Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH UNDANG-UNDANG DAN ETIKA

KEFARMASIAN
TUGAS POKOK DAN FUNGSI APOTEKER DI UNIT KERJA
DISTRIBUSI PEDAGANG BESAR FARMASI (PBF)

OLEH:
KELOMPOK 15/A

NI PUTU PIPIN PRASETYA SARI (2308611043)


MIKKI SALSABILLAH (2308611044)
NI NYOMAN RISNAYANTI (2308611045)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Permenkes RI, 2016). Apoteker
memegang peranan penting dalam pelaksanaan upaya kesehatan. Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 pekerjaan
kefarmasian merupakan pemuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Dengan demikian apoteker juga mengabdikan diri di PBF
(Pedagang Besar Farmasi). Pedagang Besar Farmasi atau yang disingkat PBF
adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah
besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. PBF bertugas untuk
menyalurkan obat kepada PBF lain, apotek, puskesmas hingga rumah sakit
(Permenkes RI, 2011). Pedagang Besar Farmasi. Sedangkan untuk PBF
Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan
pengadaan, penyimpanan, penyaluran Obat dan/atau Bahan Obat dalam
jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (BPOM RI,
2023).
Peran apoteker di PBF yaitu sebagai penanggung jawab berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2014
tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi yang
menyebutkan bahwa “setiap PBF dan PBF cabang harus memiliki apoteker
penganggung jawab yang bertanggung jawab terhadap pelaksanakan
ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan
obat”. Apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab
memerlukan acuan atau pegangan yang telah dibuat oleh pemerintah yaitu
CDOB(cara distribusi obat yang baik). Berdasarkan Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020
tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. CDOB adalah cara
distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan
mutu sepanjang jalur distribusi/ penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan
penggunaannya. (BPOM RI, 2020). Berdasarkan undang-undang terbaru yang
di sahkan Presiden RI yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang
kesehatan, tidak adanya perubahan terkait Pedagang Besar Farmasi dan
sampai saat ini peraturan perundang-undangan yang masih berlaku yakni
PERMENKES RI Nomor 30 tahun 2017 yang merupakan Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011
tentang Pedagang Besar Farmasi.
Distribusi sediaan farmasi merupakan bagian yang sangat esensial dalam
pemerataan akses obat. Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses distribusi produk obat. Seluruh tindakan
operasional dilakukan oleh PBF untuk menyalurkan produk farmasi yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009
Tentang Pekerjaan kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Pedagang Besar
Farmasi (PBF). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi
menyatakan bahwa PBF hanya menyalurkan obat kepada PBF atau PBF
cabang lainnya dan fasilitas pelayanan kefarmasian meliputi apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik atau toko obat, namun khusus untuk
obat keras tidak diperbolehkan disalurkan melalui toko obat dan
pembeliannya harus menggunakan resep dokter.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan pada
pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran
sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker penanggung
jawab. Pedagang Besar Farmasi yang meliputi pengadaan, penyimpanan,
distribusi atau penyaluran sediaan farmasi yang dilakukan dalam jumlah
besar, maka Apoteker wajib memahami tugas pokok dan fungsi yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat memiliki
kompetensi sesuai standar yang ditetapkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI).
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka penulis tertarik
untuk tugas pokok dan fungsi seorang apoteker khususnya pada bidang
distribusi PBF seperti Fishbone Analysis berdasarkan peraturan dan tupoksi
apoteker berdasarkan CDOB di PBF, sehingga apoteker dapat siap daam
menghadapi guncangan globalisasi dan teknologi dengan tetap menjamin
mutu dan kualitas obat yang didistribusikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah diantaranya :
1. Bagaimana Fishbone Analysis tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Apoteker
berdasarkan peraturan?
2. Bagaimana penerapan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)Apoteker dalam
ilmu sains?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Fishbone Analysis tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
Apoteker berdasarkan peraturan
2. Untuk mengetahui penerapan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Apoteker
dalam ilmu sains.

1.4
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Fishbone analysis tugas fungsi pokok apoteker berdasarkan Peraturan

Gambar 1. Kerangka Fishbone Analysis

2.2 Penjelasan aspek legalitas

1. Undang-Undang Dasar 1945

Peraturan Pasal dan Ayat Amanah


Undang-Undang Pembukaan UUD 1945 alinea Memperoleh pelayanan
Dasar 1945 keempat kesehatan adalah hak
 Kemudian daripada itu untuk setiap orang dan hal itu
membentuk suatu Pemerintah merupakan tanggung
Negara Indonesia yang jawab negara dalam
melindungi segenap bangsa mempafisilitasinya.
Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.

Pasal 28H
 Ayat (1): Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan
kesehatan.
Pasal 34
 Ayat (2): Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
Implementasi Bidang Profesional:
2. 1. Apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian memiliki kewajiban untuk
mengutamakan asas kemanusiaan dimana semua masyarakat berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang setara.
2. Apoteker bertugas untuk menerikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang
layak, dalam tupoksi apoteker di PBF apoteker wajib memastikan ketersediaan
obat dan alat kesehatan.
3. Apoteker bertugas memastikan penyebaran sediaan farmasi di daerah tersebar
secara merata.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker bertugas dalam melakukan perancangan SOP atau standar operasional
prosedur terkait penyebaran dan pendistribusian sediaan dan perbekalan
farmasi.

Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan


Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Undang-Undang Pasal 138 Pengelolaan perbekalan
RI No. 17 Tahun  Ayat (2): Setiap Orang dilarang farmasi dan sediaan
2023 Tentang mengadakan, memproduksi, farmasi hanya boleh
menyimpan, mempromosikan, dilakukan oleh badan
Kesehatan dan/atau mengedarkan Sediaan usaha berijin yang
Farmasi yang tidak memenuhi memenuhi standar dari
standar dan/ atau persyaratan undang-undang dan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, peraturan yang berlaku,
dan mutu. sehingga mutu dan
 Ayat (4): Pengadaan, produksi, kualitas dari sediaan
penyimpanan, promosi, farmasi akan selalu
peredaran, terjamin hingga
dan pelayanan Sediaan Farmasi perbekalan farmasi
dan Alat Kesehatan harus sampai kepada
memenuhi standar dan persyaratan Masyarakat.
sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 143
 Ayat (1): Setiap Orang yang
memproduksi dan/ atau
mengedarkan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan PKRT harus
memenuhi penzinan berusaha dari
Implementasi Bidang Profesional:
Pemerintah Pusat atau Pemerintah
1. Apoteker di PBF memiliki wewenang penuh dalam melakukan pengelolaan
Daerah sesuai dengan
perbekalan farmasi dari pengadaan, penyimpanan, distribusi, hingga
kewenangannya berdasarkan
pemusnahan bila diperlukan, untuk menjaga keamanan ini apoteker dapat
norma, standar, prosedur, dan
melakukan beberapa pengujian sediaan seperti uji kualitas sediaan dan uji
kriteria sesuai dengan ketentuan
lainnya sebelum di distribusikan.
peraturan perundang-undangan.
2. Apoteker bertugas untuk memastikan perbekalan farmasi yang akan
didistribusikan ke masyarakat telah memenuhi standar persyaratan mutu sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Apoteker juga perlu melalukan monitoring secara rutin untuk memastikan
perbekalan farmasi yang disimpan di PBF tetap dalam standar penyimpanan
yang sesuai.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker bertugas dalam melakukan perancangan SOP atau standar operasional
prosedur terkait penyimpanan sediaan dan perbekalan farmasi, SOP
pemeriksaan mutu juga diperlukan untuk menjaga sediaan farmasi tetap
memenuhi persyaratan mutu.
3. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Undang- Pasal 4 Apoteker harus
Undang RI No. menjamin mutu produk
 Hak atas kenyamanan,
8 Tahun 1999 yang diperdagangkan
keamanan, dan keselamatan
Tentang dan Konsumen berhak
dalam mengkonsumsi barang
Perlindungan atas barang yang
dan/atau jasa
Konsumen bermutu
Pasal 7

