Anda di halaman 1dari 45

BENIGN PROSTATIC

HYPERPLASIA (BPH)
KELOMPOK 7

Ni Putu Ayu Meilla Kartika Putri (2308612069)


I Dewa Ayu Anom Yustari Nida (2308612070)
TOPIK PEMBAHASAN
Epidemiologi dan Etiologi

Gejala dan Tanda

Data Klinik – Laboratorium

Stage/ Klasifikasi Jenis Penyakit

Patofisiologi dan Panduan Terapi

Evaluasi Luaran Terapi dan Efek Samping

Perhatian Khusus pada Terapi Obat


01
Epidemiologi dan
Etiologi
EPIDEMIOLOGI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar
prostat yang umum pada pria. Ini dapat menyebabkan masalah dengan aliran
urin dan mempengaruhi kualitas hidup. Insidensinya meningkat dengan usia,
mencapai 20% pada usia 40 tahun, 70% pada usia 60 tahun, dan 90% pada
usia 80 tahun. Di seluruh dunia, BPH mempengaruhi sekitar 70 juta orang,
dengan prevalensi lebih tinggi di negara maju.
Di Indonesia, BPH merupakan penyakit urutan kedua yang
mempengaruhi 50% pria berusia 50 tahun. Di Provinsi Bali, diperkirakan
terdapat sekitar 88.500 kasus. Data dari Kabupaten Tabanan menunjukkan
peningkatan kunjungan penderita BPH dari tahun ke tahun, sedangkan di
Kabupaten Badung, RSD Mangusada mencatat jumlah kunjungan yang
cukup signifikan.
ETIOLOGI
• Pertumbuhan prostat meningkat saat usia 40 tahun ke atas,
Usia Pasien menyebabkan pembesaran prostat yang mengganggu aliran urin.

Stimulasi Androgen dan α- • Stimulasi reseptor α1-adrenergik di jaringan stroma menyebabkan


adrenergik kontraksi otot dan kompresi uretra.

• Peradangan kronis pada prostat mendorong pertumbuhan sel


Peradangan kronis stroma dan epitel serta pelepasan sitokin, mengakibatkan
pembesaran zona transisi.

Hormon Dihydrotestosteron • Peningkatan produksi 5α-reduktase dan reseptor androgen


(DHT) meningkatkan epitel dan stroma, menyebabkan hiperplasi.

Perubahan keseimbangan • Penurunan testosteron dan peningkatan estrogen


hormon mengakibatkan hiperplasi stroma.
ETIOLOGI

FAKTOR
RESIKO
LANINNYA  Kadar hormon testosteron yang tinggi.
 Riwayat keluarga yang menderita BPH.
 Obesitas dan aktivitas seksual yang berlebihan.
 Pola diet rendah seng dan mineral.
 Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
02
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda
Menurut American Urological Association (2023), pembesaran prostat dapat mengganggu atau
menyumbat kandung kemih, menyebabkan gejala umum seperti sering buang air kecil, terutama pada
malam hari. Gejala BPH lainnya meliputi:
1) Kandung kemih terasa penuh meskipun setelah buang air kecil.
2) Kebutuhan untuk sering buang air kecil, sekitar setiap satu hingga dua jam.
3) Kebutuhan untuk berhenti dan memulai beberapa kali saat buang air kecil.
4) Merasakan kebutuhan mendesak untuk buang air kecil.
5) Aliran urin yang lemah.
6) Kesulitan buang air kecil atau merasa perlu mengejan saat buang air kecil.
7) Terbangun lebih dari dua kali pada malam hari untuk buang air kecil.
Tanda BPH dari pemeriksaan digital menunjukkan prostat yang membesar (>20 g) tanpa nodul
atau indurasi, prostat lembut, simetris, dan mobile.
03
Data Klinik –
Laboratorium
PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata Status Urologis


01 Meliputi keadaan umum, tanda-tanda vital, dan 02 Pemeriksaan difokuskan pada area flank,
pemeriksaan fisik secara umum mulai dari kepala suprapubik, genitalia eksterna, perineum, dan
hingga tungkai bawah. Pemeriksaan ini dilakukan tungkai bawah.
untuk mengetahui penyebab serta menyingkirkan
diagnosis banding pada pasien dengan keluhan
LUTS.

