Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BPH DI RUANG IGD RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

RIRIS NAPITUPULU
PO71202230041

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
2024
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

A. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan
suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan
pembesaran dari kelenjar prostat (Al Jamil et al., 2018). Benign Prostatic Hyperplasia
adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran memanjang ke
atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan cara menutupi
orifisium uretra (Rahman, 2016). Berdasarkan pengertian di atas Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) adalah suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat dan bermanifestasi pada tersumbatnya aliran
urine.
B. Etiologi
Beberapa hipotesis menurut Rahman, (2016) yang diduga sebagai penyebab timbulnya
BPH adalah:
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan selsel kelenjarprostat. DHT-RA pada inti sel adalah pemicu sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
2. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron
Telah diketahui bahwa estrogen pada kelenjar prostat berperan untuk terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor
androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel kelenjar prostat (apoptosis).
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-
sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa kelenjar prostat menjadi lebih
besar.
3. Interaksi Stroma-Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari dihidrotestosteron dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel
epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan kelenjar prostat sampai pada kelenjar
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel kelenjar prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel kelenjar prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel kelenjar prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa
kelenjar prostat.
C. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat & Jong, (2019) secara
klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
D. Tanda dan gejala
Pasien dengan obstruksi saluran keluar vesica urinaria sekunder terhadap hipertrophi
prostat benigna, bisa tampil dengan kesulitan dalam memulai berkemih, pengosongan
vesika urinaria yang tidak tuntas, urin menetes, frekuensi atau retensi urin total dengan
ketidakmampuan lengkap untuk berkemih. Kelenjar prostat yang membesar
menimbulkan obstruksi urin dan meningkatkan secara menetap tekanan intravesika,
yang akan menyebabkan hipertrofi detrusor, trabekulasi vesika urinaria dan
pembentukan divertikuliti. Proses ini dapat berlajut ke hidronefrosis dan kemunduran
saluran kemih atas (Sutysna, 2016).
E. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat & Jong, (2019) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
F. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan
keadaan tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar
prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi
dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan
atau hematuria.
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada
tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan
abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan status
fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit
komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi
landasan untuk treatment selanjutnya.
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rahman (2016) penatalaksanaan medis BPH adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
a. Mengharnbat adrenoreseptor α
b. Obat anti androgen
c. Penghambat enzim α -2 reduktase
d. Fisioterapi
3. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
b. Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
c. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
d. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
WOC BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Etiologi

Penuaan

Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan uragential
testosterone + estrogen
Mitrotrouma : trauma, Kebangkitan /
ejakulasi, infeksi Prod. Testosteron ↓ reawakening

↑ stimulasi sel stroma BPH Berproliferasi


yang dipengaruhi GH

Pre operasi Post operasi

Terjadi kompresi utera TURP. Prostatektomi

Trauma bekas Folley cateter


↑ resistensi leher V.U Kerusakan Penekanan
dan daerah V.U mukosa serabut-serabut insisi
urogenital syaraf Obstruksi oleh
jendolan darah
↑ ketebalan otot Dekstrusor
post OP
(fase kompensasi) Nyeri

Terbentuknya sakula/ MK :
trabekula MK : MK : nyeri akut
gangguan
gangguan
integritas
mobilitas fisik
Kelemahan otot kulit
Dekstrusor
Penurunan
↓ kemampuan pertahanan
fungsi V.U tubuh
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

A. Pengkajian Fokus
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh
karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
2. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran
urin berkurang,pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,
disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin.
Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan.
Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.
Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum,
sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
3. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
4. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
5. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala
jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada
preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya
tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
6. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
7. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
B. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Retenssi urine
2. Nyeri akut
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Gangguan integritas kulit
5. Resiko infeksi
C. Intervensi Keperawatan
1. Rumusan Prioritas Masalah
a. Pengumpulan data
b. Pengolahan data
c. Penyajian data
2. Tujuan
Untuk menentukan masalah yang akan menjadi skala prioritas untuk diselesaikan atau
diatasi terlebih dahulu.
3. Nursing care planning (NCP)
No SDKI SLKI SIKI
1. Retensi Setelah dilakukan asuhan KATETERISASI URINE
Urin keperawatan selama 3 x 24 (L.04148)
(D.0050) jam diharapkan retensi urine Observasi
teratasi dengan kriteria hasil : ▪ Periksa kondisi pasien (mis,
kesadarn, tandatanda vital, daerah
a. Sensasi berkemih
perineal, distensi
meningkat kandung kemih,
b. Desakan berkemih inkontenesua urine, reflex
(urgensi) menurun berkemih)
c. Distensi kandung Terapeutik
kemih menurun ▪ Siapkan peralatan, bahan
d. Berkemih tidak bahan dan ruangan
tuntas (hesitancy) tindakan
menurun ▪ Siapkan pasien:
e. Volume residu urin ▪ bebaskan pakaian bawah
menurun dan posisikan dorsal rekumben
▪ Pasang sarung tangan
▪ Bersihkan daerah
▪ perineal atau proposium
dengan cairan NaCl atau aquadest
▪ Lakukan insersi kateter urine
dengan menerapkan prinsip
aseptic
▪ Sambungkan kateter urine dengan
urine bag
▪ Isi balon dengan dengan Nacl 0.9 %
sesuai anjuran pabrik
▪ Fiksasi selang kateter diatas
simpisis atau di paha
▪ Pastikan kantung urine ditempatkan
lebih rendah dari kandung kemih
▪ Berikan label waktu pemasangan
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur
pemasangan kateter urine
▪ Anjurkan menariknafas saat insersi
selang cateter
2. Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan MANAJEMEN NYERI (I.08238)
(D.0077) keperawatan selama 3 x Observasi
24 jam diharapkan nyeri pada ▪ Identifikasi lokasi, karakteristik,
pasien berkurang dengan durasi, frekuensi, kualitas,
kriteria hasil : intensitas nyeri
Tingkat Nyeri ▪ Identifikasi skala nyeri
a. Nyeri berkurang dengan ▪ Identifikasi respon
skala 2 nyeri non verbal
b. Pasien tidak ▪ Identifikasi faktor yang
mengeluh nyeri ▪ memperberat dan
c. Pasien tampak memperingan nyeri
tenang ▪ Identifikasi pengetahuan
d. Pasien dapat tidur dengan dan keyakinan tentang nyeri
tenang ▪ Identifikasi pengaruh budaya
e. Frekuensi nadi terhadap respon nyeri
dalam batas normal (60- ▪ Identifikasi pengaruh nyeri pada
100 x/menit) kualitas hidup
f. Tekanan darah ▪ Monitor
dalam batas normal(90/60 ▪ keberhasilan terapi komplementer
mmHg –120/80 mmHg) yang sudah diberikan
g. RR dalam batas normal ▪ Monitor efek samping penggunaan
(16-20x/menit) analgetik
Terapeutik
▪ Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
▪ Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
▪ Fasilitasi istirahat dan tidur
▪ Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
▪ Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
▪ Jelaskan strategi meredakan
nyeri
▪ Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
▪ Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
▪ Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
▪ Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan DUKUNGAN AMBULASI (I.06171)
Mobilitas keperawatanselama 3 x 24 jam Observasi
Fisik toleransi aktivitas meningkat ▪ Identifikasi adanya nyeri atau
(D.0054) dengan kriteriahasil : keluhan fisik lainnya
a. px dapat ▪ Identifikasi toleransi fisik
berambulasi melakukan ambulasi
b. kekuatan otot ▪ Monitor frekuensi jantung dan
meningkat tekanan darah sebelum
c. rentang gerak memulai ambulasi
meningkat ADLs ▪ Monitor kondisi umum selama
terpenuhi melakukan ambulasi
Terapeutik
▪ Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu (mistongkat,
kruk)
▪ Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik, jika perlu
▪ Libatkan keluarga untuk
membantu
▪ pasien dalam meningkatkan
ambulasi
Edukasi
▪ Jelaskan tujuan dan prosedur
ambulasi
▪ Anjurkan melakukan ambulasi dini
▪ Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
berjalan dari tempat tidur ke kursi
roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
4. Gangguan Setelah diberikan PERAWATAN INTEGRITAS
Integritas asuhan keperawatanselama 3 KULIT (I.11353)
Kulit x 24 jam diharapkan Observasi
(D.0129) integritas kulit membaik ▪ Identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit (mis. Perubahan
dengan kriteria hasil :
sirkulasi, perubahan status nutrisi,
a. Kerusakan jaringan peneurunan kelembaban, suhu
menurun lingkungan ekstrem, penurunan
b. Kerusakan kulit mobilitas)
menurun Terapeutik
c. Elastisitas kulit ▪ Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah
meningkat baring
d. Hidrasi kulit ▪ Lakukan pemijatan pada area
meningkat penonjolan tulang, jika perlu
e. Perfusi jaringan ▪ Bersihkan perineal dengan air
membaik hangat, terutama selama periode
diare
▪ Gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak pada kulit
kering
▪ Gunakan produk berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
Hindari produk berbahandasar
alkohol pada kulit kering
Edukasi
▪ Anjurkan menggunakan pelembab
(mis. Lotin, serum)
▪ Anjurkan minum air yang cukup
▪ Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
▪ Anjurkan meningkat asupan
buah dan saur
▪ Anjurkan menghindari terpapar
suhu ektrime
▪ Anjurkan menggunakantabir surya
SPF minimal
30 saat berada diluarrumah
5. Resiko Setelah diberikan PENCEGAHAN INFEKSI (I.14359)
Infeksi asuhan keperawatanselama 3 Observasi
(D.0142) x 24 jam diharapkan tidak ▪ Identifi kasi riwayat
kesehatan dan riwayat alergi
terjadi tanda-tanda infeksi ▪ Identifikasi kontraindikasi
dengan kriteriahasil : pemberian imunisasi
a. Demam tidak ▪ Identifikasi status imunisasi setiap
terjadi kunjungan ke pelayanan kesehatan
Terapeutik
b. Kemerahan tidak
▪ Berikan suntikan pada pada bayi
terjadi dibagian paha anterolateral
c. Nyeri berkurang ▪ Dokumentasikan informasi
d. Bengkak berkurang vaksinasi
atautidak terjadi ▪ Jadwalkan imunisasi
e. Kadar sel pada interval waktu yang tepat
darahputih membaik Edukasi
▪ jelaskan tujuan, manfaat, resiko
yang terjadi, jadwal dan efek
samping
▪ Inform
▪ asikan imunisasi yang
diwajibkan pemerintah
▪ Inform
▪ asikan imunisasi yang
melindungiterhadap penyakit
namun saat ini tidak
diwajibkan pemerintah
▪ Inform
▪ asikan vaksinasi untuk
kejadian khusus
▪ Inform
▪ asikan penundaan pemberian
imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi kembali
▪ Inform
▪ asikan penyedia layanan pekan
imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah suatu kegiatan yang terencana, bukan hanya suatu aktifitas dan
dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma-norma tertentu untukmencapai
tujuan kegiatan.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan
apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan,
merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan.
F. Aplikasi Pemikiran Kritis
Tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
adalah, Transurethral Resection of Prostate (TURP). TURP merupakan tindakan operasi
yang paling banyak dikerjakan diseluruh dunia. Operasi Transurethral Resection Prostate
(TURP) dapat mempengaruhi aktivitas sehari – hari klien karena terjadi nyeri pada area post
operasi.
Teknik relaksasi dan imajinasi salah satu teknik yang digunakan dalam menurunkan
nyeri pada pasien, dalam penelitian ini khususnya pada pasien pasca bedah, teknik relaksasi
meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik imajinasi, dan latihan relaksasi progresif. Relaksasi
progresif (PMR) pada seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15 menit, klien memberikan
perhatian pada tubuh memperlihatkan daerah ketegangan. Daerah yang tegang digantikan
dengan rasa hangat dan rileks. Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan
pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Dari
penelitian Bachtiar (2019) menunjukkan rata-rata intensitas nyeri pada post operasi BPH
(Benigna Prostat Hyperplasia) sebelum diberikan terapi relaksasi progresif (PMR) adalah
5.20 Namun setelah iberikan terapi relaksasi progresif (PMR) rata-rata skala nyeri menjadi
3.60.
DAFTAR PUSTAKA

Al Jamil, A. P., Pertiwi, D., & Elvira, D. (2018). Gambaran Hasil Pemeriksaan Urine pada
Pasien dengan Pembesaran Prostat Jinak di RSUP DR. M. Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1),
137.https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.792
Bachtiar, S. M. (2019). Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation) terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri pada Pasien Post Op Bph (Benign Prostate Hiperplasia. Jurnal Media
Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar, 10(2), 92–96.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1 Cetakan III (Revisi). Jakarta: PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1 Cetakan II. Jakarta: PPNI.
Price, S. ., & Wilson, L. . (2012). Patofisiologi: konsep klinis proses penyakit (H. Hartanto
(ed.); 6th ed.). EGC.
Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif. September, 12. Sjamsuhidajat, R., & Jong, W.
De. (2019).
Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed.). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Sutysna, H. (2016). Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat.
Jurnal UMSU, 1(September), 4–8

Anda mungkin juga menyukai