Undang tersebut sangatlah jelas mengenai

pengaturan tentang pelayanan kesehatan di Isntalasi Gawat Darurat, sehingga setiap pasien

yang membutuhkan pertolongan di Instalasi Gawat Darurat maka harus diberikan pertolongan

sesuai dengan kemampuan pelayanan yang ada di Instalasi Gawat Darurat tersebut demi

kepentingan dan keselamatan pasien agar mencegah terjadinya kecacatan dan kematian bagi

pasien serta diharapkan bagi semua pasien di Isntalasi Gawat Darurat RSUD Margono

Soekarjo Purwokerto dapat terhindar dari Kejadian Tidak Diharapkan (Adverse Event).

Adapun contoh kasus yang terjadi dari Kejadian Tidak Diharapkan di Instalasi Gawat

Darurat adalah petugas salah dalam pemberian obat kepada pasien, ini bisa disebabkan

karena kurang telitinya petugas farmasi atau karena adanya persamaan identitas nama,

sehingga obat tertukar, kemudian juga kejadian pasien atau keluarga pasien jatuh terpeleset

ini disebabkan karena konstruksi lantai yang licin sehingga membahayakan pasien, keluarga

pasien atau bahkan petugas rumah sakit sendiri. Dari contoh-contoh tersebut, maka program

keselamatan pasien merupakan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan di Instalasi Gawat

Darurat yang menjadi bagian dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit pada

umumnya.

Dalam kenyataannya pelaksanaan program kselamatan pasien seringkali tidak

sebagaimana yang diharapkan Undang-Undang, oleh karena itu pelaksanaan program tersebut

harus didukung dengan berbagai hal seperti kelengkapan sarana dan prasarana yang ada pada

Instalasi Gawat Darurat, kesiapan tenaga kesehatan yang memadai baik dilihat dari kualitas

maupun kuantitas, ketersediaan kefarmasiaan yang mencakup tenaga dan obat-obatan di

farmasi, mekanisme penanganan pasien di Instalasi Gawat Darurat, dan koordinasi tim

kesehatan serta faktor-faktor personal tenaga kesehatan yang mencakup seperti pengetahuan,

mativasi, sikap dan semangat kerja para tenaga kesehatan yang berkerja di Instalasi Gawat
5

Darurat. Hal inilah yang menjadi urgensi dalam berhasilnya implementasi program

keselamatan pasien di Instalasi Gawat Darurat pada setiap rumah sakit.

Berdasarkan pada pemikiran tersebut di atas maka penelitian tertarik untuk

mengadakan suatu penelitian dengan mengambil lokasi di Instalasi Gawat Darurat RSUD

Margono Soekarjo Purwokerto yang dirumuskan dalam judul :

Implementasi Program Keselamatan Pasien Menurut Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 Dalam Pelayanan Kesehatan (Studi di Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo).

B. Perumusan Masalah

Bagaimana implementasi program keselamatan pasien menurut Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dalam pelayanan kesehatan di Instalasi Gawat

Darurat RSUD Margono Soekarjo Purwokerto?

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui implemetasi program keselamatan pasien menurut Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dalam pelayanan kesehatan

di Instalasi Gawat Darurat RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap

implementasi program keselamatan pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUD

Margono Soekarjo Purwokerto.


6

E. Metode Penelitian

a. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang

menggunakan norma-norma atau peraturan perundangan yang berlaku dalam implementasi

keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan di instalasi gawat darurat Rumah Sakit

Umum Daerah Margono Soekarjo Purwokerto sehingga diharapkan mendapatkan hasil

penelitian yang diinginkan.

b. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini terfokus pada penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu

penelitian yang bertujuan untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau tulisan secara

sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena

yang diteliti (Nasir, 1999 : 63).

c. Materi Penelitian

Dipilihnya metode pendekatan ini, didasarkan pada pertimbangan peneliti dapat

mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap implementasi

program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan melalui aksi-aksi yang dilaksanakan

para tenaga kesehatan yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat RSUD Margono Soekarjo

Purwokero.

Aspek hukum dalam penelitian ini menekankan pada implementasi program

keselamatan pasien sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

Tentang Rumah yang dijabarkan dalam standar keselamatan pasien rumah sakit, dan aspek

non-hukum dalam penelitian ini menekankan pada faktor-faktor personal dan sosial lainnya

yang diasumsikan berpengaruh terhadap implementasi program keselamatan pasien dalam

pelayanan kesehatan tersebut.

d. Lokasi Penelitian
7

Lokasi penelitian yang telah ditetapkan adalah di Instalasi Unit Gawat Darurat RSUD

Margono Soekarjo Purwokerto. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

1) Asumsi bahwa untuk pelayanan gawat darurat merupakan unit pelayanan kesehatan

rumah sakit yang cenderung banyak terjadi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

terhadap pelayanan pasien di rumah sakit.

2) Penelitian dilaksanakan secara efektif dan efisien berkaitan dengan waktu, tenaga dan

pembiayaan.

a. Sumber Data

1) Data Primer

Adalah data yang diperoleh langsung dari informan yaitu dokter, perawat dan petugas

kesehatan lain di Instalasi Gawat Darurat, serta pasien atau keluarga pasien yang

sedang dirawat di Instalasi Gawat Darurat.

2) Data sekunder

Adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan atau literatur yang didasarkan

pada Buku Panduan Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan data lain yang mendukung

penelitian ini.

b. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode

sebagai berikut :

1) Metode Wawancara

Wawancara adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan

oleh dua pihak, yakni wawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai yang memberikan jawaban (Moleong, 2007 : 135).

2) Metode Observasi
8

Observasi adalah teknik pengumpulan informasi dengan cara mengadakan

pengamatan secara langsung yang sengaja dan sistematis, cermat dan terinci

mengenai keadaan lapangan, kegiatan manusia dan situasi sosial, serta konteks

dimana kegiatan-kegiatan itu terjadi (Nasution, 1988 : 59).

3) Metode Dokumenter

Metode dokumenter adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari

dokumen-dokumen atau bahan-bahan tertulis untuk memperoleh deskripsi

kejadian secara nyata tentang timbulnya sengketa medik dan proses

penyelesaiannya.

f. Metode Penyajian Data

Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk teks naratif dan matriks

data.Model penyajian data dalam bentuk teks naratif.Merupakan uraian informative secara

serempak, terfokus dan sistematis, yang memberikan gambatan verbal mengenai konsep-

konsep umum yang tersusun dari gugusan fakta-fakta. Sedangkan model penyajian data

dalam bentuk matriks data, merupakan penyajian dengan menggunakan matriks, yang bukan

diisi dengan angka-angka kuantitatif, melainkan dengan kata-kata (Muhadjir, 1996 : 32).

g. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, terutama

content analysis method dan constant comparative analysis method. Untuk dapat

mengadakan penilaian terhadap setiap data, dilakukan analisis isi (content analysis), agar

dapat menjelaskan makna-makna yang tersirat dalam bunyi setiap data dengan berpedoman

pada tujuan utama penelitian (Nasution, 1988 : 140).


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

1. Pengertian

Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat

asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.Sistem

tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak

lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko. Meliputi:

1) Assessment risiko

2) Identifikasi dan pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien

3) Pelaporan dan analisis insiden

4) Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya

5) Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko

Menurut IOM, Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom

from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan

suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental

injuryjuga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil (omission).

Accidental injury dalam prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan (KTD

=missed = adverse event) atau hampir terjadi kejadian tidak diinginkan (near miss). Near

miss ini
10

dapat disebabkan karena: keberuntungan (misal: pasien terima suatu obat kontra

indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan

diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), atau

peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu

diberikan antidotenya).

2. Tujuan

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS.

2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat.

3. Menurunnya KTD di RS.

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan

KTD.

(Depkes, 2009 : 9)

Tujuan penanganan patient safety menurut (Joint Commission International):

Mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi secara efektif,

meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat, benar

prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi resiko infeksi dari pekerja kesehatan,

mengurangi resiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.

3. Pentingnya Pasien Safety

Hampir setiap tindakan medik menyimpan potensi risiko, yaitu:

a. Kesalahan Medis (Medical Error)

Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau berpotensi

mengakibatkan cedera pada pasien.

b. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/ Adverse Event


11

Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu

tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena underlying

disease atau kondisi pasien.

c. Nyaris Cedera (NC)/ Near Miss

Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera

serius tidak terjadi, karena :

1. Keberuntungan, misalnya: pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul

reaksi obat

2. Pencegahan, suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain

mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan

3. Peringanan, suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu

diberikan antidotenya.

Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan

mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event

yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan,

tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.

Jenis kesalahan berdasarkan kontribusi manusia pada terjadinya suatu kesalahan :

1. Kesalahan aktif (active errors), terjadi pada level petugas kesehatan atau staf RS yang

bekerja didepan dan efeknya terjadi hampir secara tiba-tiba

2. Kesalahan tersembunyi (latent errors), terjadi dalam level manajemen seperti design

yang kurang baik, instalansi yang tidak tepat, pemeliharaan yang gagal, keputusan

manajemen yang buruk, dan struktur organisasi yang kurang baik. Kesalahan

tersembunyi sulit untuk dicatat sehingga sering kesalahan seperti ini tidak dapat dikenal.
12

Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya

reversible hingga yang berat berupa kecacatan atau bahkan kematian.Sebagian penderita

terpaksa harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya

berdampak pada biaya perawatan yang lebih besar.

Sejak masalah medical error menggema di seluruh belahan bumi melalui berbagai

media baik cetak maupun elektronik hingga ke journal-journal ilmiah ternama, dunia

kesehatan mulai menaruh kepedulian yang tinggi terhadap isu patient safety.WHO memulai

Program Patient Safety pada tahun 2004 :

1. Safety is a fundamental principle of patient care and a critical component of quality

management. (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO,2004)

2. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) dibentuk PERSI, pada Tgl 1-1-

2005.

3. Menteri Kesehatan bersama PERSI dan KKP-RS telah mencanangkan Gerakan

Keselamatan Pasien Rumah Sakit pd Seminar Nasional PERSI tgl 21 Agustus 2005, di

JCC (Lumenta, 2007 : 12).

Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat darurat

yang tidak didasari atas azas voluntarisme.

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia

harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan

itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan

dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/

menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance)

(Nasution, 2013 : 12).


13

B. Rumah Sakit

1. Pengertian

Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari

suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna

(komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada

masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat

penelitian medik.

Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, yang

dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa tugas rumah

sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna. Sedangkan fungsi rumah

sakit :

c. Menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan

standar pelayanan rumah sakit.

d. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan

yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

e. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

f. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang

kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan

etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.


14

Rumah sakit menurut Aditama (2000) dalam sobirin (2003) setidaknya memiliki 5

(lima) fungsi sebagai berikut :

a) Menyediakan rawat inap dengan fasilitas diagnostic dan teraupetiknya.

b) Memiliki pelayanan rawat jalan.

c) Melakukan pendidikan dan pelatihan.

d) Melakukan penelitian dibidang kedokteran dan kesehatan.

e) Melaksanakan program pencegahan penyakit dan penyuluhan kesehatan bagi populasi

disekitarnya (Triwibowo, 2014 : 220).

3. Klasifikasi rumah sakit

Rumah sakit terdiri atas rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.Rumah Sakit

Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan

jenis penyakit.Sedangkan Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit yang memberikan

pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu,

golongan umur, organ atau jenis penyakit.

Klasifikasi rumah sakit adalah pengelompokan kelas rumah sakit berdasarkan fasilitas

dan kemampuan pelayanan. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010 tentang

Klasifikasi Rumah Sakit dibagi menjadi :

1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum

a) Rumah Sakit Umum Kelas A yaitu harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima)

Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13

(tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis.


15

b) Rumah Sakit Umum Kelas B yaitu harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 4 (empat)

Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2

(dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar.

c) Rumah Sakit Umum Kelas C yaitu harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat)

Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.

d) Rumah Sakit Umum Kelas D yaitu harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) Pelayanan Medik Spesialis Dasar.

2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus

a) Rumah Sakit Khusus Kelas A.

b) Rumah Sakit Khusus Kelas B.

c) Rumah Sakit Khusus Kelas C.

Pengklasifikasian Rumah Sakit Khusus ditetapkan berdasarkan pelayanan, Sumber

Daya Manusia, peralatan, sarana dan prasarana, serta administrasi dan manajemen (Astuti,

2010 : 34)

C. Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian

Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan

layanan kesehatan kepada masyarakat.definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr.

Soekidjo Notoatmojo (2008) adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan

utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif( peningkatan kesehatan )

dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba (1973), Pelayanan

Kesehatan Adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu


16

organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan

penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI(2009) adalah setiap upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat (Hanafiah, 2010 : 60).

2. Jenis Pelayanan Kesehatan

Menurut pendapat Hodgetts dan Casio (1970), jenis pelayanan kesehatan secara

umum dapat dibedakan atas dua, yaitu:

a. Pelayanan kedokteran : Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan

kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat

sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya

untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama

untuk perseorangan dan keluarga.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat :Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok

kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian

yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya

untuk kelompok dan masyarakat.

Menurut Juanita ( 2002), Pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan, yakni :

a) Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatanmasyarakat

adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat

pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau kecelakaan.


17

b) Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah

rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di

Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah.sakit tipe D sampai

dengan rumah sakit kelas A.

Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan

promotif dan preventif.Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat

ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit

agar terhindar dari penyakit.Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju

pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-

upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif).Sehingga, bentuk

pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain,

baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang

secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan.

Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut antara lain berupa Posyandu, dana sehat,

polindes (poliklinik desa), pos obat desa (POD), pengembangan masyarakat atau community

development, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya peningkatan pendapatan (income

generating) dan sebagainya (Triwibowo, 2014 : 108)

D. Hospital By Laws

Hospital by laws adalah semua peraturan yang berlaku di rumah sakit yang mengatur

segala sesuatu penyelenggaraan di rumah sakit tersebut. Hospital (administrative atau

corporate) by laws mengatur tentang bagaimana kepentingan pemilik direpresentasikan di

rumah sakit, bagaimana kebijakan rumah sakit dibuat, bagaimana hubungan antara pemilik

dengan manajemen rumah sakit dan bagaimana pula dengan staf medis, dan bagaimana
18

hubungan manajemen dengan staf medis.Hubungan-hubungan tersebut diuraikan dalam

keadaan statis dan dinamis.

