Anda di halaman 1dari 2

1.

Inklusif sendiri merupakan sikap seseorang dalam beragam dimana berusaha


menjadikan ragam agama menjadi satu agama yang pasti. Dengan kata lain, sikap
eksklusif lebih menohok kepada pandangan jika tidak ada kebenaran dan keselamatan
dalam agama lain (diluar agama yang dianut orang tersebut), atau orang-orang tidak
akan lebih baik jika tidak menganut agama tertentu. Pola pikir pada sikap eksklusif
cenderung terdapat upaya untuk merendahkan agama lain dan mengesampingkan sisi
manusiawi antar makhluk Tuhan. Jika sikap beragama ini diterapkan pada negara
Indonesia dengan konteks agama yang beragam, maka yang terjadi hanyalah upaya
merendahkan bahkan tidak menghargai dan menghormati umat beragama satu sama
lain, sehingga dikhawatirkan akan terjadi atau terbentuk kubu-kubu tersendiri yang
dapat memecah belah negara Indonesia. Di sisi lain, terdapat pula sikap beragama
inklusif, dimana sikap ini menunjukkan perilaku umat beragama yang lebih toleran
dan menghormati serta menghargai satu sama lain. Sikap inklusif memungkinkan
bahwa masing-masing umat beragama melihat keselamatan dalam agama lain dilihat
dari kacamata atau sisi agama yang dianu tersebut dan tidak merendahkan agama lain.
Inklusif lebih cenderung menaruh simpati pada ajaran agama lain, merupakan
pandanan paling ekspresif. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki sikap
beragama inklusif memuat luhur budi tertentu, seseorang dapat mengikuti ajaran
agamanya sendiri tanpa perlu mengutuk atau merendahkan ajaran agama lain. Dilihat
dari sisi sikap keagamaan, sikap beragama inklusif dirasa cukup cocok untuk
diterapkan di negara Indonesia yang memiliki keberagaman agama, sehingga
diharapkan tidak akan terjadi pelecehan atau penistaan ajaran agama lain dan masing-
masing individu fokus pada ajaran agama yang dianut . Jika hal ini dapat diterapkan
dengan baik, sangat mungkin bahwa akan terhindar terciptanya kubu-kubu radikal
yang saling melecehkan ajaran agama lain (diluar yang dianut) dan menghindarkan
perpecahan antar umat beragama di negara Indonesia.
2. Radikalisme sendiri merupakan paham seseorang untuk menanamkan suatu
kepercayaan dengan sifat ekstrim sehingga apa yang dipercayai diharapkan dapat
diikuti oleh banyak orang. Radikalisme jarang bahkan nyaris tidak pernah dilakukan
dengan cara yang damai, begitu pula dengan radikalisme agama sendiri. Gerakan
radikalisme agama sendiri sangat tidak baik atau dengan kata lain cukup meresahkan
belakangan ini. Gerakan ini jauh lebih mementingkan pemahaman literal terhadap
‘teks’ atau ‘teori’ yang dicantumkan pada agama itu sendiri yang justru
menyampaikannya kepada individu lain secara kasar bahkan terkadang menggunakan
kekerasan. Banyak sekali individu yang juga menyampaikan ajaran agama tertentu
secara radikal akan tetapi tidak dibarengi dengan pengetahuan agama yang hendak
disampaikan secara memadai, sehingga dari hal tersebut banyak oknum politik yang
terkesan menunggangi fenomena ini untuk kepentingan pribadi semata. Oknum
tersebut menyampaikan ‘ajaran-ajaran agama’ yang terselubung dengan politik,
sehingga secara tidak langsung masyarakat yang mendapatkan ini akan mendukung
penyampaian radikal dari oknum politik tertentu dan merendahkan bahkan dapat
berlaku kasar pada individu yang berselisih paham. Hal ini sangat tidak sejalan
dengan toleransi beragama dan sikap beragama, yaitu suatu individu harus
menghormsati dan menghargai ajaran agama lain tanpa berprilaku merendahkan atau
kasar. Akhirnya, jika paham radikal yang ditunggangi politik ini terus berjalan, maka
dikhawatirkan akan terjadi selisih terselubung antar umat beragama sehingga awalnya
jika individu memiliki sikap inklusif, kemudian menjadi bersikap eksklusif pada
agama yang tidak dianut. Hal-hal seperti ‘penistaan’ ‘pelecehan’ dan hal negatif
lainnya akan sangat rentan terjadi sehingga jika radikalisme tidak segera
diminimalkan, maka akan berakibat fatal pada kerukunan warga negara Indonesia
sehingga dapat memecah belah umat beragama, dan ironisnya, sisi politik yang
menunggangi paham radikal untuk kepentingan pribadi tersebut lah yang akan
mengambil keuntungannya.
3. Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial merupakan 2 hal yang sangat berbeda.
Kesalehan pribadi sendiri lebih menohok pada hal-hal religius yang dilakukan untuk
pribadi, seperti contohnya ibadah, berdoa, atau berpuasa bagi umat Islam. Sedangkan
kesalehan sosial lebih cenderung kepada bagaimana sikap seseorang kepada orang
lain, bagaimana toleransinya, sikap santun kepada sesama umat beragama dan sikap
empati seseorang kepada orang lain, tidak hanya tentang kepentingan pribadi. Jika
ditilik dari kaitan kesalehan pribadi dan sosial terhadap kejadian korupsi, dan
mengapa kasus korupsi semakin banyak, maka dikhawatirkan bahwa warga Indonesia
memiliki tingkat kesalehan pribadi yang baik (sehingga timbul anomali masyarakat
Indonesia sangat religius), akan tetapi kurang memiliki kesalehan sosial yang baik.
Kurangnya rasa empati masyarakat terhadap sesama, bagaimana cara santun dan
memikirkan apa yang terjadi kedepannya kepada satu individu, kelompok, bahkan
satu divisi perusahaan, proyek dan lain-lain, sehingga membuat oknum-oknum
tertentu rentan melakukan korupsi hanya karena memikirkan kepentingan pribadi
semata.

Anda mungkin juga menyukai