Oleh :
LINDAWATI PAJRIN
21114032
2. Etiologi
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma.
c. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (
Roger Kirby, 1994 : 38 ).
Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi
dari BPH adalah:
a. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan
keseimbangan testosteron dan estrogen.
b. Ketidakseimbangan endokrin.
c. Faktor umur / usia lanjut
3. Patofisiologi
Menghambat aliran urine Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat ↑ tekanan intra vesikal
- Hesitansy
- Intermitency TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ± 90 - 95 % ) Resty infeksi Hydro Ureter
- Terminal Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
- Pancaran lemah Perianal Prostatectomy Cemas
- Rasa tidak puas Hydronefritis
- Urgency Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
G³ elimenasi urine
- Frekuensi
- Disuria ↓ fungsi ginjal
Nyeri G³ keb ADL
Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
Gagal ginjal
akut.
Klien dengan residual urin < 100 ml.
Klien dengan penyulit. 5
Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Gejala Benigne Prostat Hyperplasia
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Derajat BPH
Digunakan untuk mendapatkan gambaran tonus spinkter ani mukosa rectum dan
menilai besarnya kelenjar prostat. Dengan DRE juga dapat diketahui konsistensi
adakah nodul dan apakah batas atas dapat diraba.
b. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopis urin
Untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi
c. Prostat Specific Antigen (PSA)
Dilakukan sebagai dasar menentukan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan
d. Sistoskopi
Untuk menentukan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
dengan BPH atau tidak.
e. Foto Polos
Dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat
serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
f. Pielografi intravena
Dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter,
gambaran ureter berkelok-kelok di vesika, indentasi pada dasar buli-buli,
divertikel, residu urin.
g. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line
3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
h. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
a. Pre Operasi
DP 1. Perubahan pola eliminasi urine : retensi urine b.d pembesaran prostat.
HYD:
1) Pengosongan kandung kemih adekuat
2) Tidak ada distensi dan pembesaran kandung kemih
3) Jumlah urine sisa kurang dari 50 ml.
Intervensi:
1) Kaji adanya gangguan/perubahan pola eliminasi urine.
Rasional: Menentukan tindakan yang akan diberikan.
2) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional: Mengevaluasi adanya obstruksi.
3) Palpasi, kandung kemih tiap 4 jam.
Rasional: Mengetahui distensi kandung kemih.
4) Anjurkan pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila ada rasa ingin berkemih.
Rasional: Meminimalkan retensi urine dan distensi yang berlebihan pada
kandung kemih.
5) Catat cairan masuk dan cairan keluar.
Rasional: Mengetahui balance cairan.
6) Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional: Mengetahui keadekuatan fungsi ginjal.
7) Kaji keluaran urine (warna, jumlah, kekuatan)
Rasional: Mengidentifikasi adanya obstruksi dan perdarahan.
8) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemasangan kateter.
Rasional: Mengeluarkan urine dan menghilangkan distensi.
9) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian therapi anti spasmodik.
Rasional: Menghilangkan spasme kandung kemih.
b. Post Operasi
DP 1. Nyeri b.d insisi bedah.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi:
1) Pertahankan kapatenan kateter.
Rasional: Clot dapat menyebabkan obstruksi aliran urine sehingga terjadi
distensi kandung kemih.
2) Ajarkan tehnik relaksasi dengan menarik napas dalam.
Rasional: Mengurangi nyeri.
3) Kaji karakteristik nyeri (lokasi dan intensitas).
Rasional: Mengetahui ambang rasa nyeri pasien.
4) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian analgetik.
Rasional: Mengurangi/menghilangkan nyeri.
Intervensi:
1) Berikan banyak minum bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional: Mempertahankan hidrasi dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
2) Kaji pengeluaran urine per kateter, buang urine tiap shift.
Rasional: Indikator keadekuatan cairan yang keluar.
3) Klien kateter tiap 3 jam sekali selama 10 menit.
Rasional: Kesiapan kandung kemih dan refleks berkemih spontan bila dilepas.
Intervensi:
1) Observasi TTV tiap 4-6 jam.
Rasional: Perubahan TTV dapat mengidentifikasikan adanya infeksi.
2) Anjurkan pasien banyak minum bila tidak ada kontraindikasi 6-8 gelas
perhari.
Rasional: Mempertahankan aliran dan delusi urine.
3) Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter.
Rasional: Meminimalkan kontaminasi.
4) Kaji apakah ada demam kurang cairan.
Rasional: Memastikan jika terjadi faktor resiko/tanda akan gejala infeksi.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotik.
Rasional: Antibiotik dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan
mikroorganisme.
4. Perencanaan Pulang