Hospital (medical) by laws memberikan suatu kewenangan kepada para profesional

medis untuk melakukan self-governance bagi para anggotanya, dengan cara membentuk

suatu "komite medis" yang mandiri; sekaligus memberikan tanggung-jawab (responsibility)

kepada "komite" tersebut untuk mengemban seluruh kewajiban pemastian terselenggaranya

pelayanan profesional yang berkualitas dan pelaporannya kepada administrator rumah sakit.

Hospital by laws juga mengatur tentang upaya yang harus dilakukan guna mencapai

kinerja para profesional yang selalu berkualitas dalam merawat pasiennya; utamanya melalui

rambu-rambu penerimaan, review berkala dan evaluasi kinerja setiap praktisi di rumah

sakit.Dalam rangka itu pula hospital by laws juga dapat memerintahkan "komite medis"

untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan guna mencapai dan menjaga standar serta

menuju kepada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan profesi.

MenurutKeputusan Menteri Kesehatan R.I nomor 772/Menkes/SK/VI/2002 tentang

Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) menguraikan bahwa Hospital

Bylaws terdiri dari Corporate By laws dan Medical staff bylaws. Di dalam pedoman tersebut

juga diuraikan bahwa penyusunan medical staff bylaws dapat digabung menjadi satu dengan

corporate bylaws yaitu menjadi salah satu pasal atau bab di dalam corporate by laws,

meskipun bisa juga di susun secara terpisah (Guwandi, 2007 : 18).

E. Instalasi Gawat Darurat

1. Pengertian

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan pemeriksaan

medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita. Instalasi Gawat

Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan playanan
19

darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai

dengan standar.

IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman

pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh yang besar bagi

masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah

untuk menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang

bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat.IGD juga

menyediakan sarana penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal

ini merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana yang terjadi di tiap

daerah.

2. Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat

Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda

dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu

khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan

akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat yaitu, pada keadaan gawat darurat medik

didapati beberapa masalah utama yaitu :

a. Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat

b. Perubahan klinis yang mendadak

c. Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko

tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian.Dokter yang bertugas di gawat darurat

menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi kematian. Situasi

emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di
20

bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi pelayanan

kesehatan (Siswati, 2013 : 25).

F. Hubungan Dokter Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat

Hubungan dokter pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan

yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter

pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat

menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian

pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada

hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship).Dalam keadaan darurat

hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dan keduabelah pihak juga tidak

terpenuhi.Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat

darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme.

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia

harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan

itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan

dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/

menghalangi kesempatankorban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance)

(Nasution, 2013 : 12).


21

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Program Keselamatan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan di IGD

Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo

Keselamatan Pasien rumah sakit merupakan suatu sistem, dimana rumah sakit

membuat asuhan Pasien yang lebih aman, yang menyangkut assessment risiko, identifikasi

dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko Pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko. Oleh karena itu, keselamatan Pasien menjadi prioritas utama

untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal tersebut terkait dengan issu mutu dan citra

perumahsakitan.

Dalam rangka meningkatkan keselamatan Pasien di rumah sakit, maka Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk Komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit (KKPRS), yang telah aktif melaksanakan langkah-langkah persiapan

pelaksanaan keselamatan Pasien rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium program

keselamatan Pasien rumah sakit.

Pelaksanaan program keselamatan Pasien rumah sakit sebagaimana dikemukakan di

atas, pada dasarnya merupakan perwujudan kegiatan yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal

43 ayat (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menyatakan

bahwa, Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Untuk mendukung

pelaksanaan ketentuan Pasal 43 ayat (1) ini, telah dirumuskan Standar Keselamatan Pasien

rumah sakit yang berlaku di seluruh rumah sakit di Indonesia, yang mencakup 7 Standar

sebagai berikut :
22

1. Hak Pasien untuk mendapatkan Informasi tentang rencana dan hasil pelayanan

termasuk terjadinya kejadian tidak diharapkan (Standar Pertama);

2. Mendidik Pasien dan keluarga tentang kewajiban dan tanggung jawab Pasien

dalam asuhan keperawatan (Standar Kedua);

3. Keselamatan Pasien dan kesinambungan pelayanan kesehatan (Standar Ketiga);

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan eavluasi dan

program peningkatan keselamatan Pasien (Standar Keempat)

5. Peranan kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan Pasien (Standar

Kelima);

6. Mendidik staf tentang keselamatan Pasien (Standar Keenam);

7. Komunikasi merupakan kunci untuk mencapai keselamatan pasien (Standar

Ketujuh).

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa implementasi

program keselamatan Pasien dalam pelayanan kesehatan, merupakan penyelenggaraan

hukum, dalam hal ini pihak rumah sakit sebagai lembaga yang berkewajiban untuk

menerapkan standar keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan, haruslah mengutamakan

pelaksanaan keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang

berlaku.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, dalam hubungannya

dengan penyelenggaraan hukum ini, Robert B. Seidman mengemukakan teorinya tentang

bekerjanya hukum di dalam masyarakat, yang menyatakan bahwa, Bekerjanya hukum

dalam masyarakat selalu melibatkan 3 kompnen dasar, yakni ; lembaga pembuat hukum,

lembaga penerap hukum dan pihak yang dikenai hukum. Dalam interaksinya ketiga

komponen dasar tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan sosial lainnya.
23

Dari teori bekerjanya hukum tersebut, Robert B. Siedman menguraikan ke dalam

dalil-dalil sebagai berikut :

a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran itu

diharapkan bertindak;

b. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap

peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya,

sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan kompleks

kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya;

c. Bagaimana lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan

hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,

sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya yang

mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peran;

d. Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-

kekuatan sosial, politik, idiologi dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-

umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.

Apabila teori di atas diterapkan ke dalam pengkajian permasalahan Implentasi

Program Keselamatan Pasien dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, maka yang

dimaksud dengan Lembaga Pembuat peraturan hukum adalah Pemerintah bersama DPR RI,

dan Lembaga Pelaksana peraturan hukum tidak lain adalah Rumah Sakit sebagai

penyelenggara pelayanan kesehatan, sedangkan yang dimaksud dengan Pemegang Peran

adalah seluruh Tenaga Kesehatan yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan kepada

Pasien di setiap Rumah Sakit yang bersangkutan. Hasil penelitian mengungkapkan gambaran

sebagaimana dituangkan dalam Matriks di bawah ini ;


24

Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, secara umum hak pasien untuk

memperoleh informasi, baik dari dokter maupun perawat tentang hasil pemeriksaan dan

rencana tindak lanjut perawatan atas penyakit yang diderita pasien, kurang dapat diterima

secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain :

1. Informasi yang diterima pasien dan keluarganya tentang hasil pemeriksaan dan

rencana tindakan medis lebih lanjut tidak boleh secara langsung dari dokter yang

menanganinya, melainkan dari perawat;

2. Informasi dapat diperoleh pasien, tetapi hanya terbatas pada kasus-kasus tertentu

yang diprediksikan kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

saja;

3. Informasi yang disampaikan kepada pasien, pada umumnya terbatas pada lingkup

pelayanan keperawatan dan kalangan pasien tertentu saja.

