Inklusif sendiri merupakan sikap seseorang dalam beragam dimana berusaha
menjadikan ragam agama menjadi satu agama yang pasti. Dengan kata lain, sikap eksklusif lebih menohok kepada pandangan jika tidak ada kebenaran dan keselamatan dalam agama lain (diluar agama yang dianut orang tersebut), atau orang-orang tidak akan lebih baik jika tidak menganut agama tertentu. Pola pikir pada sikap eksklusif cenderung terdapat upaya untuk merendahkan agama lain dan mengesampingkan sisi manusiawi antar makhluk Tuhan. Jika sikap beragama ini diterapkan pada negara Indonesia dengan konteks agama yang beragam, maka yang terjadi hanyalah upaya merendahkan bahkan tidak menghargai dan menghormati umat beragama satu sama lain, sehingga dikhawatirkan akan terjadi atau terbentuk kubu-kubu tersendiri yang dapat memecah belah negara Indonesia. Di sisi lain, terdapat pula sikap beragama inklusif, dimana sikap ini menunjukkan perilaku umat beragama yang lebih toleran dan menghormati serta menghargai satu sama lain. Sikap inklusif memungkinkan bahwa masing-masing umat beragama melihat keselamatan dalam agama lain dilihat dari kacamata atau sisi agama yang dianu tersebut dan tidak merendahkan agama lain. Inklusif lebih cenderung menaruh simpati pada ajaran agama lain, merupakan pandanan paling ekspresif. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki sikap beragama inklusif memuat luhur budi tertentu, seseorang dapat mengikuti ajaran agamanya sendiri tanpa perlu mengutuk atau merendahkan ajaran agama lain. Dilihat dari sisi sikap keagamaan, sikap beragama inklusif dirasa cukup cocok untuk diterapkan di negara Indonesia yang memiliki keberagaman agama, sehingga diharapkan tidak akan terjadi pelecehan atau penistaan ajaran agama lain dan masing- masing individu fokus pada ajaran agama yang dianut . Jika hal ini dapat diterapkan dengan baik, sangat mungkin bahwa akan terhindar terciptanya kubu-kubu radikal yang saling melecehkan ajaran agama lain (diluar yang dianut) dan menghindarkan perpecahan antar umat beragama di negara Indonesia. 2. Radikalisme sendiri merupakan paham seseorang untuk menanamkan suatu kepercayaan dengan sifat ekstrim sehingga apa yang dipercayai diharapkan dapat diikuti oleh banyak orang. Radikalisme jarang bahkan nyaris tidak pernah dilakukan dengan cara yang damai, begitu pula dengan radikalisme agama sendiri. Gerakan radikalisme agama sendiri sangat tidak baik atau dengan kata lain cukup meresahkan belakangan ini. Gerakan ini jauh lebih mementingkan pemahaman literal terhadap ‘teks’ atau ‘teori’ yang dicantumkan pada agama itu sendiri yang justru menyampaikannya kepada individu lain secara kasar bahkan terkadang menggunakan kekerasan. Banyak sekali individu yang juga menyampaikan ajaran agama tertentu secara radikal akan tetapi tidak dibarengi dengan pengetahuan agama yang hendak disampaikan secara memadai, sehingga dari hal tersebut banyak oknum politik yang terkesan menunggangi fenomena ini untuk kepentingan pribadi semata. Oknum tersebut menyampaikan ‘ajaran-ajaran agama’ yang terselubung dengan politik, sehingga secara tidak langsung masyarakat yang mendapatkan ini akan mendukung penyampaian radikal dari oknum politik tertentu dan merendahkan bahkan dapat berlaku kasar pada individu yang berselisih paham. Hal ini sangat tidak sejalan dengan toleransi beragama dan sikap beragama, yaitu suatu individu harus menghormsati dan menghargai ajaran agama lain tanpa berprilaku merendahkan atau kasar. Akhirnya, jika paham radikal yang ditunggangi politik ini terus berjalan, maka dikhawatirkan akan terjadi selisih terselubung antar umat beragama sehingga awalnya jika individu memiliki sikap inklusif, kemudian menjadi bersikap eksklusif pada agama yang tidak dianut. Hal-hal seperti ‘penistaan’ ‘pelecehan’ dan hal negatif lainnya akan sangat rentan terjadi sehingga jika radikalisme tidak segera diminimalkan, maka akan berakibat fatal pada kerukunan warga negara Indonesia sehingga dapat memecah belah umat beragama, dan ironisnya, sisi politik yang menunggangi paham radikal untuk kepentingan pribadi tersebut lah yang akan mengambil keuntungannya. 3. Kesalehan pribadi dan kesalehan sosial merupakan 2 hal yang sangat berbeda. Kesalehan pribadi sendiri lebih menohok pada hal-hal religius yang dilakukan untuk pribadi, seperti contohnya ibadah, berdoa, atau berpuasa bagi umat Islam. Sedangkan kesalehan sosial lebih cenderung kepada bagaimana sikap seseorang kepada orang lain, bagaimana toleransinya, sikap santun kepada sesama umat beragama dan sikap empati seseorang kepada orang lain, tidak hanya tentang kepentingan pribadi. Jika ditilik dari kaitan kesalehan pribadi dan sosial terhadap kejadian korupsi, dan mengapa kasus korupsi semakin banyak, maka dikhawatirkan bahwa warga Indonesia memiliki tingkat kesalehan pribadi yang baik (sehingga timbul anomali masyarakat Indonesia sangat religius), akan tetapi kurang memiliki kesalehan sosial yang baik. Kurangnya rasa empati masyarakat terhadap sesama, bagaimana cara santun dan memikirkan apa yang terjadi kedepannya kepada satu individu, kelompok, bahkan satu divisi perusahaan, proyek dan lain-lain, sehingga membuat oknum-oknum tertentu rentan melakukan korupsi hanya karena memikirkan kepentingan pribadi semata.