Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH

(Benign Prostatic Hyperplasia)


A. Definisi
BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut Hipertrofi Prostat Jinak merupakan
kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam
(kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat. BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra
dan menyebabkan gejala uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan
berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Nuari, 2017). Selain itu
menurut Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan jumlah sel-sel stroma dan
epitel prostat di area periuretra yang merupakan suatu hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu
secara etiologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel akibat dari proliferasi sel-sel stroma dan
epitel prostat atau terjadi penurunan kematian sel-sel prostat yang terprogram. Menurut Brunner
(2013) kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju kandung kemih dan menghambat aliran
keluarnya urine. Berkemih yang tidak tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat
menyebabkan hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran kemih. Dimana penyebab
gangguan tersebut tidak dipahami dengan baik, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh
hormonal. BPH sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 tahun.
B. Klasifikasi
Menurut Sjamsuhidajat 2011, derajat BPH dibedakan menjadi empat, yaitu:
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis, masih terasa kira-kira 60- 150 cc, ada rasa tidak enak BAK atau dysuria dan
menjadi nocturia.
3. Staudium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh paisen tampak kesakitan, urine menetes secara
periodic ontinen.
C. Etiologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui, namun beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya dengan kadar dihidrotestoteron
(DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulmya hyperplasia antara lain:
1. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat pentng pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh
5α- reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Peningkatan 5α-reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek klinis
dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang menghambat perubahan testosteron
menjadi dihidrotestosteron, dalam waktu 3-6 bulan akan membuat pengurangan volume
prostat 20-30%.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat
berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitiviras sel –sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat
(apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan
testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan kematian sel.
Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan jumlah sel prostat seimbang
dengan sel yang mengalami apoptosis. Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan
massa prostat.
5. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit. Kehidupan sel ini sangat bergantung pada keberadaan hormone androgen
sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, akan
menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel
stroma maupun sel epitel.
6. Teori inflamasi kronis
Pada uji klinis oleh Medical Therapy of Prostatic Symptoms (MTOPS) menunjukkan
bahwa volume prostat dengan inflamasi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan tanpa inflamasi.
D. Patofisiologi
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasi, sejalan dengan pertambahan usia. Jika prostat
membesar, maka akan meluas ke atas kandung kemih sehingga pada bagian dalam akan
mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan tersebut dapat
meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka
otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine keluar.
Kontraksi yang terus-menerus akan menyebabkan perubahan anatomi dari kandung kemih berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula, dan divertikel kandung kemih.
Dimana tekanan intravesikel yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan tersebut jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal (Muttaqin, 2011).
E. Manifestasi Klinis
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH disebut sebagai syndroma
prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, antara lain:
1) Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destructor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikel guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intravesikel sampai berakhirnya miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan
di uretra
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas
2) Gejala iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nocturia) dan pada siang hari
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuari 2017, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien BPH adalah antara
lain:
1. Sedimen urin
Untuk mncari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi slauran kemih.
2. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas
kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
3. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi
urine.
4. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
5. Ultrasonografi (Trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
6. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan megukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
prostat ke dalam rectum
G. Komplikasi
Komplikasi BPH dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu komplikasi pada traktus
urinarius dan komplikasi di luar traktus urinarius. Di dalam traktus urinarius komplikasi BPH
meliputi retensi urine berulang atau kronis, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, batu
kandung kemih, perubahan patologi pada kandung kemih (trabekulasi, sakulasi divertikel),
hidroureteronefrosis bilateral dan gagal ginjal. Sedangkan komplikasi di luar traktus urinarius
adalah hernia dan hemoroid (Budaya, 2019).
Selain itu menurut Harmilah (2020), komplikasi pembesaran prostat meliputi:
a. Ketidakmampuan untuk buang air kecil mendadak (retensi urine).
Pasien memerlukan kateter yang dimasukkan ke kandung kemih
untuk menampung urine. Beberapa pria dengan pembesaran prostat
membutuhkan pembedahan untuk meredakan retensi urine.
b. Infeksi saluran kemih (ISK). Ketidakmampuan untuk
mengososngkan kandung kemih dapat meningkatkan resiko infeksi
saluran kemih.
c. Batu empedu. Ini umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk sepenuhnya mengosongkan kandung kemih. Batu kandung
kemih daoat menyebabkan infeksi, iritasi kandung kemih, adanya
darah dalam urine, dan obstruksi saluran urine.
d. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak
dikosongkan sepenuhnya dapat meregang dan melemah seiring
waktu. Akibatnya dinidng kandung kemih tidak lagi berkontraksi
dengan baik.
e. Kerusakan ginjal. Tekanan di kandung kemih dari retensi urine
langsung dapat merusak ginjal atau memungkinkan infeksi
kandung kemih mencapai ginjal.
H. Pentalaksanaan
Menurut Nuari 2017, penatalaksanaan terapi BPH tergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Berikut beberapa penatalaksanaan BPH antara lain:
a) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan untuk pasien dengan keluhan ringan dan biasanya pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum, setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat- obatan
dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok
dubur.
- Terapi medikamentosa
Penghambat adrenergika (prazosin, tetrazosin): menghambat reseptor pada otot polos di leher
vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang
- Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil
b) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
- Retensi urine berulang
- Hematuria
- Tanda penurunan fungsi ginjal
- Infeksi saluran kemih berulang
- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada batu saluran kemih
Menurut Brunner (2013), beberapa tindakan bedah yang dilakukan antara lain
sebagai berikut:

a. Terapi invasif secara minimal yang meliputi terapi panas mikro-


gelombang transuretra (Transurethral Microwave Heat Treatment
/TUMT), kompres panas ke jaringan prostat, ablasi jarum transuretra
(Transurethral Needle Ablation/TUNA), melalui jarum tipis yang
ditempatkan di dalam kelenjar prostat, sten prostat (tetapi hanya untuk
pasien retensi kemih dan untuk pasien yang memiliki resiko bedah yang
buruk).
b. Reseksi bedah antara lain reseksi prostat transuretra/ TURP
(Transurethral Resection of The Prostate) yang merupakan standar
terapi bedah, insisi prostat transuretra/ TUIP (Transurethral Incision of
The Prostate), elektrovaporisasi transuretra, terapi laser, dan
prostatektomi terbuka.
c. Kateterisasi urine
Tindakan ini digunakan untuk membantu pasien yang mengalami gangguan
perkemihan karena retensi urine. Kateterisasi urine adalah tindakan
memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih.
Pemasangan kateter menyebabkan urine mengalir secara continue pada pasien
yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami
obstruksi pada saluran kemih.
Konsep Asuhan Keperawatan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Proses keperawatan adalah rangkaian tindakan yang dilakukan perawata untuk memberikan
asuhan keperawatan secara professional (Siregar, 2021). Proses keperawatan meliputi antara lain:

A. Pengkajian
Menurut Siregar (2021), pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama dalam
proses keperawatanyang mencakup pengumpulan data yang sistematis, verifikasi data,
pengorganisasian data, intepretasi data, dan melakukan dokumentasi data dan dilakukan
oleh perawat yang professional di bidang kesehatan. Menurut Diyono (2019), pengkajian
keperawatan meliputi antara lain:
1. Riwayat keperawatan
BPH biasanya tidak langsung menimbulkan masalah yang berat pada pasien. Secara
umum gejala yang dikeluhkan pasien hanyalah sulit buang air kecil dan beberapa
waktu kemudian dapat berkurang dan baik lagi.
2. Keluhan utama
Adanya retensi urine atau gejala komplikasi harus diidentifikasi dengan cermat.
Perawat dapat menanyakan kepada pasien dan keluarga tentang keluhan yang
dirasakan seperti tidak bias berkemih, badan lemas, anoreksia, mual muntah, dan
sebagainya.
3. Persepsi dan manajemen kesehatan
Kaji dan identifikasi pola penanganan penyakit yang dilakukan pasien dan keluarga.
Termasuk dalam hal apa yang dilakukan jika keluhan muncul.
4. Pola eliminasi
Kaji masalah berkemih seperti retensi urine, nokturia, hesistensi, frekuensi, urgensi,
anuria, hematuria.
5. Pola aktivitas dan latihan
Bagaiamana pola aktivitas pasien terganggu dengan masalah BAK, misalnya
kelelahan akibat tidak bias tidur, sering ke kamar mandi, dan sebagainya.
6. Pola tidur
Identifikasi apakah gangguan berkemih sudah mengganggu istirahat tidur.
7. Pola peran
Apakah peran dan fungsi keluarga terganggu akibat gangguan berkemih.
8. Pemeriksaan fisik
Identifikasi retensi urine, lakukan palpasi suprapubic. Periksa ada tidaknya gejala
komplikasi seperti udem, hipertensi, dan sebagainya.
9. Pemeriksaan diagnostic
Amati hasil pemeriksaan USG, BNO, IVP dan hasil laboratorium. Perhatikan adanya
kesan pembesaran prostat, hidroureter, hidronefrosis, hipeureki, peningkatan kratinin,
leukosit, anemia, dan sebagainya.
10. Program terapi
Kelola dengan baik program operasi, pemasangan kateter, monitoring laboratorium,
dan sebagainya.
B. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan actual atau potensial yang
membutuhkan intervensi dan manajemen keperawatan (Siregar, 2021). Adapun diagnosa
keperawatan yang muncul adalah:
a. Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
b. Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasif
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembedahan
C. Rencana Asuhan Keperawatan
Perencanaan keperawatan merupakan tahapan ketiga dalam proses keperawatan, dimana
perencanaan adalah fase dalam proses keperwatan yang melibatkan pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah yang mengacu dari hasil pengkajian dan diagnosis
keperawatan (Siregar, 2021).
Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
(SDKI) SLKI SIKI
Ansietas b.d. krisis Luaran Utama: 1.09326 Terapi Relaksasi
situasional, kurang terpapar - Tingkat ansietas Observasi:
informasi Luaran Tambahan: - Identifikasi penurunan
- Dukungan sosial tingkat energy,
- Tingkat pengetahuan ketidakmampuan

Retensi urine b.d. Luaran Utama: 1.04148 Kateterisasi


peningkatan tekanan uretra - Eliminasi urine Urine
Luaran Tambahan: Observasi:
- Kontinensia urine - Periksa kondisi pasien
(mis. Kesadaran, tanda-
Setelah dilakukan tindakan
tanda vital, daerah
keperawatan selama 1x24
perineal, distensi
jam L.04034 Eliminasi
kandung kemih,
Urine dengan kriteria hasil:
inkontinensia urine,
- Sensasi berkemih: 5
refleks berkemih)
(meningkat)
Terapeutik:
- Desakan berkemih
- Siapkan peralatan,
(urgensi): 5 (menurun)
bahan-bahan dan
- Distensi kandung
ruangan tindakan
kemih: 5 (menurun)
- Siapkan pasien,:
- Berkemih tidak tuntas
bebaskan pakaian
(hesitancy): 5
bawah dan posisikan
(menurun)
supine
- Volume residu urine: 5
- Pasang sarung tangan
(menurun)
- Bersihkan daerah
- Urine menetes
preposium dengan
(dribbling): 5
cairan NaCl atau
(menurun)
aquades
- Nokturia: 5 (menurun)
- Lakukan insersi kateter
- Mengompol: 5
urine dengan
(menurun)
menerapkan prinsip
- Enuresis: 5 (menurun)
aseptic
- Frekuensi BAK: 5
- Sambungkan kateter
(membaik)
urine dengan urine bag
- Isi balon dengan NaCl
0,9% sesuai dengan
anjuran pabrik
- Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
- Pastikan kantung urine
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
- Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
- Anjurkan menarik
nafas saat insersi selang
kateter
Nyeri akut b.d. agen Luaran Utama: 1.08238 Manajemen
pencedera fisiologis (pre- - Tingkat nyeri Nyeri
op), agen pencedera fisik Luaran Tambahan: Observasi:
(prosedur operasi, post-op) - Kontrol nyeri - Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
Setelah dilakukan tindakan
frekuensi, kualitas,
keperawatan selama 1x24
intensitas nyeri
jam L.08066 Tingkat
- Identifikasi skala nyeri
Nyeri dengan kriteria hasil:
- Identifikasi respons
- Keluhan nyeri: 5
nyeri non verbal
(menurun)
- Meringis: 5 (menurun) - Identifikasi faktor yang
- Sikap protektif: memperberat dan
5 (menurun) memperingan nyeri
- Gelisah: 5 (menurun) - Identifikasi
- Kesulitan tidur: 5 pengetahuan dan
keyakinan tentang
(menurun)
- Frekuensi nadi: 5
(membaik)

Resiko infeksi d.d. efek


Luaran Utama:
prosedur invasif
- Tingkat
infeksi Luaran
Tambahan:
- Kontrol infeksi

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 1x24
jam L.14137 Tingkat
Infeksi dengan kriteria
hasil:
- Demam: 5 (menurun)
- Kemerahan: 5
(menurun)
- Nyeri: 5 (menurun)
- Bengkak: 5 (menurun)
- Kadar sel darah
putih: 5 (membaik)
Resiko perdarahan d.d.
Luaran Utama:
tindakan pembedahan
- Tingkat perdarahan
Luaran Tambahan:
- Kontrol resiko

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 1x24
jam L.02017 Tingkat
Perdarahan dengan kriteria
hasil:
- Kelembapan membrane
mukosa: 5 (meningkat)
- Kelembapan kulit: 5
(meningkat)
- Hamturia: 5 (menurun)
- Perdarahan pasca
operasi: 5 (menurun)
- Haemoglobin: 5
(membaik)
- Hematokrit: 5
(membaik)
- Tekanan darah: 5
(membaik)
- Denyut nadi apical: 5
(membaik)
- Suhu tubuh: 5
(membaik)

Anda mungkin juga menyukai