Dari fakta di atas, maka dapat diinterprestasikan bahwa hak pasien untuk

mendapatkan informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya,

kurang secara maksimal dapat diwujudkan oleh dokter maupun perawat dalam pelayanan

kesehatan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto.Hal ini mengandung arti bahwa, Program

Keselamatan Pasien di Rumah Sakit tersebut sepenuhnya dapat diimplementasi secara

maksimal.

Jika kenyataan di atas ditafsirkan berdasarkan pada teori bekerjanya hukum model

Robert B. Seidman sebagaimana dikemukakan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa

RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto pada dasarnya telah menerapkan standar pertama,

yakni memenuhi hak-hak pasien atas informasi tentang hasil pemeriksaan dan rencana

tindakan medis dalam pelayanan kesehatan, namun secara praktis masih terdapat sebagian

dokter dan perawat yang belum sepenuhnya melaksanakannya untuk memenuhi hak-hak

pasien atas informasi pelayanan kesehatan yang diberikan.


25

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

a. Masih adanya anggapan dari sebagian dokter bahwa pasien tidak terlalu

memahami seluruh informasi yang diberikan, terutama informasi yang

menggunakan istilah-istilah medis;

b. Masih berlakunya suatu kebiasaan yang telah tertanam secara dalam bahwa

penyampaian informasi yang berkaitan denga hasil pemeriksaan dan rencana

tindakan lanjut diserahkan kepada perawat sebagai tindakan pendelegasian secara

informal;

c. Adanya sebagian perawat yang beranggapan bahwa penyampaian informasi yang

berkaitan dengan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan medis berikutnya

kepada pasien, bukanlah kewenangan perawat, kecuali ada perintah dari tim medis

untuk menyampaikannya kepada pasien.

Selanjutnya bila implementasi program keselamatan pasien ini dilihat dari standar

yang kedua, berupa pendidikan terhadap pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan

tanggung jawab pasien dalam pelayanan kesehatan, dapat diperoleh gambaran sebagaimana

data hasil penelitian yang dituangkan dalam matriks sebagai berikut :


26

Dari matriks 2 di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara umum RSUD

Margono Soekarjo, Purwokerto melalui Tenaga kesehatannya pada hakikatnya telah

melakukan pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang hal-hal yang berkaitan dengan

kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam pelayanan kesehatan. Kenyataan ini di dalam

praktik berdampak pada implementasi program keselamatan pasien. Artinya, jika pendidikan

kepada pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawabnya dapat

dilaksanakan dengan baik, maka sudah barang tentu program keselamatan pasien dalam

pelayanan kesehatan dapat diimplemetasikan secara maksimal. Keberhasilan pelaksanaan

standar keselamatan pasien yang kedua ini, ditandai dengan indikator-indikator sebagai

berikut :

1. Terjadinya perubahan sikap dan perilaku pasien untuk melakukan perawatan

mandiri sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pasien atas

keselamatan jiwanya;

2. Mendorong pasien untuk melakukan tindakan yang berorientasi pada

penyembuhan pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diharapkan

(KTD);

3. Menanamkan pengetahuan tentang pelayanan keperawatan dan menumbuh

kembangkan motivasi agar pasien dan keluarganya dapat melakukan perawatan

terhadap dirinya sendiri;

4. Membangkitkan keyakinan pada diri pasien bahwa, pemulihan kesehatan harus

dilakukan mulai dari diri sendiri dengan mematuhi segala anjuran medis yang

diberikan oleh dokter dan perawat;

5. Penanaman nilai-nilai keselamatan pasien melalui pemberian penjelasan-

penjelasan dan nasehat-nasehat dari dokter dan perawat selama waktu perawatan;
27

6. Membudayakan hidup sehat kepada pasien dan keluarganya melalui pemberian

pengetahuan-pengetahuan medis secara langsung kepada pasien selama waktu

perawatan.

Mendasarkan pada kenyataan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan

kepada pasien dan keluarganya untuk melakukan perawatan mandiri, baik secara langsung

maupun tidak langsung telah dapat dilaksanakan, meskipun belum sepenuhnya berhasil

dilakukan.Kondisi yang demikian tersebut, berimplikasi terhadap implementasi program

keselamatan pasien yang kurang efektif.Artinya, program keselamatan pasien melalui standar

pemberian pendidikan kepada pasien dan keluarganya terutama hal-hal yang berkaitan

dengan perawatan mandiri dalam pelayanan kesehatan belum sepenuhnya dapat dilakukan

sebagaimana yang diharapkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya indikator-indikator

sebagai berikut :

a. Dalam kasus-kasus tertentu, masih terjadi kejadian tidak diharapkan (KTD) yang

menimpa pasien;

b. Dalam perawatan pada penyakit-penyakit tertentu, pasien belum secara maksimal

melakukan sistem keperawatan diri;

c. Masih terdapatnya pasien dan keluarganya yang tidak melaksanakan keajiban dan

tanggung jawabnya, terutama yang menyangkut kejujuran keluhan-keluhan yang

dirasakan, dan pemebuhan kewajiban keuangan yang disepakati.

d. Tidak semua pelayanan keperawatan dapat diberikan kepada pasien di Instalasi

Gawat Darurat, karena masih terbatasnya sumberdaya tenaga kesehatan yang

tersedia, tingginya kuantitas pasien berobat dan terbatasnya waktu yang tersedia

secara ideal dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas, maka dapat disimoulkan bahwa, secara

parsial program keselamatan pasien telah dapat dilaksanakan cukup efektif, tetapi secara
28

keseluruhan program keselamatan pasien ini belum dapat diimplementasikan secara

maksimal.

Selanjutnya, bilamana implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan

kesehatan ini dilihat dari standar ketiga tentang kesinambungan pelayanan kesehatan, maka

hasil penelitian menggambarkan adanya kecenderungan bahwa, dari segi tenaga kesehatan

rumah sakit, implementasi program keselamatan pasien cenderung telah dilaksanakan cukup

baik dan cukup efektif, sedangkan dari segi pasien diperoleh gambaran bahwa implementasi

program keselamatan pasien tersebut ternyata kurang baik dan kurang efektif. Hal ini dapat

dibuktikan dengan melihat data hasil penelitian yang dituangkan dalam matriks sebagai

berikut :
29

Dari matriks di atas dapat diperoleh gambaran bahwa, secara keseluruhan standar

kesinambungan pelayanan kesehatan yang beorientasi pada keselamatan pasien cenderung

dapat dilaksanakan secara baik dan efektif. Hal ini ditandai dengan adanya indikator antara

lain :

1. Terbangunnya koordinasi yang komprehensip, baik antara tim tenaga kesehatan

maupun dalam bentuk pelayanan kesehatannya.

2. Meletakkan komunikasi vertikal maupun horizontal sebagai dasar dan media

koordinasi pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien,

kemampuan tenaga kesehatan dan standar operasional procedure (SOP) yang

berlaku;

3. Adanya pendelegasian secara sah dan formal terhadap tanggung jawab pelayanan

keperawatan kepada pasien asisten perawat;

4. Mengutamakan cara mendiskusikan dan tukar menukar informasi tentang kondisi

dan kebutuhan pasien yang dirawat antar perawat dalam sistem pelayanan

keperawatan;

5. Berjalannya kerjasama antara dokter, perawat dan pasien dalam melaksanakan

sistem kesinambungan pelayanan keperawatan.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa, standar

kesinambungan pelayanan keperawatan yang bertujuan untuk keselamatan pasien, pada

hakikatnya dapat dilaksanakan cukup baik. Hal ini berimplikasi terhadap implementasi

program keselamatan pasien secara keseluruhan yang cenderung dapat dilakukan secara baik

pula.Artinya, jika standar kesinambungan pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan dengan

secara baik, maka semakin baik pula implementasi program keselamatan pasien dalam

pelayanan kesehatan tersebut.Dengan demikian, implementasi program keselamatan pasien


30

dalam pelayanan kesehatan, sangat tergantung pula pada pelaksanaan standar kesinambungan

pelayanan kesehatan.

Kenyataan di atas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang pasien yang

menggambarkan bahwa, standar kesinambungan pelayanan kesehatan nampaknya dapat

dilaksanakan, tetapi timbul pemusatan tugas pada pihak perawat. Hal ini jelas berimplikasi

terhadap implementasi program keselamatan pasien yang kurang baik dan kurang fektif.

Kenyataan ini ditandai dengan munculnya indikator-indikator sebagai berikut :

a. Koordinasi dalam bentuk kerjasama antar perawat pada dasarnya dapat

dilaksanakan, tetapi menimbulkan pemusatan tugas pada perawat;

b. Kurangnya koordinasi antara dokter, perawat dan pasien dalam melaksanakan

kesinambungan pelayanan keperawatan, menjadikan bertumpuknya tugas di

pundak perawat, sehingga pelayanan keperawatan yang dijalankan kurang

maksimal.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, standar kesinambungan pelayanan

kesehatan hanya dapat dilaksanakan secara baik, dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan,

namun dilihat dari sundut pandang pasien, ternyata standar kesinambungan pelayanan

kesehatan cenderung kurang dapat dijalankan secara maksimal. Kenyataan ini berimplikasi

terhadap implementasi program keselamatan pasien yang cenderung pula kurang dapat

dilaksanakan secara maksimal.

Bilaman implementasi program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan ini,

dilihat dari standar penggunaan metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan evaluasi

dan program peningkatan keselamatan pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana

tertuang dalam matriks di bawah ini :


31

Dari matriks di atas dapat diungkapkan bahwa, sebenarnya direktur rumah sakit

sangat mendukung pelaksanaan program keselamatan pasien di rumah sakit, hanya saja

sumber daya yang ditunjuk dalam tim masih belum optimal kinerjanya, dikarenakan masing-

masing anggota tim dalam melaksanakan kinerjanya dilakukan disamping tugas pokoknya,

jadi tidak secara khusus melakukan program tersebut. Oleh karena itu penggunaan metode-

metode peningkatan kinerja medis untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan

keselamatan pasien, baik dari dokter maupun perawat belum dapat dilaksanakan secara

maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter antara lain :

1. Peningkatan kinerja medis dalam mendukung program keselamatan pasien yaitu

dengan dilaksanakannya Pembentukan Tim KPRS yang diterbitkan dengan SK

Direktur Rumah Sakit, tetapi untuk program kerja keselamatan pasien rumah sakit

belum sepenuhnya dilaksanakan;

2. Peningkatan kinerja medis dalam menjamin keselamatan pasien dilakukan dengan

pendokumentasian data indikator klinik secara rutin, hanya saja untuk evaluasi

unsur-unsur yang terkait dengan Kejadian Tidak Diharapkan dan risiko tinggi,

masih belum rutin dilakukan oleh Tim KPRS Rumah Sakit, dikarenakan belum

adanya petugas khusus yang ditunjuk untuk mendata dan mengevaluasi kasus

insiden Kejadian Tidak Diharapkan yang terjadi di rumah sakit;

3. Pola kerja dan rencana tindakan pelayanan medis tidak transparan, dan

pengembangan metode pengobatan untuk informasi kepada pasien tidak dilakukan

oleh para medis, sehingga kinerja para medis tidak seperti yang diharapkan pasien;

4. Perencanaan pemeriksaan medis tidak terjadwal dan metode pemeriksaan kurang

terpola secara pasti, ini dikarenakan kinerja para medis terkendala dengan

keterbatasan kuantitas tenaga medis.


32

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa penggunaan metode-metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh para medis khususnya oleh dokter dalam

pelayanan kesehatan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto.Hal ini mengandung arti

bahwa, Program Keselamatan Pasien di RUmah Sakit tersebut belum sepenuhnya dapat

diimplementasikan secara maksimal.

Kenyataan diatas akan berbeda jika ditinjau dari sudut pandang perawat yang

menggambarkan bahwa, standar penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan untuk program keselamatan pasien

terimplementasikan cukup baik. Kenyataan ini ditandai dengan munculnya indikator-

indikator :

1. Perawat dalam mencapai tujuan dari program keselamatan pasien, dilakukan

dengan cara menanamkan semangat kerja, sikap ikhlas dan nilai-nilai ibadah

menjadi modal utama untuk meningkatkan kinerja perawat dalam pelayanan

kesehatan kepada pasien;

2. Pola pengawasan informal dan pemberian hiburan oleh perawat kepada pasien

adalah metode penyembuhan pasien, dengan melaksanakan pengawasan informal

dan menghibur pasien merupakan cara perawat untuk mendorong semangat pasien

terlepas dari penderitaan.

Berdasarkan pada kenyataan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa metode-

metode peningkatan kinerja pelayanan keperawatan yang bertujuan untuk peningkatan

keselamatan pasien, pada hakekatnya dapat dilaksanakan cukup baik.

Apabila dilihat dari standar Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan

Pasien, maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :
33

Dari matriks standar 5 diatas dapat diungkapkan bahwa, secara umum peran

kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, baik dari dokter maupun perawat

dalam implementasinya belum bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan

dengan beberapa parameter antara lain :

1. Kurang maksimalnya koordinasi dan komunikasi pimpinan dan anggota Tim

KPRS, menjadikan program keselamatan pasien tidak dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya, Tim belum bisa bekerja secara maksimal dikarenakan

anggaran yang tersedia belum memadai, dan mekanisme kerja Tim juga belum

jelas;

2. Rumah Sakit belum sepenuhnya mengalokasikan sumber daya yang adekuat,

sehngga pelaksanaan program keselamatan pasien belum bisa dilakukan secara

maksimal;

3. Sistem komunikasi vertikal tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya, dan

mekanisme sistem pelaporan secara internal dan eksternal kurang dapat

dilaksanakan secara maksimal, serta integritas peran perawat dalam sistem kinerja

kurang dapat dilaksanakan secara optimal;

4. Peran paramedis dokter dan perawat yang tidak maksimal, komunikasi yang tidak

transparan dan rendahnya pengetahuan pasien terhadap penyakit, menjadikan

insiden yang terjadi pada pasien kurang terkontrol.

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa peran kepemimpinan dalam

meningkatkan keselamatan pasien kurang dapat diwujudkan oleh pihak rumah sakit, hal ini

mengandung arti bahwa program keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat

diimplementasikan secara maksimal.

Apabila dilihat dari standar Mendidik Staf Tentang Keselamatan Pasien, maka dapat

diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :


34

Dari matriks standar 6 diatas dapat diungkapkan bahwa, di RSUD Margono Soekarjo,

Purwokerto yang membidangi mengenai program pendidikan dan pelatihan yang

diselenggarakan baik intern maupun ekstern RUmah Sakit sebenarnya sudah mempunyai

program kerja mengenai peningkatan sumber daya manusia yang bertugas di masing-masing

unit. Yakni merencanakan dan memprogramkan staf untuk mengikuti pendidikan dan

pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, baik untuk pendidikan formal

maupun pendidikan informal, yang bertujuan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia

Rumah Sakit.Hanya saja Bidang Diklat dan Litbang masih belum memprogramkan secara

khusus mengenai pendidikan dan pelatihan tentang keselamatan pasien rumah sakit.

Secara umum standar mendidik staf tentang keselamatan pasien implementasinya

belum bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa parameter

antara lain:

1. Program Pendidikan dan Pelatihan di Rumah Sakit sebenarnya sudah berjalan

secara maksimal, hanya saja untuk Pendidikan dan Pelatihan yang khusus

berorientasi pada keselamatan pasien bagi staf rumah sakit belum secara maksimal

dilaksanakan. Dari Bidang Diklat Rumah Sakit sudah diprogramkan memberikan

tugas kepada staf untuk berperan serta dalam pelatihan-pelatihan dan

pembelajaran lebih lanjut pada jenjang yang lebih tinggi;

2. Program keselamatan pasien melalui pendidikan dan pelatihan dalam hal

pembuatan dokumentasi bagi staf kesulitan dalam mengintegrasikan dalam bentuk

laporan insiden, sehingga pelaporan insiden belum berjalan sepenuhnya, hal ini

dikarenakan belum ada pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden yang

sewaktu-waktu bisa terjadi;

3. Rumah Sakit belum sepenuhnya mengalokasikan pendanaan atau anggaran dana

khusus untuk pendidikan pelatihan mengenai keselamatan pasien rumah sakit,


35

sehingga pelaksanaan pelatihan tentang kerjasama dan kolaborasi tim kesehatan

belum berjalan secara maksimal, dan staf belum sepenuhnya paham dan mengerti

mengenai pelaksanaan program keselamatan pasien yang wajib dilaksanakan di

setiap rumah sakit baik negeri maupun swasta.

4. Pelatihan tentang keselamatan pasien bagi staf belum diselenggarakan secara

terfokus dan maksimal dan penyelenggaraan pelatihan bagi staf yang baru belum

terfokus pada program keselamatan pasien, dan masih bersifat umum semua

pelayanan kesehatan rumah sakit, sehingga implementasi program keselamatan

pasien belum sepenuhnya dilaksanakan;

5. Pelatihan dan pedoman sebagai petunjuk teknis belum dipersiapkan secara

komprehensif, sehingga pedoman pembuatan laporan insiden yang tidak jelas dan

kurangnya pelatihan yang bertujuan untuk pelaksanaan program, menjadi kendala

utama bagi pelaksanaan program keselamatan pasien;

Dari fakta di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa sebenarnya Pendidikan dan

Pelatihan di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto sudah berjalan sebagaimana mestinya

sesuai program Diklat RS tersebut, hanya saja untuk pendidikan dan pelatihan yang khusus

diorientasikan untuk pendidikan dan pelatihan program keselamatan pasien rumah sakit,

masih belum dianggarkan dananya oleh pihak rumah sakit sehingga hal ini mengandung arti

bahwa untuk implementasi standar mendidik staf tentang keselamatan pasien dalam Program

Keselamatan Pasien di Rumah Sakit belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara maksimal.

Selanjutnya Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit apabila dilihat dari standar 7

mengenai Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien, maka

diperoleh gambaran sebagaimana tertuang dalam matriks di bawah ini :


36

Dengan melihat matriks standar 7 diatas dapat diungkapkan bahwa, komunikasi

merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit,

implementasinya belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan

beberapa parameter antara lain :

1. Komunikasi antar tim tenaga kesehatan rumah sakit belum berjalan sebagaimana

mestinya dalam penanganan pasien, dikarenakan manajemen komunikasi belum

tergarap secara maksimal sesuai dengan Standar Operational Procedure nya,

sehingga terlihat antar tim tenaga kesehatan rumah sakit masih mengesampingkan

program keselamatan pasien;

2. Mekanisme arus komunikasi antar tim tenaga kesehatan, belum dibangun secara

penuh dalam penanganan pasien, sehingga komunikasi antara tim tenaga

kesehatan dalam penanganan pasien sering tidak berjalan secara mulus dan

sepaham dalam menyelamatkan pasien yang dirawatnya, masih terlihat seringkali

masing-masing mengedepankan ego pribadi, sehingga sulit menemukan

kesepahaman tim;

3. Desain perencanaan manajemen informasi keselamatan pasien, belum dibangun

secara tepat, dikarenakan pengembangan komunikasi yang harmonis dalam tim

kerja belum dapat diciptakan sebagaimana yang diharapkan;

4. Komunikasi terhambat dan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dikarenakan

belum adanya sistem manajemen informasi yang mampu mengakses semua data

tentang keselamatan pasien;

5. Mekanisme identifikasi masalah penyakit pasien yang seharusnya diinformasikan

kepada pasien atau keluarganya belum berjalan sebagaimana mestinya dan

komunikasi pasien dengan tenaga kesehatan menjadi terhambat, dikarenakan

manajemen informasi yang tersedia kurang memadai.


37

Dari fakta diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa standar 7 program keselamatan

pasien, yakni Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien di

RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto belum berjalan sebagaimana mestinya dikarenakan

desain perencanaan manajemen informasi keselamatan pasien, belum dibangun secara tepat

sehingga hal ini mengandung arti bahwa untuk implementasi standar komunikasi merupakan

kunci staf untuk mencapai keselamatan pasien di rumah sakit belum sepenuhnya dapat

diimplementasikan secara maksimal.

B. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Implementasi Program Keselamatan

Pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.

Untuk melihat lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang cenderung berpengaruh

terhadap implementasi program keselamatan pasien rumah sakit, berikut ini akan dipaparkan

data hasil penelitian melalui interview mendalam antara peneliti dengan informan-informan

kunci, baik kepada dokter atau perawat sebagai tenaga kesehatan yang terlibat langsung

terhadap pelayanan pasien, maupun kepada pasien/keluarganya sebagai pihak penerima

pelayanan kesehatan di IGD rumah sakit.