 Menjamin mutu barang


dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang
berlaku
Pasal 8
 Ayat (1): Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang
Implementasi Bidang dipersyaratkan
Profesional: dan ketentuan
1. Kualitas dan keaslianperaturan
perbekalan farmasi merupakan tanggung jawab apoteker di
perundang-undangan.
PBF dimana apoteker bertugas untuk memilih supplier yang resmi dalam proses
pengorderan, untuk mengindari masuknya produk palsu yang tidak memenuhi
standar persyaratan mutu.
2. Apoteker di PBF dilarang melalukan pengadaan perbekalan farmasi dari suplier
yang tidak memiliki ijin edar.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker bertugas dalam melakukan perancangan SOP atau standar operasional
prosedur terkait pengujian-pengujian yang mungkin akan dilakukan untuk
menjaga keamanan dari produk sediaan farmasi dan alat kesehatan, biasanya
dilakukan oleh Apoteker sebagai QC aatau QA.
4. Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Undang-Undang Pasal 1  Apoteker bertugas
RI No. 35 Tahun  Ayat (1): Narkotika adalah zat memastikan proses
2009 Tentang atau obat yang berasal dari penyaluran narkotik
Narkotika tanaman atau bukan tanaman, yang dilakukan oleh
baik sintetis maupun semisintetis, pedagang besar
yang dapat menyebabkan farmasi sesuai
penurunan atau perubahan dengan peraturan
kesadaran, hilangnya rasa, yang berlaku.
mengurangi sampai  Pedagang besar
menghilangkan rasa nyeri, dan farmasi tertentu
dapat menimbulkan hanya dapat
ketergantungan, yang dibedakan menyalurkan
ke dalam golongan- Narkotika kepada
golongansebagaimana terlampir pedagang besar
dalam Undang-Undang ini farmasi tertentu
 Ayat (10) : Pedagang Besar lainnya, apotek,
Farmasi adalah perusahaan sarana penyimpanan
berbentuk badan hukum yang sediaan farmasi
memiliki izin untuk melakukan pemerinta, tertentu;
kegiatan pengadaan, rumah sakit; dan
penyimpanan, dan penyaluran lembaga ilmu
sediaan farmasi, termasuk pengetahuan;
Narkotika dan alat Kesehatan
Pasal 14
 Ayat (1): Narkotika yang berada
dalam penguasaan Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib disimpan
secara khusus.
 Ayat (2): Industri Farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga
ilmu pengetahuan wajib
membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala
mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran Narkotika yang
berada dalam penguasaannya
Pasal 35
 Peredaran Narkotika meliputi
setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik
dalam rangka perdagangan, bukan
perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk
kepentingan pelayanan kesehatan
dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 39
 Narkotika hanya dapat disalurkan
oleh Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah sesuai dengan
ketentuandalam Undang-Undang
ini.
Implementasi Bidang Profesional:

5. 1. Narkotika yang di simpan dan didistribusikan di PBF merupakan tanggung


jawab Apoteker dimana kesesuaian stok di sistem dan fisik yang terdapat di
lemari penyimpanan harus sesuai, jika terdapat ketidak sesuaian wajib ditelurusi
apakah penyebabnya.
2. Lemari penyimpanan narkotika di PBF kunci nya harus di bawa oleh Apoteker
Penanggung Jawab.
3. Apoteker wajib memeriksa surat pesanan narkotika dengan detail agar tidak
mendistribusikan narkotika kepada lembaga yang tidak resmi.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker memiliki tugas dalam perancangan SOP atau standar operasional
prosedur pengadaan Narkotika, salah satu yang terpenting adalah memastikan
pendistribusian narkotika sampai di lembaga yang tepat sehingga meminimalisir
penyalahgunaan Narkotika.
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Undang- Pasal 10  Apoteker
Undang RI  Ayat (1): Setiap pengangkutan memastikan obat
No. 5 Tahun dalam rangka peredaran golongan
1997 Tentang psikotropika, wajib dilengkapi psikotropika yang
Psikotropika dengandokumen pengangkutan beredar harus sudah
psikotropika terdaftar di
Pasal 11 departemen yg
 Tata cara peredaran psikotropika bertanggung jawab
diatur lebih lanjut oleh Menteri di bidang Kesehatan
Pasal 12  Apoteker
 Ayat (1): Penyaluran psikotropika memastikan
dalam rangka peredaran psikotropika
sebagaimana dimaksud dalam golongan I hanya
Pasal 8 hanya dapat dilakukan boleh
oleh pabrik obat, pedagang besar didistribusikan ke
farmasi, dan sarana penyimpanan lembaga penelitian
sediaan farmasi Pemerintah atau lembaga
Pasal 13 pendidikan untuk
 Psikotropika yang digunakan tujaun ilmu
untuk kepentingan ilmu pengetahuan
pengetahuan hanya dapat  Apoteker
disalurkan oleh pabrik obat dan melaksanakan
pedagang besar farmasi kepada dokumentasi dan
lembaga penelitian dan/atau bertanggung jawab
lembaga pendidikan atau diimpor terkait penyaluran
secara langsung oleh lembaga obat golongan
penelitian dan/atau lembaga psikotropika
pendidikan yang bersangkutan.

Implementasi Bidang Profesional:


1. Psikotropika yang di simpan dan didistribusikan di PBF merupakan tanggung
jawab Apoteker dimana kesesuaian stok di sistem dan fisik yang terdapat di
lemari penyimpanan harus sesuai, jika terdapat ketidak sesuaian wajib ditelurusi
apakah penyebabnya.
2. Lemari penyimpanan psikotropika di PBF kunci nya harus di bawa oleh
Apoteker Penanggung Jawab.
3. Apoteker wajib memeriksa surat pesanan psikotropika dengan detail agar tidak
mendistribusikan narkotika kepada lembaga yang tidak resmi.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker memiliki tugas dalam perancangan SOP atau standar operasional
prosedur pengadaan psikotropika, salah stau yang terpenting adalah memastikan
pendistribusian psikotropika sampai di lembaga yang tepat sehingga
meminimalisir penyalahgunaan psikotropika.

6. Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan


Kefarmasian
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Peraturan Pasal 1  Apoteker memiliki
Pemerintah RI  Ayat (1): Pekerjaan Kefarmasian tanggung jawab
No. 51 Tahun adalah pembuatan termasuk penuh dalam
2009 Tentang pengendalian mutu Sediaan pendistribusian obat
Pekerjaan Farmasi, pengamanan, sehingga harus
Kefarmasian pengadaan, penyimpanan dan memiliki
pendistribusi atau penyaluranan kemampuan
obat, pengelolaan obat, pelayanan meanajemen
obat atas resep dokter, pelayanan pendistribusian
informasi obat, serta tersebut sesuai
pengembangan obat, bahan obat dengan CDOB
dan obat tradisional.  Apoteker mampu
 Ayat (10): Fasilitas Distribusi menyusun dan
atau Penyaluran Sediaan Farmasi menerapkan SOP
adalah sarana yang digunakan dalam
untuk mendistribusikan atau pendistribusian
menyalurkan Sediaan Farmasi, sediaan farmasi dan
yaitu Pedagang Besar Farmasi
disesuaikan dengan
dan Instalasi Sediaan Farmasi.
perkembangan ilmu
 Ayat (12): Pedagang Besar pengetahuan
Farmasi adalah perusahaan
 Apoteker mampu
berbentuk badan hukum yang
dalam melakukan
memiliki izin untuk pengadaan,
dokumentasi yg
penyimpanan, penyaluran
baik terhadap
perbekalan farmasi dalam jumlah
proses
besar sesuai ketentuan peraturan
pendistribusian
perundang-undangan
sediaan farmasi

Pasal 14
 Ayat (1): Setiap Fasilitas
Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi berupa obat
harus memiliki seorang Apoteker
sebagai penanggung jawab
 Ayat (2): Apoteker sebagai
penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
dibantu oleh Apoteker
pendamping dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian.
Pasal 18
 Tenaga Kefarmasian dalam
melakukan Pekerjaan
Kefarmasian dalam Fasilitas
Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi harus mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang distribusi
atau penyaluran.
Implementasi Bidang Profesional:
1. Apoteker memiliki kewajiban untuk mengatur pendistribusian perbekalan
farmasi yang merata, hal ini bertujuan untuk menghindari kekosongan stok
obat di daerah tertentu.
2. Standar Operasional Prosedur di PBF juga harus berdasarkan peraturan yang
berlaku, jika terdapat pembaharuan terkait peraturan undang-undang tentang
PBF maka apoteker berhak untuk menyerusaikannya dengan PBF tempatnya
berpraktek.
3. Apoteker juga bertanggung jawab atas teknologi distribusi dan penyaluran
yang sesuai standar agar dapat menjaga perbekalan farmasi di dalamnya tetap
terjaga mutu dan kualitasnya hingga sampai di tempat konsumen.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Terkait dengan pekerjaan kefarmasian, Apoteker memiliki peran dalam
manajerial yaitu menyusun SOP mengenai pengadaan dan penyaluran sediaan
farmasi agar tetap berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, melakukan pendistribusian secara merata tidak membeda-bedakan
suatu daerah dengan daerah yang lainnya.
7. Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PP RI No. 72 Pasal 2  Apoteker harus
Tahun 1998  Ayat (1) Sediaan farmasi dan memiliki dan
Tentang alat kesehatan yang diproduksi kewenangan dalam
Pengamanan dan atau diedarkan harus mengatur mutu dan
Sediaan Farmasi memenuhi persyaratan mutu, kualitas sediaan
dan Alat keamanan, dan kemanfaatan farmasi berupa obat,
Kesehatan bahan obat, obat
Pasal 7
tradisional,
 Peredaran sediaan farmasi dan
kosmetika, dan
alat kesehatan dilaksanakan
alkes.
dengan memperhatikan upaya
 Apoteker menjadi
pemeliharaan mutu sediaan
penanggung jawab
farmasi dan alat kesehatan.
di fasilitas distribusi
Pasal 15
harus menetapkan
 Ayat (1): Penyaluran sediaan
SOP sehingga dalam
farmasi dan alat kesehatan hanya
pelaksanaanya dapat
dapat dilakukan oleh badan usaha
memnuhi keteentuan
yang telah memiliki izin sebagai
cara distribusi obat
penyalur dari Menteri sesuai
yang baik.
dengan ketentuan peraturan
 Apoteker mampu
perundang-undagan yang
melakakukan
berlakuk untuk menyalurkan
dokumentasi proses
sediaan farmasi yang berupa
distribusi sediaan
bahan obat, obat dan alat
farmasi dan
Kesehatan
mempertanggung
Pasal 21
jawabkan
 Setiap pengangkutan dalam
pekerjaanya.
rangka pemasukan dan
pengeluaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan ke dalam dan dari
wilayah indonesia dilaksanakan
dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan
farmasi dan alat Kesehatan

Implementasi Teknis Profesional:

8. 1. Apoteker membuat SOP untuk proses penyaluran perbekalan farmasi yang


sesuai dengan standar agar kualitas dan mutu sediaan tetap terjaga, hal yang
harus diperhatikan diantaranya suhu selama pengiriman, dan wadah atau
pengemas yang sesuai dengan bentuk sediaan, untuk menghindari barang
rusak atau pecah.
2. Apoteker dapat melakukan dokumentasi terkait penyaluran perbekalan
farmasi, data-data penting seperti surat pesanan, faktur, surat penerimaan
barang dapat, agar jika terdapat penarikan suatu barang agar dapat di telusuri
dimana saja barang tersebut di salurkan.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker harus mampu melakukan penyaluran perbekalan farmasi agar dapat
tersebar luas diseluruh daerah, sehingga memungkinkan fasilitas Kesehatan
tidak kesulitan dalam mengakses sediaan farmasi dan mudah dimanfaatkan
bagi masyarakat
Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PP RI No. 44 Pasal 11
 Apoteker
Tahun 2010  Ayat ( 1 ) : Setiap pengangkutan
memastikan tujuan
Tentang Prekursor Prekursor harus disertai dan
dari pendistribusian
dilengkapi dengan dokumen
sediaan obat-obatan
pengangkutan Prekursor yang sah
prekursor
Pasal 14
 Apoteker
 Ayat (3): Prekursor untuk melakukan
industri farmasi hanya dapat dokumentasi dan
disalurkan kepada industri memiliki tanggung
farmasi dan distributor jawab terhadap
 Ayat (4): Pedagang Besar peredaran obat-obat
Bahan Baku Farmasi, prekursor
distributor atau importir
terdaftar dapat menyalurkan
Prekursor kepada lembaga
pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Implementasi Bidang Profesional:
1. Apoteker dapat melakukan pengawasan terkait penerimaan surat pesanan
preskursor apakah sudah memenuhi peryaratan atau belum, tujuannya agar
tidak terjadi kesalaran saat pendistribusian prekursor ke lembaga yang tidak
bertanggung jawab.
2. Apoteker melakukan monitoring terkait stok prekursor di tempat nya praktek
untuk menghindari terjadinya kehilangan obat.

9. PerMenKes RI No. 63 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Obat


Berdasarkan Katalog Elektronik

Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai


Peraturan
PerMenKes RI Pasal 1 PBF dengan sistem e-
No. 63 Tahun  Ayat (8): Pedagang Besar katalog wajib
2014 Tentang Farmasi yang selanjutnya memenuhi kebutuhan
Pengadaan Obat disingkat PBF adalah perusahaan obat dari FKTP di
Berdasarkan berbentuk badan hukum yang minta dari pembeli
Katalog memiliki izin untuk pengadaan, (rumah sakit, apotek
Elektronik penyimpanan, penyaluran obat dll).
dan/atau bahan obat dalam jumlah
besar sesuai ketentuan peraturan
perundang undangan.
Pasal 5
 Ayat (1): PBF yang ditunjuk oleh
Industri Farmasi yang tercantum
dalam Katalog Elektronik (E-
Catalogue) wajib memenuhi
permintaan obat dari FKTP atau
FKRTL swasta yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan dalam
rangka pengadaan obat.
Implementasi Bidang Profesional:
1. Apoteker dapat menerima pesanan obat menggunakan katalog elektronik
10. kecuali narkotika dan psikotropika.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker menyiapkan katalog elektronik untuk mempermudah dalam per
orderan, dalam melihat stok dan dalam melakukan kegiatan pengadaan,
sehingga sediaan kefarmasian (kecuali narkotika dan psikotropika) dapat
disalurkan dengan mudah

PerMenKes RI No. 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan,


Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PerMenKes RI Pasal 1 PBF adalah perusahaan
No. 3 Tahun 2015  Ayat (4): Penyaluran adalah berbentuk badan hukum
Tentang setiap kegiatan distribusi yang harus memiliki
Peredaran, Narkotika, Psikotropika dan izin agar legal dalam
Penyimpanan, Prekursor Farmasi dalam rangka mendistribusikan obat-
Pemusnahan, dan pelayanan kesehatan atau obatan termasuk
Pelaporan kepentingan ilmu pengetahuan. Narkotika,
Narkotika,  Ayat (7): Pedagang Besar Psikotropika, dan
Psikotropika, dan Farmasi yang selanjutnya prekusor farmasi.
Prekursor Farmasi disingkat PBF adalah
perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan
obat dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundang -
undangan.
Pasal 8
 Penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib memenuhi Cara
Distribusi Obat yang Baik sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Pasal 11
 Ayat (1): Penyaluran Narkotika
dalam bentuk bahan baku hanya
dapat dilakukan oleh perusahaan
PBF milik Negara yang
memiliki Izin Khusus Impor
Narkotika kepada Industri
Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan.
 Ayat (2): Penyaluran Narkotika
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari
Apoteker penanggung jawab
produksi dan/atau Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan
dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum.
Pasal 12
 Ayat (1): Penyaluran
Psikotropika dalam bentuk
bahan baku hanya dapat
dilakukan oleh PBF yang
memiliki izin sebagai IT
Psikotropika kepada Industri
Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan.
 Ayat (2): Penyaluran
Psikotropika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan berdasarkan
surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan
menggunakan contoh
sebagaimana tercantum.

Pasal 13
 Ayat (1): Penyaluran Prekursor
Farmasi berupa zat/bahan
pemula/bahan kimia atau produk
antara/produk ruahan hanya
dapat dilakukan oleh PBF yang
memiliki izin IT Prekursor
Farmasi kepada Industri Farmasi
dan/atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan
 Ayat (2): Penyaluran Prekursor
Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat
pesanan dari Apoteker
penanggung jawab produksi
dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan dengan
menggunakan contoh
sebagaimana tercantum.
Pasal 15
 Penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi
oleh Industri Farmasi kepada
PBF hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi pemilik izin
edar.
Pasal 27
 Penyimpanan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib memenuhi CPOB,
CDOB, dan/atau standar
pelayanan kefarmasian sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Implementasi Teknik Profesional:
1. Apoteker di PBF dapat melakukan pengelolaan obat narkotika, psikotropika,
dan prekursor dimana apoteker memiliki tanggung jawab dari proses
pengorderan hingga pendistribusian.
2. Surat Pesanan narkotika dengan rangkap 4 dan Surat Pesanan psikotropika 1
yang langsung diterima oleh apoteker penanggungjawab PBF untuk
selanjutnya di proses.
3. Penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor wajib dilakukan
berdasarkan CPOB dan CDOB sesuai peraturan yg berlaku.
4. Apoteker di PBF harus teliti dalam menerima surat pesanan untuk
menghindari adanya penyaluran narkotika, psikotropika, dan prekursor
kepada lembaga illegal.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Seorang apoteker harus dapat melakukan penyimpanan, pengadaan dan
penyaluran narkotika, psikotropika, dan prekusor wajib dilakukan
berdasarkan CPOB dan CDOB agar mencegah terjadinya penyaluran secara
ilegal

11. PerMenKes RI No. 30 Tahun 2017 Tentang Pedagang Besar


Farmasi
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PerMenKes RI Pasal 13 PBF hanya menerima
No. 30 Tahun  Ayat (1): PBF dan PBF Cabang surat pesanan sebagai
2017 Tentang hanya dapat mengadakan, dokumen pengadaan
Pedagang Besar menyimpan dan menyalurkan obat dan harus
Farmasi obat dan/atau bahan obat yang ditandatangani oleh
memenuhi persyaratan mutu yang Apoteker dan
ditetapkan oleh Menteri. mencantumkan nomor
 Ayat (2): PBF hanya dapat SIPA.
melaksanakan pengadaan obat
dari industri farmasi dan/atau
sesama PBF.
 Ayat (3): PBF hanya dapat
melaksanakan pengadaan bahan
obat dari industri farmasi, sesama
PBF dan/atau melalui importasi.
 Ayat (4): Pengadaan bahan obat
melalui importasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan
 Ayat (5): PBF Cabang hanya
dapat melaksanakan pengadaan
obat dan/atau bahan obat dari
PBF pusat atau PBF Cabang lain
yang ditunjuk oleh PBF pusatnya.
 Ayat (6): PBF dan PBF Cabang
dalam melaksanakan pengadaan
obat atau bahan obat harus
berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker
penanggung jawab dengan
mencantumkan nomor SIPA.
Pasal 19
 Ayat (1): PBF Cabang hanya
dapat menyalurkan obat dan/atau
bahan obat di daerah provinsi
sesuai dengan surat
pengakuannya.
 Ayat (2): Dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan
obat di daerah provinsi terdekat
untuk dan atas nama PBF pusat
yang dibuktikan dengan Surat
Penugasan/Penunjukan.
Pasal 20
 Ayat (1): PBF dan PBF Cabang
hanya melaksanakan penyaluran
obat berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani apoteker
pemegang SIA, apoteker
penanggung jawab, atau tenaga
teknis kefarmasian penanggung
jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA atau
SIPTTK.
Implementasi secara Profesioanl:
1. Apoteker PBF dapat melakukan pengadaan dari PBF pusat atau indrustri yang
resmi.
2. Apoteker PBF Cabang dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah
provinsi terdekat untuk dan atas nama PBF pusat yang dibuktikan dengan
Surat Penugasan/Penunjukan.
Implementasi secara Manajerial:
1. Mengkordinasi agar usaha dalam keselasan antara tugas yang dilakukan oleh
masing-masing bidang sehingga pekerjaan dikerjakan dengan tepat dan
berkesinambungan

12. PerBPOM RI No. 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyalahgunaan


Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PerBPOM RI Pasal 1
 Apoteker PBF
No. 7 Tahun  Ayat (1): Obat-Obat Tertentu,
memastikan obat
2016 Tentang adalah obat-obat yang bekerja di
turunan narkotika
Pedoman sistem susunan syaraf pusat
atau psikotropika
Penyalahgunaan selain Narkotika dan
yang sering
Obat-Obat Psikotropika, yang pada
disalahgunakan
Tertentu yang penggunaan di atas dosis terapi
dikelola sesuai
Sering dapat menyebabkan
dengan lampiran.
Disalahgunakan ketergantungan dan perubahan
khas pada aktivitas mental dan
perilaku, terdiri atas obat-obat
yang mengandung Tramadol,
Triheksifenidil, Klorpromazin,
Amitriptilin dan/atau Haloperidol
Pasal 4
 Pengelolaan Obat-Obat Tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilaksanakan sesuai
dengan Pedoman yang tercantum
dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.
Pasal 5
 Obat-Obat Tertentu yang berada
dalam penguasaan Industri
Farmasi, PBF, Apotek, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, dan
Instalasi Farmasi Klinik wajib
dikelola sesuai dengan Pedoman
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Implementasi Bidang Profesioanal:
1. Apoteker PBF memiliki kewenangan untuk melakukan pendistribusian obat-
obat tertentu, apoteker wajib mengawasi perjalanan obat agar sampai hanya
pada lembaga pelayanan yang resmi.
2. Jumlah pengorderan yg diterima oleh PBF juga wajib di telusuri oleh
apoteker agar tetap pada jumlah yang rasional.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker memastikan bahwa obat-obat tertentu hanya digunakan untuk
kepentingan pelayanan Kesehatan dan ilmu pengetahuan.

13. PerBPOM RI No. 24 Tahun 2021 Tentang Pengawasan Pengelolaan


Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PerBPOM RI Pasal 1 Apoteker PBF wajib
No. 24 Tahun  Ayat (17): Surat Izin Praktik memiliki SIPA aktif
2021 Tentang Apoteker yang selanjutnya dan bertanggung jawab
Pengawasan disingkat SIPA adalah bukti tertulis atas seluruh kegiatan
Pengelolaan yang diberikan oleh Pemerintah pengelolaan obat, bahan
Obat, Bahan Daerah Kabupaten/Kota kepada obat, narkotika,
Obat, Apoteker untuk dapat psikotropika, dan
Narkotika, melaksanakan praktik kefarmasian. prekursor farmasi
Psikotropika, Pasal 6 dimana apabila
dan Prekursor  Ayat (1): Seluruh kegiatan menimbulkan dugaan
Farmasi di pengelolaan Obat, Bahan Obat, adanya pelanggaran
Fasilitas Narkotika, Psikotropika, dan dapat dilakukan
Pelayanan Prekursor Farmasi di Fasilitas penyidikan oleh
Kefarmasian Pelayanan Kefarmasian wajib penyidik egawai negeri
berada di bawah tanggung jawab sipil.
seorang Apoteker penanggung
jawab.
Pasal 12
 Dalam hal hasil pemeriksaan
menunjukkan adanya dugaan atau
patut diduga adanya pelanggaran
pidana di bidang Obat dan Bahan
Obat termasuk pidana di bidang
Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi, dilakukan
penyidikan oleh penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Implementasi Bidang Profesional :
1. Dalam hal praktik, Apoteker di PBF secara teknis wajib memahami
bagaimana pengelolaan sediaan obat, bahan obat Narkotika, Psikotropika dan
Prekusor sehingga mampu memantau atau mengawasi adanya dugaan yang
mencurigakan agar dapat mengantisipasi kesalahan dalam pengelolaan
sediaan obat, bahan obat Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Implementasi Bidang Manajerial :
1. Kemampuan manajemen seorang apoteker di PBF wajib memiliki SIPA aktif
dan sangat dibutuhkan dalam pengawasan pengelolaan sediaan obat, bahan
obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor.
2. Pengelolaan sediaan obat Narkotika, Psikotropika dan Prekursor harus sesuai
dengan kebutuhan masing-masing fasilitas pelayanan kesehtaan yang
memiliki izin dalam mengadakan sediaan jadi Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor.

14. PerBPOM RI No. 14 Tahun 2019 Tentang Penarikan dan Pemusnahan


Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan,
Khasiat, Mutu, dan Label
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
PerBPOM RI Pasal 1 Apoteker PBF dapat
No. 14 Tahun  Ayat (2): Pemusnahan Obat adalah melakukan penarikan
2019 Tentang suatu tindakan perusakan dan obat dan pemusnahan
Penarikan dan pelenyapan terhadap Obat, obat dengan alasan
Pemusnahan kemasan, dan/atau label yang tidak tertentu dengan tujuan
Obat yang memenuhi standar dan/atau untuk menjamin mutu
Tidak persyaratan keamanan, khasiat,
Memenuhi mutu, dan label sehingga tidak
Standar dapat digunakan
dan/atau Pasal 3
Persyaratan  Ayat (1): Pemilik Izin Edar wajib
Keamanan, melakukan penarikan terhadap
Khasiat, Mutu, Obat yang tidak memenuhi standar
dan Label dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat, mutu, dan label
 Ayat (2): Penarikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap 1 (satu),
beberapa, atau seluruh Bets.
Implementasi Bidang Profesional
1. Dalam praktiknya, Apoteker PBF dapat melakukan pemusnahan sediaan
farmasi misalkan barang yang sudah kadaluarsa, barang yang tidak dapat
diretur ke supplier, serta barang dengan kemasan atau isi yang rusak (tidak
memenuhi standar). Apoteker juga dapat melakukan penarikan sediaan
farmasi berdasarkan peraturan yang berlaku sesuai dengan klasifikasinya :
a. Penarikan obat kelas I : untuk obat apabila digunakan dapat
menyebabkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang
serius terhadap kesehatan
b. Penarikan obat kelas II : apabila obat yang digunakan dapat
mengakibatkan penyakit atau pengobatan keliru yang menimbulkan
efek sementara bagi kesehatan dan dapat pulih kembali
c. Penarikan obat kelas III : dilaksanakan untuk obat yang menimbulkan
bahaya namun tidak signifikan terhadap kesehatan dan tidak termasuk
penarikan obat kelas I dan kelas II.
Implementasi Bidang Manajerial:
1. Apoteker di PBF dapat melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan
farmasi yang beredar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sesuai dengan alasan.

15. Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penerapan Pedoman


Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik
Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai
Peraturan
Peratutan Bab 2 Pasal 2 Apoteker mampu
BPOM Nomor 6  Ayat (1): PBF dan PBF Cabang menerapkan CDOB
TAHUN 2020 dalam menyelenggarakan dalam proses
Tentang pengadaan, penyimpanan, dan pengadaan,
Penerapan penyaluran obat dan/atau bahan penyimpanan, dan
Pedoman Teknis obat wajib menerapkan Pedoman penyaluran sediaan
Cara Distribusi Teknis CDOB farmasi di PBF dan
Obat Yang Baik Pasal 3 : PBF cabang
 Ayat (1) : Industri dalam
melaksanakan kegiatan distribusi
Bahan Obat dan/atau Obat wajib
menerapkan pedoman teknis
CDOB.
Implementasi Bidang Profesional :
1. Apoteker di PBF wajib menerapkan CDOB dalam proses pengelolaan sediaan
farmasi mulai dari pengadaan, penyimpanan dan penyaluran. Pengadaan sediaan
farmasi dapat dilakukan melalui PBF pusat atau industri yang resmi serta
melampirkan surat pesanan yang di tandatangi oleh Apoteker yang memiliki
SIPA.
2. Penyimpanan sediaan farmasi harus terpisah dari ruangan lain sesuai dengan
CDOB untuk menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan.
3. Penyaluran sediaan farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab.
Implementasi Bidang Manajerial :
1. Apoteker membuat SOP terkait teknis distribusi obat sesuai dengan CDOB untuk
menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar.

16. PerkBPOM RI. No. 26 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan


Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Obat Dan Makanan

Peraturan Pasal dan Ayat Amanah Sesuai


Peraturan
PerkBPOM RI. Pasal 1 PBF melakukan
No. 26 Tahun  Ayat (12): Tanda Tangan pengadaan,
2018 Tentang Elektronik adalah tanda tangan penyimpanan dan
Pelayanan yang terdiri atas informasi penyaluran dengan
Perizinan elektronik yang dilekatkan, ketentuan peraturan
Berusaha terasosiasi atau terkait dengan perundang undangan
Terintegrasi informasi elektronik lainnya yang untuk menjamin
Secara digunakan sebagai alat verifikasi keamanan mutu dan

Elektronik dan autentikasi kemanfaatan

Sektor Obat  Ayat (13): Izin Edar adalah izin


Dan Makanan untuk Obat dan Makanan yang
diproduksi oleh produsen dan/atau
diimpor oleh importir Obat dan
Makanan yang akan diedarkan di
wilayah Negara Republik
Indonesia berdasarkan penilaian
terhadap keamanan, mutu, dan
kemanfaatan
 Ayat (28): Pedagang Besar Farmasi
yang selanjutnya disingkat PBF
adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan
obat dalam jumlah besar sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Implementasi Bidang Profesional :
1. Dalam praktinya, Apoteker secara teknis untuk memulai dan menjalankan
usaha dan/atau kegiatan diberikan dalam bentuk persetujuan berdasarkan
atas surat keputusan sesuai dengan persyartan atau komitmen.
2. Dalam proses penyaluran atau pendistribusian obat wajib melampirkan SKE
(Surat Keterangan Ekspor) yang diterbitkan oleh BPOM untuk mengekspor
produk jadi dan bahan baku Obat dan Makanan oleh industri farmasi.
Implementasi Bidang Manajerial :
1. Apoteker di PBF, dalam melakukan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran sediaan farmasi harus menjamin mutu dan kemanfaatan sesuai
dengan peraturan. Izin edar untuk obat yang akan di impor harus
berdasarkan penilaian terhadap keamanan, mutu dan kemanfaatan.
2. Harus memastikan bahwa penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
telah mempertimbangan aspek stabilitas suhu, cahaya dan kelembaban dan
bahaya fisik lainnya.

17. PerkBPOM RI. No. 25 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Sertifikasi Cara
Distribusi Obat Yang Baik

Peraturan Pasal dan Ayat


Amanah Sesuai
Peraturan
PerkBPOM RI. Pasal 2 PBF wajib melakukan
No. 25 Tahun  PBF atau PBF Cabang dalam sertifikasi CDOB dan
2017 Tentang menyelenggarakan pengadaan, melakukan CDOB
Tata Cara penyimpanan, dan penyaluran Obat sesuai panduan, jika
Sertifikasi Cara dan/atau Bahan Obat wajib tidak melakukan CDOB
Distribusi Obat menerapkan Pedoman Teknis maka izin distribusi
Yang Baik CDOB sesuai dengan ketentuan PBF akan dicabut.
peraturan perundang-undangan
Pasal 3
 PBF dan PBF Cabang yang telah
menerapkan Pedoman Teknis
CDOB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dibuktikan dengan
Sertifikat CDOB.
Implementasi Bidang Profesional :
1. Dalam praktiknya, Apoteker bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pengelolaan sediaan farmasi yang akan di distribusikan wajib menerapkan
sertifikat CDOB dan mengevaluasi pelaksanaannya, serta mempertahankan
integritas rantai distribusi selama proses distribusi.
Implementasi Bidang Manajerial :
1. Apoteker di PBF wajib membuat dan menerapkan SOP dalam CDOB dan
wajib melakukan sertifikasi CDOB dalam pendistribusian obat untuk
menjamin keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar. Pedoman CDOB wajib
diterapkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan/atau kehilangan
sediaan farmasi dari jalur distribusi yang resmi.

2.3 Penerapan Tugas Pokok dan Fungsi Apoteker dalam Ilmu Sains
Berdasarkan Fishbone analysis diatas terdapat cara distribusi Obat yang
baik meliputi:
1. Organisasi, Manajemen, dan Personalia

Pelaksanaan dan pengelolaan sistem manajemen mutu yang baik serta


distribusi obat dan/atau bahan obat yang benar sangat bergantung pada
personil yang menjalankannya. Harus ada personil yang cukup dan kompeten
untuk melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab fasilitas
distribusi. Tanggung jawab masingmasing personil harus dipahami dengan
jelas dan dicatat. Semua personil harus memahami prinsip CDOB dan harus
menerima pelatihan dasar maupun pelatihan lanjutan yang sesuai dengan
tanggung jawabnya.

Penanggung jawab harus seorang Apoteker yang memenuhi kualifikasi


dan kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. Di samping itu, telah
memiliki pengetahuan dan mengikuti pelatihan CDOB yang memuat aspek
keamanan, identifikasi obat dan/atau bahan obat, deteksi dan pencegahan
masuknya obat dan/atau bahan obat palsu ke dalam rantai distribusi. Semua
tindakan yang dilakukan oleh fasilitas distribusi harus dapat memastikan
bahwa identitas obat dan/atau bahan obat tidak hilang dan distribusinya
ditangani sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada kemasan. Fasilitas
distribusi harus menggunakan semua perangkat dan cara yang tersedia untuk
memastikan bahwa sumber obat dan/atau bahan obat yang diterima berasal
dari industri farmasi dan/atau fasilitas distribusi lain yang mempunyai izin
sesuai peraturan perundang-undangan untuk meminimalkan risiko obat
dan/atau bahan obat palsu memasuki rantai distribusi resmi.

Penanggung jawab harus seorang Apoteker yang memenuhi kualifikasi


dan kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. Di samping itu, telah
memiliki pengetahuan dan mengikuti pelatihan CDOB yang memuat aspek
keamanan, identifikasi obat dan/atau bahan obat, deteksi dan pencegahan
masuknya obat dan/atau bahan obat palsu ke dalam rantai distribusi.
Penanggung jawab memiliki tanggung jawab antara lain:
a. menyusun, memastikan dan mempertahankan penerapan sistem
manajemen mutu

b. fokus pada pengelolaan kegiatan yang menjadi kewenangannya serta


menjaga akurasi dan mutu dokumentasi;

c. menyusun dan/atau menyetujui program pelatihan dasar dan pelatihan


lanjutan mengenai CDOB untuk semua personil yang terkait dalam
kegiatan distribusi;

d. mengkoordinasikan dan melakukan dengan segera setiap kegiatan


penarikan obat dan/atau bahan obat;

e. memastikan bahwa keluhan pelanggan ditangani dengan efektif;

f. melakukan kualifikasi dan persetujuan terhadap pemasok dan pelanggan;

g. meluluskan obat dan/atau bahan obat kembalian untuk dikembalikan ke


dalam stok obat dan/atau bahan obat yang memenuhi syarat jual;

h. turut serta dalam pembuatan perjanjian antara pemberi kontrak dan


penerima kontrak yang menjelaskan mengenai tanggung jawab masing-
masing pihak yang berkaitan dengan distribusi dan/atau transportasi obat
dan/atau bahan obat;

i. memastikan inspeksi diri dilakukan secara berkala sesuai program dan


tersedia tindakan perbaikan yang diperlukan;

j. mendelegasikan tugasnya kepada Apoteker/tenaga teknis kefarmasian


yang telah mendapatkan persetujuan dari instansi berwenang ketika sedang
tidak berada di tempat dalam jangka waktu tertentu dan menyimpan
dokumen yang terkait dengan setiap pendelegasian yang dilakukan;

k. turut serta dalam setiap pengambilan keputusan untuk mengkarantina atau


memusnahkan obat dan/atau bahan obat, kembalian, rusak, hasil
penarikan kembali atau diduga palsu;
1. Memastikan pemenuhan persyaratan lain yang diwajibkan untuk obat
dan/atau bahan obat tertentu sesuai peraturan perundang-undangan
Personil lainya harus dipastikan tersedianya personil yang
kompeten dalam jumlah yang memadai di tiap kegiatan yang dilakukan
di rantai distribusi, untuk memastikan bahwa mutu obat dan/atau bahan
obat tetap terjaga. Harus diberikan pelatihan khusus kepada personil yang
menangani obat dan/atau bahan obat yang memerlukan persyaratan
penanganan yang lebih ketat seperti obat dan/atau bahan obat berbahaya,
bahan radioaktif, narkotika, psikotropika, rentan untuk disalahgunakan,
dan sensitif terhadap suhu.

2. Manajemen Mutu
Fasilitas distribusi harus mempertahankan sistem mutu yang
mencakup tanggung jawab, proses dan langkah manajemen risiko terkait
dengan kegiatan yang dilaksanakan. Fasilitas distribusi harus memastikan
bahwa mutu obat dan/atau bahan obat dan integritas rantai distribusi
dipertahankan selama proses distribusi. Seluruh kegiatan distribusi harus
ditetapkan dengan jelas, dikaji secara sistematis dan semua tahapan kritis
proses distribusi dan perubahan yang bermakna harus divalidasi dan
didokumentasikan. Sistem mutu harus mencakup prinsip manajemen
risiko mutu. Pencapaian sasaran mutu merupakan tanggung jawab dari
penanggung jawab fasilitas distribusi, membutuhkan kepemimpinan dan
partisipasi aktif serta harus didukung oleh komitmen manajemen puncak.
Direkomendasikan untuk dilakukan inspeksi, audit, dan sertifikasi
kepatuhan terhadap sistem mutu (misalnya seri International
Organization for Standardization (ISO) atau Pedoman Nasional dan
Internasional lainnya) oleh Badan eksternal. Meskipun demikian,
sertifikasi tersebut tidak dianggap sebagai pengganti sertifikasi penerapan
pedoman CDOB dan prinsip CPOB yang terkait dengan obat dan/atau
bahan obat. Sistem mutu harus memastikan bahwa:
a. obat dan/atau bahan obat diperoleh, disimpan, disediakan,
dikirimkan atau diekspor dengan cara yang sesuai dengan
persyaratan CDOB;
b. tanggung jawab manajemen ditetapkan secara jelas;
c. obat dan/atau bahan obat dikirimkan ke penerima yang tepat dalam
jangka waktu yang sesuai;
d. kegiatan yang terkait dengan mutu dicatat pada saat kegiatan
tersebut dilakukan;
e. penyimpangan terhadap prosedur yang sudah ditetapkan
didokumentasikan dan diselidiki;
f. tindakan perbaikan dan pencegahan (CAPA) yang tepat diambil
untuk memperbaiki dan mencegah terjadinya penyimpangan sesuai
dengan prinsip manajemen risiko mutu.
Manajemen risiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk menilai,
mengendalikan, mengkomunikasikan dan mengkaji risiko terhadap mutu
obat dan/atau bahan obat. Hal ini dapat dilaksanakan baik secara proaktif
maupun retrospektif. Fasilitas distribusi harus melaksanakan penilaian
risiko secara berkesinambungan untuk menilai risiko yang mungkin
terjadi terhadap mutu dan integritas obat dan/atau bahan obat. Sistem
mutu harus disusun dan diterapkan untuk menangani setiap potensi risiko
yang teridentifikasi. Sistem mutu harus ditinjau ulang dan direvisi secara
berkala untuk menangani risiko baru yang teridentifikasi pada saat
pengkajian risiko. Sistem mutu harus mencakup ketentuan untuk
memastikan bahwa pemegang izin edar dan Badan POM segera
diberitahu dalam kasus obat dan/atau bahan obat palsu atau dicurigai
palsu. Obat dan/atau bahan obat tersebut harus disimpan di tempat yang
aman/terkunci, terpisah dengan label yang jelas untuk mencegah
penyaluran lebih lanjut.
3. Bangunan dan Peralatan
Bangunan dan peralatan harus mampu menjamin keamanan dan
mutu obat dan bahan obat. Menguasai bangunan dan sarana yang
memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan
fungsi PBF. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan
perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang
disimpan. Bangunan distribusi harus memiliki kantor yang memadai
untuk melaksanakan kegiatan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran
obat dan/atau bahan obat, serta gudang yang terpisah dari ruangan lain
sesuai CDOB sebagai tempat penyimpanan yang harus dilengkapi
dengan peralatan dan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta
keamanan obat dan/atau bahan obat yang disimpan. Jika diperlukan area
penyimpanan dengan kondisi khusus, harus dilakukan pengendalian yang
memadai untuk menjaga agar semua bagian terkait dengan area
penyimpanan berada dalam parameter suhu, kelembaban dan
pencahayaan yang dipersyaratkan. Area penerimaan, penyimpanan dan
pengiriman harus terpisah, terlindung dari kondisi cuaca, dan harus
didesain dengan baik serta dilengkapi dengan peralatan yang memadai.
4. Operasional
Semua tindakan yang dilakukan oleh fasilitas distribusi harus dapat
memastikan bahwa identitas obat dan/atau bahan obat tidak hilang dan
distribusinya ditangani sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada
kemasan. Fasilitas distribusi harus menggunakan semua perangkat dan
cara yang tersedia untuk memastikan bahwa sumber obat dan/atau bahan
obat yang diterima berasal dari industri farmasi dan/atau fasilitas
distribusi lain yang mempunyai izin sesuai peraturan perundang-undangan
untuk meminimalkan risiko obat dan/atau bahan obat palsu memasuki
rantai distribusi resmi.
5. Inspeksi Diri
Inspeksi diri harus dilakukan dalam rangka memantau pelaksanaan
dan kepatuhan terhadap pemenuhan CDOB dan untuk bahan tindak lanjut
langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
a. Program inspeksi diri harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang
ditetapkan dan mencakup semua aspek CDOB serta kepatuhan terhadap
peraturan perundang- undangan, pedoman dan prosedur tertulis. Inspeksi
diri tidak hanya dilakukan pada bagian tertentu saja.
b. Inspeksi diri harus dilakukan dengan cara yang independen dan rinci oleh
personil yang kompeten dan ditunjuk oleh perusahaan. Audit eksternal
yang dilakukan oleh ahli independen dapat membantu, namun tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya cara untuk memastikan kepatuhan
terhadap penerapan CDOB.
c. Audit terhadap kegiatan yang disubkontrakkan harus menjadi bagian dari
program inspeksi-diri.
d. Semua pelaksanaan inspeksi diri harus dicatat. Laporan harus berisi semua
pengamatan yang dilakukan selama inspeksi. Salinan laporan tersebut
harus disampaikan kepada manajemen dan pihak terkait lainnya. Jika
dalam pengamatan ditemukan adanya penyimpangan dan/atau kekurangan,
maka penyebabnya harus diidentifikasi dan dibuat CAPA. CAPA harus
didokumentasikan dan ditindaklanjuti.
6. Keluhan, Obat Dan/Atau Bahan Obat Kembalian, Diduga.
Semua keluhan dan informasi lain tentang obat dan/atau bahan obat
berpotensi rusak harus dikumpulkan, dikaji, dan diselidiki sesuai dengan
prosedur tertulis. Obat dan/atau bahan obat yang akan dijual kembali harus
melalui persetujuan dari personil yang bertanggung jawab sesuai dengan
kewenangannya. Diperlukan koordinasi dari setiap instansi, industri farmasi
dan fasilitas distribusi dalam menangani obat dan/atau bahan obat yang
diduga palsu.
7. Transportasi
Selama proses transportasi, harus diterapkan metode transportasi yang
memadai. Obat dan/atau bahan obat harus diangkut dengan kondisi
penyimpanan sesuai dengan informasi pada kemasan. Metode transportasi
yang tepat harus digunakan mencakup transportasi melalui darat, laut, udara
atau kombinasi di atas. Apapun moda transportasi yang dipilih, harus dapat
menjamin bahwa obat dan/atau bahan obat tidak mengalami perubahan
kondisi selama transportasi yang dapat mengurangi mutu. Pendekatan
berbasis risiko harus digunakan ketika merencanakan rute transportasi. Obat
dan/atau bahan obat dan kontainer pengiriman harus aman untuk mencegah
akses yang tidak sah. Kendaraan dan personil yang terlibat dalam pengiriman
harus dilengkapi dengan peralatan keamanan tambahan yang sesuai untuk
mencegah pencurian obat dan/atau bahan obat dan penyelewengan lainnya
selama transportasi. Pengiriman obat dan/atau bahan obat harus aman dan
dilengkapi dengan dokumentasi yang sesuai untuk mempermudah identifikasi
dan verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan yang ditetapkan. Kebijakan dan
prosedur tertulis harus dilaksanakan oleh semua personil yang terlibat dalam
transportasi. Kondisi penyimpanan yang dipersyaratkan untuk obat dan/atau
bahan obat harus dipertahankan selama transportasi sesuai dengan yang
ditetapkan pada informasi kemasan. Jadwal pengiriman dan rencana
perjalanan harus disiapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
Jadwal dan rencana tersebut harus realistis dan sistematis serta
mempertimbangkan risiko keamanan. Jika penerima menemukan adanya
kondisi yang tidak diharapkan, maka hal tersebut harus dilaporkan ke fasilitas
distribusi. Jika perlu, fasilitas distribusi menghubungi industri farmasi untuk
mendapatkan informasi mengenai langkah tepat yang harus diambil. Peralatan
yang digunakan untuk pemantauan suhu selama transportasi dalam kendaraan
dan/atau kontainer, harus dirawat dan dikalibrasi secara berkala minimal
setahun sekali.
8. Fasilitas Distribusi Berdasarkan Kontrak
Semua kegiatan kontrak harus tertulis antara pemberi kontrak dan
penerima kontrak serta setiap kegiatan harus sesuai dengan persyaratan
CDOB. Pemberi kontrak bertanggung jawab untuk menilai kompetensi yang
diperlukan oleh penerima kontrak. Pemberi kontrak harus melakukan
pengawasan terhadap penerima kontrak dalam melaksanakan tugas yang
dikontrakkan sesuai dengan prinsip dan pedoman CDOB. Penerima kontrak
harus memiliki tempat, Personel yang kompeten, peralatan, pengetahuan dan
pengalaman dalam melaksanakan tugas yang dikontrakkan oleh pemberi
kontrak. Fasilitas distribusi harus menetapkan dan mempertahankan prosedur
untuk identifikasi, pengumpulan, penomoran, pencarian, penyimpanan,
pemeliharaan, pemusnahan dan akses ke semua dokumen yang berlaku.
9. Dokumentasi
Dokumentasi yang baik merupakan bagian penting dari sistem
manajemen mutu. Dokumentasi tertulis baik secara manual maupun
elektronik harus jelas untuk mencegah kesalahan dari komunikasi lisan dan
memenuhi prinsip ketertelusuran, keamanan, aksesibilitas, integritas dan
validitas. Dokumentasi meliputi dokumen tertulis terkait dengan distribusi
(pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pelaporan), dokumen prosedur
tertulis, dokumen intruksi tertulis, dokumen kontrak, catatan, data, dan
dokumen lain yang terkait dengan pemastian mutu, dalam bentuk kertas
maupun elektronik. Dokumentasi yang jelas dan rinci merupakan dasar untuk
memastikan bahwa setiap Personel melaksanakan kegiatan, sesuai uraian
tugas sehingga memperkecil risiko kesalahan.
Dokumentasi yang baik merupakan bagian penting dari sistem
manajemen mutu. Dokumentasi tertulis baik secara manual maupun
elektronik harus jelas untuk mencegah kesalahan dari komunikasi lisan dan
memenuhi prinsip ketertelusuran, keamanan, aksesibilitas, integritas dan
validitas. Dokumentasi meliputi dokumen tertulis terkait dengan distribusi
(pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan pelaporan), dokumen prosedur
tertulis, dokumen intruksi tertulis, dokumen kontrak, catatan, data, dan
dokumen lain yang terkait dengan pemastian mutu, dalam bentuk kertas
maupun elektronik. Dokumentasi yang jelas dan rinci merupakan dasar untuk
memastikan bahwa setiap Personel melaksanakan kegiatan, sesuai uraian
tugas sehingga memperkecil risiko kesalahan.
10. Ketentuan Khusus Bahan Obat
Pelaksanaan penggabungan bahan obat dalam bets yang sama,
pengemasan ulang, dan/atau pelabelan ulang adalah proses pembuatan bahan
obat sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan CPOB. Pengawasan perlu
diberikan pada kontaminasi, kontaminasi silang, dan campur baur.
pengamanan stok label, pemeriksaan jalur pengemasan, pemeriksaan dalam
proses, pemusnahan kelebihan label yang sudah tercetak nomor betsnya. cara
sanitasi dan higiene yang baik.
11. Ketentuan Khusus Produk Rantai Dingin (Cold Chain Product/Ccp)
Untuk Produk Rantai Dingin, terdapat persyaratan khusus yang harus
dipenuhi sebagai standar selain yang dipersyaratkan dalam CDOB, antara lain
meliputi aturan yang berkaitan dengan masalah suhu pada saat penerimaan,
penyimpanan, dan pengiriman. Pelatihan dilakukan secara sistematik dan
berkala bagi seluruh personil yang terlibat dalam penanganan produk rantai
dingin, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. peraturan perundang-undangan;
b. CDOB;
c. prosedur tertulis;
d. monitoring suhu dan dokumentasinya; dan
e. respon terhadap kedaruratan dan masalah keselamatan
12. Ketentuan Khusus Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi
Cara distribusi narkotika psikotropika, dan prekursor farmasi harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan CDOB termasuk untuk mencegah
terjadinya penyimpangan dan/atau kehilangan narkotika, psikotropika, dan
prekursor farmasi dari jalur distribusi resmi.. Penanggung jawab fasilitas
distribusi merupakan seorang apoteker sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tupoksi apoteker di Pedagang Besar Farnasi (PBF) dapat
dirancang menggunakan fishbone analysis yang memuat peraturan
perundang-undangan dan pedoman teknis cara distribusi obat yang baik
(CDOB). Tupoksi Apoteker berdasarkan CDOB di PBF sesuai yang
dipaparkan menggunakan fishbone analysis yaitu, sebagai penanggung
jawab dalam setiap proses pendistribusian obat meliputi manajemen
mutu, organisasi manajemen dan personalia, fasilitas distribusi,
operasional, dokumentasi, dan inspeksi diri.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Anonim b. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Anonim c. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah Republik
Inconesia
Anonim, 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Presiden Republik Indonesia.
Anonim. 1945. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Anonim. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Anonim. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes. Jakarta: Pemerintah
Republik Indonesia.
Anonim. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/Menkes/Per/V1/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi. Jakarta:
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
BPOM RI, 2015. Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik.
Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

BPOM RI. 2020. Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2020 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Kuniawan, A. H. dan Setiawan, Y. 2018. Pemasaran Farmasi. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Permenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai