Anda di halaman 1dari 26

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

SKENARIO KASUS SISTEM PERKEMIHAN

TUGAS 1 INDIVIDU

Dosen Pengampu : Ns. Devia Putri L, M. Kep., Sp.Kep.MB

Disusun oleh :

Nadila

2011311053

Kelas 2A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS
2021/2022

Kasus 1 Benigna Hiperplasia Prostat (BPH)

1. Jelaskan berdasarkan kasus apakah penyebab timbulnya BPH pada pasien tersebut?

Sampai saat ini penyebab pasti dari BPH belum ditemukan, namun dari kasus dapat
dianalisis bahwasanya klien dapat menderita BPH karena usia dan jenis kelaminnya.
Klien merupakan pria berumur 66 tahun, dimana pada usia ini terjadi penurunan kadar
hormon testosterone. Produksi yang kurang akan menimbulkan keluhan tonus otot
melemah sehingga keinginan untuk melakukan aktivitas seksual berkurang.
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena pembesaran
prostat jinak, yaitu:

 Berusia di atas 60 tahun


 Kurang olahraga
 Berat badan berlebih
 Menderita penyakit jantung atau diabetes
 Rutin mengonsumsi obat hipertensi jenis penghambat beta
 Memiliki keluarga yang mengalami gangguan prostat
 Adanya anggota keluarga yang mengalami BPH
 Obesitas
 Memiliki gangguan jantung koroner dan diabetes melitus tipe 2
 Mengalami disfungsi ereksi

2. Berdasarkan kasus apakah yang dimaksud dengan Lower Tract Urinary Syndrom
(LUTS)? Kemudian identifikasi gejala yang timbul pasien sesuai dengan kasus

Gejala berkemih yang disebabkan oleh gangguan saat berkemih umumnya disebut sebagai gejala
saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) dan juga sebagai
indikator subjektif dari penyakit atau perubahan kondisi yang dirasakan oleh pasien dan
pasangannya dan dapat menyebabkan mereka mencari bantuan ke tenaga kesehatan professional.
LUTS dikelompokkan menjadi gejala penampungan dan gejala pengosongan istilah ini pertama
kali didefinisikan oleh International Continence Society (ICS). Kemudian pada tahun 2002
standar terminologi ini dedefinisikan ulang oleh ICS dengan menambahkan kategori gelaja baru
yaitu gejala pascamiksi.

Gejala yang terjadi pada pasien tersebut adalah sulit buang air kecil, mengedan untuk
BAK, pancaran kencing lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga merasa
tidak tuntas saat berkemih.

3. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan untuk BPH? Pada kasus apa saja yang telah
dilakukan dan sebutkan hasilnya

Untuk menegakkan diagnosa BPH, pemeriksaan yang dilakukan meliputi pengkajian,


pemeriksaan fisik (termasuk colok dubur), dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan Laboratorium: Darah lengkap, Urinalysis: urin lengkap dan biakan urin,
Serum kreatinin, Urea nitrogen darah/blood urea nitrogen (BUN), Antigen prostat
spesifik/prostate specific antigen (PSA) untuk diagnosis banding kanker prostat.
2. Pemeriksaan Radiologi:
 Pemeriksaan USG. Dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal.
Pemeriksaan ini dapat menentukan volume prostat, adanya batu buli-buli, serta urine
residual.
 CT scan pelvis dapat membantu evaluasi ukuran prostat. Jika terjadi pembesaran,
diameter prostat pada potongan transversal umumnya berukuran >5 cm.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI): pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan untuk
kasus pembesaran prostat.
 Pielogram Intravena/Intravenous Pyelography (IVP): Pemeriksaan ini tidak rutin
dilakukan pada benign prostatic hyperplasia dan hanya dilakukan bila ada indikasi
tertentu. Akan terlihat adanya indentasi pada bagian dasar buli, elevasi trigonum buli,
atau huruf “J” pada ureter distal (gambaran mata pancing) saat buli terisi. Pada saat buli
kosong, akan terlihat sisa urin akibat obstruksi.
 Uroflowmetri. Pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter spesialis urologi untuk menilai
progresivitas BPH dengan menilai laju urin saat miksi. Hasil laju urin
maksimum/maximum flow rate (Qmax) >20mL/detik dapat menyingkirkan
kemungkinan BPH pada pasien dengan LUTS; akurasi 90%.
 Histologi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan terutama untuk membedakan hiperplasia
maligna dan benigna. Biopsi pada benign prostatic hyperplasia akan menunjukkan
kombinasi antara hiperplasia stroma dan epitel, proliferasi otot polos, fibroadenoma,
atau trabekulasi buli dengan peningkatan kolagen.

Pada kasus pemeriksaan yang sudah dilakukan yaitu pengkajian, pemeriksaan fisik, usg ginjal.

1. Pengkajian
Hasil pengkajian didapatkan mual, muntah (-), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, BB65 kg, TB 168 cm, IMT 20,1 kg/m2 (gizi normal). Kesadaran komposmentis,
nadi 99x/menit regular, frekuensi pernapasan 20x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg, dan
suhu 36,7°C
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephal, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-)
Telinga : kebersihan (+), pendengaran dalam batas normal
Hidung: secret (-), kebersihan baik.
mulut: bibir sianosis (-), lidah bersih
leher: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, ataupun tiroid

Pemeriksaan Thorax
Jantung :
 inspeksi: ictus cordis tidak terlihat, palpasi: ictus cordis terabadi RIC V midlinea
clavicula sinistra, perkusi: pekak, auskultasi: bunyi jantung S1=S2.

Paru :

 inspeksi: pergerakan dinding dada simetris, palpasi: fremitus kiri=kanan, perkusi:


sonor di seluruh lapang paru, auskultasi: vesikuler ki=ka
Pemeriksaan rectal toucher (colok dubur) : tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin,
tidak ada massa, ampulla recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba,
konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, dannyeri tekan tidak ada, tidak ada
darah dan feses pada handscoen.

3. USG ginjal dan buli ginjal :


Kiri dan kanan normal, cystitis dengan hipertropi prostat, dinding buli menebal,
taktampakindentasi prostat, volume prostat 120 gr, volume buli mas 150 cc.

4. Jelaskan mengenai tindakan TURP

Transurethral Resection of the Prostate (TURP) merupakan tindakan pembedahan pada pasien
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) untuk menyingkirkan jaringan prostat penyebab obstruksi
saluran kemih. Prosedur ini berlangsung sekitar 1-2 jam. Sebuah instrumen yang
disebut resectoscope dimasukkan melalui penis dan uretra. Resectoscope membantu dokter untuk
melihat dan memotong jaringan prostat yang menghambat aliran urine. TURP merupakan
standar baku emas untuk tata laksana pasien BPH, dengan volume prostat 30-80 mL

Pada prosedur ini mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap
terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering
dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Beberapa hari sebelum tindakan, dokter akan menanyakan riwayat kesehatan pasien secara
lengkap dan melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kesiapan kondisi tubuh untuk
menjalani tindakan tersebut. Dokter akan meminta pasien untuk menghentikan konsumsi obat-
obatan yang meningkatkan risiko perdarahan seperti aspirin, ibuprofen, warfarin dan clopidogrel.
Dokter juga akan memberikan antibiotik untuk mencegah infeksi salurah kemih. Hentikan
kebiasaan merokok dan hindari stres sebelum menghadapi operasi. Pasien biasanya diminta
untuk berpuasa setidaknya 8 jam sebelum TURP.
5. Jelaskan tujuan irigasi bladder pada pasien post TURP? Apa yang perlu dievaluasi dari
tindakan irigasi bladder?

Continuous bladder irrigation adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk mencegah forması
dan retensi clot sehubungan dengan dilakukannya TURP (Christine, Ng, 2011). Afrainin, Syah
(2010) menjelaskan Continuous Bladder Irrigation (CBI) merupakan tindakan membilas atau
mengalirkan cairan secara berkelanjutan pada bladder untuk mencegah pembentukan dan retensi
clot darah yang terjadi setelah operası transurethral resection of the prostate (TURP).

Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mencegah formasi clot, melancarkan aliran urin, dan
mempertahankan kateter dengan secara terus menerus melakukan irigasi kandung kemıh dengan
menggunakan cairan rumatan normal saline (ACI Urology Network-Nursing, 2012). Selain itu,
penelitian yang dilakukan Nojiri et al (2007) menyebutkan bahwa continuous bladder trrigation
menurunkan insiden terjadinya obstruksi kateter.

Yang perlu dievaluasi:

Perlu dievaluasi respons klien terhadap tindakan irigasi kandung kemih, lalu evaluasi apakah ada
darah yang keluar setelah proses pembedahan TURP. Kemudian evaluasi juga jumlah cairan
irigasi yang masuk serta berapa banyak cairan irigasi beserta urin yang keluar.
Kasus 2 Ca. Buli

1. Berdasarkan kasus identifikasi dan jelaskan penyebab Ca. Buli pada pasien tersebut?

1. Usia

Seiring dengan pertambahan usia, risiko pasien untuk terkena kanker kandung kemih juga
meningkat. American Cancer Society menyebut sembilan dari sepuluh orang yang menderita
kanker kandung kemih berusia lebih dari 55 tahun yang dimana pada kasus ini pasien berusia 66
tahun. Stuart et al. (2000) membuktikan bahwa frekuensi mutasi pada kandung kemih meningkat
seiring dengan usia, dan terakumulasi seiring dengan keadaan DNA yang terus ber-replikasi.

Berkaitan dengan usia, menurut Shariat et al. (2009) terdapat tiga teori yang mampu menjelaskan
interaksi antara karsinogenesis secara umum dengan proses penuaan. Pertama, seiring dengan
bertambahnya usia, seseorang akan mengalami pajanan karsinogen yang terus terakumulasi.
Kedua, penuaan memberikan waktu dalam perkembangan dan akumulasi kejadian ditingkat
seluler yang dapat menyebabkan transformasi neoplasma. Ketiga, penuaan dapat diiringi oleh
penurunan kemampuan kandung kemih mengosongkan urin secara maksimal, hal tersebut
menyebabkan pajanan yang terlalu lama terhadap karsinogen yang diekskresikan di urin

2. Jenis kelamin

Pasien merupakan seorang laki-laki yang dimana menurut beberapa penelitian laki-laki lebih
berisiko terkena ca. buli karena berkaitan dengan gaya hidupnya. Menurut Joshi et al. (2013)
terdapat beberapa faktor resiko yang mungkin lebih banyak dimiliki oleh populasi laki-laki
seperti faktor lingkungan, makanan, perbedaan anatomi, kebiasaan buang air, dan faktor
hormonal.

3. Kebiasaan Merokok

Penderita mempunyai kebiasaan merokok selama 20 tahun terakhir sebanyak satu sampai dua
bungkus sehari. Setiap 15 batang rokok yang diisap, ada perubahan DNA yang menyebabkan sel
dalam tubuh menjadi kanker. DNA di semua sel tubuh mengendalikan bagaimana mereka
bekerja, jadi jika DNA rusak tubuh ikut mengalami efeknya. Kanker kandung kemih diawali
dengan pertumbuhan sel tidak normal yang tak terkendali pada lapisan kandung kemih. sel
kanker menyebar dari lapisan epitel ke dinding otot kandung kemih. Penyebab utama kanker
kandung kemih adalah pertumbuhan sel kanker pada lapisan epitel kandung kemih. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi perkembangan sel kanker, dan salah satu yang paling berperan adalah
kebiasaan merokok. Perubahan sel pada kandung kemih diduga diakibatkan paparan zat kimia,
seperti zat karsinogenik pada rokok. Paparan rokok tersebut memicu mutasi pada sel kandung
kemih, sehingga berisiko menyebabkan kanker. Mutasi tersebut membuat sel pada kandung
kemih tumbuh tidak normal dan membentuk sel kanker. Fakta juga menunjukkan bahwa seorang
perokok memiliki empat kali risiko lebih tinggi mengalami kanker kandung kemih

2. Bagaimana menentukan stadium pada pasien Ca. Buli? berdasarkan kasus jelaskan
stadium Ca. Buli yang dialami pasien

Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien, riwayat kesehatan pasien dan keluarga,
serta apakah pasien pernah terpapar zat kimia yang dapat meningkatkan risiko menderita kanker
kandung kemih.

Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan colok dubur untuk mendeteksi keberadaan
benjolan yang bisa menandakan kanker.

Jika terdapat dugaan kanker kandung kemih, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang,
seperti:

 Tes urin sitologi, untuk mendeteksi keberadaan sel-sel kanker di dalam sampel urine
pasien

 Pemindaian dengan foto Rontgen yang dilengkapi zat kontras, CT scan, atau MRI, untuk
melihat kondisi kandung kemih

 Sistoskopi, untuk melihat kondisi kandung kemih melalui selang kecil berkamera

 Pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari kandung kemih, untuk melihat apakah
terdapat sel-sel kanker pada sampel jaringan yang diambil
Setelah pasien dipastikan menderita kanker kandung kemih, dokter akan menetapkan stadium
atau tingkat keparahan kondisi. Penentuan ini akan membantu dalam menentukan metode
pengobatan yang tepat.

Kanker kandung kemih dibagi menjadi 5 stadium, dari stadium 0 hingga stadium 4. Berikut ini
adalah penjelasannya:

 Stadium 0

Kanker belum menyebar melewati lapisan kandung kemih

 Stadium I

Kanker telah melewati lapisan kandung kemih, tetapi belum mencapai lapisan otot di
kandung kemih

 Stadium II

Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot di kandung kemih

 Stadium III

Kanker telah menyebar ke jaringan di sekitar kandung kemih

 Stadium IV

Kanker telah menyebar ke organ lain di sekitar kandung kemih

Pada pemeriksaan fisik kasus ini ditemukan konjungtiva anemis, nyeri tekan pada perut bagian
bawah, ballottement kedua ginjal positif, tanpa terabanya hepar dan pembesaran kelenjar limf
regional. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, faal
hati, faal ginjal, serta urinalisis lengkap. Untuk evaluasi dari hematuri yang dicurigai akibat
adanya tumor kandung kemih perlu dilakukan pemeriksaan sitology urin dan sistoskopi. Hasil
sitologi urin yang positif mengindikasikan adanya karsinoma sel transisional, tetapi tanpa adanya
gejala klinis yang mendukung maka hasil sitology urin tersebut tidak cukup berarti, karena sering
ditemukannya hasil positif palsu. Dugaan karsinoma sel transisional kandung kemih berdasarkan
sitologi urin harus dikonfirmasi dengan sistoskopi dan biopsy transuretral. Pada penderita ini
ditemukan anemia normositik normokromik. Terdapat hematuri makroskopik dan sitology urin
yang mengesankan hanya terdiri dari sel-sel eritrosit dan beberapa sel epitel, dan tidak tampak
sel-sel ganas. Hasil biopsy transuretral menunjukkan gambaran histopatologik sesuai dengan
karsinoma sel transisional papiler kelas II (Gambar 1).

Ultrasonografi direkomendasikan penggunaannya karena berkemampuan untuk mendeteksi


tumor yang lebih besar dari 1,5 cm pada 58-94% kasus, tetapi tidak dapat digunakan untuk
menentukan derajat tumor. Ultrasonografi transurethral dapat mempertinggi keakuratan
diagnosis. Sistoskopi dan biopsi pada daerah yang abnormal merupakan kunci
diagnosis dan gradasi dari karsinoma kandung kemih. Pemeriksaan ultrasonografi
transabdominal mengesankan terdapat nya polip kandung kemih, yang dikonfirmasi oleh adanya
karsinoma sel transisional dengan sistoskopi dan biopsy jaringan tumor.

Penentuan stadium dibutuhkan untuk menentukan perluasan penyakit secara anatomi. Sistem
yang umum dipakai adalah TNM (Tumor-Node-Metastasis) staging system.

Untuk menentukan stadium tumor perlu dilakukan pemeriksaan seperti sistoskopi, pielografi
intravena, komputer tomografi pelvis/abdomen, magnetic resonance imaging (dengan akurasi 85-
94%), ultrasonografi, scan tulang, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium (darah lengkap,
ureum, kreatinin, kalsium, dan alkali fosfatase). Berdasarkan TNM yaitu: TIS adalah tumor in
situ, Ta adalah tumor papilari non invasif, T1 adalah tumor pada jaringan ikat subepitel, T2
adalah tumor pada otot superfisial, T3 tumor mengenai otot bagian dalam (T3A) atau jaringan
lunak perivesika (T3B), T4 tumor mengenai prostate, uterus, vagina, dinding pelvis, dan dinding
abdomen. N0 tidak terdapat metastasis kelenjar regional, N1 terdapat metastasis kelenjar
regional (tunggal) dengan diameter ≤ 2 cm, N2 terdapat metastasis kelenjar regional tunggal > 2
cm dan < 5 cm, N3 terdapat metastasis kelenjar regional multipel > 5cm. M0 artinya tidak
terdapat metastasis, sedangkan M1 terdapat metastasis jauh. Berdasarkan TNM staging system,
penderita ini diperlakukan sebagai karsinoma kandung kemih yang superfisial, sekurang-
kurangnya stadium T1.

Penderita ini diperlakukan sebagai karsinoma kandung kemih yang superfisial sekurang-
kurangnya stadium T1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
ultrasonografi, dan sistoskopi yang menunjukkan adanya tumor pada kandung kemih.
Histopatologi dari biopsy jaringan menunjukkan gambaran suatu karsinoma sel transisional
papiler kelas II.

3. Jelaskan penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien Ca. Buli?

Penatalaksanaan karsinoma kandung kemih dilakukan berdasarkan sistem TNM. Pada karsinoma
kandung kemih yang superfisial (TIS, Ta, T1) biasanya dilakukan reseksi tumor transuretral dan
diikuti pemberian obat kemoterapi atau imunoterapi intravesika. Pemberian obat intravesika
yang banyak digunakan adalah mitomycin C (MMC), doxorubicin, dan Bacillus Calmette-Guerin
(BCG). Pemberian BCG intravesika bersifat imunoterapi dengan menekan rekurensi serta
progresifitas dari karsinoma kandung kemih sehingga diindikasikan untuk penderita-penderita
yang cenderung mengalami kekambuhan setelah operasi reseksi transuretral. BCG mengurangi
kekambuhan 40% - 45%, dibanding obat intravesika lain yang hanya sebesar 8-18%. Pada
beberapa penelitian penggunaan MMC dosis minimal sebagai kemoterapi intravesika telah
menunjukkan efektifitas yang sangat tinggi terhadap karsinoma kandung kemih. Selain itu tidak
mengakibatkan efek samping yang serius. MMC paling efektif diberikan sesegera mungkin
setelah operasi, dimana MMC akan melapisi lapisan mukosa kandung kemih dan bekerja
menghentikan pertumbuhan menghentikan pertumbuhan serta pembelahan sel-sel kanker
tersebut. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mematikan sel-sel kanker sehingga mukosa kandung
kemih akan terbebas dari sel-sel kanker, yang dengan demikian akan mengurangi angka
kekambuhan sampai dengan 40%. Standar terapi untuk karsinoma kandung kemih yang invasif
sampai ke otot (T2, T3) adalah sistektomi radikal yang di beberapa negara telah digunakan
sebagai terapi standar utama. Radioterapi sebesar 5000–7000 cGy selama periode pemberian 5–
8 minggu berperan sebagai pengobatan alternatif dengan angka harapan hidup lima tahun sebesar
30-45%. Karsinoma kandung kemih metastasis (T4) yang menggunakan obat kemoterapi,
biasanya berupa kombinasi M-VAC (Methotrexate, Vinblastin, Adriamycin, dan Cisplatin), PT
(Ciplastin dan Paklitaksel), GTC (Gemsitabin, Paklitaksel, Ciplastin), atau CISCA (Cisplatin,
Siklofosfamid, Adriamycin).
Penderita ini diperlakukan sebagai karsinoma kandung kemih yang superfisial sekurang-
kurangnya stadium T1, sehingga penanganan yang dilakukan adalah reseksi tumor transurethral,
dan diikuti pemberian obat intravesika (mitomycin C 40 mg sekali seminggu selama 6 minggu).
Juga penderita dianjurkan untuk berhenti merokok dan minum kopi Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, ultrasonografi, dan sistoskopi yang menunjukkan
adanya tumor pada kandung kemih. Histopatologi dari biopsy jaringan menunjukkan gambaran
suatu karsinoma sel transisional papiler kelas II.
Kasus 3 Batu Ginjal (Nefrolithiasis)

1. Jelaskanlah penyebab batu ginjal pada pasien tersebut

 Usia : Usia pasien 66 tahun dan mengalami hipertensi (140/80 mmhg)

Semakin bertambahnya umur menyebabkan gangguan peredaran darah seperti hipertensi dan
juga peningkatan kolesterol. Hipertensi dapat menyebabkan pengapuran ginjal yang dapat
berubah menjadi batu sedangkan kolesterol tinggi merangsang agregasi dengan kristal kalsium
oksalat dan kalsium fosfat sehingga mempermudah terbentuknya batu

 Jenis kelamin : laki-laki

Nefrolitiasis lebih rentan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yang
dikarenakan struktur anatomi dari pria lebih panjang, sehingga lebih banyak kemungkinan
susbtansi pembentuk batu mengendap dan menjadi batu

 Makanan dan minuman

Pasien memiliki kebiasaan minum minuman bersoda dan jarang meminum air putih

 Aktivitas

Serta tidak diimbangi dengan kegiatan olah raga rutin

 Obesitas

Obesitas dapat memicu perubahan kadar asam dalam urine hingga menyebabkan pembentukan
batu ginjal.

2. Berdasarkan teori apa saja jenis dan penyebab batu ginjal

Jenis batu ginjal

 Batu kalsium
Batu kalsium terdiri dari batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Batu kalsium
merupakan jenis batu ginjal yang paling umum. Batu kalsium oksalat disebabkan oleh
terlalu banyak oksalat dalam urin atau disebut hiperkalsiuria. Oksalat adalah zat alami
yang ditemukan dalam banyak makanan. Tubuh menggunakan makanan untuk energi.
Setelah tubuh menggunakan apa yang dibutuhkannya, produk-produk limbah keluar
melalui aliran darah ke ginjal dan dibuang melalui urin. Urin memiliki berbagai limbah di
dalamnya. Jika terlalu banyak limbah dalam cairan yang terlalu sedikit, kristal dapat
mulai terbentuk. Kristal-kristal ini dapat saling menempel ke kalsium ketika urin
diproduksi oleh ginjal dan membentuk massa padat yaitu batu ginjal (A to Z Health
Guide, 2017).

 Batu Asam urat

Batu asam urat tidak berkaitan dengan hiperurokosuria tetapi karena penurunan kelarutan
asam urat karena pH urin yang rendah. Batu asam urat merupakan sindrom metabolik
akibat urin bersifat asam yang terus menerus. Kelarutan asam urat tidak terdisosiasi
hanya 90 mg/L, dan pada pH dibawah pKa 5,35 lebih dari setengah asam urat yang ada
akan berada dalam bentuk yang tidak berdisosiasi, sehingga ekskresi asam urat harian
normal sebanyak 500 mg tidak dapat disimpan dalam larutan dengan volume urin
dibawah 3 L (Worcester et al., 2008).

Batu urat terbentuk dengan mekanisme kelebihan produksi, peningkatan sekresi tubular,
atau penurunan reabsorpsi tubular. Hasil asam urat sebagai produk akhir yang relatif
tidak larut dari metabolisme purin. Konsentrasi asam urat dalam plasma tergantung pada
konsumsi makanan, sintesis de novo purin, dan eliminasi asam urat oleh ginjal dan usus
(Fathallah, 2018).

Pencegahan batu asam urat yang berulang membutuhkan alkalinasi urin, biasanya
menggunakan garam kalium dalam dosis 10-20 meq 2-3 kali sehari, peningkatan cairan
biasanya direkomendasikan juga untuk membantu melarutkan asam urat. pH urin harus
dinaikkan menjadi 6-6,5 yang akan menurunkan kejenuhan urin sehubungan dengan
asam urat (Worcester et al., 2008).

 Batu Struvit
Batu struvit merupakan campuran magnesium, amonium fosfat dan apatit karbonat yang
terbentuk ketika saluran kemih terinfeksi mikroorganisme yang memiliki enzim urease
seperti golongan proteus, providencia, klebsiella, pseudomnas dan enterococci. Urease
menghidrolisis menjadi amonia dan CO2 lalu meningkatkan pH urin dan mengarah pada
pembentukan karbonat. Kalsium karbonat mengendap dengan struvit, membentuk batu
bercabang besar didalam sistem pengumpulan yang melekat pada bakteri. Antibiotik
tidak efektif dalam memberantas infeksi ketika bahan batu ada dan selama ada infeksi,
batu akan terus berkembang (Worcester et al., 2008).

 Batu Sistin

Batu sistin ditemukan pada pasien dengan kelainan bawaan pada transportasi asam amino
pada ginjal dan usus yang menyebabkan peningkatan ekskresi lisin, ornithin, sistin dan
arginin karena gangguan reabsorbsi di nefron.

Batu terbentuk karena terbatasnya kelarutan sistin. Kelarutan sistin lebih tinggi dalam urin alkali,
berkisar 175-360 mg/L di urin pada pH lebih dari 7,0. Tujuan menjaga konsentrasi sistin sibawah
240 mg/L pada pH urin 7,0 untuk menjaga kelarutan. Asupan cairan yang tinggi diberikan
berdasarkan ekskresi sistin harian yang diketahui (Worcester et al., 2008)

Penyebab batu ginjal

Ada beberapa penyebab terbentuknya batu ginjal yaitu hiperkalsiuria, hiperurikosuria,


hipositraturia, dan hiperoksaluria (Sakhaee et al., 2012). Hal tersebut dapat dipicu oleh berbagai
macam faktor seperti faktor keturunan, makanan, dan obat-obatan.

 Hiperkalsiuria

Hiperkalsiuria merupakan penyebab pembentukan batu kalsium. Hiperkalsiuria


disebabkan peningkatan penyerapan kalsium usus, menurunnya reabsorbsi kalsium di
ginjal dan peningkatan mobilisasi kalsium dari tulang. Hiperkalsiuria juga merupakan
gangguan heterogen pada hiperabsorbsi kalsium usus dependen atau independen dari
1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(𝑂𝐻)2𝐷]. Peningkatan konsentrasi serum 1,25(OH)2D-
dependent mengakibatkan terbentuknya batu ginjal akibat hiperkalsiuria (Sakhaee et al.,
2012).
 Hiperurikosuria

Hiperurikosuria terdeteksi dari 10% pembentuk batu kalsium. Berdasarkan fisikokimia


batu kalsium terbentuk akibat supersaturasi kemih dengan monosodium koloid
kristalisasi kalsium oksalat yang diinduksi oleh urat (Sakhaee et al., 2012).

 Hipositraturia

Sitrat merupakan inhibitor endogen pembentukan batu kalsium. Rendahnya ekskresi


sitrat urin ditemukan pada 20-60% nefrolitiasis. Penentu utama ekskresi sitrat urin
adalah keseimbangan asam basa. Hipositraturia umumnya terjadi dengan asidosis
metabolik. Peran penghambatan sitrat juga melibatkan pembentukan larutan kompleks
dan pengurangan kejenuhan (Sakhaee et al., 2012).

 Hiperoksaluria

Oksalat dan kalsium dapat meningkatkan supersaturasi kalsium oksalat pada kemih.
Hiperoksaluria merupakan 10-50% pembentuk batu kalsium. Hiperoksaluria disebabkan
oleh produksi oksalat yang berlebih akibat dari gangguan metabolisme, peningkatan
penyerapan oksalat usus, peningkatan asupan makanan dan bioavailabilitas, dan urin
pH. Urin yang sangat asam (pH 5,5) dan urin yang sangat basa (pH 6,7) dapat
mempengaruhi pembentukan batu kalsium. Dengan pH yang terlalu asam maka urin
menjadi jenuh dengan asam urat yang berperan dalam kristalisasi kalsium oksalat.
Sedangkan urin yang sangat alkalin dapat meningkatkan monohidrogen fosfat yang
dalam kombinasi dengan kalsiumberubah menjadi termodinamika brusit yang tidak
stabil dan akhirnya terbentuk hidroksiapatit (Sakhaee et al., 2012).

3. Dari kasus diatas, jelaskan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah
dilakukanpada pasien dan bagaimana hasil interpretasinya

Pemeriksaan fisik:

 Kesadaran compos mentis


 Penampilan tampak obesitas
 Tekanan darah 110/80mmHg
 Frekuensi nadi 88x/menit
 Frekuensi nafas 20 kali/menit
 Suhu 36,2 derajat
 IMT 29,3 kg/m2
 Pemeriksaan regio flank sinistra didapatkan tanda ballotement (+)
 Perkusi nyeri ketok costovertebrae angle sinistra (+)

Pemeriksaan penunjang:

 Pemeriksaan darah lengkap


 Kimia darah (ureum,kreatini,asam urat)
 Urin lengkap
 peningkatan kadar leukosit 11.700/μl (normalnya: 5000- 10.000/μl
 kimia darahtidakditemukan peningkatan kadar ureum, kreatinin, maupun asam
urat;
 urin lengkap ditemukanwarna keruh, epitel (+), sedimen (+)
 peningkatan kadar eritrosit 5-7/LPB (normalnya: 0-1/LPB), leukosit 10-11/LPB
(0-5/LPB)
 Pada pemeriksaan radiologi dilakukan rontgen Blass NierOverzicht (BNO) dan
ultrasonografi (USG) abdomen. Hasilnya pada rontgen BNOdidapatkantampak
bayangan radioopaque pada pielum ginjal setinggi linea paravertebrae sinistra
setinggi lumbal III Ukuran 1,5 x 2 cm;
 USG didapatkan tampak batu pada ginjal kiri di pole atas-tengah-bawah
berukuran 1 cm x 1,2 cm x 1,8 cm; tampak pelebaran sistem pelvicokaliseal

4. Apakah yang dimaksud dengan terapi ESWL


Tindakan ESWL (extracorporeal shock wave lithotripsy) adalah teknik pengobatan penyakit
batu ginjal baik yang berada di ginjal maupun di ureter yang tak membutuhkan pembedahan.
Dalam metode EWSL, dokter memanfaatkan gelombang kejut berenergi tinggi untuk
memecahkan batu ginjal menjadi serpihan sekecil butiran pasir. ESWL efektif dalam
menghancurkan batu ginjal yang berdiameter kurang dari 2 cm.

Indikasi ESWL

Batu ginjal terbentuk dari senyawa mineral yang menumpuk di ginjal dalam jangka panjang. Ada
beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang batu ginjal, yaitu:

- Memiliki berat badan berlebih atau obesitas

- Memiliki riwayat batu ginjal pada keluarga

- Mengalami dehidrasi akibat jarang minum air putih

- Mengonsumsi makanan dengan kadar protein, garam, dan gula secara berlebihan

- Memiliki gangguan penyerapan air dan kalsium yang dapat disebabkan oleh
penyakit radang usus, diare kronis, dan riwayat operasi lambung

- Menderita hiperparatiroidisme atau infeksi saluran kemih berulang

Hal yang harus diperhatikan sebelum melalukan tindakan ESWL

Sebelum menjalani prosedur ESWL, ada beberapa hal yang harus diketahui, yaitu:

- ESWL tidak disarankan pada ibu hamil, penderita infeksi saluran kemih, kelainan
bentuk ginjal, kanker ginjal, aneurisma aorta perut, gangguan pembekuan darah, dan
hipertensi yang tidak terkontrol.

- ESWL tidak efektif pada pasien yang menderita obesitas.

- ESWL juga tidak efektif untuk mengatasi batu ginjal yang berukuran lebih besar dari
2 cm.
- ESWL tidak dianjurkan pada pasien yang sedang mengonsumsi obat pengencer
darah, seperti aspirin atau warfarin.

- ESWL tidak direkomendasikan pada pasien yang menggunakan alat pacu jantung,
karena dapat merusak implan yang ditanam di dalam organ.

Prosedur ESWL

Sebelum prosedur ESWL dilakukan, dokter akan meminta pasien mengganti baju dengan jubah
medis. Dokter juga akan memberikan obat pereda nyeri dan obat penenang. Setelah itu, prosedur
ESWL akan dilakukan dengan tahapan-tahapan seperti berikut:

 Dokter akan meminta pasien berbaring di atas ranjang, kemudian bantal berisi air
akan diletakkan di bagian belakang ginjal yang terdapat batu. Pasien akan diposisikan
sedemikian rupa, agar gelombang kejut tepat mengenai batu ginjal.

 Dokter dapat memberikan bius lokal, regional, ataupun total agar pasien tidak
merasakan sakit selama prosedur ESWL berlangsung. Setelah bius bekerja, dokter
akan menentukan lokasi batu ginjal dengan menggunakan USG atau foto Rontgen.

 Setelah lokasi batu ginjal dipastikan, mesin ESWL akan mengirimkan 1.000–2.000
gelombang kejut. Tujuannya adalah untuk memecah batu ginjal menjadi pecahan
yang lebih kecil, sehingga dapat dikeluarkan bersama urine.

 Pada beberapa kasus, dokter akan melakukan teknik stenting, yaitu memasukkan


selang khusus (DJ stent) dari lubang kencing sampai ke ginjal sebelum ESWL
dimulai. Teknik ini digunakan bila pasien mengalami nyeri hebat karena
penyumbatan batu di saluran urine (ureter) dan adanya risiko terkena infeksi saluran
kemih.

Keseluruhan prosedur ESWL umumnya berlangsung selama 45–60 menit.

Setelah Prosedur ESWL


Pasien biasanya akan diminta untuk beristirahat selama 2 jam di ruang pemulihan sebelum
pulang. Namun, pada kondisi tertentu, dokter akan menyarankan pasien menginap di rumah sakit
sampai kondisinya benar-benar pulih.

Pasien yang diperbolehkan pulang ke rumah dianjurkan untuk beristirahat selama 1–2 hari dan
memperbanyak minum air putih. Dengan banyak minum air putih, buang air kecil akan lebih
sering, sehingga membantu pembuangan pecahan batu ginjal melalui urine.

Komplikasi ESWL

ESWL merupakan prosedur yang aman. Akan tetapi, pada beberapa kasus, ESWL bisa
menyebabkan komplikasi berupa:

- Memar dan rasa tidak nyaman di daerah tempat dilakukan ESWL

- Perdarahan di ginjal yang membutuhkan transfusi darah

- Gangguan fungsi ginjal

- Nyeri saat buang air kecil

- Urine mengandung darah

- Pecahan batu ginjal tertinggal, sehingga harus menjalani ESWL ulang

5. Apakah edukasi yang dapat diberikan kepada pasien agar tidak terjadi kejadian batu
ginjal berulang

Edukasi dan promosi kesehatan pada batu ginjal (nefrolitiasis) dilakukan sesuai dengan jenis
batu yang muncul, meliputi :

- Alkalisasi urin dengan natrium bikarbonat dan kalium sitrat dapat mencegah batu
sistin dan asam urat untuk bertambah parah dan bisa mengurangi ukuran batu

- Pada batu kalsium, makanan yang sebaiknya dikurangi adalah kacang-kacangan,


bayam, kulit ari biji gandum, garam, serta daging dan produk hewani.
- Pada batu kalsium penggunaan beberapa obat juga harus dihindari, seperti thiazide
bila batu berulang, serta obat pengikat kalsium pada usus

- Bila tidak terdapat kalsium pada urinalisis selama 24 jam, penurunan kadar kalsium
dari diet tidak diperlukan. Kalsium per hari dibatasi sebanyak 1000 – 1200 mg.

- Pada batu asam urat, allopurinol dapat membantu untuk mengontrol kadar asam urat

- Pada batu asam urat, makanan yang sebaiknya dikurangi adalah makanan tinggi purin

- Pada batu sistin, minta pasien untuk konsumsi air mineral yang cukup (perlu
diperhatikan pada pasien dengan penyakit penyerta yang lain, seperti gagal jantung)

- Peningkatan pemasukan cairan, minimal 8 gelas air mineral sehari


Kasus 4 Chronic Kidney Disease (CKD) Stage V

1. Jelaskan kenapa pasien didiagnosa dengan CKD stage V? Apa yang menjadi acuan pada
kasus tersebut?

Dari anamnesis didapatkan gejala-gejala yang mengarah pada CKD yaitu :

 Sesak napas akibat terjadinya asidosis metabolic (akumulasi fosfat dan urea) dan
penumpukkan / overload cairan berlebih sehingga terjadi gagal jantung kongestif

 Pasien memiliki riwayat penyakit DM dan hipertensi yang merupakn factor resiko
terjadinya CKD karena DM dan hipertensi dapat merusak fungsi ginjal.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan mengarah ke CKD

 TD 150/100 mmHg, hipertensi merupakan factor resiko CKD dan gejala klinis CKD
akibatnya kelebihan cairan dan produksi hormone vadoaktif oleh ginjal.

 Napas cepat dan teratur RR 28x/ menit menunjukkan klien sesak napas

 Penggunaan otot bantu napas

 Ronkhi basah halus +/+, ekstremitas bawah bengkak (edema grade 3) akibat overload
cairan, tidak nafsu makan, mual, muntah, mulut terasa kering, penurunan berat badan,
sianosis (+), jantung (ictus cordis) teraba pada RIC IV.

Dari hasil laboratorium ditemukan :

 Hb 8,3 gr/dl, karena ginjal berkurang produksi eritropoetin sehingga berkurang produksi
sel darah meran

 Eritrosit 2,76x106 /uL

 Fungsi ginjal/kimia klinik :

 Ureum = 216 mg/dl dan kreatinin 9,8 mg/dl, peningkatan ureum dan kreatinin yang
menunjukkan klien mengalami kerusakan ginjal stage (CKD)
 Dari sini dapat kita tentukan stage SKD :

 Dengan menghitung LFG (Laju Filtasi Glomerulus)

Dari analisa gas darah (asidosis metabolik)

Stage CKD berdasarkan LFG

Stage 1, LFG > 90ml/ min

Stage 2, LFG 60-89

Stage 3, LFG 30-59

Stage 4, LFG 15-29

Stage 5, LFG < 15

Jadi, dari kasus sudah tertulis LFG 13ml/min artinya CKD stage V

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium manakah hasil laboratorium yang


menunjukkan fungsi ginjal?

Dari hasil laboratprium yang menunjukkan ureum ( normal 10-50 mg/dl) dan keratininnya
normalnya (0,5-1,5 mg/dl)

3. Apakah manifestasi klinis terkait CKD yang terlihat pada kasus tersebut

Gejala klinis yang terjadi pada kasus tersebut adalah :


 Pasien sesak napas, takipnea, napas cepat dan teratur, adanya penggunaan oto bantu
napas dan bunyi ronkhi basah halus
 Pasien memiliki hipertensi
 Pada ekstremitas bawah pasien terdapat edema, dimana semakin hari bengkak semakin
bertambah, grade edema 3
 Pasien tidak ada nafsu makan, terdapat mual dan muntah serta mulut kering
 Pasien mengalami penurunan berat badan ± 3 Kg. Saat sakit nafsu makan menurun, IMT
16 Kg/m2 (Underweight)
 BAK jarang dan sedikit sejak 3 bulan SMRS kira-kira sebanyak 1-2x/hari dengan volume
100 ml
 Adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada pasien

4. Jelaskan mekanisme edema pada pasien tersebut.

Gagal ginjal kronis dimulai fase awal gangguan, keseimbangan cairan, penanganan garam, serta
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai
fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis ginjal kronik mungkin minimal
karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang
tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi.

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas
yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari
siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabsorpsi protein.

Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran
darah ginjal akan berkurang. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk
jaringan parut sebagai respons dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal turun
drastis dengan manifestasi penumpukan metabolitme metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari
sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada
setiap organ tubuh. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan
yang mengakibatkan terjadinya edema.
5. Apakah yang dimaksud dengan terapi hemodialisis yang rencana dilakukan pada pasien
tersebut?

Hemodialisa atau hemodialisis merupakan terapi cuci darah di luar tubuh. Terapi ini umumya
dilakukan oleh pengidap masalah ginjal yang ginjalnya sudah tak berfungsi dengan optimal.
Pada dasarnya, tubuh manusia memang mampu mencuci darah secara otomatis, tapi bila terjadi
masalah pada ginjal, kondisinya akan lain lagi.

Ginjal sendiri merupakan organ yang punya peran amat vital dalam tubuh. Organ ini
bertanggung jawab untuk penyaringan darah. Selain membersihkan darah dalam tubuh, ginjal
juga membentuk zat-zat yang menjaga tubuh agar tetap sehat. Namun, pada pengidap penyakit
ginjal kronis atau gagal ginjal, organ ini sudah tidak bisa berfungsi dengan baik.

Kondisi di ataslah yang membuat tubuh membutuhkan proses cuci darah menggunakan bantuan
alat medis. Dengan kata lain, dalam kondisi ini, hemodialisa menggantikan peran ginjal ketika
organ tersebut sudak tidak mampu bekerja secara efektif.

6. Atas indikasi apa pasien dilakukan tindakan hemodialisis?

Hemodialisa ini umumnya dilakukan oleh mereka yang mengidap penyakit jantung kronis atau
gagal ginjal. Pada pengidap gagal ginjal, hemodialisa ini dilakukan karena ginjal sudah tak bisa
berfungsi dengan baik lagi. Dengan kata lain, bila penyakit ginjal sudah sangat parah, melewati
titik ketika ginjal tak sanggup lagi bekerja dengan optimal, maka seseorang memerlukan
hemodialisa. Seseorang bisa memulai hemodialisa ketika dirinya memiliki gejala gagal ginjal
seperti mual, kelelahan, tingginya tekanan darah, atau hingga pembengkakan pada tungkai. Di
samping itu, tes laboratorium juga bisa menentukan perlu atau tidaknya seseorang menjalani
hemodialisa. Bila tes laboratorium menunjukkan tingkat limbah beracun yang tinggi dalam
darah, hemodialisa perlu dilakukan.

Bila berbicara waktu, kapan waktu yang tepat untuk memulai terapi ini bergantung pada banyak
hal. Contohnya, bergantung pada tingkat energi, usia, hasil tes laboratorium, kesehatan secara
keseluruhan, hingga keinginan untuk berkomitmen pada rencana perawatan.
Jadi Pasien di indikasikan untuk melakukan Tindakan hemodialisis karena di diagnose
mengalami CKD stage V, di dapatkan hasil dibuktikan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan hasil laboratorium yang sudah dijelaskan sebelumnya .

Anda mungkin juga menyukai