Dalam penelitian ini pemilihan Informan secara purposive ditujukan terhadap petugas

kesehatan (dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya) dan pasien yang pernah dirawat di

Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada RSUD Margono Soekarjo Purwokerto, yang secara

langsung terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui proses implementasi program

keselamatan pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Digunakan metode ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan :

1. Seluruh petugas kesehatan dokter, perawat dan pasien diasumsikan sama-sama

mengetahui program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan di Instalasi

Gawat Darurat RSUD Margono Sorkarjo Purwokerto;


38

2. Seluruh tenaga kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) dan

Pasien, diasumsikan merupakan pelaku yang benar-benar menguasai dan terlibat

dalam implementasi program Keselamatan Pasien tersebut;

3. Seluruh Tenaga Kesehatan (Dokter, Perawat dan Tenaga Kesehatan lainnya) telah

cukup waktu dan intensif menyatu dengan tugas dan wewenangnya

mengimplementasikan program keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan

terhadap pasien, yang tidak hanya sekedar mengetahui dan dapat memberikan

informasi, melainkan juga telah menghanyatinya secara serius terhadap profesinya;

Di bawah ini akan digambarkan dan dijelaskan berupa bagan matriks mengenai hasil

wawancara penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang terlibat dan berpengaruh terhadap

implemetasi keselamatan pasien di Rumah Sakit khusunya di Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Margono Soekarjo Purwokerto baik dari sisi tenaga kesehatan (dokter dan perawat)

maupun dari sisi pasien :


39

Dengan melihat bagan matriks faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi

program keselamatan pasien di rumah sakit di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang berpengarug terhadap implementasi program keselamatan pasien di rumah sakit

adalah sebagai berikut :

1. Sikap

Sikap didefinisikan sebagai tanggapan/persetujuan untuk melakukan suatu tindakan

atau aktifitas baik yang diamati secara langsung maupun tidak langsung yang mempunyai

maksud mendukung penerapan program keselamatan pasien rumah sakit.Tindakan tersebut

dapat berbentuk mencegah pasien jatuh, mencegah kejadian infeksi nosokomial, mencegah

salah obat, salah pasien, salah dosis, salah waktu dan salah prosedur.

Dengan melihat bagan matriks diatas, maka sikap dari petugas kesehatan dalam hal ini

dokter masih kurang empati terhadap pasien, kurang ramah dan kurang komunikatif,

sehingga pasien merasa kurang puas dalam pelayanan dokter di IGD rumah sakit sedangkan

pada perawat pelaksana menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana mempunyai

sikap mendukung penerapan program keselamatan pasien rumah sakit, dapat dilihat dari

sikap perawat yang komunikatif dalam memberikan informasi kepada pasien, perawat cepat

tanggap dengan keluhan pasien dan perawat juga ramah terhadap pasien.

Sikap merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap obyek tertentu yang

bersifat positif atau negatif yang biasanya diwujudkan dalam bentuk rasa suka atau tidak

suka, setuju atau tidak setuju. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

diantaranya adalah pengalaman pribadi, kebudayaan dimana individu berada, orang lain yang

dianggap penting, media massa, institusi pendidikan atau agama dan emosi dalam diri

individu.

Apabila kenyataan diatas diinterpretasikan berdasarkan Doktrin Azwar. S, maka dapat

diperoleh gambaran bahwa sikap merupakan faktor yang cenderung berpengaruh terhadap
40

implementasi Program Keselamatan Pasien di rumah sakit, dengan sikap tersebut tidak lain

merupakan respon dari tenaga kesehatan terhadap kondisi Rumah Sakit dan Pasien.

Dengan sikap tenaga kesehatan yang positif maka akan diperoleh respon yang baik

dari pasien, pasien akan merasa nyaman, aman dan puas dengan pelayanan yang diperoleh

dari tenaga kesehatan rumah sakit. Sebaliknya apabila sikap tenaga kesehatan negatif maka

pasien akan merasa tidak puas dan akan menimbulkan citra yang kurang baik terhadap rumah

sakit itu sendiri.

2. Motivasi

Motivasi didefinisikan sebagai dorongan yang timbul pada diri petugas kesehatan

untuk mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan pasien.Dorongan

yang dimaksud adalah dorongan yang timbul karena adanya keinginan untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang aman, yang jauh dari tuntutan karena kesalahan dalam

memberikan pelayanan.

Dengan melihat bagan matriks diatas, maka motivasi petugas kesehatan dalam hal ini

dokter dan perawat masih rendah, terlihat perawat pelaksana belum termotivasi untuk

menerapkan program keselamatan pasien, mengelola dan mempertahankan motivasi kerja

perawat pelaksana merupakan hal penting dalam organisasi rumah sakit. Jika diabaikan maka

akan mempengaruhi sikap kerja perawat termasuk dalam mendukung penerapan program

yang relative baru program keselamatan pasien ini.

Perawat di rumah sakit tidak hanya memberikan pelayanan kepada pasien, tetapi

mereka juga tentunya mengharapkan mendapatkan reward dari pihak manajemen rumah

sakit agar apa yang menjadi haknya dapat diterima dengan baik. Perawat yang puas dengan

apa yang diperolehnya dari manajemen, akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan

dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaiknya perawat yang kepuasan
41

kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan

membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja antara lain : atasan, kolega, saran

fisik, kebijakan, peraturan, imbalan jasa uang dan non uang, jenis pekerjaan dan tantangan.

Motivasi individu untuk bekerja dipengaruhi pula oleh kepentingan pribadi dan kebutuhan

masing-masing. Rendahnya insentif yang diterima perawat tidak sebanding dengan beban

kerja yang tinggi serta peraturan yang belum jelas bagi pasien menuntut sesuatu yang lebih

dan bukan menjadi kewenangan seorang perawat hal ini akan menimbulkan kebingungan,

dan menyebabkan rendahnya motivasi kerja perawat.

Apabila kenyataan diatas diinterpretasikan berdasarkan Doktrin Soeroso.S, maka

dapat diperoleh gambaran bahwa motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri

petugas kesehatan untuk mendukung atau tidak mendukung penerapan program keselamatan

pasien.Motivasi merupakan faktor yang cenderung berpengaruh terhadap implementasi

Program Keselamatan Pasien di rumah sakit. Dengan motivasi tenaga kesehatan yang positif,

maka akan diperoleh respon yang baik dari masyarakat Kabupaten Banyumas khususnya

Kota Purwokerto sebagai pasien di rumah sakit, dan tentunya akan meningkatkan kredibilitas

atau nama baik RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.

3. Komunikasi

Dengan melihat bagan matriks diatas maka salah satu faktor yang cenderung

berpengaruh terhadap program keselamatan pasien adalah intensitas keharusan komunikasi

memberikan informasi medis oleh dokter kepada pasien yang dapat dilihat masih relatif

rendah, dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa tenaga kesehatan dalam hal ini

dokter atau perawat harus lebih ditingkatkan dalam hal komunikasi memberikan informasi

mengenai tindakan yang hendak dilakukan, termasuk didalamnya manfaat serta risiko yang
42

mungkin terjadi, hal ini mengandung arti bahwa, tidak setiap informasi yang berkaitan

dengan medis disampaikan kepada pasien.

Kenyataan tersebut diatas dapat dibuktikan dengan melihat hasil penelitian yang

menggambarkan belum sepenuhnya hal-hal yang perlu diinformasikan dokter dapat diterima

secara utuh oleh pasien yang meliputi antara lain :

1. Ketidakjelasan pasien terhadap prosedur risiko yang mungkin timbul dalam

tindakan medis yang akan dilakukan;

2. Ketidaktahuan pasien terhadap risiko yang mungkin timbul dalam tindakan medis

yang akan dilakukan;

3. Kurang mengertinya pasien tentang manfaat yang diharapkan dari tindakan medis

yang akan dilakukan;

4. Kurang pahamnya pasien terhadap alternatif-alternatif tindakan medis yang dapat

dilakukan;

5. Ketidaktahuan pasien terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul

bilamana tindakan medis tersebut tidak dilakukan;

6. Kurang mengertinya pasien terhadap deskriptif perjalanan penyakit yang

dideritanya; dan

7. Ketidakmampuan pasien terhadap biaya pengobatan yang harus dibayar.

Prinsip dokter wajib berkomunikasi memberikan informasi kepada pasien merupakan

asas dasar yang harus diindahkan penerapannya dalam Informed Consent dokter dan pasien

dan secara yuridis tidak boleh ditinggalkan.Artinya prinsip tersebut menjadi salah satu syarat

yang harus dipenuhi agar dokter dalam melakukan tindakan medic tidak dianggap sebagai

melakukan perbuatan melawan hukum.Oleh karena itu prinsip dokter harus berkomunikasi

memberikan informasi medis kepada pasiennya merupakan suatu kewajiban hukum dokter

yang harus diimplementasikan secara maksimal dan tegas kepada pasiennya.


43

Implementasi prinsip dokter harus berkomunikasi memberikan informasi medis

kepada pasien, pada hakekatnya merupakan instruksi peraturan perundang-undangan yang

diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan dokter dalam melakukan tindakan medis kepada

pasien. Dengan demikian, prinsip ini menjadi kewajiban hukum yang harus dilaksanakan,

yakni memberikan penjelasan kepada pasien yang ditanganinya, penjelasan mencakup :

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan medis yang dilakukan.

Dengan melihat bahwa kurang maksimalnya implementasi prinsip bahwa pasien harus

dapat memahami informasi medis yang diberikan dokter, maka dalam pemberian penjelasan

menurut hukum dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(1) Penjelasan informasi medis disampaikan dengan bahasa yang sempurna dan

tertulis;

(2) Penjelasan informasi medis diberikan dengan menggunakan bahasa yang

sempurna secara lisan;

(3) Penjelasan informasi medis disampaikan dengan menggunakan bahasa yang tidak

sempurna asal diterima oleh pihak pasien;

(4) Penjelasan informasi medis dapat dilakukan dengan diam atau membisu tetapi asal

dapat dipahami atau diterima oleh pihak pasien.

Jika kenyataan diatas diinterpretaasikan berdasarkan pada ketentuan Pasal 52 huruf a

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan bahwa :

Pasien dalam menerima pelayanan mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap

tentang tindakan medis sebagimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), maka dapat
44

disimpulkan bahwa penjelasan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan dokter,

secara yuridis formal merupakan hak pasien. Oleh karena itu, dokter hendaknya tidak akan

melakukan tindakan medis yang direncakan, apabila pasien belum memahami informasi

tentang tindakan medis yang dilakukan.

Hak pasien ini muncul tertumpu pada dua macam hak asasi sebagai hak dasar

manusia, yakni hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien secara

subyektif merupakan individu yang paling berkepentingan terhadap semua tindakan medis

yang akan terjadi dengan segala akibatnya. Oleh karena itu implementasi prinsip bahwa

pasien harus memahami terhadap informasi medis yang diberikan dokter merupakan hak

pasien yang secara yuridis harus dipenuhi sebelum menjalani suatu upaya medis yang

dilakukan dokter untuk membantu perawatan, pengobatan dan pemulihan kesehatan bagi

dirinya.
45

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang telah diuraikan,

maka dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut :

1. Program Keselamatan Psien di RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto ternyata

belum dapat diimplementasikan secara maksimal, hal ini dapat dibuktikan dengan

hampir semua Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient safety) belum

dapat dilaksanakan secara efektif.

2. Faktor sikap, motivasi dan komunikasi tenaga kesehatan di rumah sakit cenderung

berpengaruh terhadap implementasi program keselamatan pasien, dan dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Sikap, dalam hal ini sikap tenaga kesehatan dokter masih terlihat kurang

empati dan kurang perhatian terhadap pasien, sehingga cenderung

berpengaruh negatif terhadap implementasi program keselamatan pasien;

sedangkan sikap perawat sudah cukup cepat tanggap dalam pelayanan

kesehatan terhadap pasien, sehingga berpengaruh positif terhadap

implementasi program keselamatan pasien;

b. Motivasi, dalam hal ini motivasi tenaga kesehatan dokter dan perawat masih

kurang, dikarenakan tidak adanya reward atau penghargaan dari rumah sakit

mengenai pelaksanaan program keselamatan pasien, sehingga cenderung

berpengaruh negatif terhadap implementasi program keselamatan pasien;

c. Komunikasi tenaga kesehatan dalam hal ini dokter dengan perawat ke arah

positif, perawat dengan perawat juga kea rah positif, maka akan cenderung

positif pula terhadap implementasi program keselamatan pasien;


46

sedangkan komunikasi antara tenaga kesehatan dokter dan perawat dengan

pasien masih kea rah negatif, sehingga semakin rendah pula dukungan tenaga

kesehatan dalam mengimplementasikan program keselamatan pasien rumah

sakit.

B. Saran

Belum maksimalnya implementasi program keselamatan pasien di Instalasi Gawat

Darurat RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto cenderung dipengaruhi oleh berbagai faktor

antara lain faktor komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dokter atau perawat dengan

pasien/keluarga pasien, kemudian faktor sikap tenaga kesehatan yang kurang empati terhadap

pelayanan kesehatan dalam hal ini terhadap pasien, pada kenyataannya sangat mendukung

program keselamatan pasien di Instalasi Gawat Darurat RSUD Margono Soekarjo,

Purwokerto.

Untuk itu hendaknya pihak manajemen RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto sangat

perlu untuk mengadakan evaluasi secara komperhensif terhadap pelayanan tenaga kesehatan

dokter maupun perawat, dalam hal komunikasi, motivasi dan sikap tenaga kesehatan dokter

dan perawat kepada pasien maupun keluarga pasien di rumah sakit, sehingga program

keselamatan pasien benar-benar dapat diimplementasikan di Instalasi Gawat darurat RSUD

Margono Soekarjo, purwokerto.


47

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Kusuma. 2010. Transaksi Teraupetik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah

Sakit.Bandung : Citra Aditya Bakti.

Departemen Kesehatan R.I.2009.Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit.

utamakan keselamatan pasien. Jakarta : Bakti Husada.

Guwandi. 2007. Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Hanafiah, Jusuf. 2010. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Edisi IV. Jakarta : EGC.

Lumenta, Nico. 2007. Peranan Promosi Dalam Meningkatkan Patient Safety, Sosialisasi

Promosi Kesehatan di Rumah Sakit Bagi Direktur Utama Rumah Sakit. Jakarta : Pustaka

Sinar Harapan.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta :

Rakesarasin.

Nasir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nasution, B. Johan. 2013. Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta : Rineka

Cipta.

Nasution, S. 1988. Metode Peneltian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

Poernomo, Bambang. 2008. Hukum Kesehatan Pertumbuhan Hukum Eksepsional di Bidang

Pelayanan Kesehatan.Yogyakarta : Aditya Media.

Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan : Dalam Perspektif Undang-Undang

Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers.

Soemitro, R. Hanitiyo. 2008. Studi Hukum dan Masyarakat.Bandung : Alumni.

Triwibowo, Cecep. 2014. Etika & Hukum Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.
48

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai