Anda di halaman 1dari 22

1.

Definsi

BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam

prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang

terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut

mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi

leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari

kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).

BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih

yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami

atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat

mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi

(BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan,

yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi

leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan

menyebabkan gangguan perkemihan.

2. Derajat BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2010)

secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1) Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur

ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari

50 ml

2) Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas

atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

3) Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak

dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.


4) Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total.

3. Etiologi

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi

penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011)

meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara

estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya

kematian sel (apoptosis), teori sel stem.

1) Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada

pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi

testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan

factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan

inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein

yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan

bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat

normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah

reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat

pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak

terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2) Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan

kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar

estrogen dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat

memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara

meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-

sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat


rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai

umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol

oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah

sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma

mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma

itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.

Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel

stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma

dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan

pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma

karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik

untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi

kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami

apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi

oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju

poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai

pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati

dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan

prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara

keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5) Teori sel stem Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel

baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel
yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini

sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone

androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-

sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga

terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

4. Patofisiologi

Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk

dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai

proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.

Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot

polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara

perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-

lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan

daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga

timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi,

keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi

sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan

sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan

media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran

urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing

terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami

kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi

urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong

setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek

(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan

ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo,

2011). Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan

terjadi inkontinensia paradoks.

Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal

ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi

penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau

hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu

endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila

terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2010).

5. Manifestasi Klinis

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan

diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :

1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

 Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih

sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran

miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas

(menetes setelah miksi)

 Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi

yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2) Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya

gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda

dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

3) Gejala diluar saluran kemih Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit

hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering

mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal.

Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan

prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan,

anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal

dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.

6. Penatalaksanaan

1) Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang

diberikan pada penderita BPH adalah :

 Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk

mengurangi tekanan pada uretra

 Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa

blocker (penghambat alfa adrenergenik)

 Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/

dehidrotestosteron (DHT).

2) Terapi bedah

Terapi bedah Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan

pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin

berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan

perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien


bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer

dan Bare (2013) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan

terbuka dan pembedahan endourologi.

 Prostatektomi suprapubik adalah salah satu metode mengangkat kelenjar

melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan

kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk

kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah

pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan

metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan

disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.

 Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat

kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan

sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka

bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.

Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,

impotensi dan cedera rectal.

 Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan,

dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu

antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam

pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak

pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang

retropubik.

 Transurethral Prostatic Resection (TURP) merupakan tindakan operasi

yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan

transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan


dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang

sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan

apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung

mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.

Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah

pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak

meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal

dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada

22 kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya

perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).

 Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Adalah prosedur lain dalam

menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak

terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah

keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram

atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan

instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat

dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan

mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa

mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2013).

 Terapi invasive minimal, menurut Purnomo (2011) terapai invasive

minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan

pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral

Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation

(TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),

Pemasangan stent uretra atau prostatcat.

7. Pemeriksaan penunjang
1) Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.

Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai

adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.

2) Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran

kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan

rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu

tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

3) Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan

cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada

keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada

retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.

4) Uroflowmetry (Pancaran Urine )

Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih.

Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran

kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai

volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata

(Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan

lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi

infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.


5) Residu urine Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa

urine di kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal

rata-rata 12 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,

bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih

akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan

cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.

8. Komplikasi

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2010) komplikasi BPH adalah :

1) Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2) Infeksi saluran kemih

3) Involusi kontraksi kandung kemih

4) Refluk kandung kemih

5) Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut

maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan

mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6) Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7) Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu

endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut

dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan

pielonefritis.

8) Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu

miksi pasien harus mengedan.


A. Definisi Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang

tidak menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual

dan potensial, yang menyakitkan tubuh serta diungkapkan oleh individu

yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau

kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat

menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,

bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan

respon nyeri (Kozier dkk, 2009).

Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu

yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh

individu yang mengalaminya . Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada

penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun

beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status

psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak

hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri

adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional.

(Potter & Perry, 2005). Berdasarkan definisi- definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensori yang tidak

menyenangkan dan menyakitkan bagi


9

tubuh sebagai respon karena adanya kerusakan atau trauma jaringan

maupun gejolak psikologis yang diungkapkan secara subjektif oleh

individu yang mengalaminya.

B. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut

antara lain:

a. Pengalaman Nyeri Masa Lalu

Semakin sering individu mengalami nyeri , makin takut pula

individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan

diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih

sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda

dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Individu dengan

pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan

nyeri dan pengobatannva tidak adekuat

b. Kecemasan
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan

dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.

Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar

serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil

dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang

mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke, 2008).


1
0

c. Umur

Umumnya para lansia menganggap nyeri sebagai komponen

alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani

oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat

pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada

dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi

dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta

peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang

lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan,

kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi

impuls saraf normal

d. Jenis Kelamin

Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat

keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri.

Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis

kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya

dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat

dengan alat reproduksi


1
2

e. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat

Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat

mempengaruhi nyeri seseorang. Pada beberapa pasien yang

mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota keluarga atau

teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, perlindungan.

Walaupun nyeri tetap terasa, tetapi kehadiran orang yang dicintainya

akan dapat meminimalkan rasa kecemasan dan ketakutan. Apabila

keluarga atau teman tidak ada seringkali membuat nyeri pasien

tersebut semakin tertekan. Pada anak-anak yang mengalami nyeri

kehadiran orang tua sangat penting.

c. Klasifikasi Nyeri

a. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu

yang singkat, biasanya kurang dari 6 bulan. Nyeri akut yang tidak

diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di

luar ketidaknyamanan yang disebabkannya karena dapat

mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal,

endokrin, dan imonulogik .


14

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari

6 bulan. Nyeri kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang

diperkirakan, karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon

terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Jadi nyeri ini

biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Guyton & Hall, 2008).

Nyeri kronik mengakibatkan supresi pada fungsi sistem imun yang

dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi, dan

ketidakmampuan.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri

nosiseptif dan neuropatik, yaitu sebagai baerikut:

a. Nyeri nosiseptif

Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful nature” dan

dalam hal ini ujung saraf nosiseptif, menerima informasi tentang

stimulus yang mampu merusak jaringan. Nyeri nosiseptif berdifat

tajam, dan berdenyut.

b. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf.

Nyeri neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan

hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri

atas beberapa macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang

umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit

(superficial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri


15

menjalar (referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh

letaknya dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ

visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-macam

organ viscera dalam abdomen dan dada

D. Fisiologi Nyeri

Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan

hingga pengalaman emosional dan psikologis yang menyebabkan nyeri,

terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu

transduksi, transrmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses

dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf

sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses

ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang

meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang

meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis

ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara

thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf
1
6

yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu senyawa tertentu telah

diternukan di sistem saraf pusat yang secara selektif menghambat transmisi

nyeri di medulla spinalis. Senyawa ini diaktifkan jika terjadi relaksasi atau

obat analgetika seperti morfin.

Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang

ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama

sekali belum jelas. Bahkan struktur otak yang menimbulkan persepsi

tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara mendasar

merupakan pengalaman subyektif yang dialami seseorang sehingga sangat

sulit untuk memahaminya. Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh

saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostaglandin)

dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan

pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang

terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian

dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh

tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di

mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali

dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan

lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari

otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti

endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka.


17

Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup.

Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga

bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan cara menggaruk atau mengelus

secara lembut di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga

rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup

gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat ingin sembuh

dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan.

Kozier, dkk. (2011) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan

respon tubuh meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon

otonom (simpatis dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti

peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan

pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat,

diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat ,

berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan,

kelelahan, dan pucat .

E. Pengukuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda

oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
19

nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,

pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan

gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

Pengukuran skala intensitas nyeri ialah sebagai berikut:

a) Skala intensitas nyeri

b) Skala identitas nyeri numerik

c) Skala analog visual


d) Skala nyeri menurut bourbanis
2
0

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik dan memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik. Memiliki karateristik adanya peningkatan frekuensi

pernafasan , tekanan darah, kekuatan otot, dan dilatasi pupil.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi

nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih

posisi nafas panjang dan distraksi. Memiliki karateristik muka klien pucat,

kekakuan otot, kelelahan dan keletihan

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia R, Hadisaputro S, Muslim R. Faktor-‐faktor resiko terjadinya pembesaran prostat


jinak (studi kasus di RS. Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS Roemani Semarang).
Diunduh dari : http://eprints.undip.ac.id/19133/1/Rizki_Amalia.pdf
Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem
Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10. Editor: Walsh PC, Retik AB,Vaughan ED, dan Wein
AJ. Philadelphia: WB Saunders Co. 2012.hal.2570-‐91.
Nandeesha H. Benign Prostatic Hyperplasia: dietary and metabolic risk factors. ntI Urol
Nephrol (2008) 40: 649-‐56.
Parsons JK: Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary Tract Symptoms:
Epidemiology and Risk Factors. Curr Bladder Dysfunct Rep. 2010;5:212–18.
Pintarelli VL, Gomes LF, Lorenzetti F, Neto JT, Dambros M. Elderly men's quality of life
and lower urinary tract symptoms: an intricate relationship. BJU Int. 2011.
Price, S. A dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit,
Edisi 6, Volume 2, Alih Bahasa Brham,..(dkk). Jakarta: EGC
Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto
Roehrborn CG. Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology, pathophysiology, epidemiology, and
natural history.
Roehrborn CG. BPH progression: concept and key learning from MTOPS, ALTESS,
COMBAT, and ALF-‐ONE. BJU Int. 2008;101(suppl 3):17-‐21.
Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Smeltzer & bare. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Bruner & Suddarth Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Wei JT, Calhoun E, Jacobsen SJ. Urologic diseases in America project: benign prostatic
hyperplasia.J Urol 2005, 173:1256–61.

Anda mungkin juga menyukai