Colok Dubur
03
Dari pemeriksaan colok dubur ini, dapat diperkirakan adanya
pembesaran, konsistensi, dan adanya nodul atau permukaan
berbenjol-benjol yang merupakan salah satu tanda keganasan prostat.
Studi menyimpulkan bahwa colok dubur cukup untuk membedakan
prostat dengan volume lebih atau kurang dari 50 cc.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Urinalisis
02 Satu penelitian menunjukkan 11% pria dengan
01 Urinalisis atau dipstick harus diikutsertakan dalam
LUTS memiliki gangguan fungsi ginjal.
evaluasi pasien dengan LUTS untuk
Tindakan operasi pada pasien dengan gangguan
mengidentifikasi kondisi seperti infeksi saluran
fungsi ginjal bukan akibat obstruksi perlu
kemih (ISK), mikrohematuria, proteinuria, dan
dilakukan hati-hati untuk menghindari terjadinya
diabetes melitus.
komplikasi pascaoperasi

Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA)


03
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan setelah
dilakukan manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP,
instrumentasi), pada retensi urine akut, dan usia yang semakin tua.
Kadar PSA serum merupakan prediktor kuat pertumbuhan prostat
dibandingkan dengan volume prostat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uroflowmetry
04 Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama
proses berkemih. Pengukuran laju pancaran kemih dengan
uroflowmetri dan volume residu urine merupakan satu dari
beberapa metode yang efektif dalam mengevaluasi pasien
BPH yang menjalani tata laksana konservatif serta menilai
respons terapi.

Residu Urine Pascaberkemih (Post Void Residual [PVR])


05
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara
menggunakan USG, bladder scan, atau dengan pemasangan
kateter uretra. Volume residu urine adalah sisa urine di kandung
kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal
rata-rata 50 ml. Akurasi diagnostik pengukuran PVR memiliki
nilai PPV sebesar 63% dan nilai NPV sebesar 52% dalam
memprediksi terjadinya Bladder outlet obstruction (BOO).
PENCITRAAN

01
Ultrasonografi

02
Prostat

Intravesical Prostatic Protrusion (IPP)


03

Voiding Cystouretehrogram (VCUG)


04

Uretrosistoskopi
05

06
Urodinamik
04
Stage/ Klasifikasi
Jenis Penyakit
STAGE
Indeks Skor Gejala BPH Berdasarkan American Urological Association (AUA)
STAGE
Menurut Dipiro 11th, kategori tingkat keparahan penyakit BPH berdasarkan gejala dan
tanda
STAGE
Menurut Tjahjodjati et al. (2017) BPH terbagi dalam 4 derajat, yaitu:

a. Derajat I, ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa urin kurang dari 50 cc, pancaran lemah, nokturia,
berat ± 20 gram. Derajat I biasanya belum memerlukan tindakan pembedahan, namun diberikan
pengobatan konservatif.
b. Derajat II, keluhan miksi terasa panas, disuria, nokturia bertambah berat, suhu badan tinggi
(menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urin 50-100
cc dan beratnya ± 20-40 gram. Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan tindakan pembedahan.
c. Derajat III, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tidak teraba, sisa urin lebih 100 cc,
penonjolan prostat 3-4 cm dan beratnya 40 gram.
d. Derajat IV, inkontinensia, prostat lebih dari 4 cm, beberapa penyulit ke ginjal seperti gagal ginjal,
hidronefrosis.
05
Patofisiologi dan
Panduan Terapi
Prostat adalah bagian dari sistem reproduksi pria yang menghasilkan cairan untuk air mani.
Prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi uretra. Prostat mengalami dua periode
pertumbuhan utama: di awal masa pubertas dan sekitar usia 25 tahun. Hiperplasia prostat jinak
(BPH) terjadi ketika prostat membesar, menekan uretra, dan menyebabkan masalah saluran kemih
bagian bawah (LUTS).
Mekanisme patofisiologis pasti yang menyebabkan BPH masih belum jelas. Baik
dihidrotestosteron intraprostatik (DHT) dan 5α-reduktase tipe II diduga terlibat. BPH umumnya
disebabkan oleh faktor statis (pembesaran prostat secara bertahap) dan faktor dinamis (agen atau
situasi yang meningkatkan tonus α-adrenergik dan menyempitkan otot polos kelenjar). Contoh
obat yang dapat memperparah gejala termasuk testosteron, agonis α-adrenergik (misalnya
dekongestan), dan obat-obatan yang memiliki efek antikolinergik yang signifikan (misalnya
antihistamin, fenotiazin, antidepresan trisiklik, antispasmodik, dan agen antiparkinson)
Gambar Prostat Normal dan Pembesaran Prostat
PANDUAN TERAPI BPH

Prostat adalah bagian dari sistem reproduksi pria yang


menghasilkan cairan untuk air man. Terletak di bawah kandung
kemih, prostat dapat membesar seiring bertambahnya usia pria,
menyebabkan hiperplasia prostat jinak (BPH). Terapi untuk BPH
bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencakup
pilihan konservatif, medikamentosa, pembedahan, dan terapi lain
untuk kondisi khusus.
PANDUAN TERAPI BPH

Algoritma tata laksana pilihan terapi


medikamentosa/konservatif
PANDUAN TERAPI BPH

Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting, yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apa pun, tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi
Terapi Konservatif
oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor
(watchful waiting)
IPSS di bawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pasien diminta untuk kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine.
PANDUAN TERAPI BPH

MONOTERAPI

1. α1‐blocker
2. 5α-Reduktase Inhibitor (5-ARI)
3. Anti Muskarinik
4. Beta 3 Agonis
Terapi 5. Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE-5 Inhibitor)
Medikamentosa

KOMBINASI

Terapi kombinasi dapat digunakan jika monoterapi


tidak efektif.
PANDUAN TERAPI BPH

Algoritma tata laksana pilihan terapi


intervensi
PANDUAN TERAPI BPH

Reseksi Prostat
1. Monopolar dan Bipolar Transurethral Resection of the
Prostate (TURP)
2. Modifikasi TURP: Bipolar TURP
3. Laser Prostatektomi
Terapi
Pembedahan
Vaporization Of The Prostate
1. Vaporisasi rostat dengan Laser Thuliumyttrium-
aluminium-garnet (Tm:YAG)
2. Transurethral Incision the Prostate (TUIP)
PANDUAN TERAPI BPH

Enukleasi Prostat
1. Prostatektomi terbuka
2. Enukleasi prostat transurethral bipolar (TUEP-B)
3. Enukleasi laser holmium pada prostat
4. Enukleasi Prostat dengan Laser Thulium: Yttrium-
Aluminium-Garnet (Tm:YAG)
Terapi
Pembedahan
Vaporisasi Prostat
1. Bipolar Transurethral Vaporization of the
Prostate (B-TUVP)
2. Vaporisasi prostat dengan laser 532 nm
(Greenlight)
PANDUAN TERAPI BPH

Teknik Alternatif Ablasi


Terapi 1. Aquablation – image guided robotic waterjet
Pembedahan ablation: AquaBeam
2. Embolisasi Arteri Prostat (PAE)
PANDUAN TERAPI BPH

1. Prostatic urethral lift (PUL)


Terapi lain 2. Trial Without Catheter (TWOC)
3. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
(Kondisi Khusus)
4. Sistostomi
5. Kateter menetap
PANDUAN TERAPI BPH

Dosis Obat Golongan α1‐


blocker yang Digunakan
dalam Pengobatan BPH
(Dipiro et al, 2021)
PANDUAN TERAPI BPH

Dosis Obat Golongan 5a-


reduktase inhibitor yang
Digunakan dalam Pengobatan
BPH (Dipiro et al, 2021)
PANDUAN TERAPI BPH

Dosis Obat Golongan Anti


Muskarinik yang Digunakan
dalam Pengobatan BPH
(Dipiro et al, 2021)
PANDUAN TERAPI BPH

Dosis Obat Golongan Beta 3


Agonis yang Digunakan dalam
Pengobatan BPH (Dipiro et al,
2021)
PANDUAN TERAPI BPH

Dosis Obat Golongan PDE-5


Inhibitor yang Digunakan
dalam Pengobatan BPH
(Dipiro et al, 2021)
PANDUAN TERAPI BPH

Rejimen BPH kombinasi yang


biasa diresepkan, indikasi, dan
tindakan pencegahan (DiPiro
et al., 2023)
06
Evaluasi Luaran
Terapi dan Efek
Samping
EFEK SAMPING
• Beberapa efek samping yang sering terjadi pada pengobatan
α1-Adrenergic dengan menggunakan α1 Adrenergic Antagonists yaitu
hipotensi postural, intraoperative floppy iris syndrome (IFIS),
Antagonists dizzines dan astenia yang sering menyebabkan pasien
menghentikan pengobatannya

• Beberapa efek samping yang dapat diakibatkan penggunaan


5α-Reductase penghambat 5α-reduktase meliputi disfungsi ereksi, disfungsi
ejakulasi, penurunan libidio, ginekomastia, mual, sakit perut,
Inhibitors asthenia, pusing, perut kembung, sakit kepala, kelemahan
otot dan muncul bercak-bercak kemerahan di kulit atau ruam

• Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan


Phosphodiesterase 5 phosphodiesterase 5 inhibitors (PDE 5 Inhibitor) yaitu refluks
gastroesofageal, sakit kepala, dispepsia, nyeri punggung dan
inhibitors hidung tersumbat
EFEK SAMPING

Antagonis • Efek samping yang dapat ditimbulkan dari antagonis reseptor


muskarinik seperti mulut kering, konstipasi, kesulitan buang
Reseptor air kecil, nasopharyngitis dan pusing

Muskarinik
• Efek samping mirabegron termasuk sakit kepala ringan,
mulut kering, mual, diare, sembelit, hipertensi, infeksi
saluran kemih, nasofaringitis, dan dalam kasus yang
β3 -Adrenergic jarang terjadi perpanjangan interval QT. mirabegron juga
dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sebesar 0,5
Agonist hingga 1 mmHg dan detak jantung sebesar 1 bpm
07
Perhatian Khusus
pada Terapi Obat
PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT

• Pada pasien gagal ginjal, penyesuaian dosis obat silodosin dan alfuzosin
diperlukan. Dosis silodosin dikurangi menjadi 4 mg per hari pada pasien
dengan gangguan ginjal sedang (klirens kreatinin 30-50 mL/menit) dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan insufisiensi hati berat atau klirens
kreatinin kurang dari 30 mL/menit.
α1-Adrenergic • Pasien yang menggunakan α1-adrenergik antagonists dan berencana
menjalani operasi katarak harus memberi tahu dokter mata tentang
Antagonists penggunaan obat. Ini terkait dengan komplikasi intraoperative floppy iris
syndrome (IFIS) karena blokade reseptor α1A adrenergik pada otot dilator iris,
yang dapat menyulitkan prosedur katarak dan meningkatkan risiko komplikasi
pascabedah.

• Obat golongan ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dengan


kategori X oleh FDA dan dikatakan bahwa paparan obat pada janin
5α-Reductase dapat menyebabkan pseudohermafrodit dengan alat kelamin yang
ambigu, mirip dengan pasien dengan defisiensi genetik langka
Inhibitors 5αreduktase tipe II
PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT

• Pada pasien yang akan direncanakan terapi dengan


menggunakan golongan ini di rekomendasikan untuk
melakukan tes PSA terlebih dahulu sebelum terapi
Phosphodiesterase dimulai. Setelah 6 bulan terapi, pasien harus menjalani
pemeriksaan PSA ulang dan akan dilakukan
5 inhibitors perbandingan dengan hasil yang pertama. Jika kadar PSA
selama pengobatan tidak menurun hingga 50% dan
pasien patuh terhadap rejimen penghambat 5α-
reduktase, ia harus dievaluasi untuk kanker prostat

• Agen antikolinergik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan glaukoma


sudut tertutup, retensi saluran kemih atau lambung, atau motilitas usus
Antagonis Reseptor yang sangat menurun. Agen kolinergik pada pasien BPH dapat
menyebabkan retensi urin akut oleh karena itu, sebelum meresepkan
Muskarinik agen antikolinergik, volume urin pasca berkemih (PVR) harus diukur
dimana volume urin harus 100 hingga 150 mL atau kurang
PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT

• Penggunaan mirabegron pada pasien lansia


harus hati-hati karena lansia dengan BPH
sering mengalami hipertensi esensial dan
dikhawatirkan obat ini dapat memperburuk
keadaan pasien sehingga pasien dengan
β3 -Adrenergic hipertensi yang tidak terkontrol atau tekanan
Agonist darah sistolik atau diastolik 180 mmHg/110
mmHg atau lebih tinggi, harus menghindari
mirabegron. Selain itu, mirabegron juga tidak
boleh digunakan pada pasien dengan disfungsi
hati yang parah atau klirens kreatinin kurang
dari 15 mL/menit (0,25 mL/detik)
THANK
YOU
To see this presentation
DAFTAR PUSTAKA
AUA (American Urological Association). (2023). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Patient Guide. Urology Care Foundation.
https://doi.org/10.1007/s001200050059.
Ayu, D., Alit, K., Dwie, I. M., Susila, P., Nara, A. A. N., & Badung, M. K. (2021). Hubungan Lower Urinary Tract Symptoms ( Luts ) Terhadap
Kualitas Hidup Pasien Bph Di Klinik Urologi Rsd Mangusada Badung. Jurnal Nursing Update-, 12(1), 2021.
Badan Pusat Statistik. (2016). Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia. Katalog BPS.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah (8th ed). Singapore: Elsevier.
BPS Provinsi Bali. (2018). Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Badan Pusat Statistik Bali
Dipiro et al. (2021). Pharmacotherapy Handbook Eleventh Edition. https://www.facebook.com/groups/2202763316616203.
DiPiro, J. T., Yee, G. C., Hainess, S. T., Nolin, T. D., Ellingrod, V. L., & Posey, L. M. (2023). Dipiro’S Pharmacotherapy a pathophysiologic
approac h 12Th Edition.
Giannakis, I., Herrmann, T. R. W., & Bach, T. (2021). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Urologic Surgery in the Digital Era: Next
Generation Surgery and Novel Pathways, 1(2), 3–38. https://doi.org/10.1007/978-3-030-63948-8_1.
IAUI. (2021). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak ( Benign Prostatic Hyperplasia / BPH ). Ikatan Ahli Urologi
Indonesio.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Profil kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018]. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profilkesehata n-indonesia/Data-dan-Informasiprofil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf.
Lepor H. 2007. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia. Rev Urol ; 9(4):181-90.
Miernik, A., & Gratzke, C. (2020). Current Treatment for Benign Prostatic Hyperplasia. Medicine, 117, 843-853.
Nuari, N. A., & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan Dan Penatalaksanaan Keperawatan (1st Ed). Yokyakarta:
Deepublish.
Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 1–100.
Sjamsuhidajat, d. (2012). Buku Ajar Ilmu Bedh Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
Stelzner S. 2019. Intraoperative Management Of Iris Prolapse. American academy of ophthalmology.
from:http://eyewiki.aao.org/Intraoperative_Management_of_Iris_Prolapse.
Sutanto, R. L. (2021). Hiperplasia Prostat Jinak: Manajemen Tatalaksana dan Pencegahan. JIMKI, 8(3): 90-97.
Wuest M, Kaden S, Hakenberg OW, Wirth MP, Ravens U. Effect of rilmakalim on detrusor contraction in the presence and absence of
urothelium. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol.2005;372(3):203-12.

Anda mungkin juga menyukai