Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT


HIPERPLASI (BPH)

diajukan untuk mata ajar keperawatan medikal bedah

Oleh :
LINDAWATI PAJRIN
21114032

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA


PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
2014
Laporan Pendahuluan
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

A. Konsep Dasar Benigna Prostat Hiperplasi


1. Definisi

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar


prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah
RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum


pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

2. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum


diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma.
c. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (
Roger Kirby, 1994 : 38 ).
Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi
dari BPH adalah:
a. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan
keseimbangan testosteron dan estrogen.
b. Ketidakseimbangan endokrin.
c. Faktor umur / usia lanjut
3. Patofisiologi

Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara


perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran
prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan
resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi
dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan
serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok
yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi,
mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan
apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase
kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan
akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
4. WOC (Web Of Action)
↑ sel sterm ↑ 5 alfa reduktose Proses menua Interaksi sel epitel ↓ sel mati
dan reseptor endogen dan stroma

Tidak imbangnya hormon (↑ estrogen dan ↓testosteron)

Menghambat aliran urine Hyperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat ↑ tekanan intra vesikal

Gangguan berkemih : Operatif Non operatif nyeri Retensi urine

- Hesitansy
- Intermitency TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ± 90 - 95 % ) Resty infeksi Hydro Ureter
- Terminal Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
- Pancaran lemah Perianal Prostatectomy Cemas
- Rasa tidak puas Hydronefritis
- Urgency Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
G³ elimenasi urine
- Frekuensi
- Disuria ↓ fungsi ginjal
Nyeri G³ keb ADL

Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
Gagal ginjal
akut.
Klien dengan residual urin < 100 ml.
Klien dengan penyulit. 5
Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Gejala Benigne Prostat Hyperplasia

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
a. Gejala Obstruktif yaitu :
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.

3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.


4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi yaitu :

1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
6. Derajat BPH

Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan


klinisnya:
a. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
b. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
c. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
d. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE)

Digunakan untuk mendapatkan gambaran tonus spinkter ani mukosa rectum dan
menilai besarnya kelenjar prostat. Dengan DRE juga dapat diketahui konsistensi
adakah nodul dan apakah batas atas dapat diraba.
b. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopis urin
Untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi
c. Prostat Specific Antigen (PSA)
Dilakukan sebagai dasar menentukan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan
d. Sistoskopi
Untuk menentukan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan
volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
dengan BPH atau tidak.
e. Foto Polos
Dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat
serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
f. Pielografi intravena
Dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter,
gambaran ureter berkelok-kelok di vesika, indentasi pada dasar buli-buli,
divertikel, residu urin.
g. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian:
1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line
3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
h. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.

2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume


dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
3) IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
d) Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
8. Komplikasi
a. Retensi urin
Akibat dekompensasi dari buli-buli
b. Hidroureter
Produksi urin yang terus berlanjut sehingga buli tidak mampu menampung urin lagi
dan tekanan di vesika urinaria meningkat.
c. Gagal ginjal
Pengertian penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progersif, dan pada
umumnya berakhir pada gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel.
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang
mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) sehingga ginjal tidak
dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak &
Gallo, 1996).
Kriteria penyakit gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi
lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural dan fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi: Kelainan patologis.
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin.
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/ menit/ 1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal. (Ketut Suwitra, 2007).
9. Penatalaksanaan

Modalitas terapi BPH adalah :


a. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien
b. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat
tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.
c. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin < 100 ml.
3) Klien dengan penyulit.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ± 90 - 95 % )
2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
d. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi
Ultrasonik .
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hipertropi
1. Pengkajian
a. Pre-Operasi

1) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


a) Riwayat ginjal, hipertensi, kanker
b) Riwayat penyakit keluarga
c) Pernah mendapat pengobatan dan perawatan BPH
d) Penggunaan antibiotik
e) Pengetahuan pasien tentang kondisinya.
2) Pola nutrisi metabolik
a) Anoreksia
b) Penurunan BB
c) Mual, muntah, konjungtiva pucat/anemik.
3) Pola eliminasi
a) Kemampuan klien mengosongkan kandung kemih
b) Sering berkemih dan aliran urine tidak lancar
c) Nokturia, disuria, retensi urine, hematuria.
d) Inkontinensia urine
e) Infeksi saluran kemih berulang
f) Anyang-anyangan/hesistancy
g) Urine menetes.
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Aktivitas sesuai usia
b) Keluhan lemas, cepat lelah dalam beraktivitas
c) Apakah pasien dapat turun dari tempat tidur dan kembali ke tempat tidur
tanpa bantuan
5) Pola tidur dan istirahat
a) Tidur terganggu karena sering terbangun untuk berkemih
b) Tidur terganggu karena nyeri, nokturia.
6) Pola persepsi kognitif
a) Rasa tidak nyaman pada abdomen
b) Nyeri pinggang dan nyeri punggung
c) Nyeri tekan kandung kemih, dysuria, perasaan tidak puas berkemih.
7) Pola koping dan toleransi stres
a) Depresi
b) Kecemasan.
8) Pola reproduksi dan seksual
a) Adanya pembesaran dan nyeri tekan prostat.
b) Penurunan kekuatan konstriksi ejakulasi.
c) Takut inkontinensia selama hubungan intim.
b. Post-Operasi

1) Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


a) Kaji pemberian terapi antibiotik.
b) Adanya gangguan kardiovaskuler, paru-paru.
2) Pola nutrisi metabolik
a) Adanya penurunan berat badan.
b) Mual, muntah, anoreksia.
3) Pola eliminasi
a) Retensi urine, nokturia, hematuri.
b) Dysuria, inkontinensia urine.
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Penurunan aktivitas dengan adanya nyeri.
b) Kelelahan/keletihan.
5) Pola tidur dan istirahat
a) Gangguan tidur karena nyeri, nokturia, inkontinensia urine.
6) Pola seksualitas
a) Impoten
b) Peran seksual post operasi terhadap pasangannya.
7) Koping stress
a) Depresi
b) Kecemasan.
2. Diagnosa keperawatan.
a. Pre Operasi

1) Perubahan pola eliminasi urine : retensi urine b.d pembesaran prostat.


2) Nyeri b.d distensi kandung kemih
3) Resti infeksi b.d pemasangan kateter dan urine statis.
4) Kecemasan b.d potensial/aktual disfungsi seksual, kemungkinan prosedur
pembedahan.
b. Post Operasi

1) Nyeri b.d insisi bedah.


2) Perdarahan b.d prostatectomy/TUR.
3) Perubahan eliminasi urine : inkontinensia urine b.d trauma leher kandung
kemih, kehilangan kontrol sphincter.
4) Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter, irigasi bladder.
3. Perencanaan Keperawatan

a. Pre Operasi
DP 1. Perubahan pola eliminasi urine : retensi urine b.d pembesaran prostat.
HYD:
1) Pengosongan kandung kemih adekuat
2) Tidak ada distensi dan pembesaran kandung kemih
3) Jumlah urine sisa kurang dari 50 ml.
Intervensi:
1) Kaji adanya gangguan/perubahan pola eliminasi urine.
Rasional: Menentukan tindakan yang akan diberikan.
2) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional: Mengevaluasi adanya obstruksi.
3) Palpasi, kandung kemih tiap 4 jam.
Rasional: Mengetahui distensi kandung kemih.
4) Anjurkan pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila ada rasa ingin berkemih.
Rasional: Meminimalkan retensi urine dan distensi yang berlebihan pada
kandung kemih.
5) Catat cairan masuk dan cairan keluar.
Rasional: Mengetahui balance cairan.
6) Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional: Mengetahui keadekuatan fungsi ginjal.
7) Kaji keluaran urine (warna, jumlah, kekuatan)
Rasional: Mengidentifikasi adanya obstruksi dan perdarahan.
8) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemasangan kateter.
Rasional: Mengeluarkan urine dan menghilangkan distensi.
9) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian therapi anti spasmodik.
Rasional: Menghilangkan spasme kandung kemih.

DP 2. Nyeri b.d distensi kandung kemih


HYD: Nyeri berkurang sampai hilang.
Intervensi:
1) Kaji dan catat intensitas, frekuensi dan lokasi nyeri.
Rasional: Mengetahui ambang rasa nyeri pasien.
2) Beri posisi dan lingkungan yang nyaman.
Rasional: Memberi rasa nyaman dan membantu relaksasi.
3) Ajarkan tehnik relaksasi dengan menarik nafas dalam.
Rasional: Mengurangi nyeri.
4) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemasangan kateter.
Rasional: Mengurangi distensi.

DP 3. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter dan urine statis.


HYD:
1) TTV dalam batas normal.
2) Infeksi tidak terjadi
Intervensi:
1) Observasi TTV tiap 4-6 jam.
Rasional: Perubahan TTV dapat mengidentifikasi adanya infeksi.
2) Anjurkan pasien banyak minum 6-8 gelas perhari bila tidak ada
kontraindikasi.
Rasional: Mempertahankan aliran/cairan mencegah statis dan delusi urine.
3) Gunakan tehnik aseptik untuk perawatan kateter.
Rasional: Meminimalkan kontaminasi silang.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotika.
Rasional: Antibiotika dapat menghambat dan mengontrol perkembangan
mikroorganisme.

DP 4. Kecemasan b.d potensial/aktual disfungsi seksual, kemungkinan


prosedur bedah.
HYD: Kecemasan berkurang sampai hilang.
Intervensi:
1) Berikan penyuluhan post operasi.
Rasional: Memberi informasi, menambah pengetahuan pasien.
2) Berikan informasi dan penjelasan tentang fungsi seksual, membenarkan
pengertian yang salah.
Rasional: Memberikan intervensi yang sesuai.
3) Beri kesempatan kepada pasien untuk bertanya tentang masalah pribadi.
Rasional: Situasi yang nyaman membuat pasien terbuka.
4) Beri informasi tentang ejakulasi dini.
Rasional: Hal ini sering terjadi pada prostatektomy dan tidak membahayakan
karena cairan akan dibuang oleh urine berikutnya.

b. Post Operasi
DP 1. Nyeri b.d insisi bedah.
HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi:
1) Pertahankan kapatenan kateter.
Rasional: Clot dapat menyebabkan obstruksi aliran urine sehingga terjadi
distensi kandung kemih.
2) Ajarkan tehnik relaksasi dengan menarik napas dalam.
Rasional: Mengurangi nyeri.
3) Kaji karakteristik nyeri (lokasi dan intensitas).
Rasional: Mengetahui ambang rasa nyeri pasien.
4) Kolaborasi dengan tim medik untuk pemberian analgetik.
Rasional: Mengurangi/menghilangkan nyeri.

DP 2. Perdarahan b.d prostatektomy/TUR


HYD: Klien tidak mengalami perdarahan ditandai dengan tidak adanya
perdarahan dalam urine.
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui jika terjadi shock.
2) Observasi luka, balutan.
Rasional: Mengidentifikasi adanya perdarahan.
3) Pastikan posisi kateter tepat pada tempatnya dan mengalir (fiksasi).
Rasional: Sumbatan dapat menghambat aliran urine sehingga mempengaruhi
hasil operasi.

DP 3. Perubahan eliminasi urine : inkontinensia urine b.d trauma leher


kandung kemih, kehilangan kontrol sphincter.
HYD:
1) Eliminasi urine kembali normal.
2) Tidak ada retensi urine.
3) Dribling berkurang sampai dengan hilang.

Intervensi:
1) Berikan banyak minum bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional: Mempertahankan hidrasi dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
2) Kaji pengeluaran urine per kateter, buang urine tiap shift.
Rasional: Indikator keadekuatan cairan yang keluar.
3) Klien kateter tiap 3 jam sekali selama 10 menit.
Rasional: Kesiapan kandung kemih dan refleks berkemih spontan bila dilepas.

DP 4. Resiko tinggi b.d pemasangan kateter di iritasi bleder.


HYD:
1) Tidak terjadi infeksi.
2) TTV dalam batas normal.

Intervensi:
1) Observasi TTV tiap 4-6 jam.
Rasional: Perubahan TTV dapat mengidentifikasikan adanya infeksi.
2) Anjurkan pasien banyak minum bila tidak ada kontraindikasi 6-8 gelas
perhari.
Rasional: Mempertahankan aliran dan delusi urine.
3) Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter.
Rasional: Meminimalkan kontaminasi.
4) Kaji apakah ada demam kurang cairan.
Rasional: Memastikan jika terjadi faktor resiko/tanda akan gejala infeksi.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antibiotik.
Rasional: Antibiotik dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan
mikroorganisme.

4. Perencanaan Pulang

a. Diet TKTP bila ada infeksi.


Diet rendah protein : bila ureum meningkat.
Anjurkan pasien minum air putih > 2.000 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi,
batasi kopi dan teh.
b. Anjurkan pasien untuk membiasakan melakukan medical check up untuk
memantau perkembangan, pengobatan dan penyembuhan penyakit.
c. Anjurkan pasien minum obat secara teratur.
d. Pasien tidak boleh membiarkan kandung kemih terlalu penuh.
e. Pasien membiasakan diri berkemih setiap 2-4 jam.
f. Beritahu pasien untuk tidak mengangkat benda-benda yang berat atau melakukan
senggama selama fase akut (prostatitis).
17

Anda mungkin juga menyukai